Selasa, 29 November 2011

Teori Hukum Murni (the Pure Theory of Law) Hans Kelsen



Ide mengenai Teori Hukum Murni (the Pure Theory of Law) diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen lahir di Praha pada 11 Oktober 1881. Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke Vienna. Pada 1906, Kelsen mendapatkan gelar doktornya pada bidang hukum.
Kelsen memulai karirnya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.
Yurisprudensi ini dikarakterisasikan sebagai kajian kepada hukum, sebagai satu objek yang berdiri sendiri, sehingga kemurnian menjadi prinsip-prinsip metodolgikal dasar dari filsafatnya. Perlu dicatat bahwa paham anti-reduksionisme ini bukan hanya merupakan metodoligi melainkan juga substansi. Kelsen meyakini bahwa jika hokum dipertimbangkan sebagai sebuah praktek normatif, maka metodologi yang reduksionis semestinya harus dihilangkan. Akan tetapi, pendekatan ini tidak hanya sebatas permasalahan metodologi saja.\

1.NormaDasar

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah system Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein) dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi alamiah.
Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan dan kejadian yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan sederhana ; kita menilai sebuah aturan “seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu. Saat “seharusnya” tidak bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal intinya merupakan pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada presupposition yang merupakan pengandaian.
Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norm moral lain dengan silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.
Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant. Kedua, Kelsen tidak mengklain bahwa presupposition dari Nrma Dasar adalah sebuah kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif.
Kelsen mengatakan bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus melakukan presuppose Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan sebuah komitmen normatif, dan sifatnya selalu optional.

2. Nilai Normatif Hukum
Nilai normatif Hukum bisa diperbandingkan perbedaannya dengan nilai normatif agama. Norma agama, sebagaimana norma moralitas, tidak tergantung kepada kepatuhan aktual dari para pengikutnya. Tidak ada sanksi yang benar-benar langsung sebagaimana norma hukum. Misalnya saja ketika seorang lupa untuk berdoa di malam hari, maka tidak ada instrumen langsung yang memberikan hukuman atas ketidakpatuhannya tersebut.
Validitas dari sistem hukum bergantung dari paktik-pratik aktualnya. Dikatakannya bahwa “perturan legal dinilai sebagai sesuatu yang valid apabila normanya efektif (yaitu secara aktual dipraktikkan dan ditaati)”. Lebih jauh lagi, kandungan sebenarnya dari Norma Dasar juga bergantung pada keefektifitasannya. Sebagaimana yang telah berkali-kali ditekankan oleh Kelsen, sebuah revolusi yang sukses pastilah revolusi yang mampu merubah kandungan isi Norma Dasar.
Perhatian Kelsen pada aspek-aspek normatifitasan ini dipengaruhi oleh pandangan skeptis David Hume atas objektifitasan moral, hukum, dan skema-skema evaluatif lainnya. Pandangan yang diperoleh seseorang, utamanya dari karya-karya akhir Hans Kelsen, adalah sebuah keyakinan adanya sistem normatif yang tidak terhitung dari melakuan presuppose atas Norma Dasar. Tetapi tanpa adanya rasionalitas maka pilihan atas Norma Dasar tidak akan menjadi sesuatu yang kuat. Agaknya, sulit untuk memahami bagaimana normatifitas bisa benar-benar dijelaskan dalam basis pilihan-pilihan yang tidak berdasar.
Hans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan hampir 400 karya, dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa. Pengaruh Kelsen tidak hanya dalam bidang hukum melalui Pure Theory of Law, tetapi juga dalam positivisme hukum kritis, filsafat hokum, sosiologi, teori politik dan kritik ideology. Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam dunia pemikiran hukum. Dalam hukum internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of International Law. Karya tersebut merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting dari hukum internasional termasuk kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan, retaliasi, spektrum validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional, pembuatan dan aplikasinya.

Minggu, 27 November 2011

“PEMBANGUNAN PERUMAHAN UNTUK KEPENTINGAN BISNIS DI ATAS TANAH WAKAF MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM DI HUBUNGKAN DENGAN UNDANG – UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DAN UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PEMUKIMAN “

A.         Latar Belakang
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu menggali dan mengembangkan potensi yang terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis.[1]
Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.
Wakaf merupakan salah satu lembaga hukum Islam. Hukum Islam adalah suatu sistem hukum yang mendasarkan pada ajaran agama Islam. Agama Islam merupakan ajaran agama yang sempurna. Mengatur seluruh kehidupan alam seisinya, termasuk mengatur kehidupan manusia. Dalam menjalani kehidupannya manusia dapat memiliki harta, tetapi kepemilikan harta itu tidak mutlak. Harta adalah milik Allah SWT dan dititipkan kepada manusia yang dikehendaki-NYA. Harta yang dimiliki oleh umat Islam sebagian adalah hak dari manusia yang lemah. Oleh karena  itu Islam mengajarkan memberikan sedekah, zakat dan wakaf terhadap harta yang dimiliki untuk kepentingan agama.
Di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam, sehingga wakaf sudah dikenal sejak lama. Menurut Ter Haar  wakaf merupakan suatu perbuatan hukum rangkap, maksudnya Perbuatan itu disatu pihak adalah perbuatan mengenai tanah atau benda yang menyebabkan obyek itu mendapat kedudukan hukum yang khusus tetapi di lain pihak seraya itu perbuatan itu menimbulkan suatu badan dalam hukum adat ialah suatu badan hukum yang sanggup ikut serta dalam kehidupan hukum sebagai subyek hukum.[2]
Ajaran Islam memuat dua dimensi jangkauan, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Dalam bidang sosial ekonomi, Islam mendorong pendayagunaan institusi wakaf dalam rangka peningkatan kesejahteraan umat. Muhammad Musthafa Tsalabi telah membuat rumusan wakaf dalam bentuk penahanan harta atas milik orang yang berwakaf dan mendermakan manfaatnya untuk tujuan kebaikan pada masa sekarang dan masa yang akan datang.[3]
Potensi tanah wakaf di Indonesia untuk dikembangkan bagi pembangunan perumahan sangat menjanjikan, karena potensinya sangat besar. Sebagai gambaran, penduduk Indonesia berjumlah 238,45 juta orang[4], dan 87% diantaranya beragama Islam (207,45 juta orang). Dengan kondisi seperti itu, menjadikan Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Selain itu, umat Islam Indonesia sudah semenjak lama akrab dengan wakaf. Namun keakraban tersebut belum menjadikan harta wakaf berguna secara maksimum untuk pembinaan umat Islam, kerana umumnya umat Islam Indonesia memahami wakaf terbatas untuk kepentingan pengguna saja, seperti untuk kuburan, mesjid dan madrasah. Padahal harta wakaf berpeluang dikelola secara baik, sehingga ada penghasilan berkesinambungan yang diperoleh dari pengelolaan harta wakaf, salah satu peluang dari pengelolaan tanah wakaf adalah pembangunan perumahan di tanah wakaf.
Di dalam Undang – Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Peruntukan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum. Sebagaimana diamanatkan Pasal 28 H UUD 1945 bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selanjutnya Pasal 40 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak. Sementara Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 Tentang RPJP 2005-2025 Bab IV.1.5 Butir 19 menyatakan “pemenuhan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya diarahkan pada penyelenggaraan pembangunan perumahan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Kemudian Agenda UN-Habitat di Istambul 1996 Paragraf 39 menyatakan:“….. We commit ourselves to the goal of improving and working conditions on an equitable and sustainable basis, so that everyone will have adequate shelter that is ….. affordable …”. [5]
Dari berbagai landasan tersebut diatas, jelas bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati, menikmati atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. Mengingat bahwa rumah merupakan hak dan kebutuhan dasar manusia, upaya pemenuhan kebutuhan rumah diupayakan dapat menjangkau segenap lapisan masyarakat, termasuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)[6].
Negara juga bertanggung jawab dalam menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman serta keswadayaan masyarakat di atas tanah wakaf. Penyediaan dan kemudahan perolehan rumah tersebut merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara[7].
Pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut berperan. Sejalan dengan peran masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab untuk menjadi fasilitator, memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat, serta melakukan penelitian dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek yang terkait, antara lain, tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia, kearifan lokal, serta peraturan perundang-undangan yang mendukung. Kebijakan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk: 
a.    memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat dan aman yang didukung prasarana, sarana, dan utilitas umum secara berkelanjutan serta yang mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia;
b.    ketersediaan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan, permukiman, serta lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan;
c.    mewujudkan perumahan yang serasi dan seimbang sesuai dengan tata ruang serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna;
d.    memberikan hak pakai dengan tidak mengorbankan kedaulatan negara; dan
e.    mendorong iklim investasi asing.
Sejalan dengan arah kebijakan umum tersebut, penyelenggaraan perumahan dan permukiman, baik di daerah perkotaan yang berpenduduk padat maupun di daerah perdesaan yang ketersediaan lahannya lebih luas perlu diwujudkan adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pengelolaannya. Pemerintah dan pemerintah daerah perlu memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dalam bentuk pemberian kemudahan pembiayaan dan/atau pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum di lingkungan hunian.[8]
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang perumahan dan kawasan permukiman ini juga mencakup pemeliharaan dan perbaikan yang dimaksudkan untuk menjaga fungsi perumahan dan kawasan permukiman agar dapat berfungsi secara baik dan berkelanjutan untuk kepentingan peningkatan kualitas hidup orang perseorangan yang dilakukan terhadap rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum di perumahan, permukiman, lingkungan hunian dan kawasan permukiman. Di samping itu, juga dilakukan pengaturan pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang dilakukan untuk meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Hal ini dilaksanakan berdasarkan prinsip kepastian bermukim yang menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, memiliki, dan/atau menikmati tempat tinggal, yang dilaksanakan sejalan dengan kebijakan penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.
Penyediaan Tanah untuk Perumahan dan Pemukiman tidak hanya dilaksanakan oleh penyedia tanah umum akan tetapi dalam perkembangannya pembangunan perumahan pemukiman ini dilaksanakan melalui penyediaan tanah wakaf , sebagai contoh yang dilakukan oleh Tabung Wakaf Indonesia dengan programnya Wakaf Property[9]
Wakaf  Properti Adalah donasi wakaf berupa fixed asset (asset tetap) yang dimiliki secara sah (bebas sengketa hukum) dan telah memperoleh persetujuan dari ahli waris (jika ada). Jika dipandang berpotensi untuk diproduktifkan, maka aset akan dikembangkan dengan modal pengelola (yang bersumber dari wakaf tunai) ataupun dikerjasamakan dengan pihak ketiga dengan prinsip saling menguntungkan. Namun, jika dirasakan potensinya lemah atau bahkan berat, maka jika dipandang perlu, pengelola diperbolehkan untuk menjual dan menggabungkan dengan aset yang lain (ruislag) agar memberikan manfaat yang lebih besar.
Bentuk-bentuk memproduktifkan aset dapat berupa penyewaan, leasing (bangun-sewa), kerjasama pengelolaan bisnis di atas aset dengan pihak ketiga dan membangun bisnis di atas aset. Surplus yang diperoleh kemudian dialirkan untuk program-program sosial sesuai peruntukannya.
Yang termasuk kepada donasi wakaf properti antara lain:
  1. Tanah
  2. Rumah
  3. Ruko
  4. Apartemen
  5. Bangunan Komersil (Perkantoran, Hotel, Mal, Pasar, Gudang, Pabrik, dll)
  6. Bangunan Sarana Publik (Sekolah, Rumah Sakit, Klinik, dll)
  7. Kendaraan (mobil, motor)
            Berdasarkan latar belakang di atas ,maka peneliti bermaksud mengkaji dan menganalis  Wakaf Property dalam sebuah penelitian yang Berjudul :
PEMBANGUNAN PERUMAHAN UNTUK KEPENTINGAN BISNIS DI ATAS TANAH WAKAF MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM DI HUBUNGKAN DENGAN UNDANG – UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DAN UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PEMUKIMAN
B.        Identifikasi Masalah.
                        Dalam penelitian ini, diidentifikasi dan dirumuskan permasalahannya sebagai berikut :
1.    Bagaimana status dan kedudukan perumahan yang dibangun diatas tanah wakaf untuk kepentingan bisnis menurut undang-undang nomor 41 tahun 2004 dan undang-undang no 1 tahun 2011
2.    Bagaimana pelaksanaan wakaf untuk pembangunan perumahan menurut uu no 41 tahun 2004 undang-undang no 1 tahun 2011


[1]  Penjelasan Umum Undang – undang Nomor 41 tahun 2001 Tentang Wakaf
[2]  Tamaddun, 2002, Bait Al Ashy, Rumah Wakaf Aceh di Tanah Suci Mekkah, www.al islam.or.id
[3] Muhammad Musthafa Tsalabi, al-Ahkam al-Washaya wa al-Awqaf, (Mesir: Dar al-Ta’lif, t.th.), h. 333.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia
[5] Dikutip dari sambutan Menteri Negara Perumahan Rakyat pada Seminar Potensi Wakaf Untuk Perumahan Rakyat, tanggal 24 Juni 2009.
[6]   Masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam konteks ini adalah mereka yang berpenghasilan samapai dengan Rp 2.500.000,-/bulan
[7]  Penjelasan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman
[8] Ibid, Penjelasan Umum Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman
       [9] www. Tabung wakaf Indonesia

Sabtu, 26 November 2011

Hukum Jaminan

JAMINAN DAN PENGGOLONGANNYA
1. Pengertian jaminan

Jaminan adalah sesuatu yang di berikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajibannya yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan. 
1. jaminan yang diberikan kepada kreditur baik berupa hak kebendaan maupun hak perorangan
2. jaminan yang diberikan kepada kreditur dapat diberikan oleh debitur sendiri maupun oleh pihak ketiga yang disebut juga penjamin atau penanggung
3. jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut untuk keamanan dan kepentingan kreditur, haruslah diadakan suatu perikatan  khusus, perikatan mana yang bersifat accesoir dari perjanjian kredit atau pengakuan hutang yang diadakan antara debitur dengan kreditur 
Jaminan Umum : jaminan yang diberikan bagi semua kepentingan kreditur dan menyangkut semua harta kekayaan debitur.
Jaminan khusus : jaminan atas benda – benda tertentu milik debitur yang telah ditunjuk secara khusus sebagai jaminan terhadap piutang kreditur dan hanya berlaku bagi kreditur tersebut.
 Istilah hukum jaminan berasal dari kata Resht dalam rangkaian nya sebagai Zekerheidsrechten yang berarti hak, sehingga Zekerheidsrechten adalah hak – hak jaminan. Tempat pengaturan hukum jaminan dapat dijumpai dalam KUHPer (1131 ) dan di luar KUHPer ( UUPA, UUHT, UU NO 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan ). 

       2. Maksud dan Tujuan Jaminan
Dalam KUHPerdata, dimana jaminan baik yang bersifat umum maupun khusus serta jaminan oleh seorang ketiga adalah dimaksudkan agar pihak yang berkewajiban dalam suatu perjanjian ( si berhutang ) tidak mudah saja mengingkari isi perjanjian. Dan pihak lain tidak dirugikan begitu saja.
Seorang Kreditur dapat mengadakan perjanjian dengan pihak debitur agar ia mendapatkan kedudukan yang lebih kuat dari pada kreditur lain. Dengan demikian bahwa hak – hak ini bertujuan untuk menjamin bahwa hutang – hutang debitur akan dibayar lunas, atau sebagai jaminan terwujudnya perjanjian pokok.
      3. Sifat dan Bentuk Perjanjian Jaminan
Sifat perjanjian jaminan sebagai perjanjian yang bersifat Accesoir yang merupakan perjanjian yang senantiasa dikaitkan dengan perjanjian pokok.
       4. Penggolongan Jaminan
    Jaminan di dalam perjanjian kredit dapat di golongkan :
1. jaminan yang lahir karena UU dan  jaminan yang lahir karena perjanjian
2. jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan perorangan
3. jaminan yang berwujud materiil ( agunan ) dan imateriil
4. jaminan yang mempunyai objek benda bergerak dan jaminan yang mempunyai objek benda tidak bergerak

    Penjelasan :
    1.jaminan yang lahir karena UU dan  jaminan yang lahir karena perjanjian jaminan yang lahir karena UU adalah jaminan yang ditunjuk oleh UU, tanpa di perjanjikan oleh para pihak. ( Pasal 1131 dan 1132 KUHPer )
Jaminan yang lahir karena perjanjian adalah jaminan yang secara yuridis baru timbul dengan adanya perjanjian yang dibuat antara kreditur ( bank ) dengan pemilik agunan, atau antara kreditur ( bank) dengan orang/pihak ketiga yang menanggung hutang debitur, misal Hak Tanggungan.
2. jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan perorangan
Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda yang mempunyai ciri – ciri: mempunyai hubungan langsung dengan benda – benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya ( Droit de suite ) dan dapat di peralihkan.
Jaminan perorangan adalah jaminan yang hanya mempunyai hubungan langsung dengan pihak pemberi jaminan/debitur tertentu, bukan terhadap benda tertentu.
3. jaminan yang berwujud materiil ( agunan ) dan imateriil
Jaminan yang berwujud materiil ( agunan ) adalah agunan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 8 ayat 1 UU No 7 Tahun 1992 sebagaimana telah di ubah dengan UU N0 10 Tahun 1998. sedangkan yang digolongkan kedalam jaminan immateriil adalah watak, kemampuan, modal dan prospek usaha debitur.
4 jaminan yang mempunyai objek benda bergerak dan jaminan yang mempunyai objek benda tidak bergerak.
jaminan yang mempunyai objek benda bergerak maka pengikatnya adalah gadai dan fidusia, sedangkan apabila objeknya benda tidak bergerak maka pengikatnya adalah secara hak tanggungan dan Hipotik.
5.Perjanjian jaminan merupakan perjanjian Accesoir
Perjanjian kredit yang berfungsi sebagai perjanjian pokok, maka untuk memperkuat posisi perjanjian pokok pihak bank perlu didukung dengan jaminan yang lain sebagai jaminan tambahan. Perjanjian jaminan ini merupakan perjanjian ikutan ( Accesoir ) dari perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum tentang hutang piutang yang dijamin pelunasannya oleh debitur..
Perjanjian Accesoir adalah perjanjian yang dibuat berdasarkan atau berkaitan dengan perjanjia pokok. Perjanjian Accesoir timbul karena adanya perjanjian pokok yang mendasarinya.
Beberapa hal berkaitan dengan perjanjian pokok dan Accesoir
1.   Tidak ada suatu perjanjian accesoir bila sebelumnya tidak ada perjanjian pokok
2.   Bila perjanjian pokok berakhir, maka perjanjian accesoir harus di akhiri
3.   Ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok
4.   Jika perutangan pokok karena cessi, subrogasi, maka ikut beralih juga tanpa adanya penyerahan khusus
5.   Jika perjanjian pokok batal, maka perjanjian Accesoir juga ikut batal.








 

HUKUM JAMINAN / Arti Penting Lembaga Jaminan

1. Arti Penting Lembaga Jaminan
          Lembaga jaminan sangat di perlukan bagi perkembangan dunia investasi dan perdagangan di Indonesia. Investasi dan perdagangan ini memerlukan dana yang sangat besar, dana tersebut di peroleh melalui kredit perbankan. Pemberian kredit oleh bank memerlukan adanya jaminan untuk menjamin pelunasan hutang debitur.  Adanya jaminan ini merupakan langkah antisipasi terhadap kemungkinan timbulnya resiko dalam pengembalian kredit.
          2. Hak Jaminan Atas Tanah Sebelum Berlakunya UUPA
  Sebelum berlakunya UUPA, Hak jaminan atas tanah meliputi :
1.   Hypoteek
              Merupakan hak jaminan atas tanah untuk tanah – tanah dengan hak barat seperti Hak Eigendoom, Hak Opstal, dan Hak Erfacht. Diatur dalam Pasal 1162 – 1332 KUHPer.Tata cara cara pembebanannya dan penerbitan surat tanda bukti haknya di atur dalam Overschrijvings Ordonantie 1834 ( stb 1834-27 )
2. Credietverband
          Merupakan Hak jaminan atas tanah untuk tanah – tanah dengan hak milik adat. Di atur dalam Staatblad tahun 1908 – 542 jo staatblad 1909 – 584, yang berlaku untuk tanah – tanah hak milik adat.
3. Fiduciare Eigendoms Overdracht
          Merupakan hak jaminan atas tanah untuk benda bergerak. Bentuk jaminan yang ada berdasarkan putusan pengadilan.
4. Tanah sebagai Jonggolan
          Mengacu pada hukum adat,jika debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka hutang diselesaikan dengan cara melakukan perbuatan hukum mengenai tanah yang bersangkutan dengan kreditur. Bisa jual tahunan, gadai atau jual beli. Uang yang di terima debitur dalam perbuatan hukum tersebut digunakan untuk memenuhi kewajibannya.
                     Dengan berlakunya UUPA, Penjaminan hak atas tanah dilakukan dengan Hak Tanggungan.

 

 

 

 
 
 

 


Selasa, 22 November 2011

MANUSIA DAN CINTA KASIH

1.    
          Pengertian Cinta Kasih
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cinta adalah Rasa sangat suka ( kepada ) atau rasa sayang ( kepada ).  Ataupun rasa sangat  kasih atau sangat tertarik hatinya. Sedangkan kata Kasih artinya perasaan sayang atau cinta ( kepada ) atau menaruh belas kasihan.
Sehingga arti cinta dan kasih itu hampir sama, kata kasih dapat di katakan lebih memperkuat rasa cinta. Oleh karena itu cinta kasih dapat diartikan sebagai perasaan suka ( sayang ) kepada seseorang yang disertai dengan manaruh belas kasihan.
Ada perbedaan cinta dan kasih, yaitu cinta lebih mengandung pengertian tentang rasa yang mendalam, sedangkan kasih merupakan pengungkapan untuk mengeluarkan rasa, mengarah kepada  orang  atau yang di cintai.
Makhluk Hidup Mana saja yang mengenal Cinta Kasih ?
Tumbuhan ; Gejala – gejala Cinta kasih belum tampak pada tumbuhan.
Binatang : sudah mulai menunjukan adanya cinta kasih, terutama induk kepada anaknya.
Manusia : sudah makin jelas
Dalam bukunya Erich Fromm Seni Mencintai ( 1983 ) menyebutkan bahwa cinta itu terutama memberi, bukan menerima, dan memberi merupakan ungkapan yang paling tinggi dari kemampuan.
Dalam bukunya Disimpang Cinta, Dr. Frank S Caprio ( 1985 ) menyatakan bahwa cinta hanyalah suatu perasaan. Cinta dapat datang dan pergi. Anda tidak dapat berbuat apapun terhadap cinta. Apakah yang harus dimengerti tentang cinta ? Inti pokoknya cinta bersifat timbal balik.
Sedangkan pengertian cinta Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono dalam majalah Sarinah dengan judul artikel Segitiga cinta, Cinta ideal memiliki 3 unsur, yaitu keterikatan, keintiman, dan kemesraan.
Keterikatan
Adanya perasaan untuk hanya bersama dia, segala prioritas untuk dia, tidak mau pergi dengan orang lain kecuali dengan dia, kalau janji dengan dia harus di tepati, atau ada uang sedikit beli oleh – oleh hanya untuk dia.
Keintiman
Adanya kebiasaan – kebiasaan atau tingkah laku yang menunjukan bahwa anda dan dia sudah tidak ada jarak lagi sehingga panggilan – panggilan formal seperti Bapak, Ibu, saudara digantikan dengan sekedar memanggil nama atau sebutan sayang.
Kemesraan
Adanya rasa ingin membelai atau di belai, rasa kangen kalau jauh, atau lama tidak bertemu, adanya ucapan – ucapan yang mengungkakan rasa sayang,merangkul dsb.
Dra. Kartini Kartono dalam bukunya Psikologi Abnormal dan Pathologi Seks megemukakan bahwa wanita dan pria dapat disebut normal dan dewasa bila mampu mengadakan relasi seksual dalam bentuk normal dan bertanggung jawab.
Relasi seks yang abnormal dan perversi ( buruk, jahat ) adalah relasi seks yang tidak bertanggung jawab, didorong oleh kompulasi yang abnormal. Hal demikian bertentangan dengan norma sosial, hukum, maupun agama. Abnormalitas dalam pemuasan seks menurut Dra. Kartini Kartono  dibagi dalam 3 golongan :
Pertama dorongan seksual abnormal :
a.       Pelacuran ( prostitution )
pada umumnya dilakukan oleh kaum wanita dalam melayani pria hidung belang karena dorongan ekonomi, kekecewaan, atau balas dendam.
b.   Perzinahan ( adultery ) dilakukan oleh laki – laki yang sudah kawin dengan wanita yang bukan istrinya, karena suka sama suka, karena dorongan seks semata dsb.
            c.     Perkosaan ( rape )
merupakan perbuatan cabul dengan cara kekerasan atau paksaan.
            d.    Bujukan ( seduction )
merupakan bujukan atau rayuan  untuk mengajak partnernya  melakukan hubungan intim, banyak pasien dukun cabul menjadi korban.

Kedua, disebabkan partner seks yang abnormal
a. Homoseksualiltas
    Dilakukan oleh seseorang dengan orang lain yang jenis kelaminnya sama
b. Zoofilia
    Merupakan bentuk cinta yang sangat mesra dan abnormal sifatnya terhadap binatang. Misalnya makan   bersama, membelai dsb
c. Pedofilia ( paidos = anak, phileo = mencintai )
   Dilakukan oleh orang – orang dewasa yang memperoleh kepuasan seks dengan anak kecil. Di wujudkan dengan menciumi, menimang – nimang dsb.
d. Geronto Seksualitas ( geroon = tua renta )
   Dilakukan oleh pemuda yang melakukan hubungan seksual dengan wanita yang jauh lebih tua, karena perhitungan ekonomi.

Ketiga ;
a. Voyeurism atau Peeping Tom ( Voyeur, peeping = mengintai )
    Dilakukan oleh seseorang yang mendapat kepuasan seks dengan melihat orang telanjang.Sebagaian besar dilakukan oleh pria dari pada wanita, perbandingan 9 : 1 .
b. Transvetisme ( trans = melampaui, vestis = pakaian )
    Merupakan gejala patologisyang memakai pakaian dari lawan jenis kelaminnya.
c. Transseksualisme
Terjadi pada seseorang yang merasa dirinya memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya.