Tampilkan postingan dengan label PRO YUSTISIA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PRO YUSTISIA. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 Mei 2016

Hukum Hak Cipta (Tinjauan Khusus Performing Right Lagu Indie Berbasis Nilai Keadilan)

ABSTRAK: 
Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Salah satu hasil karya yang dilindungi adalah lagu atau musik. Dari fenomena yang terjadi, hubungan hukum antara pencipta lagu indie dengan stasiun radio, pencipta lagu indie tidak mendapatkan manfaat ekonomi dari pengumuman musik atau lagu di stasiun radio. Manfaat ekonomi yang dimaksud adalah berupa imbalan atas penggunaan musik atau lagu yang diberikan oleh pengguna hak cipta kepada pencipta sehubungan dengan pemberian izin untuk menggunakan ciptaan.
Di dalam buku ini, dapat digambarkan bahwa hubungan hukum antara pencipta lagu indie dengan stasiun radio atas performing right  musik  dan lagu indie dikaitkan dengan Buku III (Tiga) KUH Perdata merupakan perbuatan melakukan jasa-jasa tertentu yang diatur dalam Pasal 1601 KUH Perdata. Salah satunya melakukan beberapa jasa. Antara kedua belah pihak tidak terdapat hubungan “majikan” dan “buruh” dan yang melakukan jasanya mempunyai kebebasan untuk melaksanakan jasanya itu, walaupun ia banyak sedikit harus pula memperhatikan keinginannya pihak lawan. Sungguhpun dalam Pasal 1601 KUH Perdata juga disebutkan bahwa pihak yang satu mengikat diri pada pihak lawannya untuk “bekerja” dengan mendapat upah, namun mengenai jasa-jasa, tidak selalu upah itu berupa uang. Perlindungan hukum khususnya hak ekonomi pencipta lagu indie atas performing right musik dan lagu indie dalam mengeksploitasi hak-hak ekonominya seperti kekayaan-kekayaan lainnya, timbul hak untuk mengalihkan kepemilikan atas hak cipta, misalnya dengan cara penyerahan (asignment) hak cipta tersebut. Jika pengalihan hak cipta dilakukan dengan lisensi, pencipta masih memiliki hak-hak ekonomi tertentu dari ciptaan yang dialihkan kepada pemegang hak cipta. Hal ini merupakan sesuatu yang sah dan mendapat perlindungan hak cipta. Bentuk perlindungan hukum khususnya hak ekonomi atas performing right musik dan lagu indie menurut hukum hak cipta dapat dilakukan dengan dua model, yaitu secara preventif maupun secara represif. Perlindungan hukum preventif yang bersifat pencegahan. Sedangkan model perlindungan kedua adalah secara represif yang bersifat tindakan hukum.

Rabu, 26 November 2014

PASSING OFF DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP PEMEGANG MEREK TERKENAL YANG TIDAK TERDAFTAR DI INDONESIA


ABSTRACT

Passing off is defined as the act of reputation brand ridership benefits for those who commit such acts. Trademark infringement is done by installing a brand, logo, and exactly to the original material, is now using the same brand with other brands that have been registered and used the same brand or similar to other brands, giving rise to misperceptions in the public's mind. Law No. 15 of 2001 on Marks does not contain a doctrine of passing off. Therefore, this doctrine can not be used in Indonesia, because the user is only protected his brand, if the person has obtained the rights to brand the country by registering the brand, no brand that is guaranteed if not registered.

Keywords: Passing off, Trademark, Infringement



I. PENDAHULUAN 

Dahulu secara resmi sebutan Intellectual Property Rights (IPR) diterjemahkan dengan hak milik intelektual atau hak atas kekayaan intelektual dan di negeri Belanda istilah tersebut diintrodusir dengan sebutan Intellectuele Eigendomsrecht (Rachmadi Usman, 2003: 1).

Dalam perkembangannya di Indonesia terdapat beberapa istilah yang telah digunakan, seperti hak milik intelektual atau hak kekayaan industri. Istilah kekayaan industri merupakan terjemahan langsung dari istilah industrial property yang secara resmi dipakai dalam Pasal 1 ayat (2) Paris Convention for the Protection of Industrial Property 1883 yang menyebutkan :

“Perlindungan atas kekayaan industri diberikan kepada paten, utility models (paten sederhana), desain industry, merek, service marks, nama dagang, indikasi geografis termasuk industry agribisnis dan manufaktur di bidang industry lainnya, seperti anggur, tembakau, air mineral, bir, tepung dan bunga” (Elyta Ras Ginting, 2012: 13)

Karena dinilai kurang tepat, penggunaan istilah “kekayaan industri” versi Paris Convention ini mendapatkan kritikan dari beberapa ahli hukum kekayaan intelektual, seperti McKeough, Bowrey, dan Griffith. Menurut mereka ada perbedaan yang tegas antara etimologi kata “kekayaan intelektual” (intellectual property) dan “kekayaan industri” (industrial property), yaitu :

“Istilah industrial property berasal dari bahasa Prancis ‘propriete industrielle’ yang memiliki arti yang sangat luas meliputi setiap kegiatan manusia (human labour). Istilah ‘propriete’ itu sendiri dalam bahasa Prancis tidak sama dengan ‘property’ atau kekayaan (dalam bahasa Inggris) karena istilah propriete digunakan untuk mengantisipasi terjadinya peniruan produk”. (Elyta Ras Ginting, 2012: 13-14)

Istilah “kekayaan intelektual” (intellectual property) untuk pertama kalinya dipakai dalam Pasal 2 (vii) Konvensi pembentukan WIPO (The Convention Establishing the World Intellectual Property Organization) pada tahun 1967. Demikian pula, TRIPs Agreement dalam Pasal 1.2 menggunakan istilah intellectual property yang merujuk pada tujuh kategori hak, yaitu (Elyta Ras Ginting, 2012: 14) :

1. Hak cipta dan hak terkait (copyright and related right)

2. Hak atas merek dagang atau industry (trademarks)

3. Indikasi geografis (geographical indication)

4. Desain industri (industrial design)

5. Hak paten (patents)

6. Hak integrasi terpadu (lay out design of integrated circuits)

7. Rahasia dagang (undisclosed information)

8. Hak varietas baru tanaman (new varieties of plants protection).

Saat ini istilah yang umum dipakai di seluruh dunia adalah “hak kekayaan intelektual” atau intellectual property. Akan tetapi di Indonesia masih ada dua istilah yang masih kerap digunakan, yaitu istilah hak kekayaan intelektual dan hak milik intelektual atau dengan singkatan HKI dan HaKI (Elyta Ras Ginting, 2012: 14).

Pembentuk undang-undang menggunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual sebagai istilah resmi dalam perundang-undangan Indonesia. Sedangkan para penulis hukum ada yang menggunakan istilah Hak Milik Intelektual di samping istilah Hak Kekayaan Intelektual (Abdulkadir Muhammad,2007:1).

Salah satu cabang-cabang utama HKI adalah Merek. Asal usul Merek berpangkal disekitar abad pertengahan di Eropa, pada saat perdagangan dengan dunia luar mulai berkembang. Fungsinya semula untuk menunjukan asal produk yang bersangkutan. Baru setelah dikenal metode produksi massal dan dengan jaringan distribusi dan pasar yang lebih luas dan kian rumit, fungsi Merek berkembang menjadi seperti yang dikenal sekarang ini (Rachmadi Usman, 2003:305).

Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan perdagangan barang dan jasa antarnegara, diperlukan adanya pengaturan yang bersifat internasional yang memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum di bidang Merek. Pada tahun 1883 berhasil disepakati Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Paris Convention), yang di dalamnya mengatur mengenai perlindungan Merek pula (Rachmadi Usman, 2003:306). Konvensi ini disusul dengan Perjanjian Madrid dan konvensi Hague serta perjanjian Lisabon. Dari seluruh konvensi tersebut yang menjadi dasar perlindungan Merek adalah konvensi Paris (Endang Purwaningsih, 2012:51).

Di Indonesia terdapat Undang-undang Merek tahun 1961 yang menggantikan Reglement Industriele Eigendom Kolonien Stb. 1912 Nomor 545 jo. Stb. 1913 Nomor 214. Perkembangan berikutnya tahun 1992 lahir undang-undang merek baru yang kemudian direvisi tahun 1997 dan tahun 2001 dengan menyesuaikan terhadap Trips (Endang Purwaningsih, 2012:49).

Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, pengertian Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Suatu hal penting dalam hukum Merek adalah perlindungan terhadap Merek terkenal. Economic interest atas Merek terkenal diakui dalam perjanjian internasional WIPO treaty, yang juga diatur kemudian oleh negara-negara Amerika, Australia, Inggris dan Indonesia. Ciri spesifik dari Merek terkenal adalah bahwa reputasi dari nama Merek tidak terbatas pada produk tertentu atau jenis tertentu, misalnya Marlboro yang tidak hanya digunakan sebagai produk rokok tetapi juga digunakan pada pakaian; Panther tidak hanya untuk jenis kendaraan tetapi juga produk minuman. Jadi perlindungan diberikan dalam hubungan pemakaian secara umum dan tidak hanya berhubungan dengan jenis barang-barang di mana Merek didaftarkan (Endang Purwaningsih, 2012:50-51).

Reputasi atau itikad baik dalam dunia bisnis dipandang sebagai kunci sukses atau kegagalan dari sebuah perusahaan. Banyak pelaku usaha berjuang untuk mendapatkan dan menjaga reputasi mereka dengan mempertahankan kualitas produk dan memberikan jasa kelas satu kepada para konsumen (Tim Lindsey dkk,2011:152). Pebisnis dengan sengaja memasang iklan untuk membangun reputasi produk maupun untuk mengenalkan produk baru di pasaran dan mempertahankan reputasi produk yang sudah ada sebelumnya (Endang Purwaningsih, 2012:51). 

Merek sangat penting dalam dunia periklanan dan pemasaran karena publik sering mengaitkan suatu image, kualitas atau reputasi barang dan jasa dengan Merek tertentu, Sebuah Merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga secara komersial (Tim Lindsey dkk,2005:131). Passing off melindungi pemilik reputasi dari pihak-pihak yang akan membonceng keberhasilan mereka, sehingga para pembonceng tidak dapat lagi menggunakan Merek, kemasan, atau indikasi lain yang bisa mendorong konsumen yakin bahwa produk yang di jual mereka dibuat oleh orang lain (Endang Purwaningsih, 2012:51).

Secara harfiah passing off berasal dari idiom pass off yang berarti menipu, menghilang sehingga passing off berarti penipuan, penghilangan. Berkaitan dengan merek, passing off sebagai pranata yang dikenal dalam Common Law sering diartikan sebagai tindakan pemboncengan reputasi suatu merek untuk mendapatkan keuntungan bagi pihak yang melakukan tindakan tersebut. 

Pengertian passing off menurut Black’s Law Dictionary yaitu: 

“The act or an instance of falsely representing one’s own product as that of another in an attempt to deceive potential buyers. Passing off is actionable in tort under the law of unfair competition. It may also be actionable as trademark infringement” (Bryan A. Garner, 2004:1115).

Pelanggaran terhadap Merek dilakukan dengan memasang Merek, logo, dan bahan persis dengan yang asli, sekarang penggunaan Merek yang mirip dengan Merek lain yang sudah terdaftar serta penggunaan Merek yang sama dan atau mirip dengan Merek lain sehingga menimbulkan kesalahan persepsi di benak masyarakat sudah mulai marak.

Salah satu contoh kasus passing off di Indonesia adalah kasus Aqua. Pemilik Merek Aqua, yaitu PT. Aqua Golden Mississipi merasa pesaingnya melakukan tindakan mendompleng reputasinya dengan cara memirip-miripkan Merek, berupa pencantuman Merek “Club Aqua” serta “Merek Aquaria”. Juga, warna-warna yang dipakai untuk merek-merek yang bersangkutan, bentuk, ukuran, format, dan kesan selanjutnya dari merek-merek tersebut (Lihat Muhamad Djumhana, R.Djubaedillah, 2014:283). 

Apabila kita telaah dari unsur yang diperlukan dalam melakukan aksi gugatan telah adanya “passing off”, yaitu bahwa pemilik telah mempunyai reputasi atas hal yang dibonceng oleh pihak lain dan pemilik usaha tersebut telah lama berjalan. Maka, posisi pemilik Aqua memang baik, yaitu bahwa Aqua sebagai Merek air mineral telah dikenal luas di kalangan masyarakat, bahkan masyarakat telah secara luas menyebut Aqua hanya untuk air minum mineral. Selain itu, pengusaha pemilik Merek Aqua telah begitu lama menjalankan usahanya dalam bidang air mineral, bahkan merupakan pengusaha pionir di Indonesia untuk usaha air mineral (Muhamad Djumhana, R.Djubaedillah, 2014:283).

II. PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan dalam tulisan ini adalah apakah Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek mengatur tentang Passing off sebagai upaya perlindungan terhadap pemegang Merek terkenal yang tidak terdaftar di Indonesia? 

III. PEMBAHASAN

1. Passing Off dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. 

Merek adalah asset ekonomi bagi pemiliknya, baik perseorangan maupun perusahaan (badan hukum) yang dapat menghasilkan keuntungan besar, tentunya bila didayagunakan dengan memperhatikan aspek bisnis dan proses manajemen yang baik. Demikian pentingnya peranan Merek ini, maka terhadapnya dilekatkan perlindungan hukum, yakni sebagai objek terhadapnya terkait hak-hak perseorangan atau badan hukum. Kebijakan keputusan yang melatarbelakangi perlindungan Merek yang mencakup perlindungan terhadap pembajakan Merek telah menjadi dunia (Adrian Sutedi,2009:92).

Bila dulu pelanggaran terhadap Merek dilakukan dengan memasang Merek, logo, dan bahan persis dengan yang asli, sekarang penggunaan Merek yang mirip dengan Merek lain yang sudah terdaftar serta penggunaan Merek yang sama dan atau mirip dengan Merek lain sehingga menimbulkan kesalahan persepsi di benak masyarakat sudah mulai marak. Pelanggaran Merek ini disebut passing off.

Namun, sampai saat ini belum ada undang-undang yang mengatur passing off, sehingga hal ini belum bisa dikatakan sebagai pelanggaran. Passing off saat ini baru bisa dikatakan sebagai persaingan curang yang dilakukan produsen yang tidak bertanggung jawab.

Merek terkenal merupakan obyek dari passing off khususnya yang tidak terdaftar karena adanya reputasi atau nama baik atau goodwill di dalam suatu Merek terkenal dan reputasi memiliki nilai ekonomis. Merek terkenallah yang harus diberikan perlindungan hukum dari perbuatan produsen pemakai Merek yang tidak jujur, curang dengan membonceng reputasi Merek terkenal, menampilkan seakan-akan barangnya adalah barang Merek terkenal yang diboncengnya.

Menurut salah satu ahli hukum di bidang HKI Indonesia, definisi umum dari doktrin passing off adalah: a common-law tort to enforce unregistered trademark. Menurut definisi tersebut, maka ada dua unsur dari passing off:

1) Passing off merupakan tort (yang sering kali disandingkan dengan perbuatan melawan hukum pada Pasal 1365 BW).

2) Passing off merupakan upaya hukum yang dilakukan pemilik merek yang belum didaftarkan untuk melindungi mereknya dari digunakan oleh pihak lain. (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20887/dapatkah-doktrin-passing-off-diaplikasikan-di-indonesia).

Dalam sistem hukum Anglo Saxon dikenal berbagai macam tort, dan passing off masuk ke dalam kategori tort of misrepresentation yang mengakar dari hukum kontrak. Di Indonesia padanan yang mirip dengan tort of misrepresentation dapat ditafsirkan dari Pasal 1320 jo Pasal 1321 jo Pasal 1322 jo Pasal 1328 jo Pasal 1335 jo Pasal 1337 jo Pasal 1365 BW. (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20887/dapatkah-doktrin-passing-off-diaplikasikan-di-indonesia).

Elemen yang diperlukan agar passing off dapat digunakan adalah:

a. Reputasi: yaitu apabila seorang pelaku usaha selaku penggugat memiliki reputasi bisnis yang sangat baik di mata publik atau sudah dikenal publik.

b. Misrepresentasi: dengan terkenalnya merek yang digunakan oleh pelaku usaha tersebut, maka apabila ada pelaku usaha lain mendompleng merek yang sama, maka publik yang relevan dengan merek tersebut dapat terkecoh dan khilaf atau tertipu. 

c. Kerugian: elemen kerugian jelas dapat ditimbulkan oleh merek pendompleng terhadap reputasi yang telah dibangun oleh merek yang didompleng. (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20887/dapatkah-doktrin-passing-off-diaplikasikan-di-indonesia).

Guna melindungi miliknya tersebut dalam sistem “common law” maka pihak yang merasa dirugikan biasanya melakukan apa yang disebut “action of passing off”. Dalam konteks hukum Merek “action of passing off” adalah untuk melindungi nama baik (business goodwill). Jadi, seseorang tidak boleh membonceng atas ketenaran Merek, nama baik, dan reputasi pihak lain sehingga akan terlindungilah masyarakat dari tindakan penipuan. Syarat lain dalam melakukan aksi “passing off” mengenai Merek, yaitu Merek tersebut dipakai dalam satu jenis kelas barang yang sama (Muhamad Djumhana, R.Djubaedillah, 2014:282).

Bagaimana pemberlakuan passing off di Indonesia, apakah Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek mengatur tentang Passing off sebagai upaya perlindungan terhadap pemegang merek terkenal di Indonesia? 

Pengaturan mengenai passing off ini sendiri terdapat dalam peraturan-peraturan negara yang menganut sistem hukum Common Law, hukum tentang persaingan curang. Namun pengaturan mengenai pemboncengan reputasi yang berlaku di negara dengan sistem hukum umum (Common Law) tersebut tidak serta merta dapat diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia menganut Civil Law system (disebut juga sistem hukum Eropa Kontinental) yaitu hukum yang berlaku adalah berupa peraturan-peraturan tertulis yang dibuat oleh pembuat undang-undang bukan berdasar pada pendapat hakim (hakim berperan aktif menemukan hukum atas suatu perkara di pengadilan).

Kasus passing off yang terjadi di Indonesia dibilang cukup banyak. Namun karena tidak ada undang-undang yang khusus mengenai persaingan curang, maka Dirjen HKI hanya menangani kasus passing off yang juga terindikasi pelanggaran merek. Istilah passing off atau pemboncengan reputasi sendiri memang tidak dikenal di Indonesia, tetapi bukan berarti perbuatan seperti itu tidak diatur dalam peraturan yang ada di Indonesia hanya saja aturan-aturan mengenai perbuatan tersebut tidak diatur secara jelas dan khusus, ada yang dimasukkan ke dalam persaingan curang, perbuatan melawan hukum dan pelanggaran hak merek. Jenis perbuatan passing off itu ada didalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek tetapi tidak dinamakan passing off, perbuatan itu masuk ke dalam pelanggaran merek.

Passing off tidak pernah dipergunakan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran reputasi di Indonesia. Namun, ada dasar hukum untuk melaksanakan hal itu di Indonesia. Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “ pelaku usaha : (a) harus melakukan usahanya dengan itikad baik..” (Tim Lindsey,2011:152-153)

Oleh karena belum adanya undang-undang mengenai persaingan curang yang diantaranya mengenai pengaturan passing off, maka passing off dapat ditindaklanjuti sebagai pelanggaran Merek, khususnya Merek terkenal dengan dasar hukum Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Namun undang-undang ini tidak mempunyai ketentuan yang memberikan batasan tentang Merek terkenal secara tegas maupun ketentuan mengenai passing off, padahal sebagai anggota dari WIPO maupun WTO, Indonesia sudah seharusnya memasukkan ketentuan yang telah diatur dalam konvensi-konvensi organisasi tersebut ke peraturan perundang-undangan nasionalnya. 

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek menganut sistem konstitutif, artinya menurut sistem konstitutif (aktif) dengan doktrinnya “prior in filing” bahwa yang berhak atas suatu Merek adalah pihak yang telah mendaftarkan Mereknya dikenal pula dengan asas “presumption of ownership”. Jadi sistem konstitutif mempunyai kelebihan dalam soal kepastian hukumnya (Muhamad Djumhana, R.Djubaedillah, 2014:256).

Doktrin “prior in filing” cukup jelas, bahwa seorang pengguna Merek hanya terlindungi Mereknya, apabila yang bersangkutan telah mendapatkan hak atas Merek tersebut dari negara dengan cara mendaftarkan mereknya ke Dirjen HKI di Indonesia tidak ada Merek yang terlindungi apabila belum terdaftar di Dirjen HKI.

Hal ini terbukti dengan tidak ada satu pun putusan pengadilan di Indonesia yang pernah mengabulkan gugatan dari pengguna Merek yang belum terdaftar. Berbeda halnya dengan Amerika yang memberikan hak atas Merek berdasarkan penggunaan bukan pendaftaran. Sedangkan di Australia dan Inggris, Merek belum terdaftar terlindungi oleh passing off. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek tidak mengandung doktrin passing off. Oleh karenanya, doktrin ini tidak dapat digunakan di Indonesia.

Berbicara mengenai Merek yang merugikan pihak lain, dalam hal ini Merek yang merupakan passing off, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek mempunyai aturan tentang gugatan pembatalan terhadap Merek terdaftar yang didaftarkan dengan itikad tidak baik dan memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan Merek terkenal milik orang lain baik untuk barang/jasa sejenis maupun tidak sejenis sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 68 ayat 1 yang berbunyi “Gugatan pembatalan pendaftaran Merek dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan..”

Gugatan tersebut dapat diajukan baik oleh pemilik Merek terkenal terdaftar maupun tidak terdaftar (setelah mengajukan permohonan kepada Dirjen HKI) kepada Pengadilan Niaga dan terhadap putusan Pengadilan Niaga hanya dapat diajukan kasasi.

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek menetapkan ketentuan pidana dalam Pasal 90 bagi pemilik Merek yang melakukan passing off Merek terkenal terdaftar sama keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan bagi pemilik Merek yang melakukan passing off Merek terkenal terdaftar sama pada pokoknya untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 91 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.

IV. PENUTUP

Dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai passing off ini sendiri terdapat dalam peraturan-peraturan negara yang menganut sistem hukum Common Law, hukum tentang persaingan curang. Namun pengaturan mengenai pemboncengan reputasi yang berlaku di negara dengan sistem hukum umum (Common Law) tersebut tidak serta merta dapat diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia menganut Civil Law system. Istilah passing off atau pemboncengan reputasi sendiri memang tidak dikenal di Indonesia, tetapi bukan berarti perbuatan seperti itu tidak diatur dalam peraturan yang ada di Indonesia hanya saja aturan-aturan mengenai perbuatan tersebut tidak diatur secara jelas dan khusus, ada yang dimasukkan ke dalam persaingan curang, perbuatan melawan hukum dan pelanggaran hak merek. Jenis perbuatan passing off itu ada didalam Undang-undanng Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek tetapi tidak dinamakan passing off, perbuatan itu masuk ke dalam pelanggaran Merek. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek tidak mengandung doktrin passing off. Oleh karenanya, doktrin ini tidak dapat digunakan di Indonesia karena seorang pengguna Merek hanya terlindungi Mereknya, apabila yang bersangkutan telah mendapatkan hak atas Merek tersebut dari negara dengan cara mendaftarkan mereknya ke Dirjen HKI. Di Indonesia tidak ada Merek yang terlindungi apabila belum terdaftar di Dirjen HKI..

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Adrian Sutedi,2009, Hak Atas Kekayaan Intlektual, Sinar Grafika, Edisi 1, Ctkn 1, Jakarta

Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary,Eighth Edition, (St.Paul,Minn:West Publishing Co

Elyta Ras Ginting, 2012, Hukum Hak Cipta Indonesia (Analisis Teori dan Praktik), Citra Aditya Bakti, Bandung

Endang Purwaningsih, 2012, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi, Mandar Maju, Bandung

Muhamad Djumhana, R.Djubaedillah, 2014, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung

Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual (Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia), Alumni, Bandung

Tim Lindsey dkk,2005, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, Bandung

_____________,2011, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, Bandung

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 

C. Internet






Minggu, 26 Mei 2013

PERSEROAN TERBATAS

Akibat Hukum Pendirian Perseroan Terbatas oleh Suami Istri dalam Suatu Perkawinan Tanpa  Adanya Perjanjian Kawin Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
A. Latar Belakang 

Berbagai bentuk perusahaan yang hidup di Indonesia, seperti firma, persekutuan komanditer, koperasi dan lain sebagainya, bentuk perusahaan PT merupakan bentuk yang paling lazim, bahkan sering dikatakan bahwa PT merupakan bentuk perusahaan yang dominan. Dominasi PT tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Amerika Serikat dan negara-negara lain. 

Terkait dengan hal tersebut, Cheeseman menyatakan corporations are the most dominant form of business organization in the United States, generating over 85 percent of the country’s gross business receipts.[1] PT sangat menarik minat investor atau penanam modal untuk menanamkan modalnya, bahkan PT sudah menarik hampir seluruh perhatian dunia usaha pada tahun-tahun belakangan ini dikarenakan oleh perkembangan haknya dalam hidup perekonomian di banyak negara. Dengan dominasi yang besar di Indonesia, PT telah ikut meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia, baik melalui Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), sehingga PT merupakan salah satu pilar perekonomian nasional. 

Istilah Perseroan terbatas ( PT ) yang digunakan dewasa ini, dulunya dikenal dengan istilah ( Naamloze Vennootschap disingkat NV ). Bagaimana asal muasal digunakannya istilah Perseroan Terbatas dan disingkat dengan PT tidak dapat ditelusuri.[2] Istilah Perseroan Terbatas terdiri dari dua kata, yakni perseroan dan terbatas. Perseroan merujuk kepada modal PT yang terdiri dari sero –sero atau saham – saham. Kata terbatas merujuk kepada tanggung jawab pemegang saham yang luasnya hanya terbatas pada nilai nominal semua saham yang dimiliknya.[3]

Perseroan Terbatas semula diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau wetboek van koophandel (WvK), yang hanya mengatur tentang prosedur pendirian, pengurusan, tanggung jawab, dan pembubaran. Dalam KUHD tidak diatur tentang apa yang dimaksud dengan Perseroan Terbatas, status badan hukum, dan aturan lain yang relevan. 

Kemudian dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas yang diundangkan tanggal 7 maret 1995. Dengan berlakunya Undang-Undang tersebut, ketentuan-ketentuan dalam KUHD yang mengatur tentang Perseroan Terbatas, dinyatakan tidak berlaku, khususnya buku kesatu title ketiga bagian ketiga Pasal 36 sampai dengan 56.[4]

Seiring dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat yang berkembang sedemikian pesat, khususnya pada era globalisasi, di samping itu, dengan meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum serta tuntutan akan perkembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (Good Coorporate Governance), sehingga pada tanggal 16 Agustus 2007 diundangkan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. 

Perseroan Terbatas merupakan badan usaha yang telah memiliki status badan hukum. Dengan status badan hukum tersebut, Perseroan Terbatas mempunyai harta kekayaan dan tanggung jawab sendiri. Ini berarti setiap kewajiban atau utang Perseroan Terbatas hanya dilunasi dari harta kekayaan Perseroan Terbatas itu sendiri. Harta pemegang saham, Direktur, dan atau Dewan Komisaris Perseroan Terbatas tidak dapat dipergunakan untuk melunasi kewajiban Perseroan Terbatas, kecuali terjadi kesalahan, kelalaian, perbuatan melawan hukum, dan atau pertentangan kepentingan yang merugikan pasar dan atau kreditor Perseroan Terbatas.[5]

Perseroan Terbatas (PT) merupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang paling diminati saat ini, disamping karena pertanggung jawabannya yang bersifat terbatas juga memberikan kemudahan bagi pemiliknya (pemegang saham) untuk mengalihkan sahamnya kepada pihak lain dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut. 

Sebagai konsekuensi dari dianutnya pengertian PT adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, maka Pasal 7 ayat ( 1 ) UUPT mensyaratkan bahwa PT harus didirikan oleh dua orang atau lebih. Orang disini adalah dalam arti orang pribadi ( persoon, person ) atau badan hukum. Dengan demikian, PT itu dapat didirikan oleh orang pribadi atau badan hukum.[6] Mendirikan Perseroan Terbatas perlu dipenuhi syarat-syarat dan prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas. 

Syarat-syarat dan prosedur tersebut diuraikan antara lain sebagai berikut ini. Ada tiga syarat utama menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas yang harus dipenuhi oleh pendiri perseroan. Ketiga syarat tersebut adalah : 

a) Didirikan oleh dua orang atau lebih 

Menurut ketantuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas, perseroan didirikan oleh dua orang atau lebih. Yang dimaksud dengan orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. Ketentuan sekurang-kurangnya menegaskan prinsip yang dianut oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas. Bahwa perseroan sebagai badan hukum dibentuk berdasarkan perjanjian, oleh karena itu harus mempunyai lebih dari satu pemegang saham sebagai pendiri. Pengaturan dasar dari badan hukum itu sendiri terdapat di dalam Pasal 1654 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa: Semua perkumpulan yang sah adalah seperti halnya dengan orang-orang preman, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan umum, dalam mana kekuasaan itu telah diubah, dibatasi atau ditundukkan pada acara-acara tertentu.[7]

b) Didirikan dengan akta otentik 

Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas, perjanjian pendirian perseroan harus dibuat dengan akta otentik di hadapan Notaris yang dibuat dengan Bahasa Indonesia, bila tidak dibuat demikian, maka akta tersebut dianggap batal demi hukum. Mengingat perseroan adalah badan hukum. Akta otentik tersebut merupakan akta pendirian yang memuat anggaran dasar perseroan. Jika disimak ketentuan tersebut bukanlah suatu kewajiban hukum, sebab apabila tidak dilakukan dengan akta Notaris tidak menimbulkan akibat hukum bagi perjanjian itu sendiri, seperti perjanjian batal demi hukum. Pendirian Perseroan Terbatas kalaupun dilakukan dibawah tangan tetap sah asalkan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. 

Dalam mendirikan Perseroan Terbatas memerlukan pengesahan Menteri Hukum dan HAM terhadap akta pendiriannya. Jika yang diajukan bukan akta Notaris maka permohonan pengesahan akta pendirian Perseroan Terbatas dapat ditolak oleh Menteri Hukum dan HAM, sehingga akan berakibat Perseroan Terbatas tidak berbadan hukum. 

c) Modal dasar perseroan 

Modal dasar ( maatschappelijk kapitaal atau authorized capital atau nominal capital ) merupakan keseluruhan nilai nominal saham yang ada dalam perseroan. Modal ini ditentukan dalam anggaran dasar perseroan. Modal ini terdiri dari sejumlah modal yang terdiri atas saham yang dapat dikeluarkan atau diterbitkan perseroan beserta dengan nilai nominal setiap saham yang diterbitkan tersebut.[8]

Pasal 32 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ditentukan modal dasar perseroan paling sedikit 50 juta rupiah, tetapi bidang usaha tertentu yaitu perbankan dan perasuransian dapat menentukan jumlah minimum modal dasar perseroan yang melebihi 50 juta. Menurut ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Perseroan Terbatas, pada saat pendirian Perseroan Terbatas paling sedikit 25% dari modal dasar harus ditempatkan, dan disetor penuh. Pemegang saham dan atau pendiri Perseroan Terbatas yang telah berbadan hukum, secara prinsipnya tidak bertanggung jawab secara pribadi atas seluruh perikatan yang dibuat oleh dan atas nama perseroan dengan pihak ketiga, dan oleh karenanya tidak bertanggung jawab atas setiap kerugian yang diderita oleh perseroan. Para pemegang saham hanya bertanggung jawab atas penyetoran penuh dari nilai saham yang telah diambil bagian olehnya. 

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa perjanjian pendirian Perseroan Terbatas yang dilakukan oleh para pendiri tersebut dituangkan dalam suatu Akta Notaris yang disebut dengan Akta Pendirian. Tentu saja Notaris dalam proses pendirian Perseroan Terbatas (PT) ini mempunyai peranan penting dalam membantu proses kelahiran suatu Perseroan Terbatas (PT) yaitu membuat akta pendirian suatu Perseroan Terbatas. 

Setelah akta pendirian Perseroan Terbatas telah dibuat dan ditanda tangani oleh para pihak maka Perseroan Terbatas (PT) telah dapat menjalankan kegiatan usaha, namun dilihat dari segi yuridisnya Perseroan Terbatas (PT) tersebut belum dapat dikategorikan sebagai badan hukum, dengan alasan bahwa Akta Pendirian Perseroan Terbatas tersebut belum mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM, sehingga Akta Pendirian Perseroan Terbatas tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai badan hukum. 

Akta pendirian Perseroan Terbatas yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum Dan HAM, maka Perseroan Terbatas tersebut telah mempunyai kekuatan hukum sebagai badan hukum hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 7 ayat (4), suatu perseroan baru memiliki status badan hukum jika Akta Pendirian Perseroan telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 

Akan tetapi, apabila Perseroan Terbatas yang telah mendapatkan status sebagai badan hukum tapi ternyata Perseroan Terbatas tersebut tidak memenuhi syarat pendirian Perseroan Terbatas menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dimana Perseroan Terbatas tersebut didirikan oleh suami istri tanpa adanya perjanjian kawin. 

Dimana kita ketahui bahwa suami istri dalam suatu rumah tangga tanpa adanya perjanjian kawin berada dalam kesatuan harta, maka suami istri tersebut dianggap sebagai satu orang saja. Sehingga demikian apabila suami istri tersebut mendirikan suatu Perseroan Terbatas maka Perseroan Terbatas tersebut tidak memenuhi syarat pendirian Perseroan Terbatas. Ketentuan ini harus terus berlaku selama perseroan masih berdiri, dan hal ini dipertegas kembali dalam rumusan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yang mewajibkan Perseroan Terbatas harus didirikan minimal berjumlah 2 (dua) orang atau lebih. Ketiga syarat pendirian Perseroan Terbatas tersebut diatas harus dipenuhi. 

Adapun akibat hukum atau konsekuensi yang harus ditanggung oleh Perseroan Terbatas dan atau para pendiri, jika tidak memenuhi salah satu syarat pendirian Perseroan Terbatas yaitu Perseroan Terbatas tersebut didirikan oleh minimal berjumlah 2 (dua) orang atau lebih ( Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas), maka para pemegang saham akan bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan atau kerugian perseroan, dimana keadaan seperti ini sangat mempengaruhi bentuk perseroan sebagai badan hukum yang sudah seperti perusahaan perorangan saja, karena perseroan tidak lagi mempunyai tanggung jawab sebagai badan hukum dan atas permohonan pihak yang berkepentingan. 

B. Rumusan Masalah 

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka pemakalah merumuskan permasalahan sebagai berikut : 
1. Apakah akibat hukum pendirian Perseroan Terbatas oleh suami istri dalam suatu perkawinan tanpa  adanya perjanjian kawin menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas? 


A. Akibat hukum pendirian Perseroan Terbatas oleh suami istri dalam suatu perkawinan tanpa adanya perjanjian kawin menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 

Secara normatif, tidaklah dimungkinkan dijalankan Perseroan Terbatas yang pemegang sahamnya hanya suami dan isteri. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas, dimana Perseroan Terbatas merupakan suatu persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian. Karena suami isteri merupakan suatu persekutuan harta kekayaan (tanpa perjanjian kawin dan/atau tanpa adanya harta bawaan), maka suami isteri yang hanya mereka berdua sebagai pemegang saham (ataupun sebagai pendiri Perseroan Terbatas) secara normatif tetap dikatakan satu pemegang saham, sehingga tidak terpenuhi unsur adanya persekutuan modal (modal yang sengaja diasingkan sebagai kekayaan perusahaan). 

Kemudian, sebagai suatu perjanjian, tidak dibenarkan adanya perjanjian pembagian untung rugi diantara suami isteri karena mereka terikat dalam satu harta bersama, hal mana menjadi format dasar dalam anggaran dasar Perseroan Terbatas. Dengan demikian cukup jelas bahwa secara normatif tidak dibenarkan adanya Perseroan Terbatas yang pemegang sahamnya hanya suami dan isteri. 

Pendirian Perseroan Terbatas didirikan berdasarkan perjanjian dengan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih. Oleh karena itu untuk dapat mendirikan peseroan terbatas paling sedikit harus ada dua orang. Kurang dari jumlah tersebut, adalah tidak mungkin. Apakah suami isteri dalam satu rumah tangga termasuk dalam dua orang yang dimaksud bisa mendirikan suatu Perseroan Terbatas sesuai dengan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas? Secara umum, suami isteri berada dalam kesatuan harta. Namun, apabila pada saat melangsungkan perkawinan, suami isteri tersebut membuat perjanjian kawin, maka dia bukan dalam kesatuan harta. Jadi, suami isteri dalam satu perkawinan tanpa perjanjian kawin tidak dapat dikategorikan sebagai 2 (dua) orang untuk mendirikan suatu Perseroan Terbatas karena suami isteri tersebut dianggap hanya satu orang saja. 

Bagaimana status suatu Perseroan Terbatas (yang pendiriannya sesuai Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ) di mana para pendirinya dan atau pemegang sahamnya sejak awal hingga saat ini adalah sepasang suami istri yang tidak pisah harta, apakah pendirian Perseroan Terbatas tersebut sah dan bagaimana bila dikaitkan dengan persyaratan pendirian Perseroan Terbatas minimal oleh 2 orang? Pada prinsipnya, suami isteri tidak dapat mendirikan Perseroan Terbatas diantara mereka berdua saja, karena mereka dianggap mempunyai "satu kepentingan". Kepentingan tersebut adalah untuk membentuk keluarga dimana suami menjadi kepala keluarga dan isteri menjadi ibu rumah tangga[9]. Selain itu, kepentingan mereka berdua terlihat pula adanya persatuan kekayaan yang dihasilkan selama perkawinan, walaupun harta bawaan dapat dilaksanakan menurut kehendak suami atau isteri masing-masing.[10]

Melihat kepentingan mereka sebagai suami-isteri seperti yang diuraikan sebelum ini, maka pihak ketiga harus menganggap mereka adalah "satu pihak", terutama bila menyangkut persoalan pengaturan harta kekayaan di antara mereka, kecuali ada perjanjian perkawinan sebelumnya.[11]

Atas dasar hal-hal di atas dan mengingat pendirian Perseroan Terbatas mensyaratkan minimal 2 (dua) pendiri, bila suami isteri yang bersangkutan tetap berkeinginan menjadi pemegang saham, maka mereka dapat mencari 1 (satu) investor lain untuk menjadi pendiri lain Perseroan Terbatas tersebut. Perlu dicatat pula bahwa Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) mensyaratkan agar para pemegang saham selalu minimal 2 (dua) orang. Bila tidak, maka pemegang saham tunggal atau satu orang saja akan mengakibatkan dia bertanggung jawab tidak terbatas lagi, alias bertanggung jawab pribadi.[12] Hal ini didasarkan bahwa perseroan didirikan atas dasar perjanjian (Penjelasan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas)[13]

Perseroan Terbatas telah menjadi badan hukum karena telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, akan tetapi ternyata pendiri atau pemegang sahamnya hanya satu orang karena suami isteri, maka dalam waktu paling lama enam bulan sejak saat itu terjadi, pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain. Jika telah lewat dan pemegang saham dan atau pendirinya tetap satu orang, maka konsekuensinya pemegang saham dan atau pendiri bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan atas kerugian perseroan. Di satu sisi suami isteri dalam suatu perkawinan tanpa adanya perjanjian kawin boleh mendirikan perseroan terbatas diantara mereka berdua saja, asalkan harta yang digunakan dalam perseroan adalah harta bawaan dan bukan harta bersama, hal ini mengacu pada Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 

Keadaan seperti ini menimbulkan akibat-akibat hukum terhadap para pemegang saham, dimana kedudukan para pemegang saham dalam Perseroan Terbatas tersebut tidak lagi dipandang sebagai subjek hukum yang mempunyai tanggung jawab terbatas atau tanggung jawab terbatas dari pemegang saham tidak berlaku lagi atau hapus, sehingga pemegang saham tersebut dibebani pertanggung jawaban pribadi jika terjadi masalah terhadap Perseroan Terbatas tersebut, misalnya Perseroan Terbatas tersebut mengalami kepailitan karena dililit utang atau Perseroan Terbatas tersebut mempunyai utang yang sangat besar yang melampaui harta kekayaan Perseroan Terbatas tersebut. Hal tersebut juga berdampak pada akta pendirian Perseroan Terbatas yang dibuat oleh Notaris, yaitu mempengaruhi keotentikan akta pendirian Perseroan Terbatas tersebut. Dimana akta tersebut akan cacat hukum dan bisa saja akan menjadi akta dibawah tangan atau bahkan akta pendirian Perseroan Terbatas tersebut batal demi hukum karena tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu suatu hal tertentu, sebab akta pendirian Perseroan Terbatas didirikan atas dasar perjanjian. 

Dimana dijelaskan bahwa suatu hal tertentu meliputi kejelasan prestasi atas hak dan kewajiban dimana diketahui bahwa yang mendirikan Perseroan Terbatas tersebut adalah suami isteri dalam perkawinan tanpa perjanjian kawin, sehingga hak dan kewajiban yang diatur dalam pendirian Perseroan Terbatas itu sangat bertentangan dengan falsafah Hukum Perkawinan mengenai hak dan kewajiban suami isteri dalam suatu perkawinan. Sehingga suami isteri dalam suatu perkawinan tanpa adanya perjanjian kawin tidak dibolehkan mendirikan Perseroan Terbatas. 

Terlebih lagi dampak atau akibat yang sangat mempengaruhi Perseroan Terbatas yang hanya mempunyai pemegang saham dan atau pendiri hanya satu orang yaitu sangat mempengaruhi status atau bentuk dari Perseroan Terbatas tersebut sebagai badan hukum, dimana Perseroan Terbatas tersebut sudah seperti perusahaan perorangan saja, karena Perseroan Terbatas tersebut tidak mempunyai tanggung jawab lagi sebagai badan hukum. Sehingga Perseroan Terbatas dalam keadaan seperti ini dapat dibubarkan oleh Pengadilan Negeri (Pasal 7 ayat 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas). Ketentuan Pasal 7 ayat 6 tersebut sangat tegas, bahwa Pengadilan Negeri diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk membubarkan perseroan yang telah berstatus Badan hukum tetapi menyalahi prinsip minimal ada dua pemegang saham dan atau pendiri[14]

Sehingga juga akan mempengaruhi status pengesahan yang diberikan oleh menteri Hukum dan HAM yaitu Perseroan Terbatas yang telah terdaftar dan memperoleh pengesahan sebagai badan hukum tidak akan berlaku lagi dan akan dihapus dalam daftar perseroan yang ada dalam sistem administrasi badan hukum. Akan tetapi hal tersebut dapat terjadi apabila ada pemberitahuan secara tertulis kepada kementerian hukum dan HAM sebab kementerian hukum dan HAM hanya akan melakukan perubahan atau bahkan menghapus Perseroan Terbatas tersebut dalam daftar Perseroan Terbatas sebagai suatu Perseroan Terbatas yang berbadan hukum jika ada pemberitahuan secara tertulis baik dari para pemegang saham apabila pemegang saham dalam kondisi pemegang sahamnya adalah suami isteri tanpa adanya perjanjian kawin, maupun pemberitahuan dari pengadilan negeri jika Perseroan Terbatas tersebut di bubarkan. Pembubaran adalah suatu tindakan yang mengakibatkan perseroan berhenti eksitensinya dan tidak lagi menjalankan kegiatan bisnis untuk selama – lamanya. Kemudian diikuti dengan proses administrasinya berupa pemberitahuan, pengumuman, dan pemutusan hubungan kerja dengan karyawannya.[15]


A. Kesimpulan 

Akibat hukum dari pendirian Perseroan Terbatas oleh suami istri dalam suatu pekawinan tanpa adanya perjanjian kawin menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas yaitu, dimana kedudukan para pemegang saham dalam Perseroan Terbatas tersebut tidak lagi dipandang sebagai subjek Hukum yang mempunyai tanggung jawab terbatas, sehingga pemegang saham tersebut dibebani pertanggung jawaban pribadi. Hal ini juga berdampak pada akta pendirian Perseroan Terbatas yang dibuat oleh Notaris, yaitu mempengaruhi keotentikan akta pendirian Perseroan Terbatas tersebut. Dimana akta tersebut akan batal demi hukum. Jika suami isteri tersebut tetap saja mendirikan Perseroan Terbatas maka juga akan mempengaruhi Perseroan Terbatas yang hanya mempunyai pemegang saham hanya satu orang dimana didirikan oleh suami isteri dalam perkawinan tanpa adanya perjanjian kawin, seperti kita ketahui bahwa dalam keadan seperti itu suami isteri tersebut dianggap satu orang saja sehingga hal tersebut sangat mempengaruhi status atau bentuk dari perseroan tersebut sebagai badan hukum, dimana perseroan tersebut sudah seperti perusahaan perorangan saja, karena perseroan tersebut tidak mempunyai tanggung jawab lagi sebagai badan hukum. Sehingga Perseroan Terbatas tersebut dapat dibubarkan oleh Pengadilan Negeri. Sehingga dalam keadan seperti ini Juga akan mempengaruhi status pengesahan yang diberikan oleh menteri Hukum dan HAM yaitu Perseroan Terbatas yang telah terdaftar dan memperoleh pengesahan sebagai badan hukum tidak akan berlaku lagi dan akan dihapus dalam daftar perseroan yang ada dalam system administrasi badan hukum. Akan tetapi hal tersebut dapat terjadi apabila ada pemberitahuan secara tertulis kepada kementerian hukum dan HAM sebab kementerian hukum dan HAM hanya akan melakukan perubahan atau bahkan menghapus Perseroan Terbatas tersebut dalam daftar Perseroan Terbatas sebagai suatu Perseroan Terbatas yang berbadan hukum jika ada pemberitahuan secara tertulis baik dari para pemegang saham maupun dari pengadilan negeri jika Perseroan Terbatas tersebut di bubarkan. 


DAFTAR PUSTAKA 



A. Buku 

David Kelly , et.al, Business Law, Cavendish Publishing Limited, London, 2002. 

Gatot supramono, Hukum Perseroan Terbatas, Djambatan, Jakarta, 2007 

Gunawan Widjaja, 150 Tanya Jawab Tentang Perseroan Terbatas, Forum Sahabat, Jakarta, 2008 

H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 2, Djambatan, Jakarta, 1982 

Kenny Wiston, “Piercing Corporate Veil“, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 15, Tahun 2001 

Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003 

Prasetyo, Rudhi, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai Dengan Ulasan Menurut Undang-Undang nomor 1 Tahun 1995, Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001 

Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas; Doktrin, Peraturan Perundang – Undangan, dan Yurisprudensi, Edisi Revisi, Total Media 

Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 

R. Murjiyanto, Pengantar Hukum Dagang, Aspek-Aspek Hukum Perusahaan Dan Larangan Praktek Monopoli, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2002 

B. Internet 

Dikutip dari http:// Hukumonline.com, “Hukum perusahaan pendirian Perusahaan Terbatas (PT)”. 

Footnote

[1] Kenny Wiston, “Piercing Corporate Veil“, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 15, Tahun 2001 


[2] Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm 2 


[3] H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 2, Djambatan, Jakarta, 1982, hlm 85 


[4] R. Murjiyanto, Pengantar Hukum Dagang, Aspek-Aspek Hukum Perusahaan Dan Larangan 

Praktek Monopoli, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2002, hlm 17 


[5] Gunawan Widjaja, 150 Tanya Jawab Tentang Perseroan Terbatas, Forum Sahabat, Jakarta, 

2008, hlm 2. 


[6] Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas; Doktrin, Peraturan Perundang – Undangan, dan Yurisprudensi, Edisi Revisi, Total Media, hlm 45 


[7] Prasetyo, Rudhi, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai Dengan Ulasan Menurut 

Undang-Undang nomor 1 Tahun 1995, Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 12 


[8] David Kelly , et.al, Business Law, Cavendish Publishing Limited, London, 2002, hlm 333 


[9] lihat Pasal 1 jo. 31 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 


[10] lihat Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 


[11] lihat Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 


[12] lihat Pasal 7 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 


[13] Dikutip dari http:// Hukumonline.com, “Hukum perusahaan pendirian Perusahaan Terbatas 

(PT)” 


[14] Gatot supramono, Hukum Perseroan Terbatas, Djambatan, Jakarta, 2007, hlm. 6-7 


[15] Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 178

Selasa, 19 Juli 2011

KUMPUL KEBO ( SAMEN LEVEN ) TIDAK DAPAT DI KENAKAN SANKSI HUKUM



Istilah kumpul kebo berasal dari Jawa, yang merupakan istilah masyarakat bagi mereka (sepasang Insan berlainan jenis) yang tinggal serumah atau sekamar dalam jangka waktu yang tidak ditentukan, namun tidak memiliki ikatan syah perkawinan.. Istilah itu mulai dikenal secara luas sejak tahun 1980-an, ketika media massa (cetak) kala itu menurunkan laporan utama tentang perilaku sejumlah mahasiswa dan mahasiswi di Jogjakarta yang mempraktekkan hidup bersama di luar nikah (samen leven). Hingga kini, istilah itu tetap populer sebagaimana juga perilaku buruk kumpul kebo yang makin menggejala.
Di zaman sekarang kumpul kebo menjadi persolaan klasik yang sulit diberantas, karena keterbukaan dan kebebasan yang telah menjadi trend hidup masyarakat modern. Bila dulu, kumpul kebo dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena kuatnya aturan atau norma-norma adat suatu wilayah, maka sekarang kumpul kebo dilakukan secara terang-terangan tanpa malu dan perasaan berdosa, tak peduli omongan orang ataupun cibiran masyarakat
Kumpul kebo merupakan suatu perbuatan yang bukan tabu lagi untuk didengar, namun tanpa diperbincangkan secara mendalam semua orang mengakuinya bahwa perbuatan kumpul kebo itu sudah jelas bahwa perbuatan itu tidak boleh dilakukan, karena bagaimanapun juga kumpul kebo tidak diperbolehkan oleh agama apapun, dan dikategorikan sebagai perbuatan zina. Karena kumpul kebo dilakukan tanpa ada hubungan status yang sah dan resmi secara factual dan yuridis. Semakin meluasnya kumpul kebo dikalangan remaja menunjukkan kuatnya pengaruh budaya tertentu dengan pola hidup hedonis, tanpa perlu memikirkan akibat jangka panjang, dan biasanya terjadi akibat melemahnya pengawasan orang tua dan rendahnya pengetahuan agama, sikap hidup yang masa bodoh, kenikmatan sesaat berdasarkan sikap suka sama suka, disamping beribu-ribu alasan lain tentunya. Rendahnya pengetahuan seksologi juga sebenarnya menjadi salah satu alasan mengapa kumpul kebo yang melibatkan hubungan seksual dengan mudah terjadi.
Budaya “kumpul kebo” yang oleh kebanyakan masyarakat Indonesia  juga dianggap sebagai perbuatan yang melanggar norma dan etika, namun tidak akan menjadi suatu masalah bila dilakukan di Amerika Serikat, Begitu juga dengan sisi pandangnya secara hukum. Kalau di Indonesia, sudah jelas melanggar norma dan bisa dikenakan perbuatan asusila, sementara di Amerika, silahkan-silahkan saja. Ya, kan? Maka dari itu kumpul kebo harus segera diminimalisir dan dicegah karena apabila terus menerus dilakukan maka memungkinkan merebaknya budaya “ Free sex” dalam kehidupan. Selain kumpul kebo itu sangat dilarang baik oleh agama, budaya dan hukum, hal ini juga dapat menimbulkan suatu konsekuensi bagi para pelakunya yang berdampak negative. Seperti halnya dengan melakukan kumpul kebo juga melakukan perbudakan seks terhadap salah satu pihak yang melakukan hal itu. 
Kumpul kebo atau bahasa kerennya "Samen Leven" memang tidak ada dalam KUHP yang sekarang berlaku. Pada dasarnya perbuatan hidup bersama atau samen leven atau kumpul kebo tidak dapat dikenakan sanksi hukum, karena dalam ketentuan hukum, hidup bersama sebelum menikah itu tidak diatur secara tegas sebagai perbuatan yang dapat di persalahkan. Namun apabila perbuatan hidup bersama tersebut di lakukan oleh seorang  laki – laki yang telah beristri disertai hubungan badan, maka perbuatan tersebut dapat dikenakan sanksi hukuman Pasal 284 KUHP. Akan tetapi pelaku perzinahan tersebut baru dapat di tuntut apabila ada pengaduan dari istrinya yang sah yang telah di rugikan.

Senin, 18 Juli 2011

Buruh & Tenaga Kerja Terima Gaji Dolar, Apa Bisa Dipidana?

Belakangan saya mendengar bahwa dengan dikeluarkannya UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang semua transaksi keuangan di Indonesia harus menggunakan mata uang Rupiah. Lalu, bagaimana jika saat ini di perusahaan saya menerima gaji dalam dolar? Apakah saya bisa dipidana? Bentuk pidananya seperti apa?
Jawaban :
1.  Benar bahwa dengan diundangkannnya UU No. 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang ( UU Mata Uang ), setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang dan transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Indonesia wajib menggunakan Rupiah (lihat Pasal 21 ayat [1] UU Mata Uang).

Ketentuan ini juga mencakup gaji atau upah bagi karyawan/pekerja yang selama ini diberikan dalam mata uang asing. Hal ini juga didasarkan pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU Mata Uang,yaitu bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.
Prof. A. Zen Umar Purba, S.H., LL.M., salah seorang pengajar senior di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menafsirkan bahwa baik bagi ekspatriat (pekerja WNA) yang bekerja di Indonesia, pada badan hukum Indonesia, maupun WNI yang sebelumnya menerima gaji dalam bentuk mata uang asing, sejak berlakunya UU Mata Uang ini wajib menyesuaikan, yaitu dengan diberikan gaji dalam Rupiah.
Sebagai UU yang saat ini relatif baru berlaku, dan ketentuan tertentu UU Mata Uang, khususnya mengenai kewajiban menggunakan Rupiah bisa menimbulkan berbagai penafsiran dalam implementasinya. Hal demikian juga diakui Zen Umar Purba yang mengemukakan bahwa sebenarnya UU Mata Uang sudah cukup jelas, namun implementasinya bergantung pada penafsirannya.
2. Kewajiban untuk menggunakan Rupiah ini memang disertai dengan sanksi pidana bagi orang yang melanggarnya. Yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UU Mata Uang bahwa;
Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam:
a.      setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
b.      penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau
c.      transaksi keuangan lainnya,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Jadi, bentuk pidana bagi setiap orang yang melanggar ketentuan penggunaan mata uang Rupiah dapat dikenakan pidana kurungan dan pidana denda.
Sementara itu, Kepala Unit Money Laundering Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri Kombes Pol. Agung Setya, Sik., M.Si. mengatakan bahwa kepolisian tidak akan asal tangkap dalam penegakan hukum berkaitan dengan UU Mata Uang. Dia juga mengatakan polisi akan lebih toleran terhadap implementasi UU Mata Uang selama masa sosialisasi UU tersebut.

Catatan editor: Pendapat Prof. A. Zen Umar Purba, S.H., LL.M dan Kombes Pol. Agung Setya, Sik., M.Si. disampaikan dalam Seminar Hukumonline “Menghindari Risiko Pidana Penggunaan Mata Uang Asing Dalam Transaksi Bisnis di Indonesia” di Jakarta, 14 Juli 2011.
Dasar hukum:
UU No. 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang
 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e1ec7bb46b8a

Sabtu, 16 Juli 2011

CLASS ACTION UNTUK JALAN RUSAK DIKOTA BENGKULU

Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata,sehingga dapat dirasakan oleh masyarakat banyak. Pembangunan tersebut ditujukan semata-mata untuk kepentingan masyarakat dan salah satunya dengan Pemerintah sebagai penyelenggara nya. Jalan merupakan salah satu prasarana transportasi merupakan unsur penting dalam pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut.
Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional. Untuk terpenuhinya peranan jalan sebagaimana mestinya, Pemerintah mempunyai hak dan kewajiban menyelenggarakan jalan, agar penyelenggaraan jalan dapat dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil guna diperlukan keterlibatan masyarakat secara aktif.
Sangat ironis memang, ketika penulis pulang ke kota Bengkulu, hampir seluruh jalan dikota Bengkulu mengalami kerusakan, baik itu rusak berat maupun rusak ringan yang merugikan kepentingan masyarakat banyak, terutama perusahaan transportasi dan pengguna jalan lainnya. Banyak jalan di Kota Bengkulu yang mengalami kerusakan, sehingga kendaraan sulit melewati jalan tersebut dan sangat berbahaya bagi pengguna jalan yang melewatinya. Bukan hanya dapat menimbulkan korban jiwa, tetapi juga kerugian materil bagi pemilik kendaraan, kendaraan menjadi cepat rusak akibat melewati jalan berlubang seperti kerusakan pada velg dan sebagainya. Walaupun sekarang sebagian jalan yang rusak sudah di kasih batu koral namun tetap saja berbahaya bagi pengguna jalan kalau tidak segera di aspal, apalagi dalam kondisi hujan air tergenang seperti “kolam ikan”.
Sejak kecil, bila menghadapi musibah atau masalah, kita tidak dididik untuk mencari sebab terutama (causa prima) musibah tersebut. Kita umumnya tak mempersoalkan kematian sang korban akibat kecelakaan lalu lintas karena kita memang sangat percaya bahwa kematian seseorang mutlak kehendak Allah. Padahal sangat banyak orang tewas atau cacat permanen karena kecelakaan lalu lintas sering sekali disebabkan kelalaian atau kecerobohan pemerintah, yakni pihak yang bertanggung jawab penuh dalam hal pembangunan dan pemeliharaan jalan raya. Selama ini Pemerintah Daerah, terutama Pemerintah Kota, dianggap tidak memberikan informasi dan menumbuhkan kesadaran dikalangan masyarakat tentang kewajiban pemerintah dan hak-hak pemakai jalan raya. Sehingga masyarakat banyak yang tidak tahu apa yang harus dilakukan atas masalah “klasik” yaitu jalan rusak yang terjadi di Kota Bengkulu selama ini.
Yang menjadi pertanyaan esensial dari tulisan ini adalah Apakah masyarakat kota Bengkulu bisa melakukan gugatan terhadap pemerintah Kota Bengkulu mengenai jalan rusak ini ? jawabannya tentu saja bisa, salah satunya adalah dengan Gugatan class action mengenai jalan rusak ini kepengadilan. Karena  selain merugikan kepentingan jasa transportasi dan pengguna jalan lainnya, jalan yang rusak juga dapat menimbulkan banyaknya angka kecelakaan lalu lintas, sementara itu pemerintah kota dianggap kurang “Responsif” dalam memberi tanggapan atas kejadian seperti itu. Dan juga tidak ada tindakan konkrit yang bersifat darurat menghadapi fakta tersebut, jangan sampai membuat masyarakat main hakim sendiri dengan cara memblokir jalan, itulah sebabnya salah satu alternatif untuk mengingatkan Pemerintah Kota Bengkulu agar segera berbenah dalam menghadapi situasi ini dan mempercepat proses perbaikan jalan didalam Kota Bengkulu adalah dengan cara melakukan gugatan perwakilan atau class action dengan dasar yuridis merujuk pada UU No 38 Tahun 2004 tentang jalan.
Sebelumnya dapat kita ketahui dulu apa itu pegertian class action? class action ini diatur didalam Perma No 1 Tahun 2002, Secara umum class action merupakan sinonim class suit atau representative action  (RA). Pengertian class action itu sendiri diatur dalam pasal 1 huruf a yang menyatakan bahwa Suatu tata cara pengajuan gugatan yang dilakukan satu orang atau lebih, orang itu bertindak mewakili kelompok (class representative) untuk diri sendiri dan sekaligus mewakili anggota kelompok (class members) yang jumlahnya banyak (numerous) serta antara yang mewakili kelompok dengan anggota kelompok yang diwakili memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum. Sedangkan  Acmad  Santosa  menyebutkan Class  Action  pada  intinya  adalah  gugatan perdata  (biasanya  terkait  dengan permintaan  injuntction  atau  ganti  kerugian) yang  diajukan  oleh  sejumlah  orang  (dalam jumlah  yang  tidak  banyak, misalnya  satu atau  dua  orang)  sebagai  perwakilan  kelas (class  repesentatif)  mewakili  kepentingan mereka,  sekaligus  mewakili  kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai  korban.  Ratusan  atau  ribuan  orang yang  diwakili  tersebut  diistilahkan  sebagai class members .
                                    Sedangkan tujuan dari class action itu sendiri dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002, diatur dalam konsiderans, antara lain sebagai berikut :
1.Mengembangkan Penyederhanaan Akses Masyarakat memperoleh keadilan.Yang dimaksud disini adalah dengan satu gugatan, diberi hak prosedural terhadap satu atau beberapa orang bertindak sebagai penggugat untuk memperjuangkan kepentingan penggugat dan sekaligus kepentingan anggota kelompok. Hal ini dikemukakan dalam huruf a konsiderans bahwa salah satu tujuan utama proses gugatan perwakilan kelompok (GPK) untuk menegakan asas penyelenggaraan peradilan sederhana, cepat, biaya ringan dan transparan agar akses masyarakat terhadap keadilan semakin dekat.
2.Mengefektifkan Efisiensi Penyelesaian Pelanggaran Hukum yang merugikan orang banyak. Kenapa efektif dan efisien ? Karena melalui proses beperkara dengan sistem GPK (Gugatan Perwakilan Kelompok) :
a. Secara serentak atau sekaligus dan massal kepentingan kelompok, dibolehkan cukup hanya diajukan dalam satu gugatan saja.
b. Hal itu dapat ditempuh apabila ternyata mereka memiliki fakta atau dasar hukum yang sama, berhadapan dengan tergugat yang sama.
c. Sehingga kalau gugatan diselesaikan sendiri–sendiri, penyelesaiannya tidak  efektif dan efisien, bahkan dimungkinkan terjadi putusan yang saling bertentangan.
                                    Sangat jelas sekali diatas, dengan memiliki fakta dan dasar hukum yang sama, masyarakat Kota Bengkulu ini dapat melakukan gugatan class action melalui proses peradilan terhadap tanggung jawab Pemerintah kota Bengkulu dalam mengatasi masalah jalan rusak dengan memenuhi Formulasi Gugatan yang merujuk pada ketentuan pasal 3 dan pasal 10 PERMA. Ataupun nantinya hal ini menjadi bahan pelajaran bagi Pemerintah Kota Bengkulu untuk terus berbenah dalam hal pelayanan publik dan tanggung jawabnya agar tidak merugikan hak dan kepentingan masyarakat Kota Bengkulu pada umumnya. Sedangkan Untuk masyarakat kota Bengkulu, gugatan class action ini merupakan upaya pembelajaran untuk mendorong perubahan sikap kelompok masyarakat untuk memperoleh keadilan dan kenyamanan di jalan raya serta lebih berani menuntut haknya melalui jalur pengadilan yang benar.