Minggu, 26 Mei 2013

PERSEROAN TERBATAS

Akibat Hukum Pendirian Perseroan Terbatas oleh Suami Istri dalam Suatu Perkawinan Tanpa  Adanya Perjanjian Kawin Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
A. Latar Belakang 

Berbagai bentuk perusahaan yang hidup di Indonesia, seperti firma, persekutuan komanditer, koperasi dan lain sebagainya, bentuk perusahaan PT merupakan bentuk yang paling lazim, bahkan sering dikatakan bahwa PT merupakan bentuk perusahaan yang dominan. Dominasi PT tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Amerika Serikat dan negara-negara lain. 

Terkait dengan hal tersebut, Cheeseman menyatakan corporations are the most dominant form of business organization in the United States, generating over 85 percent of the country’s gross business receipts.[1] PT sangat menarik minat investor atau penanam modal untuk menanamkan modalnya, bahkan PT sudah menarik hampir seluruh perhatian dunia usaha pada tahun-tahun belakangan ini dikarenakan oleh perkembangan haknya dalam hidup perekonomian di banyak negara. Dengan dominasi yang besar di Indonesia, PT telah ikut meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia, baik melalui Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), sehingga PT merupakan salah satu pilar perekonomian nasional. 

Istilah Perseroan terbatas ( PT ) yang digunakan dewasa ini, dulunya dikenal dengan istilah ( Naamloze Vennootschap disingkat NV ). Bagaimana asal muasal digunakannya istilah Perseroan Terbatas dan disingkat dengan PT tidak dapat ditelusuri.[2] Istilah Perseroan Terbatas terdiri dari dua kata, yakni perseroan dan terbatas. Perseroan merujuk kepada modal PT yang terdiri dari sero –sero atau saham – saham. Kata terbatas merujuk kepada tanggung jawab pemegang saham yang luasnya hanya terbatas pada nilai nominal semua saham yang dimiliknya.[3]

Perseroan Terbatas semula diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau wetboek van koophandel (WvK), yang hanya mengatur tentang prosedur pendirian, pengurusan, tanggung jawab, dan pembubaran. Dalam KUHD tidak diatur tentang apa yang dimaksud dengan Perseroan Terbatas, status badan hukum, dan aturan lain yang relevan. 

Kemudian dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas yang diundangkan tanggal 7 maret 1995. Dengan berlakunya Undang-Undang tersebut, ketentuan-ketentuan dalam KUHD yang mengatur tentang Perseroan Terbatas, dinyatakan tidak berlaku, khususnya buku kesatu title ketiga bagian ketiga Pasal 36 sampai dengan 56.[4]

Seiring dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat yang berkembang sedemikian pesat, khususnya pada era globalisasi, di samping itu, dengan meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum serta tuntutan akan perkembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (Good Coorporate Governance), sehingga pada tanggal 16 Agustus 2007 diundangkan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. 

Perseroan Terbatas merupakan badan usaha yang telah memiliki status badan hukum. Dengan status badan hukum tersebut, Perseroan Terbatas mempunyai harta kekayaan dan tanggung jawab sendiri. Ini berarti setiap kewajiban atau utang Perseroan Terbatas hanya dilunasi dari harta kekayaan Perseroan Terbatas itu sendiri. Harta pemegang saham, Direktur, dan atau Dewan Komisaris Perseroan Terbatas tidak dapat dipergunakan untuk melunasi kewajiban Perseroan Terbatas, kecuali terjadi kesalahan, kelalaian, perbuatan melawan hukum, dan atau pertentangan kepentingan yang merugikan pasar dan atau kreditor Perseroan Terbatas.[5]

Perseroan Terbatas (PT) merupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang paling diminati saat ini, disamping karena pertanggung jawabannya yang bersifat terbatas juga memberikan kemudahan bagi pemiliknya (pemegang saham) untuk mengalihkan sahamnya kepada pihak lain dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut. 

Sebagai konsekuensi dari dianutnya pengertian PT adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, maka Pasal 7 ayat ( 1 ) UUPT mensyaratkan bahwa PT harus didirikan oleh dua orang atau lebih. Orang disini adalah dalam arti orang pribadi ( persoon, person ) atau badan hukum. Dengan demikian, PT itu dapat didirikan oleh orang pribadi atau badan hukum.[6] Mendirikan Perseroan Terbatas perlu dipenuhi syarat-syarat dan prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas. 

Syarat-syarat dan prosedur tersebut diuraikan antara lain sebagai berikut ini. Ada tiga syarat utama menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas yang harus dipenuhi oleh pendiri perseroan. Ketiga syarat tersebut adalah : 

a) Didirikan oleh dua orang atau lebih 

Menurut ketantuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas, perseroan didirikan oleh dua orang atau lebih. Yang dimaksud dengan orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. Ketentuan sekurang-kurangnya menegaskan prinsip yang dianut oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas. Bahwa perseroan sebagai badan hukum dibentuk berdasarkan perjanjian, oleh karena itu harus mempunyai lebih dari satu pemegang saham sebagai pendiri. Pengaturan dasar dari badan hukum itu sendiri terdapat di dalam Pasal 1654 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa: Semua perkumpulan yang sah adalah seperti halnya dengan orang-orang preman, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan umum, dalam mana kekuasaan itu telah diubah, dibatasi atau ditundukkan pada acara-acara tertentu.[7]

b) Didirikan dengan akta otentik 

Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas, perjanjian pendirian perseroan harus dibuat dengan akta otentik di hadapan Notaris yang dibuat dengan Bahasa Indonesia, bila tidak dibuat demikian, maka akta tersebut dianggap batal demi hukum. Mengingat perseroan adalah badan hukum. Akta otentik tersebut merupakan akta pendirian yang memuat anggaran dasar perseroan. Jika disimak ketentuan tersebut bukanlah suatu kewajiban hukum, sebab apabila tidak dilakukan dengan akta Notaris tidak menimbulkan akibat hukum bagi perjanjian itu sendiri, seperti perjanjian batal demi hukum. Pendirian Perseroan Terbatas kalaupun dilakukan dibawah tangan tetap sah asalkan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. 

Dalam mendirikan Perseroan Terbatas memerlukan pengesahan Menteri Hukum dan HAM terhadap akta pendiriannya. Jika yang diajukan bukan akta Notaris maka permohonan pengesahan akta pendirian Perseroan Terbatas dapat ditolak oleh Menteri Hukum dan HAM, sehingga akan berakibat Perseroan Terbatas tidak berbadan hukum. 

c) Modal dasar perseroan 

Modal dasar ( maatschappelijk kapitaal atau authorized capital atau nominal capital ) merupakan keseluruhan nilai nominal saham yang ada dalam perseroan. Modal ini ditentukan dalam anggaran dasar perseroan. Modal ini terdiri dari sejumlah modal yang terdiri atas saham yang dapat dikeluarkan atau diterbitkan perseroan beserta dengan nilai nominal setiap saham yang diterbitkan tersebut.[8]

Pasal 32 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ditentukan modal dasar perseroan paling sedikit 50 juta rupiah, tetapi bidang usaha tertentu yaitu perbankan dan perasuransian dapat menentukan jumlah minimum modal dasar perseroan yang melebihi 50 juta. Menurut ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Perseroan Terbatas, pada saat pendirian Perseroan Terbatas paling sedikit 25% dari modal dasar harus ditempatkan, dan disetor penuh. Pemegang saham dan atau pendiri Perseroan Terbatas yang telah berbadan hukum, secara prinsipnya tidak bertanggung jawab secara pribadi atas seluruh perikatan yang dibuat oleh dan atas nama perseroan dengan pihak ketiga, dan oleh karenanya tidak bertanggung jawab atas setiap kerugian yang diderita oleh perseroan. Para pemegang saham hanya bertanggung jawab atas penyetoran penuh dari nilai saham yang telah diambil bagian olehnya. 

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa perjanjian pendirian Perseroan Terbatas yang dilakukan oleh para pendiri tersebut dituangkan dalam suatu Akta Notaris yang disebut dengan Akta Pendirian. Tentu saja Notaris dalam proses pendirian Perseroan Terbatas (PT) ini mempunyai peranan penting dalam membantu proses kelahiran suatu Perseroan Terbatas (PT) yaitu membuat akta pendirian suatu Perseroan Terbatas. 

Setelah akta pendirian Perseroan Terbatas telah dibuat dan ditanda tangani oleh para pihak maka Perseroan Terbatas (PT) telah dapat menjalankan kegiatan usaha, namun dilihat dari segi yuridisnya Perseroan Terbatas (PT) tersebut belum dapat dikategorikan sebagai badan hukum, dengan alasan bahwa Akta Pendirian Perseroan Terbatas tersebut belum mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM, sehingga Akta Pendirian Perseroan Terbatas tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai badan hukum. 

Akta pendirian Perseroan Terbatas yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum Dan HAM, maka Perseroan Terbatas tersebut telah mempunyai kekuatan hukum sebagai badan hukum hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 7 ayat (4), suatu perseroan baru memiliki status badan hukum jika Akta Pendirian Perseroan telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 

Akan tetapi, apabila Perseroan Terbatas yang telah mendapatkan status sebagai badan hukum tapi ternyata Perseroan Terbatas tersebut tidak memenuhi syarat pendirian Perseroan Terbatas menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dimana Perseroan Terbatas tersebut didirikan oleh suami istri tanpa adanya perjanjian kawin. 

Dimana kita ketahui bahwa suami istri dalam suatu rumah tangga tanpa adanya perjanjian kawin berada dalam kesatuan harta, maka suami istri tersebut dianggap sebagai satu orang saja. Sehingga demikian apabila suami istri tersebut mendirikan suatu Perseroan Terbatas maka Perseroan Terbatas tersebut tidak memenuhi syarat pendirian Perseroan Terbatas. Ketentuan ini harus terus berlaku selama perseroan masih berdiri, dan hal ini dipertegas kembali dalam rumusan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yang mewajibkan Perseroan Terbatas harus didirikan minimal berjumlah 2 (dua) orang atau lebih. Ketiga syarat pendirian Perseroan Terbatas tersebut diatas harus dipenuhi. 

Adapun akibat hukum atau konsekuensi yang harus ditanggung oleh Perseroan Terbatas dan atau para pendiri, jika tidak memenuhi salah satu syarat pendirian Perseroan Terbatas yaitu Perseroan Terbatas tersebut didirikan oleh minimal berjumlah 2 (dua) orang atau lebih ( Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas), maka para pemegang saham akan bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan atau kerugian perseroan, dimana keadaan seperti ini sangat mempengaruhi bentuk perseroan sebagai badan hukum yang sudah seperti perusahaan perorangan saja, karena perseroan tidak lagi mempunyai tanggung jawab sebagai badan hukum dan atas permohonan pihak yang berkepentingan. 

B. Rumusan Masalah 

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka pemakalah merumuskan permasalahan sebagai berikut : 
1. Apakah akibat hukum pendirian Perseroan Terbatas oleh suami istri dalam suatu perkawinan tanpa  adanya perjanjian kawin menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas? 


A. Akibat hukum pendirian Perseroan Terbatas oleh suami istri dalam suatu perkawinan tanpa adanya perjanjian kawin menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 

Secara normatif, tidaklah dimungkinkan dijalankan Perseroan Terbatas yang pemegang sahamnya hanya suami dan isteri. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas, dimana Perseroan Terbatas merupakan suatu persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian. Karena suami isteri merupakan suatu persekutuan harta kekayaan (tanpa perjanjian kawin dan/atau tanpa adanya harta bawaan), maka suami isteri yang hanya mereka berdua sebagai pemegang saham (ataupun sebagai pendiri Perseroan Terbatas) secara normatif tetap dikatakan satu pemegang saham, sehingga tidak terpenuhi unsur adanya persekutuan modal (modal yang sengaja diasingkan sebagai kekayaan perusahaan). 

Kemudian, sebagai suatu perjanjian, tidak dibenarkan adanya perjanjian pembagian untung rugi diantara suami isteri karena mereka terikat dalam satu harta bersama, hal mana menjadi format dasar dalam anggaran dasar Perseroan Terbatas. Dengan demikian cukup jelas bahwa secara normatif tidak dibenarkan adanya Perseroan Terbatas yang pemegang sahamnya hanya suami dan isteri. 

Pendirian Perseroan Terbatas didirikan berdasarkan perjanjian dengan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih. Oleh karena itu untuk dapat mendirikan peseroan terbatas paling sedikit harus ada dua orang. Kurang dari jumlah tersebut, adalah tidak mungkin. Apakah suami isteri dalam satu rumah tangga termasuk dalam dua orang yang dimaksud bisa mendirikan suatu Perseroan Terbatas sesuai dengan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas? Secara umum, suami isteri berada dalam kesatuan harta. Namun, apabila pada saat melangsungkan perkawinan, suami isteri tersebut membuat perjanjian kawin, maka dia bukan dalam kesatuan harta. Jadi, suami isteri dalam satu perkawinan tanpa perjanjian kawin tidak dapat dikategorikan sebagai 2 (dua) orang untuk mendirikan suatu Perseroan Terbatas karena suami isteri tersebut dianggap hanya satu orang saja. 

Bagaimana status suatu Perseroan Terbatas (yang pendiriannya sesuai Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ) di mana para pendirinya dan atau pemegang sahamnya sejak awal hingga saat ini adalah sepasang suami istri yang tidak pisah harta, apakah pendirian Perseroan Terbatas tersebut sah dan bagaimana bila dikaitkan dengan persyaratan pendirian Perseroan Terbatas minimal oleh 2 orang? Pada prinsipnya, suami isteri tidak dapat mendirikan Perseroan Terbatas diantara mereka berdua saja, karena mereka dianggap mempunyai "satu kepentingan". Kepentingan tersebut adalah untuk membentuk keluarga dimana suami menjadi kepala keluarga dan isteri menjadi ibu rumah tangga[9]. Selain itu, kepentingan mereka berdua terlihat pula adanya persatuan kekayaan yang dihasilkan selama perkawinan, walaupun harta bawaan dapat dilaksanakan menurut kehendak suami atau isteri masing-masing.[10]

Melihat kepentingan mereka sebagai suami-isteri seperti yang diuraikan sebelum ini, maka pihak ketiga harus menganggap mereka adalah "satu pihak", terutama bila menyangkut persoalan pengaturan harta kekayaan di antara mereka, kecuali ada perjanjian perkawinan sebelumnya.[11]

Atas dasar hal-hal di atas dan mengingat pendirian Perseroan Terbatas mensyaratkan minimal 2 (dua) pendiri, bila suami isteri yang bersangkutan tetap berkeinginan menjadi pemegang saham, maka mereka dapat mencari 1 (satu) investor lain untuk menjadi pendiri lain Perseroan Terbatas tersebut. Perlu dicatat pula bahwa Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) mensyaratkan agar para pemegang saham selalu minimal 2 (dua) orang. Bila tidak, maka pemegang saham tunggal atau satu orang saja akan mengakibatkan dia bertanggung jawab tidak terbatas lagi, alias bertanggung jawab pribadi.[12] Hal ini didasarkan bahwa perseroan didirikan atas dasar perjanjian (Penjelasan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas)[13]

Perseroan Terbatas telah menjadi badan hukum karena telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, akan tetapi ternyata pendiri atau pemegang sahamnya hanya satu orang karena suami isteri, maka dalam waktu paling lama enam bulan sejak saat itu terjadi, pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain. Jika telah lewat dan pemegang saham dan atau pendirinya tetap satu orang, maka konsekuensinya pemegang saham dan atau pendiri bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan atas kerugian perseroan. Di satu sisi suami isteri dalam suatu perkawinan tanpa adanya perjanjian kawin boleh mendirikan perseroan terbatas diantara mereka berdua saja, asalkan harta yang digunakan dalam perseroan adalah harta bawaan dan bukan harta bersama, hal ini mengacu pada Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 

Keadaan seperti ini menimbulkan akibat-akibat hukum terhadap para pemegang saham, dimana kedudukan para pemegang saham dalam Perseroan Terbatas tersebut tidak lagi dipandang sebagai subjek hukum yang mempunyai tanggung jawab terbatas atau tanggung jawab terbatas dari pemegang saham tidak berlaku lagi atau hapus, sehingga pemegang saham tersebut dibebani pertanggung jawaban pribadi jika terjadi masalah terhadap Perseroan Terbatas tersebut, misalnya Perseroan Terbatas tersebut mengalami kepailitan karena dililit utang atau Perseroan Terbatas tersebut mempunyai utang yang sangat besar yang melampaui harta kekayaan Perseroan Terbatas tersebut. Hal tersebut juga berdampak pada akta pendirian Perseroan Terbatas yang dibuat oleh Notaris, yaitu mempengaruhi keotentikan akta pendirian Perseroan Terbatas tersebut. Dimana akta tersebut akan cacat hukum dan bisa saja akan menjadi akta dibawah tangan atau bahkan akta pendirian Perseroan Terbatas tersebut batal demi hukum karena tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu suatu hal tertentu, sebab akta pendirian Perseroan Terbatas didirikan atas dasar perjanjian. 

Dimana dijelaskan bahwa suatu hal tertentu meliputi kejelasan prestasi atas hak dan kewajiban dimana diketahui bahwa yang mendirikan Perseroan Terbatas tersebut adalah suami isteri dalam perkawinan tanpa perjanjian kawin, sehingga hak dan kewajiban yang diatur dalam pendirian Perseroan Terbatas itu sangat bertentangan dengan falsafah Hukum Perkawinan mengenai hak dan kewajiban suami isteri dalam suatu perkawinan. Sehingga suami isteri dalam suatu perkawinan tanpa adanya perjanjian kawin tidak dibolehkan mendirikan Perseroan Terbatas. 

Terlebih lagi dampak atau akibat yang sangat mempengaruhi Perseroan Terbatas yang hanya mempunyai pemegang saham dan atau pendiri hanya satu orang yaitu sangat mempengaruhi status atau bentuk dari Perseroan Terbatas tersebut sebagai badan hukum, dimana Perseroan Terbatas tersebut sudah seperti perusahaan perorangan saja, karena Perseroan Terbatas tersebut tidak mempunyai tanggung jawab lagi sebagai badan hukum. Sehingga Perseroan Terbatas dalam keadaan seperti ini dapat dibubarkan oleh Pengadilan Negeri (Pasal 7 ayat 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas). Ketentuan Pasal 7 ayat 6 tersebut sangat tegas, bahwa Pengadilan Negeri diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk membubarkan perseroan yang telah berstatus Badan hukum tetapi menyalahi prinsip minimal ada dua pemegang saham dan atau pendiri[14]

Sehingga juga akan mempengaruhi status pengesahan yang diberikan oleh menteri Hukum dan HAM yaitu Perseroan Terbatas yang telah terdaftar dan memperoleh pengesahan sebagai badan hukum tidak akan berlaku lagi dan akan dihapus dalam daftar perseroan yang ada dalam sistem administrasi badan hukum. Akan tetapi hal tersebut dapat terjadi apabila ada pemberitahuan secara tertulis kepada kementerian hukum dan HAM sebab kementerian hukum dan HAM hanya akan melakukan perubahan atau bahkan menghapus Perseroan Terbatas tersebut dalam daftar Perseroan Terbatas sebagai suatu Perseroan Terbatas yang berbadan hukum jika ada pemberitahuan secara tertulis baik dari para pemegang saham apabila pemegang saham dalam kondisi pemegang sahamnya adalah suami isteri tanpa adanya perjanjian kawin, maupun pemberitahuan dari pengadilan negeri jika Perseroan Terbatas tersebut di bubarkan. Pembubaran adalah suatu tindakan yang mengakibatkan perseroan berhenti eksitensinya dan tidak lagi menjalankan kegiatan bisnis untuk selama – lamanya. Kemudian diikuti dengan proses administrasinya berupa pemberitahuan, pengumuman, dan pemutusan hubungan kerja dengan karyawannya.[15]


A. Kesimpulan 

Akibat hukum dari pendirian Perseroan Terbatas oleh suami istri dalam suatu pekawinan tanpa adanya perjanjian kawin menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas yaitu, dimana kedudukan para pemegang saham dalam Perseroan Terbatas tersebut tidak lagi dipandang sebagai subjek Hukum yang mempunyai tanggung jawab terbatas, sehingga pemegang saham tersebut dibebani pertanggung jawaban pribadi. Hal ini juga berdampak pada akta pendirian Perseroan Terbatas yang dibuat oleh Notaris, yaitu mempengaruhi keotentikan akta pendirian Perseroan Terbatas tersebut. Dimana akta tersebut akan batal demi hukum. Jika suami isteri tersebut tetap saja mendirikan Perseroan Terbatas maka juga akan mempengaruhi Perseroan Terbatas yang hanya mempunyai pemegang saham hanya satu orang dimana didirikan oleh suami isteri dalam perkawinan tanpa adanya perjanjian kawin, seperti kita ketahui bahwa dalam keadan seperti itu suami isteri tersebut dianggap satu orang saja sehingga hal tersebut sangat mempengaruhi status atau bentuk dari perseroan tersebut sebagai badan hukum, dimana perseroan tersebut sudah seperti perusahaan perorangan saja, karena perseroan tersebut tidak mempunyai tanggung jawab lagi sebagai badan hukum. Sehingga Perseroan Terbatas tersebut dapat dibubarkan oleh Pengadilan Negeri. Sehingga dalam keadan seperti ini Juga akan mempengaruhi status pengesahan yang diberikan oleh menteri Hukum dan HAM yaitu Perseroan Terbatas yang telah terdaftar dan memperoleh pengesahan sebagai badan hukum tidak akan berlaku lagi dan akan dihapus dalam daftar perseroan yang ada dalam system administrasi badan hukum. Akan tetapi hal tersebut dapat terjadi apabila ada pemberitahuan secara tertulis kepada kementerian hukum dan HAM sebab kementerian hukum dan HAM hanya akan melakukan perubahan atau bahkan menghapus Perseroan Terbatas tersebut dalam daftar Perseroan Terbatas sebagai suatu Perseroan Terbatas yang berbadan hukum jika ada pemberitahuan secara tertulis baik dari para pemegang saham maupun dari pengadilan negeri jika Perseroan Terbatas tersebut di bubarkan. 


DAFTAR PUSTAKA 



A. Buku 

David Kelly , et.al, Business Law, Cavendish Publishing Limited, London, 2002. 

Gatot supramono, Hukum Perseroan Terbatas, Djambatan, Jakarta, 2007 

Gunawan Widjaja, 150 Tanya Jawab Tentang Perseroan Terbatas, Forum Sahabat, Jakarta, 2008 

H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 2, Djambatan, Jakarta, 1982 

Kenny Wiston, “Piercing Corporate Veil“, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 15, Tahun 2001 

Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003 

Prasetyo, Rudhi, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai Dengan Ulasan Menurut Undang-Undang nomor 1 Tahun 1995, Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001 

Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas; Doktrin, Peraturan Perundang – Undangan, dan Yurisprudensi, Edisi Revisi, Total Media 

Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 

R. Murjiyanto, Pengantar Hukum Dagang, Aspek-Aspek Hukum Perusahaan Dan Larangan Praktek Monopoli, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2002 

B. Internet 

Dikutip dari http:// Hukumonline.com, “Hukum perusahaan pendirian Perusahaan Terbatas (PT)”. 

Footnote

[1] Kenny Wiston, “Piercing Corporate Veil“, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 15, Tahun 2001 


[2] Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm 2 


[3] H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 2, Djambatan, Jakarta, 1982, hlm 85 


[4] R. Murjiyanto, Pengantar Hukum Dagang, Aspek-Aspek Hukum Perusahaan Dan Larangan 

Praktek Monopoli, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2002, hlm 17 


[5] Gunawan Widjaja, 150 Tanya Jawab Tentang Perseroan Terbatas, Forum Sahabat, Jakarta, 

2008, hlm 2. 


[6] Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas; Doktrin, Peraturan Perundang – Undangan, dan Yurisprudensi, Edisi Revisi, Total Media, hlm 45 


[7] Prasetyo, Rudhi, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai Dengan Ulasan Menurut 

Undang-Undang nomor 1 Tahun 1995, Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 12 


[8] David Kelly , et.al, Business Law, Cavendish Publishing Limited, London, 2002, hlm 333 


[9] lihat Pasal 1 jo. 31 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 


[10] lihat Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 


[11] lihat Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 


[12] lihat Pasal 7 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 


[13] Dikutip dari http:// Hukumonline.com, “Hukum perusahaan pendirian Perusahaan Terbatas 

(PT)” 


[14] Gatot supramono, Hukum Perseroan Terbatas, Djambatan, Jakarta, 2007, hlm. 6-7 


[15] Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 178

PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT


PENGECUALIAN PENERAPAN UNDANG – UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT TERHADAP PERJANJIAN YANG BERKAITAN DENGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

A s h i b l y

Abstract

One of the excluded is concerning agreements relating to intellectual property rights (IPR), as expressed in Article 50 point b that is exempt from the provisions of Law No. 5 of 1999 is: "The agreement relating to intellectual property rights such as licenses , patents, trademarks, copyrights, industrial designs, integrated electronic circuits, and trade secrets, as well as an agreement relating to the franchise ".
Key Word : Antitrust Exemption


I. LATAR BELAKANG 

Pembangunan ekonomi pada pembangunan jangka panjang pertama telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat. Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai selama pembangunan jangka panjang pertama, yang ditunjukan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi masih banyak pula tantangan atau persoalan, khususnya dalam pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan, seiring dengan adanya kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990an ( Destivano Wibiwo dan Harjon Sinaga, 2005 : 146).

Dalam dasawarsa terakhir, seiring dengan perdagangan bebas dan globalisasi informasi dan komunikasi, tak pelak lagi issue keberadaan sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut “HKI”) yang berkaitan erat dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan industri dan kelancaran perdagangan dunia merupakan suatu permasalahan yang teramat penting yang eksistensinya telah diakui secara global (Siti Anisah, 2010 :39).

Pada sisi lain, rezim hukum persaingan usaha berbicara tentang perlindungan terhadap iklim berkompetisi yang fair guna terbukanya peluang ekonomi, inovasi, dan kesempatan berusaha bagi semua pihak.

Rezim hukum HKI adalah landasan hukum yang memberikan hak eksklusif bagi pemegang haknya untuk mengeksploitasi sendiri dan melarang pihak lain untuk mengekploitasi objek HKI yang dimilikinya. Hak eksklusif tersebut sering dimaknai oleh sebagian orang sebagai suatu bentuk hak untuk melakukan monopoli. Dalam hukum persaingan usaha, monopoli harus diartikan sebagai penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.

Pengertian tersebut berbeda dengan “praktek monopoli” yang harus diartikan sebagai pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Hukum persaingan usaha secara jelas mengatur bahwa kegiatan monopoli bukanlah suatu hal yang dilarang dan yang dilarang adalah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.

Gagasan untuk menerapkan Undang – undang Antimonopoli ( UUA) dan mengharamkan kegiatan pengusaha yang curang telah dimulai sejak 50 (lima puluh) tahun sebelum masehi ( Insan Budi Maulana, 2000 : 239 ). 

Bahkan dalam Al-Qur’an prinsip - prinsip perilaku pengusaha yang harus bersikap jujur dan mencegah persaingan curang juga diatur. Umpamanya, Allah berfirman :Tegakkanlah timbangan itu dengan adil, dan janganlah kamu mengurangi timbangan ( Ar-Rahman [55] : 9. Dalam ayat lain, Allah pun berfirman : Hai kaumku ! Cukupkanlah sukatan dan timbangan dengan lurus, dan janganlah kamu kurangi hak – hak manusia dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi dengan membuat bencana (Hud [11]: 85)

Pemikiran untuk memiliki dan menerapkan Undang – undang Antimonopoli (UUA) sebenarnya, telah dimulai ketika Indonesia menerapkan Undang - undang No.5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. Pasal 7 ayat ( 2 ) dan ayat ( 3 ) menyatakan bahwa Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industri untuk menciptakan persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur, mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.

Undang – undang No. 5 Tahun 1999 ini lahir dalam ephoria reformasi yang anti monopoli. Tujuan Undang – undang ini, seperti dimana – mana saja, untuk memelihara proses persaingan. Selain efisiensi ekonomi, tujuan lainnya melindungi usaha kecil, memelihara keadilan dan kejujuran. KPPU bertugas mengawasi jalan nya Undang – undang ini ( Erman Rajagukguk, 2010 : 8 ).

Pemberlakuan Undang - undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat untuk kalangan pelaku usaha ternyata tidak bersifat memaksa. Hal ini dapat terlihat dalam Pasal 50 yang memuat pengecualian - pengecualian pemberlakukan Undang - undang tersebut. Adapun pengecualian (Exemption) dalam ketentuan tersebut adalah berkaitan dengan sejumlah perjanjian atau perbuatan.

Salah satu perjanjian atau perbuatan yang dikecualikan berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang - undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat adalah perjanjian yang berkaitan dengan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual seperti Lisensi, Paten, Merek dagang, Hak cipta, Desain Produk Industri, Rangkaian Elektronika terpadu dan Rahasia Dagang serta Perjanjian yang berkaitan dengan Waralaba.

Secara tersurat Undang - undang memang mengatur pengecualian larangan monopoli berkaitan perjanjian hak kekayaan intelektual tersebut namun detail serta teknis perjanjian Hak atas kekayaan intelektual yang bagaimanakah yang dikecualikan dalam Undang-undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat. Oleh Karena itu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai suatu lembaga independen yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tersebut, mengeluarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia No. 2 Tahun 2009 tentang Pengecualian penerapan Undang -undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap perjanjian yang berkaitan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual yang bertujuan memberikan pedoman yang jelas tentang perjanjian yang berkaitan dengan Hak atas kekayaan intelektual yang bagaimanakah yang di kecualikan oleh Undang-undang No.5 Tahun 1999.

II. PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas maka akan dibahas tentang perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual yang bagaimanakah yang di kecualikan oleh Undang - undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat Terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual?

III. PEMBAHASAN 

Pengecualiaan penerapan Undang - undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual yang dibentuk oleh KPPU sebagai tindak lanjut Pasal 50 butir b Undang - undang No 5 Tahun 1999.

Istilah Monopoli berasal dari kata Yunani yakni Monos dan Polein yang dapat diartikan sebagai Penjual Tunggal ataupun Penjual sendiri. Disamping istilah monopoli, di USA sering digunakan “antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau “dominasi” yang dipakai oleh masyarakat Eropa yang juga sepadan dengan istilah ”monopoli”. (Munir Fuadi : 4 )

Pengertian monopoli menurut Black Law Dictionary adalah Monopoly is a privilege or peculiar advantage vested in one or more persons or companies consisting in the exclusive right ( or power ) to carry on a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the whole supply of a particular commodity. A form of market structure in which one or only a few dominate the total sales of product or service ( Mustafa Kamal Rokan, 2010: 7 ).

Di Indonesia, Monopoli ini diartikan sebagai penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Pengertian monopoli tersebut dibedakan dengan Pengertian praktek monopoli sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 butir 2 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 sebagai pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Hal tersebut menurut Pasal 17 Undang - undang tersebut adalah dilarang sebagaimana disebutkan:

(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. barang atau jasa yang bersangkutan belum ada subsitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Namun ternyata tidak semua monopoli adalah dilarang. Dalam Pasal 50 dan Pasal 51 dicantumkan perjanjian atau perbuatan apa saja yang dikecualikan (exemption) dari ketentuan berlakunya Undang - undang ini. Salah satu yang dikecualikan adalah berkenaan perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual (HKI), sebagaimana diungkapkan dalam Pasal 50 huruf b bahwa yang dikecualikan dari ketentuan Undang-undang No 5 Tahun 1999 adalah: ” Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri,rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba ”.

Pengecualian berkaitan HKI tersebut dalam Undang - undang No.5 Tahun 1999 tidak diatur secara jelas, mengingat dalam penjelasannya diterangkan sudah cukup jelas. Bagaimana ketentuan secara teknisnya pun tidak diuraikan secara detail oleh peraturan-peraturan dibawahnya. Sehingga tampak perjanjian HKI sebagaimana disebutkan adalah dikecualikan oleh Undang-undang No.5 Tahun 1999. Dengan Pemahaman tersebut, maka pengecualian HKI dari aturan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat seperti dalam Undang - undang Nomor 5 Tahun 1999, pada dasarnya hanya tepat sejauh terbatas pada “kodrat” HKI itu sendiri, dan kegiatan tertentu dalam perjanjian pemanfaatan HKI yang tidak menimbulkan hambatan atau gangguan terhadap iklim persaingan ( Bambang Kesowo, 2010 : 11 ).

Oleh Karena kekurang jelasan ketentuan Undang - undang, Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU) sebagai suatu lembaga independen yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang - undang No. 5 Tahun 1999 tersebut, mengeluarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia No. 2 Tahun 2009 tentang Pengecualian penerapan Undang - undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual, yang digunakan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 huruf b.

Adapun Pedoman yang disusun oleh KPPU tersebut dimaksudkan agar terdapat kesamaan penafsiran terhadap masing - masing unsur dalam Pasal 50 huruf b, sehingga terdapat kepastian hukum dan dapat dihindari terjadinya kekeliruan atau sengketa dalam penerapannya. Selain itu dengan adanya pedoman diharapkan pula bahwa Pasal 50 huruf b dapat senantiasa diterapkan secara konsisten, tepat dan adil dalam sengketa yang berkaitan dengan Pasal tersebut. 

Di dalam pedoman yang dibuatnya, KPPU berusaha menjelaskan hal-hal yang memungkinkan adanya perbedaan interpretasi, yakni dalam hal hubungannya dengan penyebutan istilah lisensi yang diikuti istilah paten, merek dagang dan sebagainya, dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah perjanjian yang berkaitan dengan dengan hak kekayaan intelektual yang dimaksud dalam Pasal 50 huruf b adalah perjanjian lisensi yang berada dalam lingkup hak paten, hak merek, hak cipta, hak desain industri, hak desain tata letak sirkuit terpadu, dan hak rahasia dagang. Di dalam pedomannya KPPU juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan merek dagang adalah tidak hanya merek dagang saja tetapi termasuk juga merek jasa. Selain itu dijelaskan pula bahwa istilah rangkaian elektronik terpadu hendaknya dimaknai sebagai desain tata letak sirkuit. Tidak hanya sampai disitu saja, dengan adanya pedoman tersebut dijelaskan juga mengenai hubungan keberadaan rezim hukum HKI dan hukum persaingan usaha yang sering dipandang sebagai hal yang bertolak belakang. KPPU dengan pedomannya menjelaskan bahwa keberadaan keduanya hendaknya dipandang sebagai ketentuan hukum yang bersifat komplementer atau saling mengisi untuk keharmonisan sistem hukum nasional Indonesia. Adapun kedua rezim hukum tersebut mempunyai kesamaan tujuan yaitu untuk memajukan sistem perekonomian nasional di era perdagangan bebas dan globalisasi, mendorong inovasi dan kreatifitas, serta untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pedoman yang dibuat oleh KPPU juga menjelaskan bahwa adanya suatu hak eksklusif tidak berarti secara otomatis telah terjadi praktek monopoli pasar. Adapun pengecualian perjanjian lisensi HKI dari ketentuan hukum persaingan usaha hanya dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan asas dan tujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, kemudian dibagian penjelasan diungkapkan konteks dapat dilakukannya pengecualian yakni : 
Bahwa perjanjian lisensi tidak secara otomatis melahirkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. 
Bahwa praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang timbul akibat pelaksanaan perjanjian lisensi adalah kondisi yang hendak dicegah melalui hukum persaingan usaha. 
Bahwa untuk memberlakukan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan perjanjian lisensi HKI haruslah dibuktikan: (1) perjanjian lisensi HKI tersebut telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam perundang-undangan HKI, dan (2) adanya kondisi yang secara nyata menunjukan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. 
Bahwa pengecualian dari ketentuan hukum persaingan usaha terhadap perjanjian lisensi HKI hanya diberlakukan dalam hal perjanjian lisensi HKI yang bersangkutan tidak menampakan secara jelas sifat anti persaingan usaha. 

Selain itu Pedoman yang dibuat oleh KPPU berusaha menjelaskan secara detail apa yang berkaitan dengan pengecualian atas perjanjian lisensi Hak Kekayaan Intelektual, meskipun hal tersebut menimbulkan pemikiran lain bagi orang awam. Namun bagaimanapun banyak sedikit adanya pedoman tersebut telah berusaha menjelaskan atau membuat makna sebagaimana yang diungkapkan dalam Pasal 50 huruf b menjadi semakin jelas, meskipun pada akhirnya KPPU pula lah yang berkompetensi untuk menilainya. Adapun kejelasan pedoman tersebut ditambah pula dengan diberikan contoh-contoh berkenaan kasus yang berhubungan dengan konteks pengecualian tersebut.


IV. PENUTUP

Dapat disimpulkan bahwa ternyata tidak semua monopoli adalah dilarang. Dalam Pasal 50 dan Pasal 51 dicantumkan perjanjian atau perbuatan apa saja yang dikecualikan (exemption) dari ketentuan berlakunya Undang - undang ini. Salah satu yang dikecualikan adalah berkenaan terhadap perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual (HKI), sebagaimana diungkapkan dalam Pasal 50 huruf b bahwa yang dikecualikan dari ketentuan Undang-undang No 5 Tahun 1999 adalah: ” Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri,rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba”.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku 

Destivano Wibiwo dan Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, Rajawali Pers, Jakarta, 2005
Erman Rajagukguk, Yustisia Negara dan Masyarakat, Jurnal Nasional
Insan Budi Maulana, Pelangi HKI dan Anti Monopoli, PSH FH UII Jogjakarta, 2000
Munir Fuadi, Hukum anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat,: Citra Aditya Bakti, Bandung
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha ( Teori dan Praktiknya di Indonesia ), Rajawali Pers, Jakarta, 2010

B. Bahan ajar, makalah

Siti Anisah, Draft & Pedoman Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Bahan Ajar Hukum Persaingan Usaha, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2010

Bambang Kesowo, “HKI dan Persaingan Usaha di era AFTA 2010”, (Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional tentang HKI dan Persaingan Usaha di Era AFTA 2010 di Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, Februari 2010)

C. Peraturan perundang - undangan 

Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat