Senin, 09 November 2015

Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional

“Kekayaan Intelektual Atas Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Yang Terdapat Pada Masyarakat Adat Lembak Di Provinsi Bengkulu”

Oleh
Ashibly

Fakultas Hukum Universitas Prof.Dr.Hazairin,SH Bengkulu
email: 23unihaz@gmail.com
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hak kekayaan intelektual itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar[1], atau juga dapat diartikan sebagai hak atas kepemilikan terhadap karya-karya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektualitas manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Karya-karya yang tersebut merupakan kebendaan tidak terwujud yang merupakan hasil kemampuan intelektualitas seseorang atau manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi melalui daya cipta, rasa, karsa dan karyanya, yang memiliki nilai-nilai moral, praktis dan ekonomis. Pada dasarnya yang termasuk dalam lingkup HKI adalah segala karya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan melalui akal atau daya pikir seseorang atau manusia tadi. Hal inilah yang membedakan HKI dengan hak-hak milik lainnya yang diperoleh dari alam[2]

Indonesia sebagai Negara kepulauan, memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya. Hal itu sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Kekayaan seni dan budaya tersebut merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang dapat dan perlu dilindungi oleh undang–undang. Kekayaan itu tidak semata–mata untuk seni dan budaya itu sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan di bidang perdagangan dan industri yang melibatkan para penciptanya. Dengan demikian, kekayaan seni dan budaya yang dilindungi dapat meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi para penciptanya saja, tetapi juga bagi bangsa dan negara.

Indonesia adalah negara dengan kekayaan dan keragaman budaya serta tradisi yang luar biasa. Jika kekayaan keragaman budaya dan tradisi itu dapat dikelola dengan baik dan benar, maka bukan tidak mungkin kebangkitan ekonomi Indonesia justru dipicu bukan karena kecanggihan teknologi, melainkan karena keindahan tradisi dan keragaman warisan budaya itu sendiri. Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan adalah bagian integral dari kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan[3]. Di dalam RUU Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional selanjutnya disingkat PTEBT memberikan definisi pengetahuan tradisional adalah karya intelektual di bidang pengetahuan dan teknologi yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan, dan dipelihara oleh komunitas atau masyarakat tertentu. Pengertian lain dari pengetahuan tradisional ialah sebagai pengetahuan yang dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh suatu komunitas, masyarakat, atau suku bangsa tertentu yang bersifat turun temurun dan terus berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan. Pengertian ini digunakan dalam study of the problem of Discrimination Against Indigenous Populations, yang dipersiapkan oleh United Nation Sub-Commision on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities. Istilah pengetahuan tradisional digunakan untuk menerjemahkan istilah traditional knowledge, yang dalam perspektif WIPO digambarkan mengandung pengertian yang lebih luas mencakup Indigenous Knowledge and folklore[4]. Sedangkan pengertian ekspresi budaya tradisional dari terminologi WIPO memberikan definisi tentang Traditional Cultural Expresions sebagai berikut “...bentuk apapun, kasat mata maupun tak kasat mata, dimana pengetahuan dan budaya tradisional diekspresikan, tampil atau dimanifestasikan dan mencakup bentuk-bentuk ekspresi atau kombinasi berikut ini....” . Hal ini meliputi ekspersi lisan, seperti misalnya kisah, efik, legenda, puisi, teka-teki dan bentuk narasi lainnya; kata, lambang, nama dan simbol; ekspresi dalam bentuk gerak, seperti drama, upacara, ritual. Sebagai tambahan, definisi ini juga mencakup ekspresi yang kasat mata, seperti produksi seni, khususnya gambar, desain, lukisan termasuk lukisan tubuh dan juga dengan berbagai benda-benda kerajinan, instrumen musik, dan berbagai bentuk arsitektural. Agar suatu ekspresi memenuhi syarat traditional cultural ekspresion, ekspresi tersebut harus menunjukan adanya kegiatan intelektual individu maupun kolektif yang merupakan ciri dari identitas dan warisan suatu komunitas, dan telah dipelihara, digunakan atau dikembangkan oleh komunitas tersebut, atau oleh orang perorangan yang memiliki hak atau tanggung jawab untuk melakukannya sesuai dengan hukum dan praktik adat/kebiasaan dalam komunitas tersebut[5].

Hukum memberikan sarana perlindungan terhadap sebuah karya cipta yang merupakan produk dari pikiran manusia. Dengan adanya Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, maka terhadap karya cipta yang dihasilkan dapat diberikan perlindungan. Bentuk nyata ciptaan - ciptaan yang dilindungi dapat berupa ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Perlindungan dimaksud adalah untuk melindungi Pengetahuan Tradisional dan/atau Ekspresi Budaya Tradisional terhadap pemanfaatan yang dilakukan tanpa hak dan melanggar kepatutan.

Sedangkan pengaturan kekayaan intelektual pengetahuan tradisional dan kekayaan intelektual lain sejenis dinamakan ekspresi budaya tradisional merupakan masalah hukum baru yang berkembang baik di tingkat nasional maupun internasional. Pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional sebagai kekayaan intelektual baru dalam waktu satu dekade terakhir muncul menjadi masalah hukum disebabkan belum ada instrumen hukum nasional maupun internasional memberikan perlindungan hukum secara optimal terhadap pengetahuan tradisional yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal ini disebabkan kurangnya perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab[6].

Dalam tataran normatif, perlindungan terhadap hasil kebudayaan rakyat ini diatur dalam ketentuan Pasal 38 ayat (1) Undang – undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta menyebutkan “Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara.”. Selain itu aturan hukum non HKI yang melindungi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisonal (PTEBT) terdapat juga di Undang-undang Cagar Budaya, Hukum Adat dan RUU Kebudayaan.

Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional yang dilindungi di dalam RUU Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional meliputi:

(1) Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional yang dilindungi mencakup unsur budaya yang:

a. disusun, dikembangkan, dipelihara, dan ditransmisikan dalam lingkup tradisi; dan

b. memiliki karakteristik khusus yang terintegrasi dengan identitas budaya masyarakat tertentu yang melestarikannya;

(2) Pengetahuan Tradisional yang dilindungi sebagaimana dimaksud di atas mencakup kecakapan teknik (know how), keterampilan, inovasi, konsep, pembelajaran dan praktik kebiasaan lainnya yang membentuk gaya hidup masyarakat tradisional termasuk di antaranya pengetahuan pertanian, pengetahuan teknis, pengetahuan ekologis, pengetahuan pengobatan termasuk obat terkait dan tata cara penyembuhan, serta pengetahuan yang terkait dengan sumber daya genetik.

(3) Ekspresi Budaya Tradisional yang dilindungi mencakup salah satu atau kombinasi bentuk ekspresi berikut ini:

a. verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan, yang berbentuk prosa maupun puisi, dalam berbagai tema dan kandungan isi pesan, yang dapat berupa karya susastra ataupun narasi informatif;

b. musik, mencakup antara lain: vokal, instrumental atau kombinasinya;

c. gerak, mencakup antara lain: tarian, beladiri, dan permainan;

d. teater, mencakup antara lain: pertunjukan wayang dan sandiwara rakyat;

e. seni rupa, baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi yang terbuat dari berbagai macam bahan seperti kulit, kayu, bambu, logam, batu, keramik, kertas, tekstil, dan lain-lain atau kombinasinya; dan 

f. upacara adat, yang juga mencakup pembuatan alat dan bahan serta penyajiannya.[7]

Provinsi Bengkulu merupakan sebuah Provinsi di Indonesia. Ibu kotanya berada dikota Bengkulu. Provinsi ini terletak dibagian barat daya Pulau Sumatera, yang berbatasan dengan :

Utara : Sumatera Barat.

Selatan : Lampung

Barat : Samudera Hindia

Timur : Jambi dan sumatera Selatan

Provinsi Bengkulu memiliki populasi sebanyak 1.972.196 jiwa. Yang terdiri dari berbagai suku, yakni :

1) Rejang (60,36%)

2) Jawa (22,31%)

3) Serawai (17,87%)

4) Melayu Bengkulu (7,93%)

5) Lembak (4,95%)

6) Minangkabau (4,28%)

7) Sunda (3.01%)

8) Lain – Lain (18,29%)[8]

Salah satu suku yang ada di Provinsi Bengkulu adalah suku Lembak. Dalam penelitian ini, difokuskan pada masyarakat adat Lembak yang ada di Provinsi Bengkulu. Masyarakat Lembak adalah suku bangsa yang permukimannya tersebar di Provinsi Bengkulu, antara lain di kota Bengkulu, Bengkulu Utara, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahing. Suku Lembak di Kabupaten Rejang Lebong bermukim di Kecamatan Padang Ulak Tanding, Sindang Kelingi, dan Kota Padang. Di Kabupten Kepahiang suku Lembak mendiamin desa Suro Lembak. Suku Lembak juga mendiami wilayah daerah kota Lubuk linggau dan Kabupaten Musi Rawas yang berada diwilayh Provinsi Sumatera Selatan.

Suku Lembak adalah pemeluk agama Islam sehingga budayanya banyak bernuansakan Islam, disamping itu masih ada pengaruh dari kebudayaan lainnya. Dari sisi adat istiadat antara Melayu Bengkulu dan Suku Lembak ada terdapat kesamaan dan juga perbedaan, ada hal-hal yang terdapat dalam Melayu Bengkulu tidak terdapat dalam masyarakat Lembak, dan sebaliknya. Secara garis besar, kebudayaan Melayu mendominasi kebudayaan suku Lembak. Pada masa lalu suku Lembak mempunyai sejarah kerajaan yaitu Kerajaan Sungai Hitam dengan rajanya Singaran Pati yang bergelar Aswanda. Suku Lembak sudah berada di Bengkulu sekitar tahun 1400-an atau sekitar 6 abad yang lalu[9].

Sampai saat ini, upaya dokumentasi PTEBT yang sudah terlihat dilakukan oleh pemerintah hanyalah pada PTEBT Indonesia yang sudah mendunia seperti wayang, keris, batik. Untuk PTEBT lainnya, upaya pemerintah hanya sampai pada proses inventarisasi saja. Belum ada kejelasan prosedur dan kerja-sama di antara kementerian di Indonesia untuk mengorganisasi proses dokumentasi dan data-base PTEBT. Saat ini, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan Kementerian Hukum dan HAM, Dirjen HKI, melakukan proses inventarisasi PTEBT secara sendiri-sendiri.

Proses dokumentasi dan kompilasi data-base PTEBT, bahkan sebelum RUU PTEBT diundangkan, adalah vital untuk melestarikan PTEBT dan mencegahnya dari kepunahan. Apabila PTEBT Indonesia punah karena PTEBT tersebut tidak lagi dipraktekkan oleh komunitasnya, maka hilang juga perlindungan HKI atas PTEBT tersebut. RUU PTEBT bahkan tidak mengklarifkasi kementerian mana yang akan ditugaskan untuk melaksanakan proses dokumentasi dan data-base atas PTEBT Indonesia. Salah satu contoh kesenian yang jarang di tampilkan oleh Masyarakat adat Lembak adalah Barong Landong. Apabila hal ini tidak disikapi dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu, maka tidak menutup kemungkinan kesenian Barong Landong ini akan punah.

Dari uraian diatas, penelitian ini ditujukan untuk mendokumentasikan (data base) PTEBT masyarakat adat Lembak sehingga dari hasil penelitian ini dapat diketahui apa saja kekayaan intelektual atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional khususnya yang dimiliki oleh masyarakat adat Lembak di Provinsi Bengkulu, maka dari itu perlu dilakukan suatu penelitian terkait dengan “Kekayaan Intelektual Atas Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Yang Terdapat Pada Masyarakat Adat Lembak Di Provinsi Bengkulu”.

B. Rumusan Masalah

1. Apa sajakah kekayaan intelektual atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang terdapat pada masyarakat adat Lembak di Provinsi Bengkulu?

C. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menginventarisir apa saja kekayaan intelektual atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang terdapat pada masyarakat adat Lembak di Provinsi Bengkulu.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan teoritis dan kegunaan praktis sebagai berikut :

1. Secara teoritis, Penelitian ini akan membantu mendata apasaja kekayaan intelektual atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional masyarakat adat Lembak sehingga kedepan akan memudahkan untuk mendata base kekayaan intelektual masyarakat adat Lembak.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah khususnya pemerintah Provinsi Bengkulu dalam memberikan perhatian dan perlindungan khususnya mendatabase kan kekayaan intelektual atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional masyarakat adat Lembak secara sui generis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kekayaan Intelektual

Hak kekayaan Intelektual secara internasional lebih dikenal dengan istilah Intelektual Property Right (IPR), yaitu merupakan hak yang berkenaan yang timbul atau lahir karena kemampuan Intelektual manusia yang berupa penemuan dibidang teknologi, ilmu pengetahuan dan seni.[10]

Menurut versi lain, Hak Kekayaan Intelektual adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio manusia yang menalar.[11]

Hasil kerja otak dirumuskan sebagai Intelektualitas. Kaum Intelektualitas merupakan orang yang optimal memerankan kerja otak, yang mampu menggunakan rasio, mampu berfikir secara rasional dan menggunakan logika.[12]

Objek yang diatur dalam Hak Kekayaan Intelektual adalah karya yang timbul atau lahir karena kemampuan Intelektual manusia yakni karya–karya dibidang ilmu pengetahuan, seni, sastra ataupun teknologi, dimana hal–hal tersebut dilahirkan melalui daya cipta, rasa dan karsa.[13]

Daya cipta itu dapat berwujud dalam bidang seni, industri dan ilmu pengetahuan atau paduan ketiga–tiganya. Yang dikembangkan dari kemampuan berfikir manusia, untuk melahirkan sebuah karya yang berasal dari kreatifitas berfikir manusia tersebut.[14]

Dalam perlindungan terhadap HKI, Indonesia telah memiliki perangkat per Undang–Undangan yang sebagian besar telah merujuk pada persetujuan TRIP’S[15]. Atas dasar keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia (Agreement Establisling the World Trade Organization), yang di dalamnya tercakup persetujuan TRIP’S, mengharuskan Indonesia untuk turut meratifikasi Konvensi Bern dan WIPO Copyright Treaty, dan karena itu pula Indonesia berkewajiban untuk menyesuaikan per Undang–Undangan nasional bidang hak cipta termasuk hak yang berkaitan dengan hak cipta terhadap persetujuan internasioanl tersebut.[16]

HKI atau Intelektual Property Right memiliki ruang lingkup yang terbagi dalam dua cabang yaitu :

1) Hak Cipta ( copy right )

2) Hak Milik Industri ( Industrial Property right )

Sedangkan hak kekayaan perindustrian itu terdiri atas beberapa bagian lagi, yaitu :

1) Paten

2) Model dan Rancang Bangunan

3) Desain Industri

4) Rahasia Dagang

5) Merek Dagang

6) Merek Jasa

7) Nama Dagang atau Nama Niaga

8) Sebutan Asal Barang

9) Indikasi Asal Barang

10) Perlindungan Persaingan Curang

11) Perlindungan Varietas Baru Tanaman

12) Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Rekayasa Genetika, Internet dan Domain Names, juga merupakan ruang lingkup HKI atau Intelectual Property. Hak cipta sendiri oleh WIPO dan oleh praktek negara–negara dijelaskan lagi menjadi :

1) Karya–karya tulis

2) Karya Musik

3) Rekaman Suara

4) Pertunjukan pemusik, aktor dan penyanyi.

2. Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional
Pengertian pengetahuan tradisional di dalam RUU PTEBT adalah karya intelektual di bidang pengetahuan dan teknologi yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan, dan dipelihara oleh komunitas atau masyarakat tertentu. Sedangkan pengertian Ekspresi Budaya Tradisional adalah karya intelektual dalam bidang seni, termasuk ekspresi sastra yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan, dan dipelihara oleh komunitas atau masyarakat tertentu.

Pengertian atas pengetahuan tradisional masih sangat beragam. Menurut Johnson, pengetahuan tradisional sebagai”

“traditional of knowledge built by a group of people through generation living in close contact with nature. It includes a system of classification, a set of empirical observations about the local environments, and a system of selfmanagement that governs resourse use”.[17]

Sedangkan Hiebert dan Van Rees berpendapat:

“Traditional knowledge had many definitions but the central theme consisted of cultural beliefs and traditions being passed on from their forefathers to the present generation for the purpose of survival while still living in harmony with the ecosystems. Traditional knowledge is something that is learned during a lifetime and realizes the interconnectedness of the trees, soil and water”.[18]

Istilah pengetahuan tradisional digunakan untuk menerjemahkan istilah traditional knowledge, yang dalam perspektif WTO digambarkan mengandung pengertian yang lebih luas mencakup indigenous knowledge dan folklore.

Dari beberpa definisi, bahwa pengetahuan tradisional memiliki karakteristik khusus yaitu:

1) Merupakan sebuah pengetahuan yang dipraktikkan secara turun-temurun;

2) Kepemilikan dari pengetahuan tradisional bersifat komunal;

3) Pengetahuan tradisional merupakan hasil interaksi antara penemunya dengan alam.[19]

3. Masyarakat Adat

Yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat atau istilah lain yang sejenis seperti masyarakat adat atau masyarakat tradisional atau indigenous people adalah suatu komunitas antropologis yang bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa lampau mereka, merasa dirinya dipandang oleh pihak luar sebagai berasal dari satu nenek moyang yang sama, dan mempunyai identitas dan budaya yang khas yang ingin mereka pelihara dan lestarikan untuk kurun sejarah selanjutnya, serta tidak mempunyai posisi yang dominan dalam struktur dan sistem politik yang ada[20].

Dalam Konvensi ILO Nomor 169, PBB menggunakan istilah Indigenous People yang dirumuskan sebagai kelompok masyarakat pribumi di negara-negara merdeka dengan penetapan berdasar asal-usul keturunan di antara penduduk lain yang mendiami suatu wilayah geografis tempat suatu negara terletak saat terjadinya penaklukan atau penjajahan atau berdasarkan batas-batas negara yang baru tanpa menilik pada status hukum mereka dan masih tetap memiliki sebagian atau seluruh bentuk kelembagaan sosial, ekonomi, budaya dan politik mereka. Sedangkan rumusan Tribal Peoples adalah kelompok masyarakat yang berdiam di negara-negara merdeka dengan kondisi-kondisi sosial, kultural, dan ekonominya membedakan mereka dari masyarakat lainnya di negara tersebut dan statusnya diatur diseluruh maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus[21].

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris atau sosiologi hukum, yaitu pendekatan dengan melihat sesuatu kenyataan hukum di dalam masyarakat. Kenyataan hukum dalam didalam masyarakat ini jika dikaitkan dengan penelitian ini akan dilihat bagaimana perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah daerah Provinsi Bengkulu untuk melindungi karya intelektual masyarakat adat Lembak. Sedangkan pendekatan sosiologis hukum adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat aspek-aspek hukum dalam interaksi sosial di dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai penunjang untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi temuan bahan non hukum bagi keperluan penelitian.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian. Objek penelitian ini adalah pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional masyarakat adat Lembak di Provinsi Bengkulu dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta dan juga teori-teori hukum khususnya tentang hukum adat.

3. Jenis Data

Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari sumbernnya melalui wawancara dan observasi, sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian.

4. Metode Pengumpulan Data

a) Metode penelitian kepustakaan

Data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian.

b) Metode penelitian lapangan

Data lapangan yang diperlukan sebagai data penunjang diperoleh melalui informasi dan pendapat-pendapat dari responden yang ditentukan secara purposive sampling (ditentukan oleh peneliti berdasarkan kemauannya).

5. Metode Analisis Data

Berdasarkan sifat penelitian ini menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kekayaan Intelektual Atas Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Yang Terdapat Pada Masyarakat Adat Lembak Di Provinsi Bengkulu.

1. Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian yang diperoleh baik dari data internet maupun dari data dilapangan, terdapat kekayaan intelektual atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional pada masyarakat adat Lembak di Provinsi Bengkulu. Adapun kekayaan intelektual atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang terdapat pada masyarakat adat Lembak di Provinsi Bengkulu yang dirangkum dan dijelaskan sebagai berikut:

a. Saraval Anam

Saraval Anam (Bedikir = berzikir) adalah salah satu bentuk kesenian pada Masyarakat Lembak yang sering disajikan pada acara pernikahan, acara aqiqah dan memperingati maulid Nabi Muhammad SAW[22].

b. Tapan Ilim 

Tapan Ilim (dalam Bahasa Lembak), cerano (dalam Bahasa Bengkulu), (Tempat Sirih dalam Bahasa Indonesia). Tapan Ilim pada masyarakat adat Lembak digunakan sebagai lambang adat, biasanya digunakan untuk menyambut tamu penting dan acara adat lain-nya, digunakan pada acara bertunangan dan perkawinan. Dalam masyarakat Lembak tapan ilim merupakan prasyarat terselenggaranya acara-acara tersebut.[23]

c. Upacara Adat Tamat Kaji

Tamat kaji adalah sebuah upacara adat yang dilakukan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur karena si anak sudah mampu membaca Al-Quran. Kepandaian membaca al-quran dalam masyarakat Lembak merupakan sebuah keharusan dan kebanggaan dalam keluarga. Ditengah-tengah masyarakat Lembak kemampuan seorang anak membaca al-quran dengan baik memiliki nilai penghargaan yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan hampir semua aktivitas dalam masyarakat Lembak sangat kental dengan kebiasaan membaca Al Qur’an. Seseorang baru dianggap tokoh masyarakat jika dia terbiasa di undangan untuk bersama-sama membaca Al Qur’an terutama pada saat prosesi berduka atas meninggalnya salah satu anggota keluarga. Membaca Al-Quran bersama-sama ini biasanya diselenggarakan pada hari yang ke tujuh setelah meninggalnya anggota keluarga tersebut.

Jika seorang ayah atau ibu tidak mampu untuk mengajar anaknya mengaji, maka sejak usia dini, orang tua akan menyerahkan anaknya kepada seorang guru mengaji. Pada saat menyerahkan anaknya kepada guru mengaji, seorang ayah menyerahkan anaknya kepada guru ngaji secara lisan (...aku serah ka anak ku ikak untuk diajo ngaji, baik buruk anakku ikak, tegatung dengan bapak itulah....= saya serahkan anak saya ini untuk diajar mengaji, baik dan buruk anak saya ini, tergantung dengan bapak..). 

Pada saat menyerahkan anak tersebut orang tua biasanya juga menyerahkan sebuah lehar (tempat meletakan Quran sewaktu kita mengaji atau membaca Al Qur’an), sebuah juz amma, sepotong rotan, dan sebotol minyak tanah. Sepotong rotan sebagai pertanda jika anak tersebut nakal orang tua yang bersangkutan menyerahkan anaknya dan rela anak untuk dipecut (biasanya yang dipecut adalah telapak tangan) ini dilakukan agar anak sungguh-sungguh dalam mengikuti pelajaran mengaji dan hal digunakan untuk mengajarkan disiplin tegas kepada si anak agar anak tidak nakal, hati-hati dan tekun dalam belajar. Sebotol minyak tanah sebagai keikutsertaan dan kewajiban orang tua untuk membantu sarana pendidikan terutama untuk penerangan, dimana dahulu tidak ada listrik dan lampu, yang digunakan sebagai penerangan hanyalah lampu minyak tanah (sekarang sudah diganti dengan uang).

Seorang guru mengaji biasanya menyediakan waktu sehabis melakukan pekerjaan mencari nafkah. Dahulu tidak ada guru yang di undang untuk mengajarkan seorang anak mengaji ke rumah-rumah, tetapi si anaklah yang harus mendatangi rumah gurunya, hal ini di maknai bahwa ilmu itu harus dicari dan sebagai penghormatan murid kepada gurunya maka semua aturan harus ditaati oleh muridnya (hal ini tercermin dari apa yang pernah diperintah oleh Allah SWT kepada Nabi Musa as, untuk pergi berguru kepada Nabi Khaidir as). 

Dalam masyarakat Lembak waktu mengaji biasanya sehabis sholat magrib (kucil magrib, dalam Bahasa Lembak). Bagi murid yang baru mengikuti pelajaran biasanya dituntun oleh murid yang sudah pandai, setelah mendekati akhir pengajian biasanya langsung ditangani oleh gurunya. Hirarki ini menandakan ada kewajiban bagi muridnya yang sudah pandai untuk menerapkan ilmunya secara langsung sehingga jika terjadi sesuatu hal dan guru berhalangan maka proses belajar mengaji tetap dapat dilaksanakan.

Di sekitar tahun 1970-an hingga 1980-an banyak anak dari masyarkat Lembak sebagai lumbung qori dan qoriah yang mengharum nama Kota dan bahkan Provinsi Bengkulu, misalnya serti mendiang H. M. Taib yang pernah menjadi qoriah tingkat nasional mewakili Provinsi Bengkulu.

Setelah anak sudah mampu membaca juz amma, biasanya guru menyampaikan kepada orang tua bahwa si anak sudah siap untuk beralih membaca Al-quran, pada saat ini sebagai bentuk kegembiraan dan rasa syukur orang tua, maka orang tua si anak, melakukan sebuah bentuk syukuran secara adat yang dikenal dengan upacara adat Tamat Kaji.

Upacara tamat kaji ini dapat dilaksankan secara khusus dikenal dengan Istilah “Muce” (Upacara adat tamat kaji yang dilakukan untuk mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT secara khusus), atau dapat juga bersamaan dengan pesta pernikahan salah-satu keluarga si-anak.

Pada acara tamat kaji ini biasanya si anak (laki-laki) dianggap sebagai raja yang akan meneruskan cita-cita orang tuanya, makanya pada acara ini si anak akan dihias seperti haji. Proses berias biasanya dilakukan di rumah salah satu kerabat dekatnya atau orang yang menyayangi si anak. Acara ini dikenal dengan istilah “Nurun Pengaten Temat Kaji”. Di rumah kerabat tadi biasanya disediakan makanan tradisionil, khasnya adalah ketan berkuah dan panganan yang lainnya.

Karena hari ini adalah hari kegembiraan bagi si anak maka si anak dibawa dengan kendaraan yang sudah dihias, saat dahulu kendaraanya adalah dua buah sepeda yang kemudian di satukan dengan beberapa kayu, yang diatasnya diletakkan kursi yang juga dihias, saat ini biasanya menggunakan Seekor kuda yang dihias atau dengan naik delman. Si anak dibawah dengan kendaraan tersebut menuju rumahnya. Pada saat sampai dirumah, si anak diturunkan untuk kemudian di arak (dikenal dengan Ngarak Pengaten) dengan gendang rebana, lagu yang dibawakan adalah lagu salurabbuna. 

Bersamaan dengan tamat kaji ini banyak perangkat yang harus disiapkan, diantaranya yang paling utama adalah sejambar nasi kunyit dengan seekor ayam yang sudah dimasak dan dihiasi dengan bunga kertas warna-warni yang bertuliskan keterangan tentang si anak. Sejambar nasi kunyit itu nanti akan ikut dibawah sampai kepengujung (tempat uji coba membaca Al-Quran di depan Majelis), setelah proses acara ini biasanya nasi kunyit tadi akan diantar kepada guru mengajinya sebagai tanda penghormatan yang tinggi dan terima kasih kepada gurunya.

Pada saat yang bersamaan dengan acara tadi juga dibuat bunga kertas warna warni yang nanti akan dibagikan kepada khalayak yang datang, bunga ini sebagai pengumuman bahwa telah dilangsungkannya acara ini dan sekaligus pemberitahuan bahwa si anak sudah pandai membaca Al-quran. Acara ini adalah unggapan rasa syukur dan memiliki nilai prestise bagi orang tua, anak dan gurunya.[24]

Setelah dilakukannya prosesi membaca Al-Qur’an, si anak yang melakukan tamat kaji tadi diiringi oleh inangnya (pengiring penganten) akan bersalaman kepada semua undangan, ini dilakukan sebagai ungkapan mohon do’a restu kepada undangan agar si anak dapat meneruskan kebiasaan membaca Al-Quran dan si anak dapat mengamalkan ilmu yang diperolehnya.[25]

d. Bahasa 

Bahasa Col adalah bahasa yang digunakan oleh suku Lembak. Bahasa ini termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. Bahasa ini juga dikenal dengan nama bahasa Cul atau bahasa Sindang[26]. Suku Lembak tidak jauh berbeda dengan masyarakat Melayu pada umumnya, namun dalam beberapa hal terdapat perbedaan. Jika ditinjau dari segi bahasanya, suku Lembak dengan Melayu Bengkulu (pesisir) terdapat perbedaan dari segi pengucapan kata-katanya, Melayu Bengkulu kata-katanya banyak diakhiri dengan huruf “o”, sedangkan suku Lembak banyak menggunakan huruf “e”, selain itu ada kosakata yang berbeda.

e. Ceger 

Merupakan talam yang terbuat dari tembaga sebagai alat musik pukul bagian dari alat musik pada berbagai acara ritual adat suku Lembak

f. Barong Landong

Barong Landong adalah kesenian tradisional berwujud sepasang boneka manusia besar mengenakan pakaian pengantin tradisional Bengkulu beserta asesorisnya, terbuat dari kerangkaa anyaman bambu (bubu besar) dan kepala dari jenis kayu pulai, basung dan lain-lain. Tinggi Barong Landong berkisar antara 2 sampai 2,5 meter dengan rongga yang bisa memuat orang dewasa yang akan menggerakan boneka sesuai irama musik pengiringnya.

Barong Landong yang juga disebut “orang besar” telah berkembang sejak zaman Belanda, pada waktu Jepang semua bentuk kesenian dilarang, setelah zaman kemerdekaan Barong Landong kembali boleh dimainkan. Namun pada masa sekarang ini, Barong Landong jarang dimainkan lagi.

g. Baju Betabur

Baju Betabur adalah baju kurung atau kebaya panjang dasar kain beludru warna merah atau hijau tua dihiasi tempelan/taburan tabur penabur, tabur rendo, tabur karang patu, dan tabur salaguri yang berwarna kuning emas. Baju kebaya panjang bertabur padanannya adalah sanggul sikek, sedangkan baju kurung bertabur padanannya adalah sanggul lipek pandan dan singal (perhiasan kepala). Pakaian ini dikenakan pada waktu acara inai curi, akad nikah, bercampur (duduk bersanding dipelaminan) dan belarak (pengantin mengunjungi sanak keluarga).

Kelengkapan lain adalah selendang kunci, penadah peluh, sari bulan, tutup kepala (selenger), sarung songket benang emas, sandal manik, pending emas, dan asesoris lainnya. 

h. Rumah Adat
Rumah adat suku Lembak dinamakan Rumah Tua Bubungan Lima. Rumah adat ini termasuk tipe rumah panggung berdinding papan. Umumnya rumah adat ini dibuat dengan 15 (lima belas) tiang dengan tinggi 1,8 meter. Atapnya berbentuk limas, tinggi bubungan (atap) mencapai 3,5 meter. Jumlah anak tangga dari rumah adat ini selalu ganjil. Rumah Tua Bubungan Lima terdiri dari beberapa ruangan, seperti berendo, bilik gedang, bilik gadis, bilik bujang, ruang tengah, ruang makan, garang, dapur serta berendo belakang. Dibawah rumah, tepatnya ditengah-tengah diletakan sarat kepiat, yaitu syarat bagi penghuni sebelum menunggu rumah yang dimaksudkan agar rumah selalu tenang dan aman.

Rumah Tua Bubungan Lima diperkirakan sudah ada sejak tahun 1916-an, untuk sekarang Rumah Tua Bubungan Lima ini terdapat di daerah tanjung agung kota Bengkulu walaupun sekarang jumlahnya sudah banyak berkurang digantikan dengan rumah permanen. Salah satu Rumah Tua Bubungan Lima yang berusia 120 tahun terdapat di daerah dusun Tanjung Terdana Kecamatan Pondok Kubang Bengkulu Tengah. Dulu rumah depati (kepala desa).[27]

2. Pembahasan 

Sejalan dengan niat serta usaha untuk melestarikan dan mengembangkan pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dan budayanya maka telah disepakati suatu piagam yang disebut Piagam Pelestarian Pustaka Indonesia 2003 yang di deklarasikan pada bulan Desember 2003 di Ciloto, Jawa Barat. Adapun pengertian pelestarian yang dianut dalam piagam tersebut adalah upaya pengelolaan pustaka melalui kegiatan penelitian, perencanaan, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan dan pengawasan. Penggunaan istilah “perlindungan” memiliki makna yang luas, yang berarti juga upaya pelestarian serta perlindungan HKI yang ada dalam PTEBT Indonesia. Pelestarian bisa juga mencakup pengembangan secara selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian, dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika zaman[28].

Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan yang modern serta pengaruh globalisasi dunia, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan dan rintangan terhadap eksistensinya. Hal ini perlu kita cermati karena warisan budaya dan nilai-nilai tradisional tersebut seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan lebih jauh[29].

Dari hasil penelitian terhadap masyarakat adat Lembak, PTEBT masyarakat adat Lembak terdiri dari kesenian saraval anam yang disajikan disaat ada pesta perkawinan, aqiqah dan maulid Nabi Muhammad SAW. Tapan Ilim yang digunakan sebagai lambang adat, biasanya digunakan untuk menyambut tamu penting. Upacara adat Tamat kaji yang digelar dalam rangka ungkapan rasa syukur karena si anak sudah mampu membaca Al-Quran. Alat kesenian berikutnya adalah ceger, ceger merupakan alat musik pukul bagian dari alat musik pada berbagai acara ritual adat suku Lembak. Kesenian berikutnya adalah Barong Landong, Barong Landong adalah kesenian tradisional berwujud sepasang boneka manusia besar mengenakan pakaian pengantin tradisional Bengkulu beserta asesorisnya. Dari pakaian adat, dikenal dengan nama Baju Betabur, Baju Betabur adalah baju kurung atau kebaya panjang dasar kain beludru warna merah atau hijau tua dihiasi tempelan/taburan tabur penabur, tabur rendo, tabur karang patu, dan tabur salaguri yang berwarna kuning emas, digunakan pada pada waktu acara inai curi, akad nikah, bercampur (duduk bersanding dipelaminan) dan belarak (pengantin mengunjungi sanak keluarga). Sedangkan dari bahasa yang digunakan oleh masyarakat Lembak adalah bahasa Col. Dari bidang arsitektur, masyarakat adat Lembak mempunyai rumah adat tradisional yang dinamakan Rumah Tua Bubungan Lima.

Penelitian ini merupakan upaya pengelolaan PTEBT melalui kegiatan penelitian dengan cara pendokumentasian PTEBT masyarakat adat Lembak. Pendokumentasian PTEBT masyarakat adat Lembak sangat penting dilakukan dikarenakan beberapa PTEBT masyarakat adat Lembak yang diteliti sudah jarang dimanfaatkan dan dilestarikan, dikarenakan generasi penerus yang belum mengetahui pentingnya pemanfaatan dan pelestarian PTEBT itu sendiri dan juga peran dari pemerintah khususnya pemerintah provinsi Bengkulu di dalam menanggapi masalah ini masih sangat minim. Dari segi pendataan dan pendokumentasian pemerintah provinsi Bengkulu masih banyak kendala yang dihadapi khususnya masalah pendanaan. Padahal tujuan dari pendataan dan pendokumentasian adalah untuk memberikan informasi tentang PTEBT yang ada pada masyaraka adat Lembak, sehingga data tersebut dapat digunakan sebagai referensi tentang apa saja yang perlu mendapat perlindungan sesuai dengan kekayaan yang ada pada masyarakat adat Lembak tersebut.

Setelah pendokumentasian didapatkan, barulah tahap perencanaan, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan dan pengawasan. Dari sini, perlu upaya meningkatkan kesadaran semua pihak (pemerintah, profesional, sektor swasta, dan masyarakat termasuk generasi muda) tentang pentingnya pelestarian melalui proses pendidikan (formal dan non-formal), pelatihan, kampanye publik, dan tindakan-tindakan persuasif lainnya. Serta meningkatkan kapasitas kelembagaan, mengembangkan sistem pengelolaan, serta membagi peran dan tanggung jawab secara adil yang melibatkan masyarakat agar upaya pelestarian dapat dilakukan dengan efektif dan sinergis. Selanjutnya menguatkan pengawasan, pengendalian, dan penegakan hukum melalui pengembangan peraturan perundangan, sistem peradilan, mekanisme yang jelas, adil, dan konsisten dengan melibatkan masyarakat.

Konsep pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan tradisional sangat erat kaitannya dengan daerah sebagai pemilik pengetahuan tradisional, sehingga pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota memegang tugas dan fungsi penting dalam pelestariannya.

Peran aktif pemerintah sangat penting khususnya dalam kegiatan identifikasi, inventarisasi, dokumentasi dan registrasi. Peran yang lain yang dimiliki oleh pemerintah adalah penetapan komunitas masyarakat adat tertentu (by address) sebagai pemilik hak kekayaan intelektual atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional tersebut.

Sampai saat ini, upaya dokumentasi PTEBT yang sudah terlihat dilakukan oleh pemerintah pusat hanyalah pada PTEBT Indonesia yang sudah mendunia seperti wayang, keris, dan batik. Sedangkan PTEBT yang belum mendunia hanya sampai pada proses pendokumentasian tidak dilanjutkan kepada pemerintah pusat dikarenakan terbentur masalah pendanaan, hal ini juga terjadi pada PTEBT masyarakat adat Lembak.

Sama pentingnya dengan perlindungan PTEBT, pemeliharaan dan pemanfaatan merupakan hal yang tidak kalah penting, apa yang akan dilindungi jika PTEBT masyarakat tradisional sudah punah atau tidak dipelihara lagi oleh masyarakat adat yang bersangkutan.

Berdasarkan hal tersebut diatas, perlu tindak lanjut dari pemerintah khususnya pemerintah provinsi Bengkulu untuk menindaklanjuti dalam pendataan, pendokumentasian dan regulasi, sehingga diharapkan kedepan dapat memberikan perlindungan, pemanfaatan dan pelestarian terhadap PTEBT masyarakat adat Lembak yang ada di provinsi Bengkulu. 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2002 tentang Sisnasiptek dinyatakan bahwa pemerintah daerah berfungsi menumbuhkembangkan motivasi, pertumbuhan serta sinergi unsur kelembagaan, sumber daya, dan jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi di wilayah pemerintahan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Pasal 20 ayat (1)). Dalam rangka melaksanakan fungsi tersebut, pemerintah daerah wajib merumuskan kerangka kebijakan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di daerahnya, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 20 ayat (2), (3), dan (4). Selanjutnya dalam Pasal 23 ayat 2 dalam Undang-Undang ini menyatakan bahwa: “Pemerintah menjamin perlindungan bagi pengetahuan dan kearifan lokal, nilai budaya asli masyarakat, serta kekayaan hayati dan non hayati di Indonesia” Dalam pasal ini, pemerintah menjamin perlindungan nilai budaya asli masyarakat namun tidak disertai pengaturan dan definisi yang jelas budaya asli masyarakat.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dari hasil penelitian, PTEBT masyarakat adat Lembak terdiri dari kesenian saraval anam yang disajikan disaat ada pesta perkawinan, aqiqah dan maulid Nabi Muhammad SAW. Tapan Ilim yang digunakan sebagai lambang adat, biasanya digunakan untuk menyambut tamu penting. Upacara adat Tamat kaji yang digelar dalam rangka ungkapan rasa syukur karena si anak sudah mampu membaca Al-Quran. Alat kesenian berikutnya adalah ceger, ceger merupakan alat musik pukul bagian dari alat musik pada berbagai acara ritual adat suku Lembak. Kesenian berikutnya adalah Barong Landong, Barong Landong adalah kesenian tradisional berwujud sepasang boneka manusia besar mengenakan pakaian pengantin tradisional Bengkulu beserta asesorisnya. Dari pakaian adat, dikenal dengan nama Baju Betabur, Baju Betabur adalah baju kurung atau kebaya panjang dasar kain beludru warna merah atau hijau tua dihiasi tempelan/taburan tabur penabur, tabur rendo, tabur karang patu, dan tabur salaguri yang berwarna kuning emas, digunakan pada pada waktu acara inai curi, akad nikah, bercampur (duduk bersanding dipelaminan) dan belarak (pengantin mengunjungi sanak keluarga). Sedangkan dari bahasa yang digunakan oleh masyarakat Lembak adalah bahasa Col. Dari bidang arsitektur, masyarakat adat Lembak mempunyai rumah adat tradisional yang dinamakan Rumah Tua Bubungan Lima.

B. Saran

1. Bagi pemerintah pusat dan daerah sangat perlu berperan aktif dalam kegiatan identifikasi, inventarisasi, dokumentasi dan registrasi. Peran yang lain yang dimiliki oleh pemerintah adalah penetapan komunitas masyarakat adat tertentu (by address) sebagai pemilik hak kekayaan intelektual atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.

2. Sedangkan bagi pemerintah provinsi Bengkulu untuk segera menindaklanjuti dalam proses pendataan, pendokumentasian dan regulasi, sehingga diharapkan kedepan dapat memberikan perlindungan, pemanfaatan dan pelestarian terhadap PTEBT masyarakat adat Lembak yang ada di provinsi Bengkulu. 


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Afrillyanna Purba, Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional Sebagai Sarana Pertumbuhan Ekonomi Indonesia,Alumni,Bandung, 2012

Agus Sardjono, Membumikan HKI di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, 2009

Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kemenkumham, Perlindungan Kekayaan Intelektual atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional Masyarakat Adat, Alumni, Bandung

Duane Hiebert dan Ken van Rees, Traditional Knowledge on Forestry Issues Within Deep Prince Albert Grand Counsil, Saskatchewen, 1998

Graham Dutfield, Intellectual Property Biogenetic Resources and Traditional Knowledge, Earthscan, London, 2004

HLSN. Kartadjoe Mena, GATT ,WTO dan Hasil Uruguay Round, UI Press, Jakarta,1997

Ok. Saidin, Aspek – Aspek Hak Kekayaan Intelektual, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003

_________, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Rights), RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013

Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual (Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia), Alumni,Bandung, 2003

HLSN. Kartadjoe Mena, GATT ,WTO dan Hasil Uruguay Round, UI Press, Jakarta,1997

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Kepmen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia No.M.03.PR.07.10 tahun 2000 dan Persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Surat No.24/M/PAN/1/2000

RUU Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (PTEBT)

Undang-Undang Nomor 18 tahun 2002 tentang Sisnasiptek

Jurnal, Makalah dan Seminar

Ashibly, Perlindungan Terhadap Permainan Tradisional (Folklor) Sebagai Karya Intelektual Warisan Bangsa di Era Globalisasi, Majalah Keadilan Fakultas Hukum Unihaz, Volume 13 Nomor 2 Desember 2013

Modul Workshop Haki, Menjamin Hak Kekayaan Intelektual Melalui

Penelitian Sentra Haki dalam Mewujudkan Masyarakat Kreatif dan Inovatif, UMY,2000

Nugroho Amin S, Eksistensi Hak Kekayaan Intelektual Dalam Lingkup Hukum Bisnis, Bahan Penataran Dosen Hukum Perdata dan Ekonomi Fakultas Hukum UGM, Jogjakarta, 2000



Internet



http://www.yayasanlembak.com/2008/05/upacara-adat-tamat-kaji-pada-suku.html

http://www.yayasanlembak.com/2008/05/upacara-adat-tamat-kaji-pada-suku.htm

https://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Col

Harianrakyatbengkulu.com/ver3/2015/02/05/rumah-tua-bubungan-lima-yang-nyaris-punah-sudah-ada-sejak-tahun-1916-bubungan-ditulis-doa-doa/ 
http://pariwisata.rejanglebongkab.go.id/sejarah-dan-asal-usul-suku-lembak/
Indonesia’s Population:Etnicity&Religion in a Changing Political Landscape.Institute of Southeast Asian Studies, 2003

FOOTNOTE: 

[1]Ok.Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Rights), RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, Hlm 9 

[2] Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual (Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia), Alumni,Bandung, 2003,Hlm 2 

[3]Agus Sardjono, Membumikan HKI di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, 2009, Hlm 160 

[4] Afrillyanna Purba, Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional Sebagai Sarana Pertumbuhan Ekonomi Indonesia,Alumni,Bandung, 2012, Hlm 90-91 

[5] Ibid, Hlm 95 


[6] Ibid, Hlm 4-5 


[7] Lihat RUU yang dikeluarkan oleh Kemenkumham di www.djpp.kemenkumham.go.id 


[8] Indonesia’s Population:Etnicity&Religion in a Changing Political Landscape.Institute of Southeast Asian Studies.2003 


[9] http://pariwisata.rejanglebongkab.go.id/sejarah-dan-asal-usul-suku-lembak/ 

[10] Nugroho Amin S, Eksistensi Hak Kekayaan Intelektual Dalam Lingkup Hukum Bisnis, Bahan Penataran Dosen Hukum Perdata dan Ekonomi Fakultas Hukum UGM, Jogjakarta, 2000, Hlm 1 

[11] Ok.Saidin, Aspek – Aspek Hak Kekayaan Intelektual, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, Hlm 9 

[12] Ibid. Hlm 10 

[13] Modul Workshop Haki, Menjamin Hak Kekayaan Intelektual Melalui Penelitian Sentra Haki dalam Mewujudkan Masyarakat Kreatif dan Inovatif, UMY,2000, Hlm. 1. 

[14] Ok.Saidin ,Op Cit, Hlm 13 

[15]Ibid, Hlm 27 

[16]HLSN. Kartadjoe Mena, GATT ,WTO dan Hasil Uruguay Round, UI Press, Jakarta,1997, Hlm 253 – 276 

[17]Graham Dutfield, Intellectual Property Biogenetic Resources and Traditional Knowledge, Earthscan, London, 2004, Hlm 91 


[18] Duane Hiebert dan Ken van Rees, Traditional Knowledge on Forestry Issues Within Deep Prince Albert Grand Counsil, Saskatchewen, 1998, Hlm 3 

[19] Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kemenkumham, Perlindungan Kekayaan Intelektual atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional Masyarakat Adat, Alumni, Bandung, 2013, Hlm 23 

[20] Ibid, Hlm 18-19 

[21] Ibid, Hlm 19 

[22] http://www.yayasanlembak.com/2005/06/kesenian-saraval-anam.html 

[23] http://www.yayasanlembak.com/2005/06/tapan-ilim.html 

[24] http://www.yayasanlembak.com/2008/05/upacara-adat-tamat-kaji-pada-suku.html 

[25] http://www.yayasanlembak.com/2008/05/upacara-adat-tamat-kaji-pada-suku.html 

[26] https://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Col 

[27] Harianrakyatbengkulu.com/ver3/2015/02/05/rumah-tua-bubungan-lima-yang-nyaris-punah-sudah-ada-sejak-tahun-1916-bubungan-ditulis-doa-doa/ 

[28] Ashibly, Perlindungan Terhadap Permainan Tradisional (Folklor) Sebagai Karya Intelektual Warisan Bangsa di Era Globalisasi, Majalah Keadilan Fakultas Hukum Unihaz, Volume 13 Nomor 2 Desember 2013, Hlm 9 


[29] Ibid, Hlm 10