Minggu, 26 Mei 2013

PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT


PENGECUALIAN PENERAPAN UNDANG – UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT TERHADAP PERJANJIAN YANG BERKAITAN DENGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

A s h i b l y

Abstract

One of the excluded is concerning agreements relating to intellectual property rights (IPR), as expressed in Article 50 point b that is exempt from the provisions of Law No. 5 of 1999 is: "The agreement relating to intellectual property rights such as licenses , patents, trademarks, copyrights, industrial designs, integrated electronic circuits, and trade secrets, as well as an agreement relating to the franchise ".
Key Word : Antitrust Exemption


I. LATAR BELAKANG 

Pembangunan ekonomi pada pembangunan jangka panjang pertama telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat. Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai selama pembangunan jangka panjang pertama, yang ditunjukan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi masih banyak pula tantangan atau persoalan, khususnya dalam pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan, seiring dengan adanya kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990an ( Destivano Wibiwo dan Harjon Sinaga, 2005 : 146).

Dalam dasawarsa terakhir, seiring dengan perdagangan bebas dan globalisasi informasi dan komunikasi, tak pelak lagi issue keberadaan sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut “HKI”) yang berkaitan erat dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan industri dan kelancaran perdagangan dunia merupakan suatu permasalahan yang teramat penting yang eksistensinya telah diakui secara global (Siti Anisah, 2010 :39).

Pada sisi lain, rezim hukum persaingan usaha berbicara tentang perlindungan terhadap iklim berkompetisi yang fair guna terbukanya peluang ekonomi, inovasi, dan kesempatan berusaha bagi semua pihak.

Rezim hukum HKI adalah landasan hukum yang memberikan hak eksklusif bagi pemegang haknya untuk mengeksploitasi sendiri dan melarang pihak lain untuk mengekploitasi objek HKI yang dimilikinya. Hak eksklusif tersebut sering dimaknai oleh sebagian orang sebagai suatu bentuk hak untuk melakukan monopoli. Dalam hukum persaingan usaha, monopoli harus diartikan sebagai penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.

Pengertian tersebut berbeda dengan “praktek monopoli” yang harus diartikan sebagai pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Hukum persaingan usaha secara jelas mengatur bahwa kegiatan monopoli bukanlah suatu hal yang dilarang dan yang dilarang adalah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.

Gagasan untuk menerapkan Undang – undang Antimonopoli ( UUA) dan mengharamkan kegiatan pengusaha yang curang telah dimulai sejak 50 (lima puluh) tahun sebelum masehi ( Insan Budi Maulana, 2000 : 239 ). 

Bahkan dalam Al-Qur’an prinsip - prinsip perilaku pengusaha yang harus bersikap jujur dan mencegah persaingan curang juga diatur. Umpamanya, Allah berfirman :Tegakkanlah timbangan itu dengan adil, dan janganlah kamu mengurangi timbangan ( Ar-Rahman [55] : 9. Dalam ayat lain, Allah pun berfirman : Hai kaumku ! Cukupkanlah sukatan dan timbangan dengan lurus, dan janganlah kamu kurangi hak – hak manusia dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi dengan membuat bencana (Hud [11]: 85)

Pemikiran untuk memiliki dan menerapkan Undang – undang Antimonopoli (UUA) sebenarnya, telah dimulai ketika Indonesia menerapkan Undang - undang No.5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. Pasal 7 ayat ( 2 ) dan ayat ( 3 ) menyatakan bahwa Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industri untuk menciptakan persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur, mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.

Undang – undang No. 5 Tahun 1999 ini lahir dalam ephoria reformasi yang anti monopoli. Tujuan Undang – undang ini, seperti dimana – mana saja, untuk memelihara proses persaingan. Selain efisiensi ekonomi, tujuan lainnya melindungi usaha kecil, memelihara keadilan dan kejujuran. KPPU bertugas mengawasi jalan nya Undang – undang ini ( Erman Rajagukguk, 2010 : 8 ).

Pemberlakuan Undang - undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat untuk kalangan pelaku usaha ternyata tidak bersifat memaksa. Hal ini dapat terlihat dalam Pasal 50 yang memuat pengecualian - pengecualian pemberlakukan Undang - undang tersebut. Adapun pengecualian (Exemption) dalam ketentuan tersebut adalah berkaitan dengan sejumlah perjanjian atau perbuatan.

Salah satu perjanjian atau perbuatan yang dikecualikan berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang - undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat adalah perjanjian yang berkaitan dengan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual seperti Lisensi, Paten, Merek dagang, Hak cipta, Desain Produk Industri, Rangkaian Elektronika terpadu dan Rahasia Dagang serta Perjanjian yang berkaitan dengan Waralaba.

Secara tersurat Undang - undang memang mengatur pengecualian larangan monopoli berkaitan perjanjian hak kekayaan intelektual tersebut namun detail serta teknis perjanjian Hak atas kekayaan intelektual yang bagaimanakah yang dikecualikan dalam Undang-undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat. Oleh Karena itu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai suatu lembaga independen yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tersebut, mengeluarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia No. 2 Tahun 2009 tentang Pengecualian penerapan Undang -undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap perjanjian yang berkaitan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual yang bertujuan memberikan pedoman yang jelas tentang perjanjian yang berkaitan dengan Hak atas kekayaan intelektual yang bagaimanakah yang di kecualikan oleh Undang-undang No.5 Tahun 1999.

II. PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas maka akan dibahas tentang perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual yang bagaimanakah yang di kecualikan oleh Undang - undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat Terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual?

III. PEMBAHASAN 

Pengecualiaan penerapan Undang - undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual yang dibentuk oleh KPPU sebagai tindak lanjut Pasal 50 butir b Undang - undang No 5 Tahun 1999.

Istilah Monopoli berasal dari kata Yunani yakni Monos dan Polein yang dapat diartikan sebagai Penjual Tunggal ataupun Penjual sendiri. Disamping istilah monopoli, di USA sering digunakan “antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau “dominasi” yang dipakai oleh masyarakat Eropa yang juga sepadan dengan istilah ”monopoli”. (Munir Fuadi : 4 )

Pengertian monopoli menurut Black Law Dictionary adalah Monopoly is a privilege or peculiar advantage vested in one or more persons or companies consisting in the exclusive right ( or power ) to carry on a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the whole supply of a particular commodity. A form of market structure in which one or only a few dominate the total sales of product or service ( Mustafa Kamal Rokan, 2010: 7 ).

Di Indonesia, Monopoli ini diartikan sebagai penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Pengertian monopoli tersebut dibedakan dengan Pengertian praktek monopoli sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 butir 2 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 sebagai pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Hal tersebut menurut Pasal 17 Undang - undang tersebut adalah dilarang sebagaimana disebutkan:

(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. barang atau jasa yang bersangkutan belum ada subsitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Namun ternyata tidak semua monopoli adalah dilarang. Dalam Pasal 50 dan Pasal 51 dicantumkan perjanjian atau perbuatan apa saja yang dikecualikan (exemption) dari ketentuan berlakunya Undang - undang ini. Salah satu yang dikecualikan adalah berkenaan perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual (HKI), sebagaimana diungkapkan dalam Pasal 50 huruf b bahwa yang dikecualikan dari ketentuan Undang-undang No 5 Tahun 1999 adalah: ” Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri,rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba ”.

Pengecualian berkaitan HKI tersebut dalam Undang - undang No.5 Tahun 1999 tidak diatur secara jelas, mengingat dalam penjelasannya diterangkan sudah cukup jelas. Bagaimana ketentuan secara teknisnya pun tidak diuraikan secara detail oleh peraturan-peraturan dibawahnya. Sehingga tampak perjanjian HKI sebagaimana disebutkan adalah dikecualikan oleh Undang-undang No.5 Tahun 1999. Dengan Pemahaman tersebut, maka pengecualian HKI dari aturan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat seperti dalam Undang - undang Nomor 5 Tahun 1999, pada dasarnya hanya tepat sejauh terbatas pada “kodrat” HKI itu sendiri, dan kegiatan tertentu dalam perjanjian pemanfaatan HKI yang tidak menimbulkan hambatan atau gangguan terhadap iklim persaingan ( Bambang Kesowo, 2010 : 11 ).

Oleh Karena kekurang jelasan ketentuan Undang - undang, Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU) sebagai suatu lembaga independen yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang - undang No. 5 Tahun 1999 tersebut, mengeluarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia No. 2 Tahun 2009 tentang Pengecualian penerapan Undang - undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual, yang digunakan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 huruf b.

Adapun Pedoman yang disusun oleh KPPU tersebut dimaksudkan agar terdapat kesamaan penafsiran terhadap masing - masing unsur dalam Pasal 50 huruf b, sehingga terdapat kepastian hukum dan dapat dihindari terjadinya kekeliruan atau sengketa dalam penerapannya. Selain itu dengan adanya pedoman diharapkan pula bahwa Pasal 50 huruf b dapat senantiasa diterapkan secara konsisten, tepat dan adil dalam sengketa yang berkaitan dengan Pasal tersebut. 

Di dalam pedoman yang dibuatnya, KPPU berusaha menjelaskan hal-hal yang memungkinkan adanya perbedaan interpretasi, yakni dalam hal hubungannya dengan penyebutan istilah lisensi yang diikuti istilah paten, merek dagang dan sebagainya, dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah perjanjian yang berkaitan dengan dengan hak kekayaan intelektual yang dimaksud dalam Pasal 50 huruf b adalah perjanjian lisensi yang berada dalam lingkup hak paten, hak merek, hak cipta, hak desain industri, hak desain tata letak sirkuit terpadu, dan hak rahasia dagang. Di dalam pedomannya KPPU juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan merek dagang adalah tidak hanya merek dagang saja tetapi termasuk juga merek jasa. Selain itu dijelaskan pula bahwa istilah rangkaian elektronik terpadu hendaknya dimaknai sebagai desain tata letak sirkuit. Tidak hanya sampai disitu saja, dengan adanya pedoman tersebut dijelaskan juga mengenai hubungan keberadaan rezim hukum HKI dan hukum persaingan usaha yang sering dipandang sebagai hal yang bertolak belakang. KPPU dengan pedomannya menjelaskan bahwa keberadaan keduanya hendaknya dipandang sebagai ketentuan hukum yang bersifat komplementer atau saling mengisi untuk keharmonisan sistem hukum nasional Indonesia. Adapun kedua rezim hukum tersebut mempunyai kesamaan tujuan yaitu untuk memajukan sistem perekonomian nasional di era perdagangan bebas dan globalisasi, mendorong inovasi dan kreatifitas, serta untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pedoman yang dibuat oleh KPPU juga menjelaskan bahwa adanya suatu hak eksklusif tidak berarti secara otomatis telah terjadi praktek monopoli pasar. Adapun pengecualian perjanjian lisensi HKI dari ketentuan hukum persaingan usaha hanya dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan asas dan tujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, kemudian dibagian penjelasan diungkapkan konteks dapat dilakukannya pengecualian yakni : 
Bahwa perjanjian lisensi tidak secara otomatis melahirkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. 
Bahwa praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang timbul akibat pelaksanaan perjanjian lisensi adalah kondisi yang hendak dicegah melalui hukum persaingan usaha. 
Bahwa untuk memberlakukan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan perjanjian lisensi HKI haruslah dibuktikan: (1) perjanjian lisensi HKI tersebut telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam perundang-undangan HKI, dan (2) adanya kondisi yang secara nyata menunjukan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. 
Bahwa pengecualian dari ketentuan hukum persaingan usaha terhadap perjanjian lisensi HKI hanya diberlakukan dalam hal perjanjian lisensi HKI yang bersangkutan tidak menampakan secara jelas sifat anti persaingan usaha. 

Selain itu Pedoman yang dibuat oleh KPPU berusaha menjelaskan secara detail apa yang berkaitan dengan pengecualian atas perjanjian lisensi Hak Kekayaan Intelektual, meskipun hal tersebut menimbulkan pemikiran lain bagi orang awam. Namun bagaimanapun banyak sedikit adanya pedoman tersebut telah berusaha menjelaskan atau membuat makna sebagaimana yang diungkapkan dalam Pasal 50 huruf b menjadi semakin jelas, meskipun pada akhirnya KPPU pula lah yang berkompetensi untuk menilainya. Adapun kejelasan pedoman tersebut ditambah pula dengan diberikan contoh-contoh berkenaan kasus yang berhubungan dengan konteks pengecualian tersebut.


IV. PENUTUP

Dapat disimpulkan bahwa ternyata tidak semua monopoli adalah dilarang. Dalam Pasal 50 dan Pasal 51 dicantumkan perjanjian atau perbuatan apa saja yang dikecualikan (exemption) dari ketentuan berlakunya Undang - undang ini. Salah satu yang dikecualikan adalah berkenaan terhadap perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual (HKI), sebagaimana diungkapkan dalam Pasal 50 huruf b bahwa yang dikecualikan dari ketentuan Undang-undang No 5 Tahun 1999 adalah: ” Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri,rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba”.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku 

Destivano Wibiwo dan Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, Rajawali Pers, Jakarta, 2005
Erman Rajagukguk, Yustisia Negara dan Masyarakat, Jurnal Nasional
Insan Budi Maulana, Pelangi HKI dan Anti Monopoli, PSH FH UII Jogjakarta, 2000
Munir Fuadi, Hukum anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat,: Citra Aditya Bakti, Bandung
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha ( Teori dan Praktiknya di Indonesia ), Rajawali Pers, Jakarta, 2010

B. Bahan ajar, makalah

Siti Anisah, Draft & Pedoman Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Bahan Ajar Hukum Persaingan Usaha, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2010

Bambang Kesowo, “HKI dan Persaingan Usaha di era AFTA 2010”, (Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional tentang HKI dan Persaingan Usaha di Era AFTA 2010 di Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, Februari 2010)

C. Peraturan perundang - undangan 

Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat










Senin, 14 Januari 2013

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN



A. Subyek Pajak

Yang menjadi Subyek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/ atau bangunan. Subyek Pajak sebagaimana tersebut di atas yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

B. Obyek Pajak

Yang menjadi Obyek Pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi:

1. Pemindahan hak karena:

a. jual beli;

b. tukar-menukar;

c. hibah;

d. hibah wasiat;

e. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;

f. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

g. penunjukan pembeli dalam lelang;

h. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

i. hadiah.

2. Pemberian hak baru karena:

a. kelanjutan dari pelepasan hak;

b. di luar pelepasan hak;

c. hak atas tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan.

C. Obyek Pajak yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah :

1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan perlakuan timbal balik;

2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;

3. Badan atau perwakilan organisasai internasional yang ditetapkan oleh Menteri;

4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;

5. Karena wakaf;

6. Karena warisan;

7. Digunakan untuk kepentingan ibadah.

D. Subyek Pajak

Adalah orang pribadi atau badan hukum yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subyek pajak yang dikenakan kewajiban menjadi Wajib Pajak menurut UU.

E. Dasar Pengenaan Pajak

Dasar pengenaan pajak adalah NPOP (Nilai Perolehan Obyek Pajak)

NPOP untuk berbagai jenis perolehan objek pajak ditentukan sebagai berikut:

a. Jual Beli adalah Harga Transaksi

b. Tukar Menukar adalah Nilai pasar

c. Hibah adalah Nilai Pasar

d. Hibah wasiat adalah Nilai Pasar.

e. Waris adalah Nilai Pasar.

f. Pemasukan dalam perseroan/badan hukum lainnya adalah Nilai Pasar.

g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah Nilai Pasar.

Apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, maka dasar pengenaan BPHTB adalah NJOP PBB

F. Tarif Pajak

Tarif pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah tarif tunggal sebesar 5 %.

G. NPOP Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)

Ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 60.000.000,00 kecuali dalam hak perolehan karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajad ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan paling banyak Rp. 300.000.000,-

H. Cara Perhitungan Pajak

Besarnya Pajak terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak 5% dengan Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Besarnya NPOPTKP adalah NPOP – NPOPTKP apabila NPOP lebih rendah dari NJOP PBB tahun terjadinnya transaksi, atau bila NPOP tidak diketahui, maka dasar pajaknya adalah NJOP PBB.


BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) x Tarif

BPHTB = NPOPKP x Tarif

Atau

Bila NJOP digunakan sebagai dasar pengenaan :


BPHTB = (NJOP – NPOPTKP) x Tarif

BPHTB = NPOPKP x Tarif


Peraturan Pelaksanaan tentang tata cara Pengenaan BPHTB :

1. PP RI No. 111 tahun 2000 tentang pengenaan BPHTB karena waris dan Hibah wasiat, bahwa ;
BPHTB yang terhutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terhutang.
Saat terhutangnya pajak sejak yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor pertanian Kabupaten/Kota.

2. Peraturan pemerintah No. 112 tahun 2000 tentang pengenaan BPHTB karena pemberian Hak pengelolaan, bahwa :
Penerima Hak pengelolaan oleh departemen, lembaga departemen, lembaga Pemerinta, Non departemen, Pemda Propinsi, Pemda Kab/Kota, lembaga pemerintah lainnya, Perum perumnas ditetapkan sebesar 0%.
Penerima Hak pengelolaan selain yang disebutkan diatas ditetapkan sebesar 50%.

3. PP RI No. 113 tahun 2000 tentang penentuan besarnya NPOP TKP BPHTB, bahwa :
NPOP TKP ditetapkan secara regonal paling banyak Rp. 60.000.000,- kecuali dalam hal perolehan hak karena waris atau hibab wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam keturunan garis lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibab wasiat, termasuk suami, istri, ditetapkan secara regional paling banyak Rp.300.000.000,-
Besarnya NPOP TKP ditetapkan oleh mentri keuangan untuk setiap kabupaten/kota dengan mempehatikan usulan pemerintah Daerah. NPOP TKP tersebut dapat diubah dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian regional.


Contoh
Wajib Pajak A membeli sebidang tanah di Kota Malang seharga Rp. 100 juta, NJOP PBB pada tahun terjadinya transaksi adalah Rp.95 juta. Jika NJOPTKP kota Malang atas transaksi tersebut sebesar Rp. 60 juta, maka tentukan BPHTB yang terutang atas perolehan hak Tersebut !

Jawab :

NPOP           = Rp. 100.000.000,-

NPOPTKP    = Rp. 60.000.000,-

NPOPKP      = Rp. 40.000.000,-

BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) x Tarif

BPHTB = NPOPKP x Tarif



BPHTB Terhutang = (100.000.000 – 60.000.000) x 5%

= Rp. 40.000.000 x 5%

= Rp. 2.000.000,-

Contoh 2
Seorang anak memperoleh warisan dari ayahnya dengan nilai pasar Rp. 500.000.000,- NJOP yang tercantum dalam SPPT Rp. 800.000.000,-. NPOP TKP Rp. 300.000.000,- Berapa Besarnya BPHTB nya?

Jawab :

NPOP                  = Rp. 800.000.000,-

NPOP TKP         = Rp. 300.000.000,-

NPOP KP           = Rp. 500.000.000,-

BPHTB yang seharusnya terhutang = 5% x Rp. 500.000.000 = Rp. 25.000.000,-

BPHTB Terhutang = 50% x Rp. 25.000.000,- = Rp. 12.500.000,-

Pajak Bumi dan Bangunan



A. DASAR HUKUM DAN ASAS

Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan adalah Undang – undang Nomor 12 tahun 1994. Sedangkan asas dari Pajak Bumi dan Bangunan adalah :

1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan

2. Adanya kepastian hukum

3. Mudah dimengerti dan adil

4. Menghindari pajak berganda.


B. NILAI JUAL OBJEK PAJAK

Nilai Jual Objek Pajak ( NJOP ) adalah harga rata – rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak Pengganti.

Besarnya NJOP ditentukan berdasarkan klasifikasi :

1. Objek pajak sektor Pedesaan dan Perkotaan

2. Objek pajak sektor perkebunan

3. Objek pajak sektor kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan, Hak Perusahaan Hasil Hutan, Izin Pemanfaatan Kayu serta Izin Sah lainnya selain Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri

4. Objek pajak sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri

5. Objek pajak sektor pertambangan minyak dan gas bumi

6. Objek pajak sektor pertambangan energi panas bumi

7. Objek pajak sektor pertambangan Non Migas selain pertambangan energi panas bumi dan Galian C

8. Objek pajak sektor Pertambangan Non Migas galian C

9. Objek pajak sektor pertambangan yang dikelola berdasarkan Kontrak Karya atau Kontrak Kerjasama

10. Objek pajak usaha bidang perikanan laut

11. Objek pajak usaha bidang perikanan darat

12. Objek pajak yang bersifat khusus.

C. OBJEK PAJAK

Yang dimaksud objek pajak adalah bumi dan atau bangunan.

Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor – faktor sebagai berikut :

a. Letak

b. Peruntukan

c. Pemanfaatan

d. Kondisi lingkungan dan lain – lain

Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor – faktor sbb :

a. Bahan yang digunakan

b. Rekayasa

c. Letak

d. Kondisi lingkungan dan lain – lain.

Pengecualian obejk pajak adalah sebagai berikut :

a. Digunakan semata – mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan, antara lain :

1. Di bidang ibadah, contoh masjid, gereja, vihara

2. Di bidang kesehatan, contoh rumah sakit

3. Di bidang pendidikan, contoh madrasah, pesantren

4. Di bidang sosial, contoh panti asuhan

5. Di bidang kebudayaan nasional, contoh museum, candi.

b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu

c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak

d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik

e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

Besarnya Nilai jual objek pajak tidak kena pajak ( NJOPTKP ) ditetapkan untuk masing – masing Kabupaten/Kota dengan besar stinggi – tingginya Rp.12.000.000.00 untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak mempunyai beberapa objek pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar, sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.

Contoh :

a. Seorang wajib pajak mempunyai objek pajak berupa bumi dengan nilai Rp.4000.000.00 dan besarnya NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut adalah Rp.6000.000.00. karena NJOP berada di bawah batas NJOPTKP ( Rp.6000.000.00 ), maka objek pajak tersebut tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.

b. Seorang wajib pajak mempunyai objek pajak berupa bumi dan bangunan di Desa A dan Desa B dengan nilai sebagai berikut :

Desa A

NJOP Bumi                             Rp.13.000.000.00

NJOP Bangunan                       Rp. 9.000.000.00

Desa B

NJOP Bumi                              Rp. 8.000.000.00

NJOP Bangunan                       Rp. 10.000.000.00

Dan NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut adalah Rp.10.000.000.00.

Dengan data tersebut di atas, maka NJOP untuk perhitungan PBB nya sbb:

Langkah pertama adalah mencari NJOP dari dua desa terebut yang mempunyai nilai paling besar, yaitu Desa A. Maka NJOP untuk perhitungan PBB adalah :

NJOP Bumi                                         Rp.13.000.000.00

NJOP Bangunan                                  Rp.9.000.000.00

NJOP sebagai dasar pengenaan PBB   Rp.22.000.000.00

NJOPTKP                                           Rp. 10.000.000.00

NJOP untuk penghitungan PBB            Rp. 12.000.000.00


Kemudian untuk Desa B :

NJOP untuk penghitungan PBB:

NJOP Bumi                                            Rp. 8.000.000.00

NJOP Bangunan                                    Rp. 10.000.000.00

NJOP sebagai dasar pengenaan PBB       Rp.18.000.000.00

NJOPTKP                                                               0,00

NJOP untuk penghitungan PBB                Rp. 18.000.000.00


D. SUBJEK PAJAK

Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.

E. TARIF PAJAK

Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5%.

Dalam menetapkan nilai jual, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota ( Pemerintah Daerah ) setempat serta memperhatikan asas Self Assessment. Yang dimaksud assessment value adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya.

Contoh :

1. Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp.2.000.000.00, persentase misalnya 20%, maka besarnya = 20% x Rp.2.000.000.00 = Rp. 400.000.00

Untuk menentukan besarnya NJKP, maka telah ditetapkan persentase sbb :

1. Sebesar 40% dari NJOP untuk :

a. Objek pajak perkebunan

b. Objek pajak kehutanan

c. Objek pajak lainnya, yang wajib pajaknya perorangan dengan NJOP atas bumi dan bangunan sama atau lebih besar dari Rp.1.000.000.000.00

2. Sebesar 20% dari NJOP untuk :

a. Objek pajak pertambangan

b. Objek pajak lainnya yang NJOP nya kurang dari Rp.1.000.000.000.00


F. CARA MENGHITUNG PAJAK


Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif Pajak x NJKP

           = 0,5 % x [ Persentase NJKP x ( NJOP – NJOPTKP ) ]


Contoh :

Wajib pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOP nya Rp.20.000.000.00 dan NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp.12.000.000.00, maka besarnya pajak yang terutang adalah :

= 0,5 % x 20 % x ( Rp.20.000.000.00 – Rp.12.000.000.00 )

= Rp. 8.000.00

Minggu, 13 Januari 2013

BEA MATERAI



Bea materai adalah pajak atas dokumen. Sedangkan dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan, atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak – pihak yang berkepentingan.

A. DASAR HUKUM

Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Materai.

B. PRINSIP UMUM PEMUNGUTAN ATAU PENGENAAN BEA MATERAI

1. Bea materai dikenakan atas dokumen ( merupakan pajak atas dokumen )

2. Satu dokumen hanya terutang satu Bea materai

3. Rangkap/tindasan ( yang ikut ditandatangani ) terutang Bea materai sama dengan aslinya.

C. TARIF BEA MATERAI Rp.6000.00 DIKENAKAN ATAS DOKUMEN

1. a. Surat perjanjian dan surat – surat lainnya ( antara lain : surat kuasa, surat hibah, dan surat pernyataan ) yang dibuat dengan tujuan digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.

a. Akta – akta Notaris termasuk salinannya

b. Akta – akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ) termasuk rangkap – rangkapnya.

c. Surat yang memuat jumlah yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp.1000.000.00 :

§ Yang menyebutkan penerimaan uang

§ Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank

§ Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank

§ Yang berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi atau diperhitungkan.

d. Surat – surat berharga seperti : wesel, promes, dan askep yang harga nominalnya lebih dari Rp. 1000.000.00

e. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp.1000.000.00

2. Dokumen – dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian dimuka pengadilan :

a. Surat – surat biasa dan surat – surat kerumahtanggaan

b. Surat – surat yang semula tidak dikenakan Bea materai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan untuk orang lain, lain dari maksud semula.

D. TARIF BEA MATERAI Rp.3000.00 DIKENAKAN ATAS DOKUMEN

1. Surat yang memuat jumlah uang yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp.250.000.00 tetapi tidak lebih dari Rp.1000.000.00

Ø Yang menyebutkan penerimaan uang

Ø Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank

Ø Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank

Ø Yang berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi atau diperhitungkan.

2. Surat – surat berharga seperti : wesel, promes dan askep yang harga nominalnya lebih dari Rp.250.000.00 tetapi tidak lebih dari Rp.1000.000.00

3. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp.250.000.00 tetapi tidak lebih dari Rp.1000.000.00

4. Cek dan bilyet giro dengan harga nominal berapapun.

E. YANG TIDAK DIKENAKAN BEA MATERAI

1. Dokumen yang berupa :

a. Surat penyimpanan barang

b. Konosemen

c. Surat angkutan penumpang dan barang

d. Keterangan pemindahanyang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c

e. Pembuktian pengiriman dan penerimaan barang

f. Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim

g. Surat – surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat – surat tersebut di atas.

2. Segala bentuk ijasah. Yang termasuk dalam pengertian ini adalah Surat Tanda Tamat Belajar ( STTB ), tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti suatu pendidikan, latihan, kursus, dan penataran.

3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat – surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.

4. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, dan bank

5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari kas negara, kas pemerintah daerah, dan bank

6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi

7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan – badan lainnya yang bergerak dibidang tersebut

8. Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian

9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.















PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA SERTA PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH



Apabila dilihat dari sejarahnya, Pajak Pertambahan Nilai merupakan pengganti dari Pajak Penjualan. Alasan pengganti ini karena Pajak Penjualan dirasa sudah tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak.

A. DASAR HUKUM

Diatur dengan Undang – undang Nomor 42 tahun 2009.

B. OBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

PPn dikenakan atas :

1. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. Syarat – syarat nya adalah :

§ Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP;

§ Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak berwujud;

§ Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean;

§ Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

2. Impor BKP;

3. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. Syarat – syaratnya adalah :

§ Jasa yang diserahkan merupakan JKP;

§ Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean;

§ Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

6. Ekspor BKP Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

7. Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

8. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain;

9. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang pajak masukannya tidak dapat dikreditkan.

C. PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ( PPn BM )

Dengan pertimbangan bahwa :

1) Perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi,

2) Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah,

3) Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional,

4) Perlu untuk mengamankan penerimaan negara.

Batasan suatu barang termasuk BKP yang tergolong Mewah adalah :

1) Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok;

2) Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;

3) Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; dan/atau ;

4) Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukan status.

1. DASAR PENGENAAN PAJAK

Untuk menghitung besarnya pajak ( PPn dan PPn BM ) yang terutang perlu adanya Dasar Pengenaan Pajak ( DPP ). Yang menjadi DPP Adalah :

a. Harga jual

b. Penggantian

c. Nilai impor

d. Nilai ekspor

e. Nilai lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

2. TARIF

a. Tarif Pajak Pertambahan Nilai

Tarif PPn yang berlaku saat ini adalah 10%. Sedangkan tarif PPn sebesar 0% diterapkan atas :

1). Ekspor BKP Berwujud;

2). Ekspor BKP Tidak Berwujud;

3). Ekspor JKP.

b. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

Paling rendah 10% dan paling tinggi 200%.

3. CARA MENGHITUNG PPN

PPN = Dasar Pengenaan Pajak X Tarif Pajak


Contoh :

Pengusaha kena pajak “A” menjual Tunai BKP kepada Pengusaha Kena Pajak “B” dengan harga jual Rp. 25.000.000.00-.PPN Terutang:

10% x Rp.25.000.000.00 = Rp. 2.500.000.00

PPN sebesar Rp.2.500.000.00- tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “A”. Sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak “B” PPN tersebut merupakan Pajak Masukan.

4. CARA MENGHITUNG PPn BM

PPN BM = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak

Contoh :

PKP “ABC” sebagai pabrikan menyerahkan barang hasil produksinya dengan harga jual Rp. 10.000.000.00-. Barang tersebut merupakan BKP yang tergolong mewah dengan tarif PPn BM sebesar 40%. Penghitungan pajak yang harus dipungut adalah sebagai berikut :

PPN = 10% X Rp. 10.000.000.00-       = Rp. 1000.000.00-

PPn BM = 40% X Rp. 10.000.000.00- = Rp. 4.000.000.00-