Tampilkan postingan dengan label Teori Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Teori Hukum. Tampilkan semua postingan

Rabu, 08 Oktober 2014

Konsep Teori Keadilan

Keadilan mirip cerita gajah yang diteliti oleh para peneliti buta. Setiap peneliti merasakan bagian yang berbeda-kaki, telinga-gading-sehingga masing-masing melukiskan makhluk ini dengan cara yang berbeda-beda pula, gemuk dan kuat, tipis dan lentur, halus dan keras. Sementara si gajah itu sendiri-sang keadilan-tidak pernah bisa dikenal seluruhnya oleh deskripsi individual manapun. Seringkali bahkan pelukisannya nampak bertentangan. Mengapa? karena setiap individu hanya menawarkan sesuatu bagi pendefinisiannya.[1]
Keadilan atau justice berasal dari bahasa latin justitia yang memiliki kata dasar jus. Jus artinya hukum atau hak. Dengan demikian, salah satu makna yang terkandung dalam istilah justice adalah hukum (law). Thomas Aquinas memberikan pengertian kepada keadilan sebagai kemauan untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Harus dipenuhi segala sesuatu yang merupakan suatu hak di dalam hubungan hidup kemanusiaan adalah sebagai sesuatu yang wajib.[2]
The American heritage memberikan dua definisi tentang keadilan, yaitu “the principle of moral rightness, equity” and “the upholding of what is just, especially fair treatment and due reward in accordance to honor, standards, or law: fairness”.[3]
Selain itu ada beberapa definisi tentang keadilan yang dikemukakan oleh beberapa pakar, tetapi definisi mereka tentang keadilan berbeda satu dengan yang lainnya seperti definisi keadilan dibawah ini :
a.    Aristoteles
Justice is a political virtue, by the rules of it, the state is regulated and these rules the criterion of what is right.
b.    Justinianus
The virtue which results in each person receiving his due.
c.    Mill
The idea of justice supposes two things: a rule of conduct and sentiment which sanctions the rule. The first must be supposed common to all mankind and intended for their good: the sentiment is a desire that punishment may be suffered by those who infringe the rule.
d.    Ehrhich
Justice has always weighted the scales solely in favour of the weak and the perseculed. A justice decision is a decision based on grounds which appeal to a disinterested person.
e.    Brunner
Who or whatever renders to every man his due, that person or thing is just an attitude, an institution, a law, a relationship, in which every man is given his due is just.
f.      Bodenheimer
Justice requires that freedom, equality, and security be accordded to human beings to the greaterst extent consistent with the common good.
g.    Ross
Justice is the correct application of a law as opposed to arbitrariness.
h.    Wortley
Justice among men involves an impartial and fearless act of choosing solution for a dispute within a legal order, having regard to the human right which that order protects.[4]

Kerinduan akan keadilan merupakan kerinduan abadi manusia akan kebahagiaan. Kebahagiaan inilah yang tidak dapat ditemukan oleh manusia sebagai seorang individu terisolasi dan oleh sebab itu ia berusaha mencarinya di dalam masyarakat. Keadilan adalah kebahagiaan sosial.[5]
Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar; demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil.[6] Keadilan dipandang sebagai pemeliharaan atau pemulihan keseimbangan (balance) atau jatah bagian (proportion), dan kaidah pokoknya seringkali dirumuskan sebagai perlakuan hal-hal yang yang serupa dengan cara yang serupa kendatipun kita perlu menambahkan padanya dan perlakuan hal-hal yang berbeda dengan cara yang berbeda[7].
Keadilan (sifat adil) memiliki beberapa ciri atau karakteristik, antara lain sebagai berikut :
1.    Adil (jus)
2.    Bersifat hukum (legal)
3.    Sah menurut hukum (lawful)
4.    Tidak memihak (unpartial)
5.    Sama hak (equal)
6.    Layak (fair)
7.    Wajar secara moral (equitable)
8.    Benar secara moral (righteous).[8]

Kata keadilan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata adil yang mendapat imbuhan awalan dan akhiran berasal dari bahasa Arab, yakni  yang bermakna istiqamah, seimbang, harmonis, lurus, tegak, kembali, berpaling, dan lain-lain. Adil dapat pula diartikan dengan memberikan sesuatu kepada seseorang yang menjadi haknya, oleh Ibrahim Mustafa menyebutkan dalam kitab mu.jamnya “mengambil dari mereka sesuatu yang menjadi kewajibannya”[9]. Dalam kamus umum bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata adil diartikan dengan:
1)   Tidak berat sebelah (tidak memihak),
2)   Sepatutnya (tidak sewenang-wenang).[10]
     Dengan demikian, keadilan mengandung pengertian berbagai hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak atau tidak sewenang-wenang[11].
     Menurut yang lebih umum mungkin dapat dikatakan keadilan itu adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Atau dengan kata lain, keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan kita bersama.[12]
Konsep keadilan dalam perspektif Alquran dapat dilihat pada penggunaan lafaz adil dalam berbagai bentuk dan perubahannya. Muhammad Fu‟ad Abdul Baqiy dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras Li Alfaz, beliau mengemukakan bahwa Lafaz adil dalam Alquran disebutkan sebanyak 28 kali yang terdapat pada 28 ayat dalam 11 surah.[13]
          M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa kata adil pada awalnya diartikan dengan sama atau persamaan, itulah yang menjadikan pelakunya tidak memihak atau berpihak pada yang benar. Makna ini menunjukkan bahwa keadilan itu melibatkan beberapa pihak, yang terkadang saling berhadapan, yakni: dua atau lebih, masing-masing pihak mempunyai hak yang patut perolehnya, demikian sebaliknya masing-masing pihak mempunyai kewajiban yang harus ditunaikan.[14]
Adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu, Allah SWT. menetapkan hukum yang harus ditegakkan dalam kehidupan tidak lain adalah untuk memberi perlindungan kepada setiap orang atau individu yang harus dinikmati dalam kehidupannya setiap hari.[15]



[1] Karen Leback, Teori-Teori Keadilan ( Six Theories of Justice), Nusamedia, Bandung, 1986, Hlm 1
[2]  Yulia Budiwati dkk, Ilmu Budaya Dasar Edisi 2, Universitas Terbuka, Jakarta,  2006, Hlm 5.3
[3]  Maher Hathout, In Pursuit Of Justice : The Jurisprudence of Human Rights in Islam, Hlm 1
[4]  Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, Ghalia Indonesia,Bogor,2011, Hlm 60-6
         [5]  Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusamedia, Bandung 2011, Hlm 7

[6] John Rawls, A Theory of Justice, Teori Keadilan, Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hlm 3-4

[7]  H.LA. Hart, Konsep Hukum, The Concept Of Law, Nusamedia,Bandung 2011, Hlm 246
[8]  Yulia Budiwati dkk, Op.Cit, Hlm 5.5
[9] Ambo Asse, Konsep Adil Dalam Al-Qur’an, Al-Risalah, Volume 10 Nomor 2 Nopember 2010, Hlm 275-276
[10]  W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, Hlm 16
[11]  Ahmad Mustafa, Ilmu Budaya Dasar, Pustaka Setia, Hlm 106
[12] Munandar Sulaeman  MS, Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 1998, Hlm 72
[13]  Ambo Asse, Op.Cit, Hlm  274
[14]  Ambo Asse, Op.Cit, Hlm 276
[15]  Ibid, Hlm 278

Kamis, 01 Desember 2011

"Presumption of Innocence" / "legal decision"


"Azas Praduga Tidak Bersalah" "Presumption of Innocence" adalah azas yang harus melatar belakangi sikap hakim dalam mengambil keputusan yang se-mata - mata cuma tergantung dari barang bukti dan saksi - saksi yang dimajukan oleh kedua pihak yaitu pihak tertuduh dan pihak penuntut.  Azas praduga tak bersalah ini merupakan kaitan "legal decision" yang harus ditegakkan oleh hakim bukan oleh penuntut maupun oleh polisi.

Sebaliknya pihak polisi yang menangkapnya hanya bisa menangkap atas dasar adanya tuduhan dengan bukti - bukti yang kuat, namun setelah dibawa ke pengadilan, maka tertuduh ini berhak didampingi pembela untuk menangkis bukti - bukti dan tuduhan ini.

Sejak ditangkap polisi, orang yang bersangkutan sudah menjadi tertuduh, penuntut  juga berfungsi mengumpulkan dan memperkuat bukti - bukti tuduhan yang sudah ada.  Namun pihak pembela bertugas sebaliknya, yaitu mencari celah - celah hukum yang bisa memperlemah tuduhan.

Demikianlah, Hakim pada akhirnya yang harus mengambil keputusan dengan "azas praduga tidak bersalah" untuk membuat keputusan yang tidak salah.  Artinya, hakim harus memutuskan tanpa prejudice terhadap sang tertuduh.

Di Amerika, "azas praduga tak bersalah" ini bukan cuma harus melandasi cara hakim dalam mengambil keputusan karena keputusannya berada ditangan para Jury yang berjumlah 12 orang.  Sehingga jelas, "azas praduga tak bersalah" ini harus juga dengan ketat dipahami oleh para Jury yang dipilih secara random dari setiap warganegara Amerika yang dewasa yang lulus SMA.  Kalo ada Jury yang terkait oleh pengalaman yang sama yang dilakukan tertuduh, maka "azas praduga tak bersalah" ini tidak memenuhi syarat dan Jury ini akan dibatalkan dan diganti dengan Jury lainnya.  Demikianlah, dengan adanya Jury ini sukar hakimnya disogok atau hakimnya melanggar "azas praduga tak bersalah", karena dalam hal ini Jurylah yang memberi keputusan salah atau tidaknya, dan sang hakim hanya menentukan lamanya hukuman atau besarnya denda berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku berdasarkan keputusan para Jury.

Karena Jury itu dipilih secara random, sulit untuk disogok, kalo pembela menemukan hal - hal yang beralasan untuk mengganti Jury, hakim bisa mempertimbangkan apakah permohonan pembela itu dikabulkan atau ditolak.

Demikianlah, caranya memang sangat berbeda dengan di Indonesia yang  systemnya sangat korup sehingga "azas praduga tak bersalah" bisa  digunakan jadi alasan pembela untuk membebaskan tertuduh, padahal azas
itu bukan fungsinya seperti itu.  Namun semuanya itu saya serahkan  penilaian pembaca saja untuk memahaminya karena memang saya tidak berhak menafsirkan cara - cara korup pengadilan maupun hukum di Indonesia, antara lain seperti kasus pemerkosaan masal amoy2 dan pembakaran mesjid Ahmadiah disertai penjarahan harta pribadi umatnya.  Atas dasar apa perbuatan itu tidak ditindak oleh aparat di Indonesia???  Azas praduga tak bersalah tidak bisa digunakan oleh pihak kepolisian ataupun pihak penuntut karena azas itu hanya diberlakukan kepada hakim yang mengambil keputusan!!!!

Demikianlah, setiap pelanggaran itu merupakan pelanggar hak asasi manusia.  Kita menangkap seseorang kriminal seperti pembakar mesjid atas dasar melindungi hak asasi orang lain, sedangkan sang kriminal hanya memilik hak sebagai tertuduh bukan hak asasi karena dia itu justru dituduh merampas hak asasi orang lain !!!

Hak tertuduh adalah kesempatan membela diri, bukan hak asasi untuk menikmati kebebasan seperti kebebasan korban yang dilanggar hak asasinya.

Semoga masyarakat Indonesia lebih peka terhadap cara - cara memutar balik berbagai azas keadilan dalam memanfaatkan kebodohan masyarakat, memerasnya, dan melestarikan korupsi dilingkungan pengadilan.  Kontrol masyarakat sangat dibutuhkan untuk tegaknya keadilan.  Semua kebodohan dan korupsi yang dimanfaatkan para penguasa ini se-mata - mata disebabkan cara - cara pemikiran religious yang mendominasi pemikiran masyarakat dan pejabatnya, karena kalo anda membaca buku - buku suci semua agama, pada dasarnya mendidik umatnya cuma memutar balik fakta untuk berpihak kepada agama kepercayaannya dengan cara - cara yang berlandaskan penipuan.


Selasa, 29 November 2011

Teori Hukum Murni (the Pure Theory of Law) Hans Kelsen



Ide mengenai Teori Hukum Murni (the Pure Theory of Law) diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen lahir di Praha pada 11 Oktober 1881. Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke Vienna. Pada 1906, Kelsen mendapatkan gelar doktornya pada bidang hukum.
Kelsen memulai karirnya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.
Yurisprudensi ini dikarakterisasikan sebagai kajian kepada hukum, sebagai satu objek yang berdiri sendiri, sehingga kemurnian menjadi prinsip-prinsip metodolgikal dasar dari filsafatnya. Perlu dicatat bahwa paham anti-reduksionisme ini bukan hanya merupakan metodoligi melainkan juga substansi. Kelsen meyakini bahwa jika hokum dipertimbangkan sebagai sebuah praktek normatif, maka metodologi yang reduksionis semestinya harus dihilangkan. Akan tetapi, pendekatan ini tidak hanya sebatas permasalahan metodologi saja.\

1.NormaDasar

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah system Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein) dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi alamiah.
Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan dan kejadian yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan sederhana ; kita menilai sebuah aturan “seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu. Saat “seharusnya” tidak bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal intinya merupakan pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada presupposition yang merupakan pengandaian.
Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norm moral lain dengan silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.
Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant. Kedua, Kelsen tidak mengklain bahwa presupposition dari Nrma Dasar adalah sebuah kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif.
Kelsen mengatakan bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus melakukan presuppose Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan sebuah komitmen normatif, dan sifatnya selalu optional.

2. Nilai Normatif Hukum
Nilai normatif Hukum bisa diperbandingkan perbedaannya dengan nilai normatif agama. Norma agama, sebagaimana norma moralitas, tidak tergantung kepada kepatuhan aktual dari para pengikutnya. Tidak ada sanksi yang benar-benar langsung sebagaimana norma hukum. Misalnya saja ketika seorang lupa untuk berdoa di malam hari, maka tidak ada instrumen langsung yang memberikan hukuman atas ketidakpatuhannya tersebut.
Validitas dari sistem hukum bergantung dari paktik-pratik aktualnya. Dikatakannya bahwa “perturan legal dinilai sebagai sesuatu yang valid apabila normanya efektif (yaitu secara aktual dipraktikkan dan ditaati)”. Lebih jauh lagi, kandungan sebenarnya dari Norma Dasar juga bergantung pada keefektifitasannya. Sebagaimana yang telah berkali-kali ditekankan oleh Kelsen, sebuah revolusi yang sukses pastilah revolusi yang mampu merubah kandungan isi Norma Dasar.
Perhatian Kelsen pada aspek-aspek normatifitasan ini dipengaruhi oleh pandangan skeptis David Hume atas objektifitasan moral, hukum, dan skema-skema evaluatif lainnya. Pandangan yang diperoleh seseorang, utamanya dari karya-karya akhir Hans Kelsen, adalah sebuah keyakinan adanya sistem normatif yang tidak terhitung dari melakuan presuppose atas Norma Dasar. Tetapi tanpa adanya rasionalitas maka pilihan atas Norma Dasar tidak akan menjadi sesuatu yang kuat. Agaknya, sulit untuk memahami bagaimana normatifitas bisa benar-benar dijelaskan dalam basis pilihan-pilihan yang tidak berdasar.
Hans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan hampir 400 karya, dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa. Pengaruh Kelsen tidak hanya dalam bidang hukum melalui Pure Theory of Law, tetapi juga dalam positivisme hukum kritis, filsafat hokum, sosiologi, teori politik dan kritik ideology. Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam dunia pemikiran hukum. Dalam hukum internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of International Law. Karya tersebut merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting dari hukum internasional termasuk kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan, retaliasi, spektrum validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional, pembuatan dan aplikasinya.

Sabtu, 05 November 2011

HUKUM PROGRESIF : UPAYA UNTUK MEWUJUDKAN ILMU HUKUM MENJADI SEBENARNYA ILMU.



Sebagai suatu disiplin ilmu, sejarah hukum tergolong sebagai pengetahuan yang masih muda jika dibanding dengan disiplin – disiplin ilmu yang lainnya yang terlebih dahulu lahir. Bahkan dibanding dengan disiplin ilmu lain, ilmu hukum masih menjadi perdebatan dan perkembangan untuk mengukuhkan diri menjadi ilmu yang sebenarnya ilmu.
Salah satu masalah yang masih dihadapi oleh ilmu hukum terkait dengan hakikat pengetahuan apa yang di kaji( ontologi ), bagaimana cara untuk mengeksplorasi suatu pengetahuan yang benar ( epistemologi ),dan untuk apa ilmu pengetahuan dipergunakan ( aksiologi ).Pada dasarnya semua pengetahuan apakah ilmu, seni, atau pengetahuan apa saja mempunyai ketiga landasan tersebut. Yang berbeda adalah materi perwujudannya serta sejauh mana landasan – landasan dari tiga landasan tersebut dikembangkan dan dilaksanakan. Tidak dapat dihindari bahwa dalam perjalanannya ilmu hukum mengalami pasang surut keberadaan tergantung pada konteks dan waktu dimana ilmu hukum tersebut berkembang. Agar ilmu hukum dapat berkualitas sebagai ilmu, maka tidak dapat dihindari bagi ilmu hukum masuk dalam siklus terbentuknya ilmu yang telah ada. Untuk menjadikan ilmu hukum sebagai sebenar ilmu, pertama-tama barang perlu mengkaji apa dan bagaimana serta manfaat dari ilmu.Ilmu secara umum dapat di definisikan sebagai sesuatu yang melekat pada manusia dimana ia dapat mengetahui sesuatu yang asalnya tidak ia ketahui .
Ditinjau dari sisi filsafat, maka ilmu dan pengetahuan merupakan sesuatu yang berbeda pemahamannya. Ilmu adalah suatu cara untuk mengetahui, dalam artian bahwa ilmu bukanlah satu-satunya cara bagi manusia untuk mengetahui. Di samping ilmu terdapat cara lain untuk mengetahui, yang secara umum disebut dengan pengetahuan. Menurut Liek Wilardjo ilmu itu merupakan bagian dari pengetahuan. Sebagai bagian dari pengetahuan, ilmu tidaklah sekedar akumulasi informasi.
Lebih dari itu, ilmu juga membentuk cara berpikir. Selain itu Koento Wibisono Siswomihardjo menyatakan bahwa hakikat ilmu adalah sebab fundamental dan kebenaran universal yang implisit melekat di dalam dirinya. Dengan pengertian tersebut, maka ilmu itu niscaya berorientasi dan selalu berusaha untuk mengungkapkan kebenaran (searching for the truth) yang universal dan hakiki. Sejalan dengan pemikiran perkembangan kehidupan manusia, Liek Wilardjo menyatakan bahwa kebenaran yang ingin dicapai oleh ilmu itu tidak mutlak dan tidak langgeng, namun bersifat nisbi, sementara, dan hanya merupakan pendekatan saja. Apa yang selama ini dipedomani sebagai kebenaran akan selalu merupakan hasil jerih payah bertahun-tahun mengembangkan dan menyempurnakan kebenaran lama. Demikian pula sesuai dengan siklus kehidupan manusia, maka apa yang sekarang ini menjadi pedoman untuk mencari kebenaran, pada waktu yang datang muncul kebenaran yang lebih jati lagi.
Manusia merupakan makhluk yang selalu ingin tahu. Tidak pernah puas terhadap segala sesuatu yang telah ada. Sebagai konsekuensinya ilmu terus menerus berkembang sejalan dengan pemikiran manusia pada waktu dan tempat yang dijalaninya. Dalam perkembangan dunia yang semakin modern ilmu juga mengalami perubahan-perubahan. Dalam kaitan ini praktik-praktik komunitas ilmuwan dalam kegiatannya bukan saja dipengaruhi oleh Weltanschauung dan perspektif religius serta politik sang ilmuwan, melainkan juga telah dibayangi ilmu itu sendiri dalam hakekatnya sebagai kekuasaan.
Dengan perkembangan yang demikian, maka akan sangat sulit untuk mengatakan bahwa ilmu itu netral. Sejak semula ilmu memang tidak netral, melainkan sarat nilai. Bukan saja nilai-nilai konstitutif yang mempengaruhi ilmuwan dan karenanya juga proses serta produk kegiatan keilmuannya, melainkan juga nilai-nilai kontekstual. Dengan nilai-nilai kontekstual tersebut, ilmuwan sangat rentan terhadap pengaruh kepentingan-kepentingan pihak lain.
Dengan demikian, sistem nilai yang dianut suatu komunitas ilmuwan akan mempengaruhi kesepakatan mengenai anggapan apa yang merupakan ilmu itu.
Ilmu Hukum yang berkembang hingga saat ini pada dasarnya tercipta setelah melalui perdebatan-perdebatan intelektual yang panjang dan melelahkan untuk menemukan “kebenaran hukum” itu. Namun perlu dipahami bahwa meskipun suatu paradigma dalam suatu Ilmu Hukum dianggap telah usang dan tidak mampu untuk menjawab dan memberi solusi atas problem baru yang muncul belakangan, yang kemudian memunculkan paradigma baru Ilmu Hukum, namun paradigma lama tidak dengan sendirinya tergusur. Paradigma lama tersebut masih bertahan secara teguh dalam suatu komunitas ilmuwan yang bersangkutan, tanpa mau menoleh kepada paradigma yang muncul belakangan.
Dalam kaitan ini terdapat dua kubu yang ‘berhadap-hadapan’ yang belum saling sepakat tersebut, yakni antara kubu normatif/dogmatis/doktrinal dengan kubu empirik/non-dogmatis/non-doktrinal. Seringkali, argumentasi yang dibangun antara dua kubu tersebut berseberangan satu dengan lainnya tanpa melihat kelebihan dan kekurangan dari masing-masing. Para ilmuwan hukum dari kedua kubu tersebut sibuk dalam perdebatan-perdebatan yang tidak pernah selesai, karena perbedaan aliran-aliran pemikiran yang diacu, yang tak satu pun memperoleh penerimaan umum oleh para ilmuwan hukum untuk dijadikan fondasi pengembangan Ilmu Hukum. Oleh karena itu, persoalan yang harus segera dipecahkan adalah bagaimana membangun suatu ilmu hukum agar berkualitas sebagai sebenar ilmu. Kebutuhan untuk menempatkan Ilmu Hukum sebagai sebenar ilmu pada akan sangat menentukan terciptanya di samping suatu landasan intelektual bagi komunitas keilmuwan, juga memaparkan masalah-masalah yang perlu dibahas, dan langkah-langkah yang perlu ditempuh oleh para pakar ilmu untuk
memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi oleh Ilmu Hukum.
Ilmu dan Pengetahuan
Untuk membedakan dengan identitas lainnya, maka ilmu sebagai bagian dari pengetahuan niscaya memiliki ciri-ciri khas. Ciri khas atau karakteristik pengetahuan keilmuan ini mencerminkan landasan yang akan digunakan untuk menjelaskan apakah pengetahuan itu dapat dikatagorikan sebagai ilmu ataukah hanya berhenti pada pengetahuan saja. Jujun S. Suriasumantri menyatakan bahwa ilmu itu memilki tiga landasan, yaitu: (1)ontologi, (2)epistemologi, dan (3)aksiologi/ teleologi.Landasan ontologis membahas tentang apa yang ingin diketahui, atau dengan kata lain ontologi merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologi dari ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi objek penelaahan ilmu. Berdasarkan objek yang ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris hal ini dikarenakan objeknya adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Berlainan dengan agama atau bentuk-bentuk pengetahuan yang lain, ilmu membatasi diri hanya pada kejadian-kejadian yang bersifat empiris, dan karenanya selalu terhadap dunia empiris.
Landasan epistemologis membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha manusia untuk memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu teori pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apa pun selama hal itu terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode keilmuan, sah disebut keilmuan. Kata-kata sifat keilmuan lebih mencerminkan hakikat ilmu daripada istilah ilmu sebagai kata benda.
Hakikat keilmuan ditentukan oleh cara berpikir yang dilakukan menurut syarat keilmuan, yaitu bersifat terbuka dan menjunjung kebenaran di atas segalagalanya.
Oleh karena itu, ilmu barangkali boleh salah, tetapi yang tidak boleh (haram) adalah bohong (menutupi/menghilangkan kebenaran) dalam ilmu. Epistemologi hukum (ajaran pengetahuan,kennisleer) menurut Jan Gijssels dan Marks van Hoecke yang diterjemahkan oleh B.Arif Sidharta; adalah penelitian tentang pertanyaan sejauh mana pengetahuan tentang “hakikat” dari hukum atau masalah-masalah filsafat hukum fundamental lainnya mungkin.Jadi ini adalah suatu bentuk dari meta-filsafat.
Dasar aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Aksiologi Hukum (ajaran nilai,waardenleer) menurut Jan Gijssels dan Marks van Hoecke yang diterjemahkan oleh B.Arif Sidharta adalah penentuan isi dan nilai-nilai seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran,penyalahgunaan hak.
Perjalanan Keberadaan Ilmu Hukum untuk mewujudkan ilmu hukum menjadi sebenar ilmu
Sejak abad 19, muncul pandangan yang meragukan posisi keilmiahan dari Ilmu Hukum. J.H. von Kirchmann pada tahun 1848 dalam sebuah pidatonya yang diberi judul Die Wertlosigkeit der Jurisprudenz als Wissenschaft (Ketakberhargaan Ilmu Hukum sebagai Ilmu) menyatakan bahwa Ilmu Hukum itu adalah bukan ilmu. Pada abad 20, juga muncul pandangan yang menolak keilmiahan dari Ilmu Hukum. Hal ini tercermin dari karya A.V. Lundstedt yang berjudul Die Inwissenschaftlichkeit der Rechtswissenshaft (Ketakilmiahan Ilmu Hukum) yang terbit pada tahun 1932. Berdasarkan metodenya, A.V. Lundstedt dengan tegas menolak keilmiahan dari Ilmu Hukum.Dalam kaitan ini J.H. von Kirchmann berpendapat bahwa obyek studi dari apa yang dinamakan Ilmu Hukum itu adalah hukum positif yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat.
Begitu Ilmu Hukum selesai memaparkan sistem hukum positif yang berlaku dalam masyarakat, maka hasil pemaparann yaitu akan tertinggal oleh dinamika hukum positif itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena hakikat dari sistem hukum positif itu yang selalu bergerak dinamis dan berubah-ubah mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat. Dengan latar yang demikian ini, maka Kirchmann sampai pada kesimpulan bahwa objek dari Ilmu Hukum itu - tidak seperti ilmu lainnya yang memiliki sifat universal – bersifat lokal. Objek Ilmu Hukum tidak dapat dipegang oleh Ilmu Hukum karena selalu berubah-ubah dan berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Jadi, Ilmu Hukum tidak memiliki landasan keilmuan sebagaimana yang dimiliki oleh ilmu lain, demikian inti pandangan yang menolak keilmuan dari Ilmu Hukum. Atas pandangan yang minor terhadap Ilmu Hukum tersebut, Paul Scholten melalui karyanya berjudul De Structuur der Rechtswetenschap yang terbit pada tahun 1942 mencoba menjernihkan tentang status ilmu hukum sebagai ilmu yang sesungguhnya.
Dalam karyanya ini, Scholten secara ringkas, jernih dan dan jelas memaparkan pandangan nya tentang hukum,keadilan dan Ilmu Hukum.Di Indonesia sendiri, perdebatan tentang ontologi dan epistemologi dari ilmu Hukum mulai marak pada tahun 1970-an. Munculnya pemikiran-pemikiran sosiologis dalam kajian Ilmu Hukum menimbulkan reaksi yang cukup signifikan dari Ilmu Hukum dogmatis. Sebagaimana diketahui, Ilmu Hukum yang dibangun dan dikembangkan di Indonesia, sebagai bekas jajahan Belanda, hingga menjelang tahun 1970 adalah berlandaskan pada pemikiran positivisme hukum. Di dalam pengaruh paradigma positivisme,para pelaku hukum menempatkan diri dengan cara berpikir dan pemahaman hukum secara legalistik positivis dan berbasis peraturan (rule bound) sehingga tidak mampu menangkap kebenaran, karena memang tidak mau melihat atau mengakui hal itu. Dalam ilmu hukum yang legalitis positivistis, hukum hanya dianggap sebagai institusi pengaturan yang kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, dan deterministik, terutama untuk kepentingan profesi.
Dalam konteks hukum Indonesia, doktrin dan ajaran hukum demikian yang masih dominan, termasuk kategori “legisme”nya Schuyt. Hal ini dikarenakan “legisme” melihat dunia hukum dari teleskop perundang-undangan belaka untuk kemudian menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dalam Negara modern, penerapan positivisme dimaksudkan untuk mencapai kepastian hukum walaupun dalam kenyataannya kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan lebih banyak dihadapi.Salah satu kritikan terhadap positivisme adalah sebagaimana dikatakan oleh Anwarul Yaqin,pertama, bahwa tidak semua hukum lahir dari keinginan pihak yang berdaulat.Kebiasaan-kebiasaan yang diperkenalkan oleh pengadilan,sama sekali tidak merupakan ungkapan keinginan pihak yang berdaulat. Kedua,deskripsi Austin tentang hukum lebih mendekati hukum pidana yang membebankan kewajiban-kewajiban.Ketiga,rasa takut bukan satu-satunya motif sehingga orang menaati hukum,Terdapat banyak motif lain sehingga orang menaati hukum, seperti rasa respek terhadap hukum,simpati terhadap pemeliharaan tertib hukum, atau alasan yang sifatnya manusiawi. Rasa takut hanya motif tambahan. Keempat, definisi hukum dari kaum positivis tidak dapat diterapkan terhadap hukum tata negara, karena hukum tata negara tidak dapat digolongkan dalam perintah dari yang berdaulat. Hukum tata negara dari suatu negara didefinisikan sebagai kekuasaan dari berbagai organ dari suatu negara, termasuk kekuasaan dari kedaulatan politik.
Dari sisi kritik praktis, Achmad Gunaryo menjelaskan bahwa ilmu hukum konvensional (positivistis),juga logika hukum, gagal menjelaskan secara meyakinkan sejumlah peristiwa social kemanusian. Munculnya sosiologi dalam Ilmu Hukum dikarenakan ingin melihat hakikat hukum yang tidak terbatas pada teks normatif yang abstrak. Tetapi lebih jauh dari itu, hukum ingin dilihat dalam segenap kompleksitasnya dalam interaksinya dengan alam realitas empirik sebagai medan tumbuh-kembangnya hukum tersebut. Apakah bunyi aturan hukum benar-benar berfungsi atau tidak berfungsi dalam realitas empirik. Hal tersebut tidak akan diketahui jika hanya melakukan pengamatan terhadap ajaran-ajaran atau rumusan-rumusan yang resmi dan formal. Untuk itu dibutuhkan penggunaan sosiologi dalam Ilmu Hukum. Terdapat beberapa faktor yang mendorong perkembangan minat terhadap sosiologi hukum, yaitu: perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hubungan-hubungan sosial (termasuk sudah perubahan fisik dan teknologis)’ ketidaksesuaian antara ideal dan kenyataan; dan sehubungan dengan kedua hal tersebut adalah terjadinya konflik-konflik nilai-nilai,konflik kepentingan dan sebagainya didalam masyarakat.
Memang tidak dapat dipungkiri ada pandangan, baik dari sosiolog mau pun sarjana hukum sendiri, bahwa Ilmu Hukum termasuk kelompok Ilmu-ilmu Sosial. Tetapi dalam penerapannya penggunaan metode penelitian ilmu social kurang dapat diandalkan untuk dapat menciptakan suatu analisis hukum, doktrin hukum, atau suatu produk hukum (rancangan undang-undang, misalnya) yang dibutuhkan untuk pembangunan hukum. Bernard Arief Sidharta berusaha membuktikan sifat keilmuan dari Ilmu Hukum dengan pokok-pokok pemikirannya menjelang akhir abad 20. Menurut beliau Ilmu Hukum itu juga seperti halnya ilmu lain, memiliki landasan keilmuan yang dibutuhkan oleh setiap ilmu. Ilmu Hukum membangun konsep dan obyeknya yang dapat dieksplorasi oleh siapa
pun.
Obyek-telaah Ilmu Hukum adalah tata hukum positif, yakni sistem aturan hukum yang ada pada suatu waktu tertentu dan berlaku dalam suatu wilayah tertentu
Lebih lanjut diuraikan bahwa Ilmu Hukum termasuk ke dalam jajaran Kelompok Ilmu Praktis-Normologis. Ilmu Praktis merupakan medan tempat berbagai ilmu bertemu dan berinteraksi, yang produk akhirnya berupa penyelesaian yang secara ilmiah (rasional) dapat dipertanggungjawabkan. Meski obyek telaahnya adalah tata hukum positif, dalam perkembangannya, Ilmu Hukum harus terbuka dan mampu mengolah produk berbagai ilmu lain tanpa berubah menjadi ilmu lain tersebut dengan kehilangan karakter khasnya sebagai ilmu normatif. Memasuki abad 21, muncul karya yang berbeda dengan pendapat Sidharta tersebut dalam mengkonstatasi keberadaan Ilmu Hukum.
Bernard L. Tanya seorang pemikir hukum menyatakan bahwa Ilmu Hukum tidaklah memadai jika hanya berkubang dalam paradigma normatif-dogmatis saja. Sebab, jika hanya berkisar pada aspek normatif saja, maka tidaklah akan dapat menangkap hakikat hukum sebagai upaya manusia untuk menertibkan diri dan masyarakat berikut kemungkinan berfungsi atau tidaknya hukum tersebut dalam masyarakat.
Untuk melihat hakikat hukum dengan segala kompleksitasnya tersebut, kemudian Bernard mengatakan bahwa Ilmu Hukum merupakan bagian dari Ilmu Humaniora. Sebagai bagian dari Ilmu Humaniora, maka Ilmu Hukum mempelajari hukum dengan titik tolak dari manusia sebagai subyeknya. Meletakkan Ilmu Hukum sebagai bagian dari Ilmu Humaniora tersebut jelas sangat berbeda dengan pendapat Sidharta di atas yang menyatakan bahwa Ilmu Hukum berada dalam tataran Ilmu Praktikal-Normologik.
Dengan objek telaah (ontologi) yang berbeda tersebut, Ilmu Hukum Dogmatik objek telaah nya adalah semata-mata pada teks-teksotoritatif.Sedangkan Ilmu Hukum Non-dogmatis objek telaahnya adalah hukum dengan sekalian keterkaitannya dengan realitas-empirik. Hal ini berakibat kepada model penelaahan (epistemologi) yang berbeda pula. Metode penelitian dalam Ilmu Hukum Dogmatik menggunakan metode penelitian hukum beserta perangkat-perangkat penafsirannya yang ‘murni’ hukum dogmatik. Sedangkan Ilmu Hukum Non-dogmatik (empiris) menggunakan perangkat metode penelitian ‘baru’, yaitu ‘tidak alergi meminjam’ metode yang dikembangkan ilmu lain.Ilmu Hukum Dogmatik hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Jadi, kegunaan dari Ilmu Hukum Dogmatis ini tidak lebih hanya menelaah bangunan logis-rasional dari deretan pasal-pasal peraturan. Oleh karenanya, Ilmu Hukum Dogmatik seperti ini juga lazim disebut dengan analytical jurisprudence, yang dalam praktiknya sangat bertumpu pada dimensi bentuk Bernard L. Tanya “Beban Budaya Lokal Menghadapi Hukum Negara: Analisis Budaya atas Kesulitan Sosio-Kultural Orang Sabu Menghadapi Regulasi Negara”. formal dan prosedural dalam berolah hukum untuk mencapai (aksiologi) kepastian. Yang benar dan adil adalah peraturan hukum itu sendiri.Kebalikan dari itu, Ilmu Hukum Non-dogmatik tidak berhenti kepada menyibukkan diri dengan bangunan logis-rasional dari sebuah peraturan. Tujuan (aksiologi) yang ingin dicapai oleh Ilmu Hukum Non-Dogmatik adalah untuk mencari dan mencapai kebenaran hukum sebagai institusi kemanusian dan kemasyarakatan. Kebenaran hukum yang demikian itu jelas tidak dapat diperoleh jika hanya bertumpu pada peraturan hukum semata-mata. Bukankah hukum dihadirkan untuk manusia?
Mewujudkan Landasan Keilmuan Ilmu Hukum
Dalam kaitan dengan upaya untuk mewujudkan suatu landasan keilmuan ilmu hukum yang holistik, maka langkah yang dilakukan tidak hanya menetapkan unsur-unsur teoritis tentang apa dan bagaimana suatu objek, tetapi juga menentukan sebagai apa orang dapat memandang dan menjelaskan suatu fenomena. Dalam kapasitasnya sebagai sistem pemikiran yang mendasari suatu disiplin ilmu, maka landasan keilmuan itu sekaligus menentukan sikap dasar terhadap pengetahuan dan hubungan pengetahuan tersebut dengan sasaran yang ingin diketahui, yaitu realitas.
Upaya untuk mewujudkan keilmuan dari ilmu hukum mau tidak mau perlu melihat pada dua aliran yang sampai dengan saat ini masih mempunyai pandangan yang berbeda namun sebenarnya dapat saling melengkapi. Yaitu pandangan dogmatik dan pandangan non-dogmatik, dapat dipandang sebagai suatu rahmat dan kekayaan dalam khazanah Ilmu Hukum. Sebagai bagian dari dinamika ilmu, hal ini sah-sah saja. Yang memprihantinkan ialah jika tolak tarik perbedaan tersebut menghasilkan sesuatu yang kontra produktif bagi perkembangan hukum. Dikatakan kontra produktif, karena para komunitas dari kedua kubu tersebut hanya sibuk berdebat dan bersilang sengketa mengenai kebenaran argumentasi dan aliran pemikiran yang dijadikan acuannya. Yang kemudian terjadi adalah mereka berkutat untuk saling mencari-cari kelemahan masing-masing tanpa mau melihat dan berusaha memahami secara jernih tentang kelemahan dan keunggulan yang ada dari kedua pandangan tersebut
Sebagai implikasinya, kegiatan-kegiatan ilmiah, khususnya kegiatan penelitian masih berlangsung dengan cara yang hampir dapat dikatakan tanpa mengacu pada perencanaan atau pun kerangka konseptual dan teoretikalnya yang diterima secara umum oleh komunitas ilmuwan hukum. Itulah sebabnya, tidak heran hingga kini dalam Ilmu Hukum belum memiliki kesepakatan menyangkut dalil-dalil, konsep-konsep dan instrumentasi sebagai model untuk mengembangkan tradisi riset ilmiah yang terpadu. Menurut Bernard L. Tanya, ini semua disebabkan oleh ketiadaan kesepakatan menyangkut segi ontologis dan epistemologis Ilmu Hukum di kalangan ilmuwan hukum sendiri. Di samping itu, adanya kecurigaan dari kalangan ilmuwan hukum bahwa masuknya sosiologi dalam kajian Ilmu Hukum barangkali dianggap sebagai suatu intervensi orang luar dalam masalah-masalah dalam negeri.Ketiadaan kesepakatan tentang dua landasan keilmuan juga belum mendapat solusi bagaimana menjembataninya. Sampai pada tahap ini tampaknya belum juga ada suatu kesepakatan untuk mengakhiri fenomena kegandaan dari Ilmu Hukum. Ketidaksepakatan tersebut jika dibiarkan terus niscaya kurang baik bagi perkembangan dan pembangunan Ilmu Hukum. Andai ada pernyataan bahwa Ilmu Hukum adalah ilmu yang membingungkan, barangkali hal itu tidak dapat disalahkan.
Oleh karenanya harus diupayakan untuk mengakhiri ketidaksepakatan landasan keilmuan dari Ilmu Hukum.H. Ph. Visser ‘t Hooft dalam hal ini mengatakan bahwa Ilmu-ilmu Hukum (Rechtswetenschappen) mencakup semua kegiatan ilmiah yang mempunyai hukum sebagai objek-telaahnya. Kegiatan ilmiah ini sangat banyak jenisnya, yang tidak melulu kegiatan yang mengkaji aspek normatif dari hukum. Untuk mendapatkan kejelasan tentang hukum, niscaya dilakukan dengan cara menempatkan hukum dalam konteks dari keseluruhan dunia-kehidupan (lebenswelt) manusiawi kita. Atas dasar pemikiran yang demikian itu, Soekanto dengan tegas mengatakan bahwa pemisahan secara ketat antara segi normatif dengan segi perilaku dari gejala kemasyarakatan akan menyesatkan, sebab akan terjadi dikotomi antara pendekatan yuridis dengan pendekatan sosiologis terhadap hukum. Hal ini tidak perlu terjadi apabila disadari bahwa kedua segi tersebut merupakan bagian dari kesatuan. Jadi, persoalan pokoknya bukanlah kembali pada segi normatifnya, namun bagaimana menyerasikan kedua segi tersebut sekaligus dengan sekalian pendekatan-pendekatannya.
Lebih lanjut Soekanto mengatakan bahwa selama kalangan hukum sudah mempunyai kerangka pemikiran yang mantap, maka ‘bahaya’ dari sosiologi tidaklah perlu dikhawatirkan. Bahkan suatu keuntungan akan diperoleh darinya,
yakni metode penelitian yang lazim digunakan dalam penelitian sosiologi akan dapat dimanfaatkan di dalam pengembangan Ilmu Hukum. Dengan demikian, kalangan ilmuwan hukum tidak perlu kembali ke penelitian hukum normatif. Yang perlu adalah suatu kesadaran bahwa penelitian hukum normatif dengan objek telaahnya teks-teks otoritatif dan penelitian hukum empiris atau sosiologis dengan objek telaahnya hukum sebagai gejala kemasyarakatan, adalah saling melengkapi. Keduanya merupakan segi- segi dari satu masalah.Di samping itu diperlukan juga suatu kesadaran bahwa jika hanya ada satu jenis penelitian, maka itu baru dilakukan kegiatan ilmiah yang belum lengkap. Melihat hukum hanya dari sisi normatifnya saja tentu tidak bisa menggambarkan fakta empiriknya. Demikian juga melihat hukum dari sisi gejala kemasyarakatan tidak bisa menggambarkan hukum sebagai sistem atau tata norma yang positif, sebab ia hanya berhenti kepada deskripsi gejala-gejala saja.



Senin, 25 Juli 2011

TEORI HUKUM

Teori Hukum Murni

Ide mengenai Teori Hukum Murni (the Pure Theory of Law) diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen lahir di Praha pada 11 Oktober 1881. Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke Vienna. Pada 1906, Kelsen mendapatkan gelar doktornya pada bidang hukum.

Kelsen memulai karirnya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.

Yurisprudensi ini dikarakterisasikan sebagai kajian kepada hukum, sebagai satu objek yang berdiri sendiri, sehingga kemurnian menjadi prinsip-prinsip metodolgikal dasar dari filsafatnya. Perlu dicatat bahwa paham anti-reduksionisme ini bukan hanya merupakan metodoligi melainkan juga substansi. Kelsen meyakini bahwa jika hokum dipertimbangkan sebagai sebuah praktek normatif, maka metodologi yang reduksionis semestinya harus dihilangkan. Akan tetapi, pendekatan ini tidak hanya sebatas permasalahan metodologi saja.



1.NormaDasar



Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah system Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein) dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi alamiah.

Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan dan kejadian yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan sederhana ; kita menilai sebuah aturan “seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu. Saat “seharusnya” tidak bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal intinya merupakan pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada presupposition yang merupakan pengandaian.

Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norm moral lain dengan silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.

Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant. Kedua, Kelsen tidak mengklain bahwa presupposition dari Nrma Dasar adalah sebuah kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif.

Kelsen mengatakan bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus melakukan presuppose Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan sebuah komitmen normatif, dan sifatnya selalu optional.



2. Nilai Normatif Hukum

Nilai normatif Hukum bisa diperbandingkan perbedaannya dengan nilai normatif agama. Norma agama, sebagaimana norma moralitas, tidak tergantung kepada kepatuhan aktual dari para pengikutnya. Tidak ada sanksi yang benar-benar langsung sebagaimana norma hukum. Misalnya saja ketika seorang lupa untuk berdoa di malam hari, maka tidak ada instrumen langsung yang memberikan hukuman atas ketidakpatuhannya tersebut.

Validitas dari sistem hukum bergantung dari paktik-pratik aktualnya. Dikatakannya bahwa “perturan legal dinilai sebagai sesuatu yang valid apabila normanya efektif (yaitu secara aktual dipraktikkan dan ditaati)”. Lebih jauh lagi, kandungan sebenarnya dari Norma Dasar juga bergantung pada keefektifitasannya. Sebagaimana yang telah berkali-kali ditekankan oleh Kelsen, sebuah revolusi yang sukses pastilah revolusi yang mampu merubah kandungan isi Norma Dasar.

Perhatian Kelsen pada aspek-aspek normatifitasan ini dipengaruhi oleh pandangan skeptis David Hume atas objektifitasan moral, hukum, dan skema-skema evaluatif lainnya. Pandangan yang diperoleh seseorang, utamanya dari karya-karya akhir Hans Kelsen, adalah sebuah keyakinan adanya sistem normatif yang tidak terhitung dari melakuan presuppose atas Norma Dasar. Tetapi tanpa adanya rasionalitas maka pilihan atas Norma Dasar tidak akan menjadi sesuatu yang kuat. Agaknya, sulit untuk memahami bagaimana normatifitas bisa benar-benar dijelaskan dalam basis pilihan-pilihan yang tidak berdasar.

Hans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan hampir 400 karya, dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa. Pengaruh Kelsen tidak hanya dalam bidang hukum melalui Pure Theory of Law, tetapi juga dalam positivisme hukum kritis, filsafat hokum, sosiologi, teori politik dan kritik ideology. Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam dunia pemikiran hukum. Dalam hukum internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of International Law. Karya tersebut merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting dari hukum internasional termasuk kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan, retaliasi, spektrum validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional, pembuatan dan aplikasinya.




TEORI HUKUM

 TEORI HUKUM LM. FRIEDMAN



Menurut Lawrence Meir Friedman berhasil atau tidaknya Penegakan hukum bergantung pada: Substansi Hukum, Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum. Teori Friedman tersebut dapat kita jadikan patokan dalam mengukur proses penegakan hukum Ilegal Loging.
Pertama: Substansi Hukum: Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living l­aw), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Cicil Law Sistem atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagaian peraturan perundang-undangan juga telah menganut Common Law Sistem atau Anglo Sexon) dikatakan hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan “tidak ada suatu perbuatan pidana yang dapat di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya”. Sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.
Teori Lawrence Meir Friedman yang Kedua : Struktur Hukum/Pranata Hukum: Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas). Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang menyatakan “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan.
Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfingsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.
Teori Lawrence Meir Friedman yang Ketiga: Budaya Hukum: Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman (2001:8) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.
Baik substansi hukum, struktur hukum  maupun budaya hukum saling keterkaitan antara satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Dalam pelaksanaannya diantara ketiganya harus tercipta hubungan yang saling mendukung agar tercipta pola hidup aman, tertib, tentram dan damai.