Selasa, 03 Juli 2012

HUKUM KELUARGA


BAB I

A. Pengertian Keluarga
Keluarga (bahasa Sanskerta: "kulawarga"; "ras" dan "warga" yang berarti "anggota") adalah lingkungan yang terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah.
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.

Hubungan keluarga adalah hubungan dalam kehidupan keluarga yang terjadi karena hubungan perkawinan dan karena hubungan darah. Hubungan keluarga karena perkawinan disbut juga hubungan semenda misalnya mertua, ipar, anak tiri dan menantu.

Hubungan darah adalah pertalian darah antara orang yang satu dan orang lain karena berasal dari leluhur yang sama. Hubungan darah tersebut terdapat dua garis yaitu :
1. hubungan darah menurut garis lurus keatas dan kebawah
2. hubungan darah menurut garis kesamping.

Hubungan darah adalah pertalian darah antara orang yang satu dan orang lain karena berasal dari leluhur yang sama.
Hubungan darah tersebut terdapat dua garis, yaitu
1. hubungan darah menurut garis lurus keatas dan kebawah
2. hubungan darah menurut garis kesamping

Hubungan darah menurut garis lurus keatas disebut dengan “leluhur”, sedangkan hubungan darah menurut garis lurus kebawah disebut dengan keturunan.
Hubungan darah menurut garis kesamping adalah pertalian darah antara orang bersaudara dan keturunannya.

Daftar yang menggambarkan ketunggalan leluhur antara orang – orang yang mempunyai pertalian darah disebut silsilah.

Istilah – istilah sebutan dalam keluarga itu merupakan tingkatan atau derajat hubungan darah. Oleh karena itu jauh dekatnya hubungan darah mempunyai arti penting dalam hal :
a.      Perkawinan
b.      Pewarisan
c.       Perwalian dalam keluarga

B. Pengertian perkawinan
Menurut subekti perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki – laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
Menurut Libertus Jehani yang mengatakan perkawinan tidak hanya menyatukan seorang pria dan wanita dalam sebuah rumah/keluarga. Perkawinan selalu membawa konsekuensi hukum bagi sang istri maupun suami yang telah menikah secara sah.

Di dalam UU No 1 Tahun 1974, Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME.

Dari pengertian perkawinan, perkawinan yang sah menurut KUHPer adalah perkawinan yang memenuhi ketentuan undang – undang yaitu syarat – syarat sah nya perkawinan dan mempunyai akibat hukum antara suami istri dengan adanya hak dan kewajiban yang sudah ditentukan.
Adapun syarat – syarat sah nya perkawinan menurut KUHPer adalah:
a.      Berasas monogami ( pasal 27 KUHPer )
b.      Harus ada kata sepakat dan ada kemauan bebas antara si pria dan wanita ( Pasal 29 KUHPer)
c.       Seorang pria sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun ( Pasal 29 KUHPer )
d.      Ada masa tunggu bagi seorang wanita yang bercerai yaitu 300 hari sejak perkawinan terakhir bubar ( Pasal 34 KUHPer)
e.      Anak – anak yang belum dewasa harus mendapat izin kawin dari kedua orang tua mereka ( Pasal 35 KUHPer )

C. Syarat – syarat sahnya perkawinan
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan maka perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya masing – masing .
Mengenai syarat – syarat perkawinan, di atur dalam Pasal 6 dan 7 ;

D. Hak dan kewajiban Suami Istri
Dalam Pasal 30 UU Perkawinan yang berbunyi : suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Pasal 31 ayat 1, 2 dan 3
A. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
B. Masing – masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
C. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.
Pasal 33 dan Pasal 34
Pasal 33 “ suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”. ( bersifat bukan kebendaan )
Pasal 34
(1 ) suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
(2) istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik – baiknya
(3) jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing – masing dapat  mengajukan gugatan kepada pengadilan.
E. Putusnya perkawinan
1. Arti perceraian
Menurut subekti perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Perkawinan hapus jika satu pihak meninggal dunia, satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin hakim, dan bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat tinggalnya dengan tiada kabar berita. Akhirnya perkawinan dapat dihapuskan dengan perceraian.

Pasal 199 KUHPer menyebutkan bahwa perkawinan itu terputus oleh karena:
1.      Meninggal dunia
2.      Keadaan tidak hadirnya salah seorang suami istri selama sepuluh tahun dan di ikuti dengan perkawinan baru sesudah itu oleh istri atau suaminya sesuai dengan ketentuan – ketentuan dalam bagian kelima bab 18
3.      Putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil, sesuai dengan ketentuan – ketentuan bagi kedua bab ini.
4.      Perceraian sesuai dengan ketentuan – ketentuan dalam ketiga bab ini.

Putusnya perkawinan antara suami istri harus ada alasan – alasan yang sah. Menurut Pasal 209 KUHPer alasan – alasan yang sah tersebut ialah :
1. berzina
2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat
3. Mendapat hukuman penjara atau kurungan selama lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat.
4. Melukai berat atau penganiayaan berat dilakukan oleh suami atau istri terhadap suami atau istrinya, yang demikian sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka – luka yang membahayakan.

Dalam UU Perkawinan bahwa putusnya perkawinan sebagaimana bunyi pada Pasal 38 karena :
a.      Kematian salah satu pihak
b.      Perceraian
c.       Atas putusan pengadilan

2. Alasan perceraian
Adapun alasan untuk mengajukan gugatan perceraian diatur pada Pasal 39 ayat 2 UU Perkawinan dan dipertegas lagi dalam Pasal 19 PP No 9 Tahun 1975 yang berbunyi ;
a.      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut – turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuanya
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain
e.      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri
f.        Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

F. Harta Perkawinan
Pengaturan harta perkawinan di dalam KUHPer diatur hukum harta benda perkawinan, yaitu Buku 1 Bab VI – IX.

Adapun jenis – jenis harta perkawinan didalam percampuran kekayaan adalah :
1.      Barang bergerak dan barang tidak bergerak dari harta kekayaan suami istri, baik yang telah ada maupun yang akan diperoleh, baik pada saat perkawinan dilangsungkan maupun selama perkawinan.
2.      Segala utang suami istri masing – masing yang terjadi, baik sebelum maupun sepanjang perkawinan
3.      Segala hasil dan pendapatan, yaitu segala untung dan rugi sepanjang perkawinan
4.      Segala utang kematian, harus dipikul oleh ahli waris dari yang meninggal/pewaris.

Pada Pasal 119 KUHPer  menyatakan “ bahwa selama perkawinan percampuran harta kekayaan tidak boleh diubah”.
Menurut subekti “ sejak mulai perkawinan terjadi, suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri ( algehe gemeenschap van goederen ), jikalau tidak diadakan perjanjian apa – apa. Jikalau ingin menyimpangi ketentuan ini, ia harus meletakan keinginanya itu dalam suatu perjanjian perkawinan ( huwelijksvoorwaarden ).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar