Minggu, 26 Februari 2012

Putusan sela



Putusan sela merupakan putusan yang belum menyinggung mengenai pokok perkara yang terdapat didalam suatu dakwaan. Dalam hal ini berkaitan dengan suatu peristiwa apabila terdakwa atau penasihat hukum mengajukan suatu keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan. Dalam hukum acara pidana perihal mengenai putusan sela ini dapat disimpulkan dari Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Upaya-upaya hukum dalam hukum acara pidana dibedakan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:
a.  Upaya Hukum Biasa, yang terdiri dari:
1. Pemeriksaan tingkat banding pada Pengadilan Tinggi;
            2. Pemeriksaan tingkat kasasi pada Mahkamah Agung.
b.  Upaya Hukum Luar Biasa, yang terdiri dari:
1. Pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan umum, dimana  permohonannya  diajukan oleh Jaksa Agung karena jabatannya;
2. Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka kedudukan putusan sela berada pada pengadilan tingkat pertama, dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri.
Berdasarkan Pasal 1 butir 32 KUHAP, terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.  Sementara suatu putusan sela terjadi pada saat diajukan oleh seorang terdakwa atau penasihat hukumnya.  Dalam hal ini seorang terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 14 KUHAP).  Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suatu putusan sela terjadi pada saat seseorang masih dalam status menjadi seorang terdakwa bukan seorang terpidana.
Apabila seseorang telah menjadi terpidana, maka yang dapat dilakukannya untuk mengajukan keberatan adalah melalui upaya-upaya hukum yang telah diatur dalam KUHAP.

Terlebih lagi perlu untuk diperhatikan bahwa apabila Hakim menyatakan suatu putusan sela yang pada pokoknya menyatakan menerima keberatan terdakwa atau penasihat hukumnya atas salah satu materi mengenai pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka dakwaan tersebut tidak akan diperiksa lebih lanjut.  Sebaliknya apabila Hakim menyatakan menolak keberatan terdakwa atau penasihat hukumnya atas salah satu materi sebagaimana dimaksud diatas, maka dakwaan tersebut akan dilanjutkan.

Sumber : www.Hukumonline.com

Pidana Pokok dan Tambahan



Dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) hukuman dibedakan menjadi dua, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Pengaturan ini terdapat dalam Pasal 10 KUHP. Yang termasuk dalam hukuman pokok yaitu:
a.                   hukuman mati,
b.                   hukuman penjara,
c.                   hukuman kurungan,
d.                   hukuman denda.

Yang termasuk hukuman tambahan yaitu:
a.                   pencabutan beberapa hak tertentu,
b.                   perampasan barang yang tertentu,
c.                   pengumuman keputusan hakim.

Pengaturan mengenai hukuman tambahan juga terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, KUHP sendiri memang tidak membatasi bahwa hukuman tambahan tersebut terbatas pada 3 bentuk di atas saja. Dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi) misalnya, diatur juga mengenai hukuman tambahan lainnya selain dari 3 bentuk tersebut, seperti misalnya pembayaran uang pengganti yang besarnya sama dengan harta benda yang dikorupsi, penutupan perusahaan dll. Tambahan atas hukuman tambahan juga terdapat dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam UU tersebut ditambahkan hukuman tambahan berupa pembayaran ganti rugi.

Pada prinsipnya memang pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan secara berdiri sendiri tanpa pidana pokok oleh karena sifatnya hanyalah merupakan tambahan dari sesuatu hal yang pokok. Akan tetapi dalam beberapa hal atas prinsip tersebut terdapat pengecualian. Dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya R. Sianturi mengatakan dalam sistem KUHP ini pada dasarnya tidak dikenal kebolehan penjatuhan pidana tambahan mandiri tanpa penjatuhan pidana pokok (hal 455), akan tetapi dalam perkembangan penerapan hukum pidana dalam praktek sehari-hari untuk menjatuhkan pidana tidak lagi semata-mata bertitik berat pada dapat dipidananya suatu tindakan, akan tetapi sudah bergeser kepada meletakan titik berat dapat dipidananya terdakwa' (hal 456). Hal inilah yang mendasari pengecualian tersebut.

Dalam KUHP pengecualian tersebut terdapat dalam pasal 39 ayat 3 jo. Pasal 45 dan 46, serta pasal 40. Kedua pasal tersebut intinya mengatur jika terhadap terdakwa dinyatakan bersalah akan tetapi karena atas dirinya tidak dapat dijatuhi hukuman dengan alasan dibawah umur atau tidak waras maka terhadap barang-barang tertentu yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan dapat rampas oleh Negara.

Pengecualian atas prinsip tersebut juga terdapat dalam beberapa aturan di luar KUHP. Dalam UU Korupsi di pasal 38 ayat 5 dikatakan bahwa dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.