Tampilkan postingan dengan label News Paper. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label News Paper. Tampilkan semua postingan

Kamis, 23 Januari 2014

UPAYA HUKUM OLEH PIHAK YANG DIRUGIKAN DALAM PRAKTEK DUMPING DI INDONESIA


A. Latar Belakang
Perkembangan perekonomian dunia khususnya industri dan perdagangan semakin liberal dan terbuka, jarak dan batas – batas negara hampir tidak tampak lagi. Hal ini mengakibatkan setiap negara berlomba memasuki pasar. Dalam era globalisasi dan liberalisasi perdagangan telah terjadi borderless trade ( perdagangan tanpa batas ), di mana negara – negara anggota WTO akan menghapus semua hambatan perdagangan baik yang berbentuk tarif maupun non tarif. Baik negara maju maupun negara berkembang sama – sama membutuhkan perdagangan internasional. Dengan perdagangan internasional memungkinkan mengalirnya barang dan jasa melalui prosedur ekspor-impor.[1]

Kehadiran World Trade Organization ( WTO ) dan kerjasama perdagangan lainya seperti Asia Pacifik Trade Area ( APTA ) dan Asia Pasific Ekonomic Corporation ( APEC ) semakin mendorong perdagangan lebih bebas dan terbuka. Organisasi dan kerjasama timbul dalam rangka liberalisasi dan perdagangan yang sehat serta bertujuan untuk meniadakan hambatan – hambatan. Perdagangan membawa konsekuensi bagi negara – negara di dunia untuk menyesuaikan aturan tersebut, ini dilakukan agar tidak terjadi adanya perbedaan atau bahkan pertentangan aturan yang mendasar antara ketetapan WTO dengan masing – masing negara. Hal tersebut juga di alami oleh Indonesia, sebagai salah satu anggota dalam organisasi Perdagangan dunia tersebut.[2]

Kesepakatan aturan dan ketentuan dalam forum WTO umumnya merupakan kebijakan tentang perdagangan yang terjadi sekarang ini mengenai hambatan dan praktek perdagangan dunia. Salah satu hasil kesepakatan forum WTO yang sangat vital adalah mengenai bentuk perdagangan dengan sistem dumping sebab sangat berpengaruh terhadap perdangan dunia. Kesepakatan forum ini dikatakan sangat vital karena praktek perdagangan ini membawa dampak yang tidak hanya positif tetapi berdampak negatif juga. Dikatakan positif karena negara yang melakukan praktek dumping ( pengekspor ) dapat menguasai pasaran luar negeri dan dapat menguasai harga sehingga dapat memperoleh keuntungan yang besar ketika dapat menguasai pasar. Dampak negatif nya adalah timbul nya diskriminasi harga di dalam pasar yang berakibat terjadinya hambatan dalam perdagangan yang mengarah pada bentuk persaingan tidak sehat.

Sebagai konsekuensinya liberalisasi perdagangan internasional telah menciptakan persaingan yang ketat. Meskipun organisasi perdagangan dunia mendorong perdagangan bebas melalui perundingan penurunan tarif dan non tarif namun didalamnya masih terdapat persetujuan yang memungkinkan suatu negara mengambil penyelamatan industri dalam negerinya yang mengalami kerugian sebagai akibat perdagangan tidak fair yang berasal dari dumping atau subsidi. Karena itu pula ada kecenderungan di beberapa negara maju menggunakan instrumen tindakan anti dumping dan subsidi sebagai alat proteksi melindungi industrinya. Bagi eksportir Indonesia hal ini tidak menguntungkan sebab sekalipun kecurigaan dan investigasi anti dumping tidak terbukti, namun selama penyelidikan, pasar eksportir menjadi terganggu.

Dumping merupakan suatu praktek perdagangan yang dilakukan oleh suatu negara dengan cara menjual barang dalam jumlah banyak keluar negeri dengan harga lebih rendah ketimbang harga di dalam negeri atau dalam arti kata menjual lebih murah dari harga pasar ( nasional ) di tempat pasar yang berbeda. Menurut Kamus Ekonomi dan Perdagangan, Dumping merupakan penjualan produk yang sama dalam pasar yang berbeda – beda dengan harga – harga yang berbeda pula. [3] Dumping dalam dunia bisnis sering dianggap sebagai “ praktek wajar “ dalam rangka price policy untuk penjualan suatu barang oleh suatu perusahaan atau industri, namun pada kenyataan nya dapat menimbulkan kerugian bagi usaha atau industri barang yang sejenis di negara lain ( pengimpor ).[4] Oleh karena itu, persoalan dumping merupakan bentuk hambatan perdagangan internasional yang sifatnya non tariff.[5] Pada awalnya dumping memang merupakan persoalan yang sederhana, namun dengan berkembangnya teknologi dan meningkatnya jumlah populasi penduduk dunia yang otomatis juga di ikuti dengan meningkatnya kebutuhan manusia itu sendiri, maka dumping tidak dapat mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak dan kalangan usahawan.[6]

Implikasi dari adanya dumping ini dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang memproduksi barang sejenis atas persaingan harga yang tidak wajar. Efek lain juga dapat terjadi pada perekonomian suatu negara. John A Jakson mengemukakan bahwa dampak dumping pada perekonomian nasional hanya bagi negara pengimpor dan negara pengekspor, namun juga pada negara atau pihak ketiga yang mempunyai barang sejenis,[7] sehingga perlu proteksi dari negara untuk melindungi industri dan pasar domestiknya. Padahal kondisi dunia usaha saat ini sedang mengalami permasalahan yang sangat kompleks tidak hanya sebatas dumping tetapi kondisi makro perekonomian yang masih belum menentu akibat policy dari pemerintah yang tidak jelas.

Bentuk proteksi negara atas praktek dumping dikenal dengan istilah anti dumping. Anti dumping merupakan tindakan balasan yang diberikan oleh negara pengimpor terhadap barang dari negara pengekspor yang mengandung dumping. Namun begitu, pada umumnya praktek dumping tidak dilarang dalam sistem perdagangan internasional. Article IV GATT menyebutkan bahwa suatu negara anggota diperkenankan untuk menggunakan tindak anti dumping dan atau subsidi yang menimbulkan kerugian ( injury ) bagi industri domestik yang memproduksi barang sejenis.[8] Pengertian dan pengaturan dasar mengenai anti dumping dapat dilihat dalam Article VI GATT 1994 ( Anti-Dumping and Countervailing Duties).[9]

Dalam mengatasi praktek dumping ini Persetujuan GATT/WTO telah mengatur mengenai anti dumping dan subsidi, yaitu Agreement on Implementation of article VI of the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT ) 1994 dan Agreement on Subsidies and Countervailing Measures. 

Penerapan tindakan anti dumping yang menimbulkan kerugian (injury) bagi industri domestik atas barang sejenis di Indonesia, dapat dilakukan oleh komite khusus yang menangani masalah dumping yang berupa komite anti dumping sebagaimana di amanatkan Article IV GATT. Akhirnya pada tanggal 4 juni 1996 berdasarkan Keputusan Memperindag Nomor 136/MPP/Kep/6/1996 dan Nomor 427/MPP/Kep/10/200 dibentuklah Komite Anti Dumping Indonesia ( KADI ). Komite ini merupakan lembaga yang khusus menangani masalah dumping, pengenaan tarif dan kerugian, jadi merupakan lembaga yang diharapkan dapat mensosialisasikan ketentuan – ketentuan tentang perdagangan internasional yang telah di ratifikasi, dengan tujuan agar masyarakat khususnya dunia usaha Indonesia tidak menjadi korban dari praktek perdagangan yang tidak sehat ( unfair trade practise ) seperti dumping dan subsidi. Pembuktian dumping yang dilakukan oleh komite ini meliputi dumping itu sendiri, kerugian ( injury ) dan kepentingan masyarakat (community interest), produsen barang yang terancam atau dirugikan.[10] 

Dalam menangani kasus dumping ini, sering menjadi persoalan adalah kedudukan dan kepentingan pihak yang dirugikan dari adanya praktek dumping yang dilakukan oleh negara lain yang memproduksi barang sejenis dan beredar dipasaran domestik dan perlu adanya sarana hukum yang dapat memberikan fasilitas bagi pihak yang dirugikan. Sehingga yang menjadi permasalahan dari makalah ini adalah bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh pihak yang merasa di rugikan dalam praktek dumping di Indonesia.

B. Rumusan Masalah 
1. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan dalam praktek dumping di Indonesia? 

PEMBAHASAN
Sebagai negara yang turut ambil dalam perdagangan multilateral, Indonesia telah meratifikasi Agreement Estabilishing The WTO melalui Undang – undang Nomor 7 Tahun 1994 ( Lembaga Negara Tahun 1 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564 ). Dengan meratifikasi Agreement Estabilishing The WTO ini, Indonesia sekaligu meratifikasi Antidumping code ( 1994 ), yang merupakan salah satu dari Multilateral Trade Agreement. Persetujuan WTO tersebut tidak bersifat menghakimi tetapi lebih memfokuskan pada tindakan – tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh negara – negara untuk mengatasi dumping. Hal ini disebut dengan peretujuan anti dumping (Antidumping Agreement atau Agreement on The Implementation of Article VI of GATT 1994 ).[11] 

Sebagai konsekuensinya diratifikasinya Agreemeent Estabilishing The WTO ini, dibuatlah aturan anti dumping Indonesia dengan cara memasukan Ketentuan ini dalam Undang – undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. Ketentuan inilah yang kemudian menjadi dasar pembuatan peraturan pelaksanaan tentang anti dumping, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Beamasuk Imbalan. Sebagaian besar negara – negara maju melakukan proteksi terhadap praktik dumping ini dengan memberlakukan perangkat hukum anti dumping guna melindungi industri domestiknya dari destruksi pasar karena penjualan barang impor di bawah harga semestinya.

Dalam rangka mengimplementasikan ketentuan anti dumping dalam Article VI GATT 1994 yang telah diratifikasi, maka sejak tanggal 4 juni 1996 telah memiliki otoritas anti dumping dengan dibentuknya Komite Anti Dumping Indonesia ( KADI ). Lahirnya lembaga ini, selain merupakan tuntutan global namun juga sebagai upaya perlindungan terhadap industri dalam negeri dari praktek dagang tidak sehat seperti dumping dan subsidi. Oleh karena itu , dalam penanganan anti dumping di Indonesia, lembaga ini dapat mengambil tindakan sebagai reaksi terhadap dumping jika benar terbukti ada kerugian ( material injury ) terhadap industri domestik. Untuk melakukan hal ini, harus dilakukan upaya pembuktian dumping dengan memperhitungkan tingkat dumping ( dengan membandingkan harga ekspor suatu produk dengan harga jual produk tersebut dinegara asalnya ).

Ketentuan Article VI GATT 1994 menentukan bahwa dumping tidak dilarang dengan syarat impor barang dumping tersebut tidak menyebabkan kerugian ( injury ) terhadap industri dalam negeri pengimpor. Namun bagaimana dengan kepentingan pihak produsen barang di Indonesia yang mengalami kerugian dari adanya praktek dumping dari para produsen asing di Indonesia. Karena barang yang dilakukan dumping tersebut diproduksi juga di dalam negeri, namun terkena dampak harga dari barang dumping luar negeri. Banyak berbagai produk yang dilakukan dumping namun belum tersentuh dengan ketetntuan anti dumping di Indonesia, yang pada akhirnya merugikan para pengusaha atau pelaku usaha yang di Indonesia.

Oleh karena selain upaya pencegahan dan perlindungan barang – barang produksi dalam negeri melalui penerapan anti dumping bagi produk dumping dari luar negeri yang dilakukan KADI, juga berperan serta pelaku usaha untuk melakukan upaya - upaya hukum atas praktek dumping ini. Sementara ini upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pelaku usaha adalah melaporkan ke KADI untuk dilakukan penyelidikan. Berdasarkan tugas pokoknya, KADI akan melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya barang dumping dan atau barang yang mengandung subsidi yang menimbulkan kerugian bagi industri dalam negeri atas barang sejenis. Penyelidikan yang dilakukan oleh KADI ini bersifat administratif, sehingga sanksi yang dikenakan pun bersifat administratif.

Sanksi administratif yang di rekomendasikan KADI kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan untuk ditindaklanjuti kepada Menteri Keuangan adalah besarnya Bea Masuk Anti Dumping kepada pelaku dumping, namun tidak pernah mempertimbangkan bahwa menghitung kerugian yang diderita para pelaku usaha ( pengusaha ) Indonesia dari adanya praktek ini. Padahal kerugian yang diderita oleh para pelaku usaha ini sangat besar seperti penurunan penjualan dalam negeri, keuntungan, market share, produktifitas dan kerugian lain yang terkait dengan nilai dan keuntungan yang harus di perolehnya. Oleh karena itu, upaya – upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pelaku usaha sebagai pihak yang dirugikan dari adanya praktek dumping di Indonesia adalah mengajukan permohonan penyelidikan dugaan dumping kepada KADI.

Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 menyebutkan bahwa permohonan penyelidikan atas dugaan dumping dapat dilakukan oleh Industri Dalam Negeri ( IDN ) atau atas prakarsa KADI. Pemohon dalam hal ini dapat terdiri dari satu perusahaan saja, beberapa perusahaan, atau permohonan disampaikan oleh asosiasi atas nama beberapa perusahaan atau atas nama seluruh anggota. Apabila masih ada produsen dalam negeri lainnya yang tidak termasuk pemohon, buat daftar nama berikut alamat lengkap dan kontak person semua produsen dalam negeri dari barang yang diduga dumping.[12]

Bersamaan uraian dan latar belakang pengajuan permohonan penyelidikan tersebut, sebaiknya harus disertai pula dengan permintaan untuk memberikan ganti kerugian yang diderita pemohon atas praktek dumping yang terjadi. Hal ini untuk melindungi kepntingan pemohon dan memberikan efek jera kepada pelaku dumping, karena selama ini sanksi yang diterapkan hanya pengenaan bea masuk anti dumping yang harus dibayarkan kepada pemerintah Indonesia, namun tidak ada biaya ganti rugi atas kerugian yang diderita pelaku pasar atau para pengusaha yang terkena dampak dari praktek dumping tersebut. Adanya ganti kerugian ini harus dihitung berdasarkan margin dumping yang terjadi, produksi barang yang beradar dipasaran atas barang yang sama serta hal – hal lain yang terkait dengan produksi. Namun hal ini diakui sangat sulit dalam penetapan jumlahnya dikarenakan pengaruh subjektifitas penghitungan biaya produksi dan kerugian yang ditimbulkan karena tidak adanya mekanisme dan aturan mengenai penetapan ganti kerugian yang timbul terhadap pelaku pasar tersebut.

Meskipun pengenaan sanksi praktek dumping di Indonesia bersifat administratif, namun dalam prakteknya tidak semua hasil temuan, analisis dan rekomendasi KADI ditindaklanjuti baik oleh Memperindag maupun Menkeu. Hal ini disebabkan karena Undang – undang tidak mengatur, sehingga menimbulkan ketidakpastian juga tidak ada keharusan Memperindag untuk menindaklanjuti temuan dan usul KADI tersebut. Kondisi ini juga tidak terlepas dari kedudukan KADI yang dibawah Memperindag sehingga tidak dapat untuk mendesak dan menentang.

Kesimpulan 
Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan dalam praktek dumping di Indonesia dalam bentuk permohonan penyelidikan dugaan praktek dumping yang diajukan kepada Komite Anti Dumping Indonesia ( KADI ), sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan, namun upaya hukum ini bersifat adminsitratif berupa pengenaan bea masuk anti dumping yang dibayarkan kepada Pemerintah, sehingga tidak memberikan ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan dari adanya praktek dumping tersebut. Oleh karena itu, pihak yang dirugikan dari adanya praktek dumping tidak dapat menerima penggantian atas kerugian dialaminya, disamping itu penetapan besarnya kerugian mengalami kesulitan karena tidak adanya mekanisme dan ketentuan yang mengaturnya.

DAFTAR PUSTAKA

Amir MS, Ekspor, Impor ( Teori dan Penerapannya ), Pustaka Bintama Pressindo, Jakarta, 1996

As’ad Sungguh, Kamus Ekonomi dan Perdagangan, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1992

Huala Adolf & Candrawulan, Masalah – Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994

H. S Kartadjoemen, GATT, WTO, dan Hasil Putaran Uruguay, UI Press, Jakarta, 1997

Johanis Damiri, Perdagangan Internasional dan UU Kepabeanan, Makalah disampaikan pada seminar UU Kepabeanan No.10 Tahun1995, Bea Cukai Masa Depan, Bandar Lampung 28 Maret 1996

KADI, Prosedur Permohonan Penyelidikan Anti Dumping, Jakarta, 2000

_____, Panduan Permohonan Penyelidikan Anti Dumping, Jakarta, 2004

Nandang Sutrisno, Hukum Perdagangan Internasional. Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Angkatan VII

Sudarti, Implementasi Pasal VI GATT 1994 khusunya tentang Proses Penanganan Barang Dumping dalam ketentuan Hukum Nasional Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2003

Sukarmi, Regulasi Anti Dumping, Bayang – bayang Pasar Bebas, Sinar Grafika, Jakarta

FOOTNOTE
[1] Johanis Damiri, Perdagangan Internasional dan UU Kepabeanan, Makalah disampaikan pada seminar UU Kepabeanan No.10 Tahun1995, Bea Cukai Masa Depan, Bandar Lampung 28 Maret 1996, hlm 1

[2] KADI, Prosedur Permohonan Penyelidikan Anti Dumping, Jakarta, 2000. hlm 2

[3] As’ad Sungguh, Kamus Ekonomi dan Perdagangan, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1992, hlm 26

[4] H. S Kartadjoemen, GATT, WTO, dan Hasil Putaran Uruguay, UI Press, Jakarta, 1997, hlm 168

[5] Amir MS, Ekspor, Impor ( Teori dan Penerapannya ), Pustaka Bintama Pressindo, Jakarta, 1996, hlm 38

[6] Sudarti, Implementasi Pasal VI GATT 1994 khusunya tentang Proses Penanganan Barang Dumping dalam ketentuan Hukum Nasional Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2003, hlm 25

[7] Huala Adolf & Candrawulan, Masalah – Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm 13

[8] H.S. Kartadjoemena, Loc.Cit

[9] Nandang Sutrisno, Hukum Perdagangan Internasional. Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Angkatan VII, hlm 8

[10] Sukarmi, Regulasi Anti Dumping, Bayang – bayang Pasar Bebas, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm 39

[11] KADI

[12] KADI, Panduan Permohonan Penyelidikan Anti Dumping, Jakarta, 2004, hlm 1

Selasa, 17 Desember 2013

PERLINDUNGAN TERHADAP PERMAINAN TRADISIONAL (FOLKLOR) SEBAGAI KARYA INTELEKTUAL WARISAN BANGSA DI ERA GLOBALISASI


Oleh
Ashibly

I.PENDAHULUAN
     Dalam literatur hukum Anglo Saxon dikenal istilah intelektual property right. Istilah hukum tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi dua macam istilah hukum: Hak Milik Intelektual dan Hak Kekayaan Intelektual. Perbedaan terjemahan terletak pada kata property. Kata tersebut memang dapat diartikan sebagai kekayaan, dapat juga sebagai milik. Bila berbicara tentang kekayaan, selalu tidak lepas dari milik dan sebaliknya berbicara tentang milik tidak lepas dari kekayaan. Dengan demikian, kedua terjemahan tersebut sebenarnya tidak berbeda dalam arti, hanya berbeda dalam kata. (Abdulkadir Muhammad,2007:1).
      Menurut Rachmadi Usman (2003:1), kata milik atau kepemilikan lebih tepat digunakan daripada kata kekayaan, karena pengertian hak milik memiliki ruang lingkup yang lebih khusus dibandingkan dengan istilah kekayaan. Menurut sistem hukum perdata kita, hukum harta kekayaan itu meliputi hukum kebendaan dan hukum perikatan. Intellectual Property Rights merupakan kebendaan immaterial yang juga menjadi objek hak milik sebagaimana diatur dalam hukum kebendaan. Karena itu, lebih tepat kalau kita menggunakan istilah Hak atas Kepemilikan Intelektual (HKI) daripada istilah Hak atas Kekayaan Intelektual.
       Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI No. M.03.PR.07.10 tahun 2000 dan Persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Surat No.24/M/PAN/1/2000, istilah “Hak Kekayaan Intelektual” (tanpa “atas”) yang disingkat dengan “HKI” telah resmi dipakai sebagai istilah baku dalam bahasa Indonesia semenjak tahun 2000 yang lalu. (Bernard Nainggolan,2011:1). Di dalam tulisan ini, penulis menyebut “Hak Kekayaan Intelektual” yang disingkat dengan “HKI”. 
      Hak kekayaan intelektual itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar. (OK.Saidin,2013:9), atau juga dapat diartikan sebagai hak atas kepemilikan terhadap karya-karya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektualitas manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Karya-karya yang tersebut merupakan kebendaan tidak terwujud yang merupakan hasil kemampuan intelektualitas seseorang atau manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi melalui daya cipta, rasa, karsa dan karyanya, yang memiliki nilai-nilai moral, praktis dan ekonomis. Pada dasarnya yang termasuk dalam lingkup HKI adalah segala karya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan melalui akal atau daya pikir seseorang atau manusia tadi. Hal inilah yang membedakan HKI dengan hak-hak milik lainnya yang diperoleh dari alam. (Rachmadi Usman,2003:2). 
       Indonesia sebagai Negara kepulauan, memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya. Hal itu sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Kekayaan seni dan budaya tersebut merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang dapat dan perlu dilindungi oleh undang–undang. Kekayaan itu tidak semata–mata untuk seni dan budaya itu sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan di bidang perdagangan dan industri yang melibatkan para penciptanya. Dengan demikian, kekayaan seni dan budaya yang dilindungi dapat meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi para penciptanya saja, tetapi juga bagi bangsa dan negara.(Penjelasan UUHC)
       Indonesia adalah negara dengan kekayaan dan keragaman budaya serta tradisi yang luar biasa. Jika kekayaan keragaman budaya dan tradisi itu dapat dikelola dengan baik dan benar, maka bukan tidak mungkin kebangkitan ekonomi Indonesia justru dipicu bukan karena kecanggihan teknologi, melainkan karena keindahan tradisi dan keragaman warisan budaya itu sendiri. Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan adalah bagian integral dari kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan. (Agus Sardjono,2009:160). Di dalam RUU Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional selanjutnya disingkat PTEBT memberikan definisi pengetahuan tradisional adalah karya intelektual di bidang pengetahuan dan teknologi yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan, dan dipelihara oleh komunitas atau masyarakat tertentu. Pengertian lain dari pengetahuan tradisional ialah sebagai pengetahuan yang dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh suatu komunitas, masyarakat, atau suku bangsa tertentu yang bersifat turun temurun dan terus berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan. Pengertian ini digunakan dalam study of the problem of Discrimination Against Indigenous Populations, yang dipersiapkan oleh United Nation Sub-Commision on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities. Istilah pengetahuan tradisional digunakan untuk menerjemahkan istilah traditional knowledge, yang dalam perspektif WIPO digambarkan mengandung pengertian yang lebih luas mencakup Indigenous Knowledge and folklore.(Afrillyanna Purba,2012:90-91). Sedangkan pengertian ekspresi budaya tradisional dari terminologi WIPO memberikan definisi tentang Traditional Cultural Expresions sebagai berikut “...bentuk apapun, kasat mata maupun tak kasat mata, dimana pengetahuan dan budaya tradisional diekspresikan, tampil atau dimanifestasikan dan mencakup bentuk-bentuk ekspresi atau kombinasi berikut ini....” .(Afrillyanna Purba,2012:95). Hal ini meliputi ekspersi lisan, seperti misalnya kisah, efik, legenda, puisi, teka-teki dan bentuk narasi lainnya; kata, lambang, nama dan simbol; ekspresi dalam bentuk gerak, seperti drama, upacara, ritual. Sebagai tambahan, definisi ini juga mencakup ekspresi yang kasat mata, seperti produksi seni, khususnya gambar, desain, lukisan termasuk lukisan tubuh dan juga dengan berbagai benda-benda kerajinan, instrumen musik, dan berbagai bentuk arsitektural.(Afrillyanna Purba,2012:95). Di dalam RUU PTEBT salah satu yang dilindungi dari ekspresi budaya tradisional adalah permainan. Agar suatu ekspresi memenuhi syarat traditional cultural ekspresion, ekspresi tersebut harus menunjukan adanya kegiatan intelektual individu maupun kolektif yang merupakan ciri dari identitas dan warisan suatu komunitas, dan telah dipelihara, digunakan atau dikembangkan oleh komunitas tersebut, atau oleh orang perorangan yang memiliki hak atau tanggung jawab untuk melakukannya sesuai dengan hukum dan praktik adat/kebiasaan dalam komunitas tersebut.(Afrillyanna Purba,2012:95).
       Hukum memberikan sarana perlindungan terhadap sebuah karya cipta yang merupakan produk dari pikiran manusia. Dengan adanya Undang – undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, maka terhadap karya cipta yang dihasilkan dapat diberikan perlindungan. Bentuk nyata ciptaan - ciptaan yang dilindungi dapat berupa kesastraan, seni, maupun ilmu pengetahuan.
       Sedangkan pengaturan kekayaan intelektual pengetahuan tradisional dan kekayaan intelektual lain sejenis dinamakan ekspresi budaya tradisional merupakan masalah hukum baru yang berkembang baik di tingkat nasional maupun internasional. Pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional sebagai kekayaan intelektual baru dalam waktu satu dekade terakhir muncul menjadi masalah hukum disebabkan belum ada instrumen hukum nasional maupun internasional memberikan perlindungan hukum secara optimal terhadap pengetahuan tradisional yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal ini disebabkan kurangnya perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.(Afrillyanna Purba,2012:4-5).
         Dalam tataran normatif, perlindungan terhadap hasil kebudayaan rakyat ini diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang – undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta menyebutkan “Negara memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang jadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajian tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya”. Selain itu aturan hukum non HKI yang melindungi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisonal (PTEBT) terdapat juga di Undang-undang Cagar Budaya, Hukum Adat dan RUU Kebudayaan.
       Secara umum yang diatur dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta selanjutnya disebut UUHC adalah dua hal yaitu peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional dan folklor (Afrillyanna Purba,2012:87). Folklor dimaksudkan sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun, termasuk:
a. cerita rakyat, puisi rakyat;
b. lagu-lagu rakyat dan musik instrumen tradisional;
c. tari-tarian rakyat, permainan tradisional;
d. hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukiran-ukiran, pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional.

       Folklor dapat dikategorikan ke dalam 3 golongan besar yaitu folklor lisan, folklor sebagian lisan dan folklor bukan lisan, folklor bukan lisan terdiri atas folklor bukan lisan yang materiil dan folklor bukan lisan yang bukan materiil. Salah satu ciptaan tradisional yang termasuk dalam folklor adalah permainan tradisional. Permainan tradisional termasuk kedalam folklor bukan lisan yang materiil terdiri atas bentuk arsitektur rakyat, seni kriya rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh tradisional, alat musik tradisional, alat permainan rakyat, masakan dan minuman tradisional, obat-obat tradisional. (Afrillyanna Purba,2012:121). 
        Banyak permainan tradisional yang terdapat di Indonesia, antara lain: Congklak, Gatrik, Bekel, Gobak Sodor, Permainan Benteng, Perepet Jengkol, Permainan Lompat Tali (Lompat Karet), Panjat Pinang dan lain-lain. Semua permainan ini adalah suatu ciptaan tradisional yang merupakan warisan turun temurun dan dimainkan secara bersama-sama. 
       Permainan tradisional tersebut di atas merupakan contoh dari ribuan permainan tradisional yang ada di Indonesia. Namun permainan-permainan tradisional tersebut kini mulai terkikis keberadaannya sedikit demi sedikit khususnya di kota-kota besar di Indonesia dan mungkin untuk anak-anak sekarang ini banyak yang tidak mengenal permainan tradisional yang ada, padahal permainan tradisional tersebut adalah warisan dari nenek moyang rakyat Indonesia. Semakin tidak populernya permainan tradisional tersebut dikarenakan telah banyak munculnya permainan-permainan modern yang lebih atraktif dan menyenangkan hati anak-anak sekarang ini dan kesemua permainan tersebut adalah murni produk impor dari luar Indonesia. Permainan modern yang lebih inovatif dan canggih seperti playstation, X Box, Nintendo dan sebagainya lebih menarik dan populer dibandingkan dengan permainan tradisional yang dinilai sudah kuno dan ketinggalan zaman. 
       Dengan banyaknya permainan elektronik maupun non elektronik modern yang menyenangkan dan menghibur yang ada dipasaran Indonesia, maka sedikit demi sedikit keberadaan dari permainan tradisional semakin tersisihkan. Akibatnya, permainan tradisional asli Indonesia lambat laun akan ditinggalkan, hilang dan punah, pada saat ini jarang sekali terlihat anak-anak Indonesia memainkan permainan tradisional baik itu di lingkungan masyarakat tempat tinggal maupun di sekolah-sekolah, kecuali dimainkan atau dapat kita temui pada hari-hari besar seperti hari kemerdekaan Indonesia, setelah itu permainan tradisional ini tidak dimainkan lagi. Permasalahan ini akan menjadi ancaman besar bagi bangsa Indonesia karena permainan tradisional merupakan karya intelektual warisan budaya yang wajib dijaga dan dilestarikan.

II. PERMASALAHAN
Bagaimanakah langkah perlindungan terhadap permainan tradisional (Folklor) sebagai karya intelektual warisan bangsa di era globalisasi ?

III. PEMBAHASAN

       Sejalan dengan niat serta usaha untuk melestarikan dan mengembangkan pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dan budayanya maka telah disepakati suatu piagam yang disebut Piagam Pelestarian Pustaka Indonesia 2003 yang di deklarasikan pada bulan Desember 2003 di Ciloto, Jawa Barat. Adapun pengertian pelestarian yang dianut dalam piagam tersebut adalah upaya pengelolaan pustaka melalui kegiatan penelitian, perencanaan, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan dan pengawasan. Penggunaan istilah “perlindungan” memiliki makna yang luas, yang berarti juga upaya pelestarian serta perlindungan HKI yang ada dalam PTEBT Indonesia. Pelestarian bisa juga mencakup pengembangan secara selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian, dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika zaman. (Afrillyanna Purba,2012:137).
          Di dalam RUU Tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional yang biasa disingkat PTEBT menjelaskan bahwa Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional yang dilindungi mencakup unsur budaya yang disusun, dikembangkan, dipelihara, dan ditransmisikan dalam lingkup tradisi dan memiliki karakteristik khusus yang terintegrasi dengan identitas budaya masyarakat tertentu yang melestarikannya. Ekspresi Budaya Tradisional yang dilindungi mencakup salah satu atau kombinasi bentuk salah satunya adalah permainan. 
       Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan yang modern serta pengaruh globalisasi dunia, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan dan rintangan terhadap eksistensinya. Hal ini perlu kita cermati karena warisan budaya dan nilai-nilai tradisional tersebut seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan lebih jauh.
Sebenarnya banyak sisi positif dari permainan tradisional asli Indonesia, antara lain adalah :

1. Pemanfaatan bahan–bahan permainan, selalu tidak terlepas dari alam
Hal ini melahirkan interaksi antara anak dengan lingkungan sedemikian dekatnya. Kebersamaan dengan alam merupakan bagian terpenting dari proses pengenalan manusia muda terhadap lingkungan hidupnya. (www.dolanantradisional.net23.net/artikelPT%20di%20Era%20Globalisasi.html)
2. Hubungan yang sedemikian erat akan melahirkan penghayatan terhadap kenyataan hidup manusia.
Alam menjadi sesuatu yang dihayati keberadaanya, tak terpisahkan dari kenyataan hidup manusia. Penghayatan inilah yang membentuk cara pandang serta penghayatan akan totalitas cara pandang mengenai hidup ini (kosmologi). Cara pandang inilah yang kemudian dikenal sebagai bagian dari sisi kerohanian manusia tradisional.(http://www.dolanantradisional.net23.net/artikelPT%20di%20Era%20Globalisasi.html) 
3. Melalui permainan masyarakat mulai mengenal model pendidikan partisipatoris.
Artinya, anak memperoleh kesempatan berkembang sesuai dengan tahap-tahap pertumbuhan jiwanya. Dalam pengertian inilah, anak dengan orang tua atau guru memiliki kedudukan yang egaliter, sama-sama berposisi sebagai pemilik pengalaman, sekaligus merumuskan secara bersama-sama pula diantara mereka. (http://www.dolanantradisional.net23.net/artikelPT%20di%20Era%20Globalisasi.html)

       Yang menjadi pertanyaan, bagaimana bangsa ini bisa melestarikan dan mengembangkan permainan tradisional sebagai warisan budaya bangsa? Mengutip pendapat dari Koentjaraningrat bahwa pembangunan kebudayaan nasional Indonesia perlu berorientasi ke zaman kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang telah lampau, tetapi juga ke zaman sekarang karena kebudayaan perlu memberi kemampuan kepada bangsa Indonesia untuk menghadapi peradaban dunia masa kini. (M.Munandar Sulaeman,1998:43). 
       Pemerintah tentu tidak dapat bekerja sendiri dalam upaya pelestarian dan pengembangan permainan tradisional sebagai warisan budaya bangsa, agar permainan tradisional dapat dilestarikan dan dikembangkan di era globalisasi pada saat ini, maka langkah awal Pemerintah dan masyarakat yang bisa dilakukan sebagai berikut:
a. Pendidikan
Melalui pendidikan formal maupun non formal, diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat baik itu melalui kurikulum pendidikan, penelitian, pelatihan aparat penegak hukum tentang HKI terutama masalah PTEBT, maupun seminar-seminar mengenai permainan tradisional asli Indonesia yang telah turun temurun diwariskan sebagai karya intelektual nenek moyang bangsa yang harus dilestarikan dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. 
b. Pemberdayaan Masyarakat Adat
Melalui pemberdayaan masyarakat adat diharapkan masyarakat adat dapat mengontrol PTEBT mereka yang dimanfaatkan pihak ketiga. Masyarakat adat-lah yang memainkan peranan penting dalam pengembangan PTEBT di Indonesia. Mereka yang mengembangkan kearifan lokal, upacara, kesenian, kuiliner, obat-obatan, serta folklor, yang khas milik mereka yang disesuaikan dengan lingkungan ekosistem di mana masyarakat itu hidup. Sehingga dari pemberdayaan masyarakat adat ini diharapkan dapat mengembangkan PTEBT khususnya permainan tradisional sebagai kustodian PTEBT. Adapun pengertian kustodian PTEBT di dalam RUU PTEBT adalah komunitas atau masyarakat tradisional yang memelihara dan mengembangkan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional tersebut secara tradisional dan komunal.
c. Dokumentasi dan data-base atas Permainan Tradisional
Pemerintah harus melakukan inventarisasi seluruh permainan tradisional asli yang ada di Indonesia, setelah inventarisasi selesai, dilanjutkan dengan proses verifikasi, dokumentasi dan penyusunan data-base. Dokumentasi dan data base sangat penting di dalam melestarikan PTEBT dan mencegahnya dari kepunahan khususnya permainan tradisional karena dari pendokumentasian dan penyusunan data base kita dapat mengetahui jumlah permainan tradisional di Indonesia yang merupakan warisan asli dari nenek moyang bangsa Indonesia.
d. Partisipasi Masyarakat Lokal dan Insan Seni/Budaya 
Dari partisipasi masyarakat lokal tempat asal permainan tradisional tersebut diciptakan, diharapkan masyarakat lokal untuk bisa berpartisipasi di dalam pelestarian dan pengembangan permainan tradisional dengan menumbuhkan rasa kebanggaan dan kecintaan terhadap permainan tradisional. Pelestarian dan pengembangan budaya bangsa tidak bisa dilepaskan juga dari peran seniman dan budayawan. Seniman dapat memberikan contoh kepada masyarakat melalui karya budaya yang ditampilkan, menyampaikan pesan-pesan moral dan nilai-nilai positif untuk masyarakat. Pemerintah diharapkan dapat memberikan ruang, memfasilitasi kegiatan-kegiatan para seniman untuk terus berkreatifitas serta memberikan pengakuan dan apresiasi terhadap insan seni dan budaya.
e. Pengumuman
Pengumuman disini berupa pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat orang lain. Diharapkan dari pengumuman ini masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional akan tahu bahwa permainan tradisional yang diumumkan adalah karya budaya bangsa Indonesia dan bisa mendapatkan pengakuan dari dunia. 
f. Kerjasama antar Stakeholder
Kerjasama antar instansi terkait di dalam pelestarian dan pengembangan ekspresi budaya tradisional khususnya permainan tradisional seperti Kementerian Hukum dan Perundang-undangan, Kementerian Budaya dan Pariwisata, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas, lembaga penelitian dan pengembangan, sektor-sektor swasta, serta instansi lainnya yang terkait merupakan stakeholder yang mempunyai peran sangat penting di dalam pelestarian dan pengembangan PTEBT khususnya permainan tradisional, yang diharapkan dari kerjasama antar instansi ini dapat menghasilkan regulasi berupa instrumen hukum yang khusus mengenai PTEBT dan inovasi serta solusi mengenai perlindungan dan pengembangan PTEBT menghadapi era globalisasi.

      Tentu saja ke enam langkah itu bukanlah langkah-langkah terbaik yang dapat dilakukan untuk melestarikan dan mengembangkan ekspresi budaya tradisional khususnya permainan tradisional. Berbagai pihak terbuka untuk menawarkan strateginya, namun apapun tujuan nya di dalam tulisan ini, Penulis ingin membangun kesadaran (awareness) bersama, bahwa kita memiliki warisan budaya tradisional yang bernilai tinggi dan wajib dijaga dan dilestarikan. Bersama-sama dengan komunitas mengembangkan warisan budaya melalui berbagai cara serta memberikan pengakuan dan penghargaan hak-hak komunitas terkait dan juga bersama-sama dengan Pemerintah melakukan berbagai upaya di dalam pelestarian dan pengembangan warisan budaya tradisional sebagai warisan budaya bangsa. Kalau bukan kita yang menjaga dan melestarikan, siapa lagi ?

IV.KESIMPULAN
Pemerintah tentu tidak dapat bekerja sendiri dalam upaya pelestarian dan pengembangan permainan tradisional sebagai warisan budaya bangsa, agar permainan tradisional dapat dilestarikan dan dikembangkan di era globalisasi pada saat ini, maka langkah awal Pemerintah dan masyarakat yang bisa dilakukan antara lain melalui Pendidikan, Pemberdayaan Masyarakat Adat, Dokumentasi dan data-base atas Permainan Tradisional, Partisipasi Masyarakat Lokal dan Insan Seni/Budaya, Pengumuman, serta Kerjasama antar Stakeholder.

DAFTAR PUSTAKA


a. Buku
Abdulkadir Muhammad,2007,Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual,Citra Aditya Bakti,   Bandung
Afrillyanna Purba,2012,Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional Sebagai Sarana Pertumbuhan Ekonomi Indonesia,Alumni,Bandung
Agus Sardjono,2009,Membumikan HKI di Indonesia,Nuansa Aulia,Bandung
Bernard Nainggolan,2011,Pemberdayaan Hukum Hak Cipta dan Lembaga Manajemen Kolektif,Alumni,Bandung
M.Munandar Sulaeman,1998,Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar,Refika Aditama,Bandung
Ok.Saidin,2013,Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Rights), RajaGrafindo Persada, Jakarta
Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual (Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia), Alumni,Bandung
b.Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Kepmen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia No.M.03.PR.07.10 tahun 2000 dan Persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Surat No.24/M/PAN/1/2000
RUU Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (PTEBT)
Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia, Indonesia Heritage Year 2003, Ciloto, 13 December 2003
c.Internet






Senin, 18 Juli 2011

Kasus Prita ( Perbedaan Putusan Perdata dan Pidana Wajar )

Mahkamah Agung mengabulkan tuntutan tim jaksa penuntut umum Pengadilan Negeri Tangerang terhadap Prita, terpidana kasus dugaan pencemaran nama baik RS Omni Internasional Serpong.
Namun, putusan tersebut justru menuai kritik karena sebelumnya dalam putusan kasus perdata Prita, Mahkamah Agung (MA) justru "mendukung" Prita dengan tidak mengabulkan gugatan ratusan juta rupiah terhadap ibu tiga anak ini.
Pengamat Hukum Universitas Padjajaran, Yesmil Anwar, menilai perbedaan keputusan perdata dan pidana tersebut adalah wajar dalam dunia hukum. Menurutnya, dalam Undang-Undang Pokok Kehakiman, hakim bisa memutuskan sebuah perkara dengan kemandirian masing-masing.
"Ini namanya terjadi disparitas atau disharmoni hukum, yaitu satu sistem, tetapi beda keputusan," ujar Yesmil kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu (13/7/2011). Yesmil menjelaskan, dalam hukum pidana, hakim akan mengejar kebenaran materiil kasus. Kalau dalam perdata, hakim mencari kebenaran formal, misalnya mencari bukti formal, seperti dokumen-dokumen terkait kasus tersebut.
"Jadi, ketika kita berbicara dalam konteks hukum, kemandirian seorang hakim dalam kasus ini memang tidak dapat dipaksakan. Jadi, dua putusan kasasi yang berbeda sangat mungkin terjadi di dalam sistem hukum Indonesia karena setiap hakim memiliki penilaian berbeda," ujarnya.
Namun, Yesmil mengakui, beberapa hakim saat ini belum memandang kasus tersebut secara komprehensif. Menurutnya, hakim saat ini belum mengejar keadilan secara integral (menyeluruh) karena masih melihat apa yang terjadi dalam sidang.
"Menurut saya, kalau melihat hukuman enam bulan, satu tahun masa percobaan itu sudah cukup adil karena dia tidak akan dipenjara juga. Namun, jika Prita ingin mengajukan peninjauan kembali (PK), maka hal itu wajar karena sudah hak dia sebagai pihak terdakwa. Asal jangan jaksa yang mengajukan PK karena itu sudah menyalahi hukum," tambahnya.
Seperti diberitakan, beberapa pihak menilai putusan kasasi yang dikeluarkan MA terhadap Prita Mulyasari adalah sesuatu yang janggal.
Pasalnya, dalam kasus tersebut terdapat pertentangan antara putusan kasasi perdata dan pidana yang dikeluarkan MA. Dalam putusan kasasi perdata, Prita dinyatakan tidak terbukti dari dugaan pencemaran nama baik dan bebas dari kewajiban membayar denda kepada RS Omni Internasional.
Dalam putusan pidana, Prita justru terbukti bersalah dan divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Perkara Prita secara perdata ditangani oleh tim hakim agung yang dipimpin langsung Ketua MA Arifin Tumpa.
Dalam putusan kasasi perdata, hakim tidak menemukan niatan Prita untuk menghina, dan menilai bahwa Prita hanya menyampaikan keluhan. Penilaian ini bahkan tercantum dua kali di amar putusan.
Prita juga dinyatakan tidak memiliki iktikad buruk untuk melakukan penghinaan sehingga Prita bebas dari kewajiban membayar denda Rp 204 juta kepada rumah sakit tersebut.
Namun, kasus ibu tiga akan itu kembali mencuat setelah pada 30 Juni lalu, MA mengabulkan kasasi yang diajukan tim jaksa penuntut umum Pengadilan Negeri Tangerang (PN Tangerang) terhadap putusan hakim PN Tangerang yang memvonis bebas Prita.
Dengan demikian, Prita dinyatakan bersalah secara pidana di tingkat kasasi dan dihukum enam bulan penjara dengan satu tahun masa percobaan.
http://nasional.kompas.com/read/2011/07/13/21191580/Perbedaan.Putusan.Perdata.dan.Pidana.Wajar