Kamis, 22 September 2011

Pengertian Pidana Seumur Hidup

Apa itu pidana seumur hidup? Dan Apa dasar dan peraturan mengenai penjelasan pidana seumur hidup tersebut?
Jawaban :
Merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
Pidana penjara seumur hidup adalah satu dari dua variasi hukuman penjara yang diatur dalam pasal 12 ayat (1) KUHP. Selengkapnya, pasal 12 ayat (1) KUHP berbunyi, pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu. Dalam pasal 12 ayat (4) KUHP dinyatakan, pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.
Dari bunyi pasal 12 ayat (1) KUHP tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pidana penjara seumur hidup adalah penjara selama terpidana masih hidup hingga meninggal. Ketentuan tersebut sekaligus menolak pendapat bahwa hukuman penjara seumur hidup diartikan hukuman penjara yang dijalani adalah selama usia terpidana pada saat vonis dijatuhkan.
Apabila pidana penjara seumur hidup diartikan hukuman penjara yang dijalani adalah selama usia terpidana pada saat vonis dijatuhkan, maka yang demikian menjadi pidana penjara selama waktu tertentu. Contohnya, jika seseorang dipidana penjara seumur hidup ketika dia berusia 21 tahun, maka yang bersangkutan hanya akan menjalani hukuman penjara selama 21 tahun. Hal itu tentu melanggar ketentuan pasal 12 ayat (4) KUHP, di mana lamanya hukuman yang dijalani oleh terpidana - yaitu 21 tahun - melebihi batasan maksimal 20 tahun.
Berikut contoh lainnya. Apabila terpidana divonis penjara seumur hidup, pada saat ia berumur 18 tahun. Dengan pendapat tadi, berarti terpidana tersebut hanya akan menjalani hukuman penjaranya selama 18 tahun. Hal ini tentu menimbulkan kerancuan yaitu mengapa hakim tidak langsung saja menghukum terpidana 18 tahun penjara, padahal hal itu masih diperbolehkan dalam KUHP? Jadi, dari uraian di atas dapat kita pahami dasar hukum serta logika mengapa pidana penjara seumur hidup berarti penjara sepanjang si terpidana masih hidup, dan hukumannya baru akan berakhir setelah kematiannya.


Sumber : www.Hukumonline.com

Pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPer dalam Perjanjian

Pertanyaan :
Dalam beberapa perjanjian, kita sering menemui klasul "pengesampingan/tidak memberlakukan" Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata. Dan apa  akibat hukum nya?
Jawaban :
Berikut bunyi Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

Pasal 1266
“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.

Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dan satu bulan.”
Pasal 1267
“Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.”
Jadi, alasan dikesampingkannya pasal-pasal tersebut di atas adalah agar dalam hal terjadinya wanprestasi atau tidak terpenuhinya isi perjanjian oleh salah satu pihak, maka:
a.   Pembatalan suatu perjanjian tidak perlu melalui proses permohonan batal ke pengadilan melainkan dapat hanya berdasarkan kesepakatan para pihak itu sendiri (Pasal 1266);
b.   Pihak yang tidak dipenuhi perikatannya dapat memaksa pihak yang lain untuk memenuhi isi perjanjian atau menuntut pembatalan perjanjian tersebut ke pengadilan dengan membebankan penggantian biaya, kerugian dan bunga (Pasal 1267).
Sedangkan, mengenai akibat hukum dari dikesampingkannya pasal-pasal tersebut, Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja dalam bukunya “Perikatan pada Umumnya” (hal. 138) mengatakan:

“Pada perikatan atau perjanjian yang diakhiri oleh para pihak, para pihak tidak dapat meniadakan atau menghilangkan hak-hak pihak ketiga yang telah terbit sehubungan dengan perjanjian yang mereka batalkan kembali tersebut (untuk ini lihat ketentuan Pasal 1340 jo. Pasal 1341 KUHPER). Yang dapat ditiadakan dengan pembatalan tersebut hanyalah akibat-akibat yang dapat terjadi di masa yang akan datang di antara para pihak. Sedangkan bagi perjanjian yang dibatalkan oleh Hakim, pembatalan mengembalikan kedudukan semua pihak dan kebendaan kepada keadaannya semula, seolah-olah perjanjian tersebut tidak pernah terjadi, dengan pengecualian terhadap hak-hak tertentu yang tetap dipertahankan oleh undang-undang untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.“

          Jadi, akibat hukum dari dikesampingkannya pasal-pasal tersebut, pembatalan perjanjian tidak mengembalikan ke keadaan semula, melainkan hanya membatalkan perikatan dan perjanjian antar-para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian. Terkait dengan kepentingan pihak ketiga yang terbit akibat dari perjanjian tersebut tetap harus ditanggung oleh para pihak.

Jumat, 09 September 2011

Ne bis in idem


Pertanyaan :
seseorang telah melakukan pembakaran terhadap orang lain. Untuk itu dia dikenai pasal 338 dan dikenai hukuman 10 tahun. Setelah 10 tahun dia menjalani hukuman, dan dia bebas, kemudian selang beberapa waktu ternyata korban yang 10 tahun yang lalu dia bunuh dengan cara membakar, tidak mati dan akhirnya dia membunuh lagi orang yang sama waktu dia membunuh 10 tahun yang lalu. yang menjadi pertanyaan, apakah orang tersebut dapat dihukum lagi apalagi kita mengetahui adanya asas nebis in idem yaitu seseorang tidak dapat dituntut atas kesalahan yang sama apabila telah di putuskan hakim sebagai keputusan akhir .
Jawaban :
Apa yang ia lakukan tersebut tidak memenuhi syarat untuk dapat dikatakan sebagai perkara yang nebis in idem. Pengertian asas nebis in idem adalah seseorang tidak dapat dituntut lantaran perbuatan (peristiwa) yang baginya telah diputuskan oleh hakim (vide ps.76 (1) Kitab Undang-udang Hukum Pidana).

Perbuatan yang ia lakukan tersebut bukanlah suatu peristiwa atau perbuatan yang sama dengan perbuatan atau peristiwa yang telah mengakibatkan ia harus mendekam dalam penjara selama 10 tahun. Perisitiwa ini sama sekali peristiwa yang baru atau sama sekali berbeda, bila dilihat dari segi waktu (tempus delicti), dan tempat (locus delicti).

Masalah tempus delicti ini menjadi penting dalam sebuah peristiwa pidana karena dalam ps.143 (2) huruf b Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana ("KUHAP") disebutkan bahwa Penuntut Umum membuat surat dakwaaan dengan menguraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu. Dalam ayat (3) nya disebutkan bahwa Surat Dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.

Dalam uraian mengenai tindak pidana tersebut akan terlihat jelas sekali bahwa ini bukanlah sebuah perkara yang sama. Tempus delicti-nya berbeda. Tempat (locus delicti) kemungkinan juga akan berbeda. Dalam uraian tindak pidana ini juga akan diuraikan kronologis perkara yang juga sama sekali berbeda, misalnya dengan cara bagaimana ia melakukan pembunuhan, apakah dibantu oleh orang lain atau tidak, apakah direncanakan terlebih dahulu atau tidak dan lain-lain. Jadi asas Nebis in Idem sama sekali tidak dapat dipakai untuk kasus tersebut.

Terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, seperti contoh di atas, malah ia dapat dianggap mengulangi kejahatan yang sama (residivis) dan dapat dijadikan dasar pemberat hukumannya. Berdasarkan ketentuan ps. 486 KUHP ia dapat diancam hukuman sepertiga lebih berat dari ancaman hukuman yang normal. Dengan catatan bahwa perbuatan yang jenisnya sama tersebut ia lakukan dalam kurun waktu 5 tahun setelah menjalani hukuman untuk seluruhnya atau sebagian dari hukuman yang dijatuhkan.

Sumber : www.Hukumonline.com

P-18, P-19, P-21, dan lain-lain


Pertanyaan :
Apakah yang dimaksud dengan P18, P19, P21, dan lainnya dalam istilah pemberkasan hasil penyidikan polisi ke kejaksaan? Terima kasih.
Jawaban :
Kode-kode tersebut didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana. Kode-kode tersebut adalah kode formulir yang digunakan dalam proses penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana.
Selengkapnya rincian dari kode-kode Formulir Perkara adalah:
P-1
Penerimaan Laporan (Tetap)
P-2
Surat Perintah Penyelidikan
P-3
Rencana Penyelidikan
P-4
Permintaan Keterangan
P-5
Laporan Hasil Penyelidikan
P-6
Laporan Terjadinya Tindak Pidana
P-7
Matrik Perkara Tindak Pidana
P-8
Surat Perintah Penyidikan
P-8A
Rencana Jadwal Kegiatan Penyidikan
P-9
Surat Panggilan Saksi / Tersangka
P-10
Bantuan Keterangan Ahli
P-11
Bantuan Pemanggilan Saksi / Ahli
P-12
Laporan Pengembangan Penyidikan
P-13
Usul Penghentian Penyidikan / Penuntutan
P-14
Surat Perintah Penghentian Penyidikan
P-15
Surat Perintah Penyerahan Berkas Perkara
P-16
Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengikuti Perkembangan Penyidikan Perkara Tindak Pidana
P-16A
Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk Penyelesaian Perkara Tindak Pidana
P-17
Permintaan Perkembangan Hasil Penyelidikan
P-18
Hasil Penyelidikan Belum Lengkap
P-19
Pengembalian Berkas Perkara untuk Dilengkapi
P-20
Pemberitahuan bahwa Waktu Penyidikan Telah Habis
P-21
Pemberitahuan bahwa Hasil Penyidikan sudah Lengkap
P-21A
Pemberitahuan Susulan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap
P-22
Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti
P-23
Surat Susulan Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti
P-24
Berita Acara Pendapat
P-25
Surat Perintah Melengkapi Berkas Perkara
P-26
Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan
P-27
Surat Ketetapan Pencabutan Penghentian Penuntutan
P-28
Riwayat Perkara
P-29
Surat Dakwaan
P-30
Catatan Penuntut Umum
P-31
Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa (APB)
P-32
Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Singkat (APS) untuk Mengadili
P-33
Tanda Terima Surat Pelimpahan Perkara APB / APS
P-34
Tanda Terima Barang Bukti
P-35
Laporan Pelimpahan Perkara Pengamanan Persidangan
P-36
Permintaan Bantuan Pengawalan / Pengamanan Persidangan
P-37
Surat Panggilan Saksi Ahli / Terdakwa / Terpidana
P-38
Bantuan Panggilan Saksi / Tersngka / terdakwa
P-39
Laporan Hasil Persidangan
P-40
Perlawanan Jaksa Penuntut Umum terhadap Penetapan Ketua PN / Penetapan Hakim
P-41
Rencana Tuntutan Pidana
P-42
Surat Tuntutan
P-43
Laporan Tuntuan Pidana
P-44
Laporan Jaksa Penuntut Umum Segera setelah Putusan
P-45
Laporan Putusan Pengadilan
P-46
Memori Banding
P-47
Memori Kasasi
P-48
Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan
P-49
Surat Ketetapan Gugurnya / Hapusnya Wewenang Mengeksekusi
P-50
Usul Permohanan Kasasi Demi Kepentingan Hukum
P-51
Pemberitahuan Pemidanaan Bersyarat
P-52
Pemberitahuan Pelaksanaan Pelepasan Bersyarat
P-53
Kartu Perkara Tindak Pidana

Sumber : www.Hukumonline.com