Tampilkan postingan dengan label Tesis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tesis. Tampilkan semua postingan

Minggu, 27 November 2011

“PEMBANGUNAN PERUMAHAN UNTUK KEPENTINGAN BISNIS DI ATAS TANAH WAKAF MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM DI HUBUNGKAN DENGAN UNDANG – UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DAN UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PEMUKIMAN “

A.         Latar Belakang
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu menggali dan mengembangkan potensi yang terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis.[1]
Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.
Wakaf merupakan salah satu lembaga hukum Islam. Hukum Islam adalah suatu sistem hukum yang mendasarkan pada ajaran agama Islam. Agama Islam merupakan ajaran agama yang sempurna. Mengatur seluruh kehidupan alam seisinya, termasuk mengatur kehidupan manusia. Dalam menjalani kehidupannya manusia dapat memiliki harta, tetapi kepemilikan harta itu tidak mutlak. Harta adalah milik Allah SWT dan dititipkan kepada manusia yang dikehendaki-NYA. Harta yang dimiliki oleh umat Islam sebagian adalah hak dari manusia yang lemah. Oleh karena  itu Islam mengajarkan memberikan sedekah, zakat dan wakaf terhadap harta yang dimiliki untuk kepentingan agama.
Di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam, sehingga wakaf sudah dikenal sejak lama. Menurut Ter Haar  wakaf merupakan suatu perbuatan hukum rangkap, maksudnya Perbuatan itu disatu pihak adalah perbuatan mengenai tanah atau benda yang menyebabkan obyek itu mendapat kedudukan hukum yang khusus tetapi di lain pihak seraya itu perbuatan itu menimbulkan suatu badan dalam hukum adat ialah suatu badan hukum yang sanggup ikut serta dalam kehidupan hukum sebagai subyek hukum.[2]
Ajaran Islam memuat dua dimensi jangkauan, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Dalam bidang sosial ekonomi, Islam mendorong pendayagunaan institusi wakaf dalam rangka peningkatan kesejahteraan umat. Muhammad Musthafa Tsalabi telah membuat rumusan wakaf dalam bentuk penahanan harta atas milik orang yang berwakaf dan mendermakan manfaatnya untuk tujuan kebaikan pada masa sekarang dan masa yang akan datang.[3]
Potensi tanah wakaf di Indonesia untuk dikembangkan bagi pembangunan perumahan sangat menjanjikan, karena potensinya sangat besar. Sebagai gambaran, penduduk Indonesia berjumlah 238,45 juta orang[4], dan 87% diantaranya beragama Islam (207,45 juta orang). Dengan kondisi seperti itu, menjadikan Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Selain itu, umat Islam Indonesia sudah semenjak lama akrab dengan wakaf. Namun keakraban tersebut belum menjadikan harta wakaf berguna secara maksimum untuk pembinaan umat Islam, kerana umumnya umat Islam Indonesia memahami wakaf terbatas untuk kepentingan pengguna saja, seperti untuk kuburan, mesjid dan madrasah. Padahal harta wakaf berpeluang dikelola secara baik, sehingga ada penghasilan berkesinambungan yang diperoleh dari pengelolaan harta wakaf, salah satu peluang dari pengelolaan tanah wakaf adalah pembangunan perumahan di tanah wakaf.
Di dalam Undang – Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Peruntukan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum. Sebagaimana diamanatkan Pasal 28 H UUD 1945 bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selanjutnya Pasal 40 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak. Sementara Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 Tentang RPJP 2005-2025 Bab IV.1.5 Butir 19 menyatakan “pemenuhan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya diarahkan pada penyelenggaraan pembangunan perumahan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Kemudian Agenda UN-Habitat di Istambul 1996 Paragraf 39 menyatakan:“….. We commit ourselves to the goal of improving and working conditions on an equitable and sustainable basis, so that everyone will have adequate shelter that is ….. affordable …”. [5]
Dari berbagai landasan tersebut diatas, jelas bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati, menikmati atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. Mengingat bahwa rumah merupakan hak dan kebutuhan dasar manusia, upaya pemenuhan kebutuhan rumah diupayakan dapat menjangkau segenap lapisan masyarakat, termasuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)[6].
Negara juga bertanggung jawab dalam menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman serta keswadayaan masyarakat di atas tanah wakaf. Penyediaan dan kemudahan perolehan rumah tersebut merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara[7].
Pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut berperan. Sejalan dengan peran masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab untuk menjadi fasilitator, memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat, serta melakukan penelitian dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek yang terkait, antara lain, tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia, kearifan lokal, serta peraturan perundang-undangan yang mendukung. Kebijakan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk: 
a.    memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat dan aman yang didukung prasarana, sarana, dan utilitas umum secara berkelanjutan serta yang mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia;
b.    ketersediaan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan, permukiman, serta lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan;
c.    mewujudkan perumahan yang serasi dan seimbang sesuai dengan tata ruang serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna;
d.    memberikan hak pakai dengan tidak mengorbankan kedaulatan negara; dan
e.    mendorong iklim investasi asing.
Sejalan dengan arah kebijakan umum tersebut, penyelenggaraan perumahan dan permukiman, baik di daerah perkotaan yang berpenduduk padat maupun di daerah perdesaan yang ketersediaan lahannya lebih luas perlu diwujudkan adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pengelolaannya. Pemerintah dan pemerintah daerah perlu memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dalam bentuk pemberian kemudahan pembiayaan dan/atau pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum di lingkungan hunian.[8]
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang perumahan dan kawasan permukiman ini juga mencakup pemeliharaan dan perbaikan yang dimaksudkan untuk menjaga fungsi perumahan dan kawasan permukiman agar dapat berfungsi secara baik dan berkelanjutan untuk kepentingan peningkatan kualitas hidup orang perseorangan yang dilakukan terhadap rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum di perumahan, permukiman, lingkungan hunian dan kawasan permukiman. Di samping itu, juga dilakukan pengaturan pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang dilakukan untuk meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Hal ini dilaksanakan berdasarkan prinsip kepastian bermukim yang menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, memiliki, dan/atau menikmati tempat tinggal, yang dilaksanakan sejalan dengan kebijakan penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.
Penyediaan Tanah untuk Perumahan dan Pemukiman tidak hanya dilaksanakan oleh penyedia tanah umum akan tetapi dalam perkembangannya pembangunan perumahan pemukiman ini dilaksanakan melalui penyediaan tanah wakaf , sebagai contoh yang dilakukan oleh Tabung Wakaf Indonesia dengan programnya Wakaf Property[9]
Wakaf  Properti Adalah donasi wakaf berupa fixed asset (asset tetap) yang dimiliki secara sah (bebas sengketa hukum) dan telah memperoleh persetujuan dari ahli waris (jika ada). Jika dipandang berpotensi untuk diproduktifkan, maka aset akan dikembangkan dengan modal pengelola (yang bersumber dari wakaf tunai) ataupun dikerjasamakan dengan pihak ketiga dengan prinsip saling menguntungkan. Namun, jika dirasakan potensinya lemah atau bahkan berat, maka jika dipandang perlu, pengelola diperbolehkan untuk menjual dan menggabungkan dengan aset yang lain (ruislag) agar memberikan manfaat yang lebih besar.
Bentuk-bentuk memproduktifkan aset dapat berupa penyewaan, leasing (bangun-sewa), kerjasama pengelolaan bisnis di atas aset dengan pihak ketiga dan membangun bisnis di atas aset. Surplus yang diperoleh kemudian dialirkan untuk program-program sosial sesuai peruntukannya.
Yang termasuk kepada donasi wakaf properti antara lain:
  1. Tanah
  2. Rumah
  3. Ruko
  4. Apartemen
  5. Bangunan Komersil (Perkantoran, Hotel, Mal, Pasar, Gudang, Pabrik, dll)
  6. Bangunan Sarana Publik (Sekolah, Rumah Sakit, Klinik, dll)
  7. Kendaraan (mobil, motor)
            Berdasarkan latar belakang di atas ,maka peneliti bermaksud mengkaji dan menganalis  Wakaf Property dalam sebuah penelitian yang Berjudul :
PEMBANGUNAN PERUMAHAN UNTUK KEPENTINGAN BISNIS DI ATAS TANAH WAKAF MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM DI HUBUNGKAN DENGAN UNDANG – UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DAN UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PEMUKIMAN
B.        Identifikasi Masalah.
                        Dalam penelitian ini, diidentifikasi dan dirumuskan permasalahannya sebagai berikut :
1.    Bagaimana status dan kedudukan perumahan yang dibangun diatas tanah wakaf untuk kepentingan bisnis menurut undang-undang nomor 41 tahun 2004 dan undang-undang no 1 tahun 2011
2.    Bagaimana pelaksanaan wakaf untuk pembangunan perumahan menurut uu no 41 tahun 2004 undang-undang no 1 tahun 2011


[1]  Penjelasan Umum Undang – undang Nomor 41 tahun 2001 Tentang Wakaf
[2]  Tamaddun, 2002, Bait Al Ashy, Rumah Wakaf Aceh di Tanah Suci Mekkah, www.al islam.or.id
[3] Muhammad Musthafa Tsalabi, al-Ahkam al-Washaya wa al-Awqaf, (Mesir: Dar al-Ta’lif, t.th.), h. 333.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia
[5] Dikutip dari sambutan Menteri Negara Perumahan Rakyat pada Seminar Potensi Wakaf Untuk Perumahan Rakyat, tanggal 24 Juni 2009.
[6]   Masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam konteks ini adalah mereka yang berpenghasilan samapai dengan Rp 2.500.000,-/bulan
[7]  Penjelasan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman
[8] Ibid, Penjelasan Umum Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman
       [9] www. Tabung wakaf Indonesia