Pemahaman Awal
Dunia usaha
merupakan suatu dunia yang boleh dikatakan tidak dapat berdiri sendiri. Banyak
aspek dari berbagai macam dunia lainnya turut terlibat langsung maupun tidak
langsung dengan dunia usaha ini. Keterkaitan tersebut kadangkala tidak
memberikan prioritas atas dunia usaha, yang pada akhirnya membuat dunia usaha
harus tunduk dan mengikuti rambu-rambu yang ada dan seringkali bahkan
mengutamakan dunia usaha sehingga mengabaikan aturan-aturan yang telah ada.[1]
Pesatnya
perkembangan dunia usaha adakalanya tidak diimbangi dengan “penciptaan”
rambu-rambu pengawas. Dunia usaha yang berkembang terlalu pesat sehingga
meninggalkan rambu-rambu yang ada jelas tidak akan menguntungkan pada akhirnya.[2]
Apabila hukum tidak ingin dikatakan tertinggal dari perkembangan bisnis dan
dunia usaha, maka hukum dituntut untuk merespon segala seluk beluk kehidupan
dunia usaha yang melingkupinya sebagai suatu fenomena atau kenyataan sosial.
Itu berarti, peran hukum menjadi semakin penting dalam menghadapi
problema-problema dunia usaha yang timbul seperti Monopoli dan Persaiangan
Usaha Tidak Sehat.
Monopoli
menggambarkan suatu keadaan dimana terdapat seseorang atau sekelompok orang
yang menguasai suatu bidang tertentu secara mutlak, tanpa memberikan kesempatan
kepada orang lain untuk ikut ambil bagian. Monopoli diartikan sebagai suatu hak
istimewa (previlege), yang menghapuskan persaingan bebas, yang tentu
pada akhirnya juga akan menciptakan penguasaan pasar. Pengertian monopoli dalam
Black’s Law Dictionary: “Monopoly is a previlege or peculiar
advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the
exclusive right (or power) to carry on a particular business or trade,
manufacture a particular article, or control the sale of the wholesupply of a
particular commodity.[3]
Persaingan usaha
tidak sehat adalah suatu bentuk yang dapat diartikan secara umum terhadap
segala tindakan ketidakjujuran atau menghilangkan persaingan dalam setiap
bentuk transaksi atau bentuk perdagangan dan komersial. Unfair competition
is a term which may be applied generally to all dishonest or fraudulent rivalry
in trade and commerce, but is particularly applied to the practice of
endeavoring to subtitute one’s own goods or products in the markets for those
of another, having and established reputation and extensive sale, by means of
imitating or counterfeiting the name, tittle, shape, or distinctive
peculiarities of the article, or the shape, color, label, wrapper or general
appearance of the package, or other such simulations, the immitation being
carried far enough to mislead the general public or deceive an unwary
purchaser, and yet not amounting to an absolute counterfeit or to the
infringement of a trade mark or trade name. Adanya persaingan tersebut
mengakibatkan lahirnya perusahaan-perusahaan yang mempunyai keinginan yang
tinggi untuk mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi perusahaan yang besar
dan paling kaya.[4]
Pada tanggal 5 Maret 1999 oleh Pemerintah Republik Indonesia dan DPR,
akhirnya mengeluarkan suatu peraturan perundang-undangan tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dalam suatu
Undang-undang, yaitu Undang-undang No. 5 tahun 1999.[5] Yang Dalam UU tersebut dimaksud dengan Monopoli adalah “penguasaan
atas produksi dan atau pemasaran barang atau atas penggunaan jasa tertentu oleh
suatu pelaku atau suatu kelompok pelaku usaha”. Sedangkan yang dimaksud
dengan persaingan usaha tidak sehat adalah “ persaiangan antar pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau
jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.”
Perangkat Hukum yang Ada Sebelum Lahirnya UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.[6]
No
|
Aturan Perundang-
Undangan
|
Pasal
|
Isi
|
1
|
KUH Pidana (W.v.S)
|
Pasal 382 bis
|
Larangan dan ancaman pidana bagi pihak yang
melakukan perdagangan curang
|
2
|
B.W.
|
Pasal 1365
|
Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa
kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian tersebut
untuk memberi ganti rugi.
|
3
|
UU PA No.5 Tahun 1960
|
Pasal 13
|
Monopoli di bidang pertanahan harus dicegah.
|
4
|
UU No. 19 Tahun 1992/ UU No.14 Tahun 1997 tentang
Merek
|
Pasal 81 dan 82
|
Ancaman pidana bagi perbuatan curang dalam pemakaian
merek
|
5
|
UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
|
Pasal 7 (3)
|
Mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh
salah satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan
masyarakat
|
6
|
UU No 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
|
Pasal 104 Ayat 1
|
Mencegah kemungkinan terjadinya monopoli atau yang
merugikan masyarakat akibat penggabungan, peleburan dan pengambil alihan
perusahaan
|
7
|
UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
|
Pasal 10
|
Melarang adanya ketentuan yang menghambat adanya
persaingan sehat dalam pasar modal
|
8
|
UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
|
Pasal 8 (b)
|
Mencegah pembentukan struktur pasar pasar yang
dapat melahirkan persaingan yang tidak wajar dalam bentuk monopoli,
oligopoli, dan monopoli yang merugikan usaha kecil.
|
9
|
Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 1998 tentang
Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas
|
Pasal 4(1b)
|
Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan
perusahaan, hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat
dan persaingan sehat
|
10
|
Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 Tahun 1992 tentang
Bank Umum.
|
Pasal 15 (1)
|
Merjer dan konsolidasi hanya dapat dilakukan setelah
ada izin dari Menkeu.
|
Akan tetapi, dalam upaya menciptakan iklim persaingan
yang sehat, ternyata masih belum ada putusan pengadilan Indonesia mengenai
perbuatan curang yang dibuat berdasarkan gugatan perdata atas dasar Pasal
1365 B.W. atau perkara pidana yang menggunakan Pasal 382 bis KUH Pidana.
Yurisprudensi yang ada hanyalah perkara-perkara merek dagang sehingga
yurisprudensi di bidang persaingan curang dan monopoli usaha dalam rangka
untuk mengatasi kelemahan aturan prundang-undangan yang berlaku melalui
kearifan hakim sejauh ini belum pernah ditemukan.[7] Hal tersebut memperlihatkan bahwa penegak hukum
memiliki pemahaman yang terbatas dalam memahami aspek-aspek di luar hukum.
Akibat dari kelemahan penagak hukum maka praktek-praktek monopoli sampai saat
ini masih serin terjadi dan secara terus menerus merugikan masyarakat.
Secara umum, materi dari Undang-undang tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini mengandung 6
(enam) bagian pengaturan yang terdiri dari :
- perjanjian yang dilarang.
- kegiatan yang dilarang.
- posisi dominan.
- Komisi Pengawas Persaingan Usaha
- penegakan hukum
- ketentuan lain-lain
Dapat dipahami mengapa dalam pasar bebas harus dicegah
penguasaan pasar oleh satu, dua, atau beberapa pelaku usaha saja (monopoli dan
oligopoli), karena dalam pasar yang hanya dikuasai oleh sejumlah pelaku usaha
maka terbuka peluang untuk menghindari dan mematikan bekerjanya mekanisme pasar
(market mechanism) sehingga harga-harga ditetapkan secara sepihak dan merugikan
konsumen. Pelaku usaha yang jumlahnya sedikit dapat membuat berbagai
kesepakatan untuk membagi wilayah pemasaran, mengatur harga, kualitas dan
kuantitas barang dan jasa yang ditawarkan (kartel) guna memperoleh
keuntungan yang setinggi-tingginya dalam waktu yang relatif singkat. Persaingan
di antara para pelaku usaha juga dapat tejadi secara curang (unfair
competition) sehingga merupakan konsumen, bahkan negara. Oleh karena itu,
pengaturan hukum untuk menjamin terselenggaranya pasar bebas secara adil mutlak
diperlukan. Meskipun monopoli harus dicegah tapi sampai saat ini belum
ada suatu perangkat hukum maupun bisnis yang mampu untuk mencegah terjadinya
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Bahkan monopoli yang
dilakukan oleh BUMN saat ini yang cenderung merugikan masyarakan ketimbang
memberi manfaat sulit untuk di awasi. Keterbukaan informasi yang kurang
menyebabkan praktek monopoli semakin merajalela dan masyarkat-pun tidak mampu
berbuat apa-apa karena tidak mengetahuinya.
Jika berbicara mengenai monopoli, kita tidak dapat
melepas perhatian kita dengan gejala perkembangan konglomerasi yang
banyak menimbulkan reaksi dari kalangan masyarakat dan para ahli. Pendapat
mereka pun tidak selamanya sama. Suara sumbang mengenai monopoli memang banyak
terdengar. Adanya kelompok tertentu yang memonopoli suatu bidang atau produk
tertentu mulai menjangkiti dan mewabah di Indonesia. Sebagai bentuk penguasaan
pangsa pasar atas produk tertentu, monopoli bukan saja dapat menarik keuntungan
sebesar-besarnya tetapi dapat mengganggu sistem dan mekanisme perekonomian yang
sedang berjalan sebagai akibat distorsi ekonomi yang ditaburkannya, seiring
dengan semakin besarnya penguasaan atas pangsa pasar dan produk tertentu.[8]
Sebuah atau beberapa perusahaan yang memonopoli produk
tertentu dapat menentukan harga suatu produk sesuka hatinya, karena mekanisme
pasar tidak berjalan lagi. Apalagi produk yang dimonopoli kebutuhan primer. Dapat
dipastikan mereka akan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Masyarakat
tidak ada pilihan lain kecuali membeli produk monopoli itu.[9]
Monopoli dapat terjadi dalam setiap sistem ekonomi.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme dan liberalisme, dengan instrumen adanya
kebebasan pasar, kebebasan keluar masuk tanpa restriksi, serta informasi dan
bentuk pasarnya yang atomistik monopolistik telah melahirkan monopoli sebagai
anak kandungnya. Adanya persaingan tersebut mengakibatkan lahirnya
perusahaan-perusahaan yang secara naluriah ingin mengalahkan pesaing-pesaingnya
agar menjadi yang paling besar, paling hebat, dan paling kaya.[10]
Dalam sistem ekonomi sosialisme dan komunisme,
monopoli juga terjadi dengan bentuk yang khas. Dengan nilai instrumental
perencanaan ekonomi yang sentralistik mekanistik dan pemilikan faktor produksi
secara kolektif, segalanya dimonopoli negara dan diatur dari pusat.[11]
Sedangkan di Indonesia dengan sistem ekonomi
pancasila, kita mencoba menghilangkan ciri-ciri negatif yang terkandung
dalam sistem liberalisme dan sosialisme. Ciri-ciri negatif seperti free
figh liberalism, yang membenarkan eksploitasi terhadap manusia, etatisme di
mana negara besrta aparatur ekonomi negara bersifat dominan serta mendesak dan
meminimumkan potensi dan daya kreasi unit ekonomi di luar sektor negara, dan
pemusatan ekonomi pada salah satu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan
masyarakat.[12]
Landasan Yuridis Philosofis
Dalam UU No 5 Tahun 1999 disebutkan pula tentang
landasan Yuridis Philosofis dalam bidang perekonomian Indonesia yaitu ketentuan
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, sebagai landasan pokok yang kuat bagi perekonomian
Indonesia. Landasan Yuridis philosofis ini sebelumnya telah dicanangkan dalam
landasan kebijakan ekonomi Indonesia dalam era pemerintahan Orde Baru.
Kebijakan tersebut telah digariskan dalam Tap MPRS RI No. XXII/MPRS/1966 yang
mengatur tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan.
Dalam Pasal 7 (c) Tap MPRS RI No. XXII/MPRS/1966 lebih lanjut disebutkan, bahwa
“ dalam demokrasi ekonomi di Indonesia, sudah tidak ada tempat bagi monopoli
yang merugikan masyarakat.”[13] Namun sayang Tap MPRS tersebut dilanggar sendiri oleh
rezim Orde Baru dengan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme-nya.
Dalam pasal 33 Undang-undang dasar 1945 dapat kita
lihat ciri-ciri positif yang hendak kita capai dan mempertahankan dalam sistem
perekonomian kita. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas
kekeluargaan, Cabang produksi yang penting bagi negara dan mengenai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara serta bumi dan air beserta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Jadi secara implisit, UUD 1945 juga mengakui adanya
monopoli berupa penguasaan sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang
banyak. Ini terealisasi dari penguasaan yang dilakukan oleh badan usaha milik
negara atas bidang tertentu. Misalnya PLN menguasai listrik, Pertamina
memonopoli minyak dan gas bumi, PT PT Kereta Api menguasai perkretaapian.[14]
Kwik Kian Gie menjelaskan kriteria-kriteria terjadinya
monopoli yang diizinkan oleh GBHN :
- monopoli diberikan kepeda penemu barang baru,
seperti oktroi dan paten, maksudnya untuk memberikan insentif bagi
pemikiran yang kreatif dan inofatif;
- monopoli yang diberikan oleh pemerintah kepada
BUMN, lazimnya karena barang yang diproduksi menguasai hajat hidup orang
banyak;
- monopoli yang diberikan kepada perusahaan swasta
dengan kredit pemerintah;
- monopoli dan kedudukan monopolistik yang
diperoleh dengan cara natural, karena monopolis menang dalam persaingan
yang dilakukan secara sehat. Dalam hal demikian memang tidak apa-apa,
namun masuknya siapa saja ke dalam investasi yang sama harus terbuka
lebar;
- monopoli atau kedudukan yang monopolistik yang
diperoleh secara natural karena investasinya terlampau besar, sehingga
hanya satu saja yang berani dan bisa merealisasikan investasinya. Meski
demikian, Pemerintah harus tetap bersikap persuasif dan kondusif dalam
memecahkan monopoli;
- monopoli atau kedudukan monopolistik terjadi
karena pembentukan kartel ofensif;
- monopoli atau kedudukan monopolistik yang terjadi
karena pembentukan kartel defensif;
- monopoli yang diberikan kepada suatu organisasi
dengan maksud membentuk dana bagi yayasan, yang dananya lalu dipakai untuk
tujuan tertentu, seperti kegiatan sosial dan sebagainya.[15]
Macam-macam bentuk dan cara
terjadinya monopoli
- MONOPOLY BY LAW
UUD 1945 pasal 33 juga membenarkan adanya monopoli jenis ini, yaitu
dengan memberikan monopoli bagi negara untuk menguasai bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta cabang-cabang produksi yang
menguasai hajat hidup orang banyak.[16]
Dengan demikian menurut UUD 1945, sektor yang menguasai hajat hidup orang
banyak seperti perlistrikan, air minum, kereta api dan sektor-sektor lain yang
karena sifatnya yang memberik palayanan untuk masyarakat dilegitimasi untuk
dimonopoli dan tidak diharamkan.[17]
Sayangnya masih banyak pihak yang menyalahartikan maksud mulia yang
dikandung UUD 1945 kita, seperti asas kekeluargaan ditafsirkan sebagai
“keluarga sendiri. Sehingga sering kita lihat pada suatu institusi atau
perusahaan hanya kerabat mereka saja yang dilibatkan.[18]
Pemberian hak-hak istimewa dan eksklusif atas penemuan baru, baik yang
berasal dari hak cipta, hak paten, merk dagang, dan lain-lain juga merupakan
bentuk monopoli yang diakui oleh undang-undang.[19]
- MONOPOLY BY NATURE
Yaitu monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh
iklim dan lingkungan yang cocok. Kita dapat melihat bentuk monopoli seperti ini
yaitu tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang karena memiliki keunggulan dan
kekuatan tertentu dapat menjadi raksasa bisnis yang menguasai seluruh pangsa
pasar yang ada. Mereka menjadi besar karena memiliki sifat-sifat yang cocok
dengan tempat di mana mereka tumbuh. Selain itu karena berasal dan didukung
bibit yang unggul serta memiliki faktor-faktor yang dominan.[20]
- MONOPOLY BY LICENSE
Monopoli ini diperoleh melalui lisensi dengan menggunakan mekanisme
kekuasaan. Monopoli jenis inilah yang sering menimbulkan distorsi ekonomi karena
kehadirannya mengganggu keseimbangan (equilibrium) pasar yang sedang berjalan
dan bergeser kearah yang diingini oleh pihak yang memiliki monopoli tersebut.[21]
- Monopoli karena Terbentuknya Struktur Pasar
Akibat Perilaku dan Sifat Manusia
Sifat-sifat dasar manusia yang menginginkan keuntungan besar dalam waktu
yang singkat dan dengan pengorbanan dan modal yang sekecil mungkin atau
sebaliknya, dengan menggunakan modal (capital) yang sangat besa untuk
memperoleh posisi dominan guna menggusur para pesaing yang ada.[22]
Jenis monopoli yang dimaksud pada poin (3) dan (4)
dapat mengganggu bekerjanya mekanisme pasar dan harus dilarang. Sementara itu,
jenis monopoli pada poin (1) dan (2) tetap perlu diawasi dan diatur agar pada
suatu waktu kekuatan ekonomi yang dimilikinya tidak akan disalahgunakan.[23]
Adanya Undang-undang tentang Larangan dan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan rambu-rambu dan batasan
dalam mengakses “kue” pembangunan sehingga si besar tidak dengan seenaknya
mengambil bagian si kecil. Batas-batas yang jelas akan merupakan pagar agar
salah satu pihak melihat pihak lain bukan sebagai saingan tetapi sebagai mitra
untuk bekerja sama.[24]
Sebelumnya usaha-usaha kearah itu sudah dilakukan
pemerintah. Misalnya menganjurkan sistem Bapak Angkat. Perusahaan-perusahaan
yang besar dianjurkan untuk menjadi “bapak” dan mendidiki anak-anaknya agar
menjadi besar dan berguna bagi nusa dan bangsa. Konsep ini tampaknya cukup
ideal bila semua pihak terpanggil untuk menjadi bapak dan mengasuh seorang anak
untuk diasuh. Jika sudah menjadi bapak banyak juga yang belum benar-benar
menjadi seorang bapak yang baik karena mereka masih mengharapkan sesuatu dari
anak-anaknya.[25]
Selanjutnya pemerintah juga pernah menganjurkan agar
perusahaan konglomerat mengalihkan sebagian kecil sahamnya kepada koperasi.
Maksudnya juga agar jurang antara yang besar dan yang kecil tidak terlalu jauh
dan si kecil tidak terlalu dikucilkan.
Sebagai bahan perbandingan kita dapat menimba
pengalaman dari negara-negara lain. Sebagian dari mereka mengantisipasi praktek
monopoli ini dengan mengeluarkan Undang-undang yang dapat mencegah monopoli.
Amerika Serikat misalnya telah mengeluarkan The Sherman Antitrust Act, 1890,
The Clyton Antitrust Act, 1914, Robinson Patman Act, 1936, Celler-Kefauver Act,
1950 dan The Federal Trade Comission Act, 1914. Di Jerman telah ada
Undang-undang tentang Unfair Competition sejak tahun 1909. Di Philipina, ada
satu chapter khusus tentang Frauds in Commerce & Trade pada Penal Codenya
yang direvisi pada tahun 1930, dengan Act Nomor 3815.[26]
Di banyak negara yang sudah melaksanakan dan mempunyai
undang-undang persaingan usaha, memilih efisiensi, efektifitas kegiatan
usaha, dan kesejahteraan umum/rakyat (konsumen) sebagai tujuan utama
dari kebijakanmaupun undang-undang persaingan usahanya.
Sedangkan di Indonesia tujuan undang-undang persaingan
usaha ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus ;[27]
- Secara umum tujuannya adalah menjaga kelangsungan
persaingan antar pelaku usaha itu sendiri agar tetap hidup dan diakui keberadaannya.
- Secara yuridis tujuan undang-undang persaingan
usaha di Indonesia telah diatur dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999, yaitu:
- Menjaga kepentingan
umum serta melindungi konsumen
- Menumbuhkan iklim
usaha yang sehat;
- mnjamin kepastian
kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang;
- Mencegah
praktik-praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha
- Menciptakan
efekvifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan
kesejakteraan rakyat
Kerangka Dasar Pengaturan UU
Nomor 5 Tahun 2009
Selanjutnya, jika kita lebih seksama mempelajari
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, maka kandungan substansi yang
diaturnya meliputi hal-hal sebagai berikut.[28]
- Perumusan istilah atau konsep-konsep dasar yang
terdapat atau dipergunakan dalam undang-undang maupun aturan pelaksanaan
lainnya, agar dapat diketahui pengertiannya, Pasal 1 memuat perumusan dari
19 istilah atau konsep dasar, yaitu pengertian
- monopoli,
- praktik monopoli
- pemusatan kekuatan
ekonomi
- posisi dominan
- pelaku usaha
- persaingan usaha tidak
sehat
- perjanjian
- persekongkolan atau
konspirasi
- pasar
- pasar bersangkutan
- struktur pasar
- perilaku pasar
- pangsa pasar
- harga pasar
- konsumen
- barang
- jasa
- komisi
- pengawas persaingan
usaha
- pengadilan negeri
- Perumusan kerangka politik anti monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, berupa asas dan tujuan pembentukan
undang-undang, sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
- Perumusan macam perjanjian yang dilarang
dilakukan pengusaha. Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 memuat macam
perjanjian yang dilarang tersebut yaitu perjanjian :
- oligopoli
- penetapan harga
- pembagian wilayah
pemasaran,
- pemboikotan
- kartel
- oligopsoni
- integrasi vertikal
- perjanjian tertutup
- perjanjian dengan
pihak luar negeri
- Perumusan macam kegiatan yang dilarang dilakukan
pengusaha. Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 memuat macam kegiatan yang
dilarang tersebut, yaitu monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan
persekongkolan;
- Perumusan macam posisi dominan yang tidak boleh
dilakukan pengusaha. Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 memuat macam posisi
dominan yang tidak boleh dilakukan tersebut, yaitu :
- jabatan rangkap
- pemilikan saham
- serta penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan
- Masalah susunan, tugas dan fungsi Komisi Pengawas
Persaingan Usaha. Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 memuat perumusan status,
keanggotaan, tugas, wewenang, dan pembiayaan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha.
- Perumusan tata cara penanganan perkara persaingan
usaha oleh KPPU. Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 memuat perumusan
- penerimaan laporan,
- pemeriksaan
pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan
- pemeriksaan terhadap
pelaku usaha dan alat-alat bukti, jangka waktu pemeriksaan
- Putusan Komisi
- Kekuatan putusan
komisi
- Upaya hukum terhadap
putusan komisi
- Ketentuan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada
pelau usaha yang telah melanggar ketentuan dalam undang-undang. Pasal 47
sampai dengan Pasl 49 memuat macam sanksi yang dapat dijatuhkan kepada
pelaku usaha, yaitu :
- administratif
- pidana pokok
- pidana tambahan
- Perumusan perbuatan atau perjanjian yang
dikecualikan dari ketentuan undang-undang dan monopoli oleh Badan Usaha
Milik Negara dan/atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh
pemerintah. Pasal 50 memuat ketentuan yang dikecualikan dari undang-undang
dan Pasal 51 memuat ketentuan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara.
- Hal-hal yang menyangkut pelaksanaan
undang-undang, yaitu perumusan ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.
Pasal 52 mengatur bahwa pelaku usaha yang telah membuat dan/atau melakukan
kegiatan dan/atau tindakan yang tidak sesuai dengan undang-undang diberi
waktu untuk menyesuaikan selama 6 (enam) bulan sejak undang-undang
diberlakukan. Sedangkan Pasal 53 mengatur mulai berlakunya undang-undang,
yaitu terhitung sejak 1 (satu tahun sesudah undang-undang diundangkan oleh
pemerintah, yaitu tepatnya 5 maret 2000.
Dalam pengaturan persaingan ditetapkan norma larangan
memiliki dua sifat yang harus dimasukkan dalam pengaturan undang-undang, yaitu
larangan yang bersifat per se illegal dan yang bersifat rule
of reason.
Berbagai literatur tentang hukum persaingan usaha
sering disinggung mengenai rule of reason dan per se tersebut.
Dalam literatur tersebut rule of reason dan per se dibahas serba
sedikit untuk memberikan pemahaman dan perbandingan hukum persaingan usaha (competition
law) yang berlaku di Amerika. Dikemukakan dalam literatur tersebut bahwa
kedua prinsip tersebut merupakan pendekatan untuk melakukan penilaian terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Sherman Act, Clayton Act, Federal Trade
Commission Act – Antitrust Law (Asril Sitompul, 1999; 9, Elyta Ryas
Ginting, 2001; 28).[29]
Pengertian Rule of Reason dan Per Se Rule
Asri Sitompul mendefinisikan rule of reason
adalah suatu pendekatan dengan menggunakan pertimbangan akan akibat suatu
perbuatan, apakah mengakibatkan praktek monopoli dan akan menimbulkan kerugian
dipihak lain. Sedangkan Susanti Adi Nugroho rule of reason adalah
pertimbangan yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dituduhkan
melanggar hukum persaingan dimana penggugat dapat menunjukkan akibat-akibat
yang menghambat persaingan, atau kerugian nyata terhadap persaingan. Dari dua
definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa rule of reason
merupakan (a) suatu pertimbangan hakim untuk menentukan apakah suatu perbuatan
tertentu melanggar hukum persaingan atau tidak, (b) prinsip yang akan digunakan
untuk menentukan perbuatan tertentu melanggar atau tidak didasarkan pada akibat
yang muncul dari perbuatan yaitu menghambat persaingan atau melahirkan kerugian
pada pelaku usaha lain.[30]
Per se rule didefinisikan oleh Asril Sitompul suatu pendekatan dimana perbuatan
dinyatakan sebagai pelanggaran dan dapat dihukum tanpa perlu melakukan pertimbangan
apakah perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian atau menghambat persaingan.
Sedangkan Susanti mendefinisikan per se rule sebagai larangan yang jelas
dan tegas tanpa mensyaratkan adanya pembuktian mengenai akibat-akibatnya atau
kemungkinan akibat adanya persaingan. Dari kedua definisi dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan per se rule adalah perbuatan tersebut secara
jelas dan tegas akan dianggap pelanggaran oleh hakim tanpa melihat apakah
terdapat akibat yang merugikan atau menghambat persaingan.[31]
Syamsul Maarif (2002) mengemukakan bahwa yang dimaksud
dengan rule of reason adalah bahwa suatu larangan yang baru berlaku
apabila suatu kegiatan usaha dapat menimbulkan praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat. Larangan bersifat Per se adalah larangan
yang memang secara alamiah dilarang tanpa perlu dikaitkan dengan dampak kegiatan
tersebut pada persaingan karena pada dasarnya memang menimbulkan persaingan
usaha tidak sehat.[32]
Para ahli hukum persaingan usaha Indonesia dalam
memberikan definisi rule of reason dan per se rule dapat
melakukannya secara tepat namun hanya sebatas memberikan definisi tanpa melihat
latar belakang kemuncullannya. Berbeda dengan penulis dari AS yang selalu
melihat rule of reason dan per se rule secara kontekstual artinya
prinsip tersebut muncul karena putusan hakim dalam mengadili suatu perkara
persaingan usaha. J. David Reitzel (2001; 965) secara lengkap dikutip
pemahaman Reitzel mengenai rule of reason adalah sebagai berikut; [33]
In Standard Oil the court rejected its earlier position that al contracts
in restraint of trade were prohibited by the Sherman Act and applied what has
come to be called the rule of reason. The Court rule that the
Congressional intent was to prohibit only those contracts that reasonably restrainted
trade. This rule of reason – that is the process of determining if a
defendant’s conduct sufficiently anticompetitive to constitute an “unreasonable
restraint” – is very much a part of antitrust law today Section 1 cases.
Sedang mengenai definisi per se rule, Reitzel
(2001) menegaskan pendapatnya dengan mengutip pendapat Justice Stone yang
mengadili kasus United States v. Trenton Potteries Co (1927), [34]
“agreement which create such potential power may well be held to be in
themselves [‘per se”] unreasonable or unlawful restraintt, without the
necessity of minute inquiry wether a particular price is reasonable as fixed
and without placing on the govement in enforcing the Sherman Law the burden of
ascertaining from day to day whether it has become unreasonable through the
mere variation of economic conditions.
Pendapat lain dikemukakan oleh Henry Cheeseman (2001;
958) mengatakan bahwa di Amerika Serikat penggunaan per se rule oleh
Mahkamah Agung apabila pembatasan perdagangan dianggap secara inheren
merupakan tindakan anti persaingan (once a restraint is characterize as a
per se violation, no defenses or justifications for restraintt will save it,
and no further evidence need be considered)[35]
Rule of reason menurut Cheeseman merupakan kebalikan dari kriteria per se illegal yang
menentukan meskipun suatu perbuatan telah memenuhi rumusan undang-undang, namun
jika ada alasan obyektif (biasanya alasan ekonomi) yang dapat membenarkan (reasonable)
perbuatan tersebut, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu pelanggaran. Di
AS, pengadilan melakukan pengujian terhadap kasus-kasus yang ditangani dengan
menggunakan faktor-faktor yang terdapat rule of reason antara lain:[36]
1. The pro- and anticompetitive effects of the challenged
restraintt;
2. The competitive structure of the industry;
3. The firm’s market share and power;
4. The history and duration of the restraintt;
5. Other relevan factors.
Dalam Black’s Law Dictionary (1990; 1332)
memberikan definisi rule of reason dan per se rule sebagai
berikut; [37]
Under “rule of reason” test for determining whether alleged acts violated §1
the Sherman Anti-Trust act (15 U.S.C.A. §1), which declares conspiracies in
restraint of trade to be illegal, fact finder must weigh all circumstances of
the case to decide whether practice unreasonably restraints competition, and
the test requires that plaintiff show anticompetitive effects, or actual harm
to competition, and not whether the practices were unfair or tortious.
Per se violations in
anti-trust law, term that implies that certain types of business agreements,
such as price fixing, are considered inherently anti-competitive and injurious
to the public without any need to determine if the agreement has actually
injured market competition.
Selain adanya pengertian per se violations, ada
yang disebut sebagai per se doctrine, yaitu if any activity is
blatant in its intent and pernicious in its effect, a court need not inquire
into reasonableness of the same before determining that it si a violation of
the antitrust law.
Thomas Misslin (1998) mendefinisikan rule of reason
dan per se rule adalah;[38]
a practice illegal per se infringes antitrust in itself regardless of
whether the promoters of the arrangement have market power, and thus in effect
able to harm competition, and irrespective of mitigating circumstances of
proffered justifications. Rule of reason, in antitrust, the rule of reason
weighs the anticompetitive affects of a challenged practice against its
procompetitive effects. The rule of reason is a reasoned inquiry which purports
to answer questions such as: can this behavior be explained as an attempt to
harm competition? Does this restraintt promote rather than injure competition?
Would not there be a less deleterious way of furthering the company’s goal?
Definisi rule of reason dan per se rule
diberikan atas dasar keputusan hakim yang memutuskan kasus-kasus persaingan
usaha di Amerika. Karena dalam Sherman Act mengatur perilaku yang dinyatakan
melanggar hukum (illegal) atau berusaha untuk melakukan monopoli usaha
perdagangan. Keputusan hakim sangat berpengaruh dalam perjalanan hukum
persaingan usaha di Amerika, putusan sangat berperan dalam pembentukan hukum
yang didukung oleh sistem hukum yaitu common law bahwa hakim adalah
pembuat hukum (judge made law). Bahwa rule of reason dan per
se lahir akibat dari sistem common law, dan hal ini sepenuhnya
disadari oleh para penulis hukum persaingan usaha. Bahkan Susanti (2001; 31)
dengan tegas mengatakan bahwa;[39]
Dalam hubungannya dengan
penerapan peraturan hukum yang berkaitan dengan monopoli, Mahkamah agung
Amerika Serikat mempunyai peranan yang sangat penting. Pandangan-pandangan para
hakim agung mengenai praktek-praktek bisnis yang mengarah kepada monopoli
selalu mengalami perubahan dan perubahan tersebut secara umum merefleksikan
perkembangan-perkembangan yang berlangsung dalam bidang ekonomi dan politik.
Kesadaran penulis akan arti penting rule of reason
dan per se dalam hukum persaingan di Amerika tidak diwujudkan dalam
mencari pengertian kedua prinsip tersebut dalam kerangka perjalanan sejarah
hukum persaingan. Rule of reason dan per se bagi para penulis
seolah-olah menganggap keberadaannya hanya sekedar untuk menentukan suatu
perbuatan atau kegiatan dalam rumusan UU Persaingan Usaha termasuk dalam
klasifikasi tertentu. Padahal dalam pembentukan kedua prinsip tersebut muncul
dari penafsiran hakim yang termuat dalam suatu putusan pengadilan. Keputusan
hakim untuk substansi kasus yang sama dapat didekati dengan prinsip yang
berbeda, dengan kata lain apabila di suatu waktu misalnya horizontal price
fixing menggunakan analisa dengan per se standar tetapi waktu yang
berbeda digunakan rule of reason.[6][40]
Ketiadaan pemahaman yang komprehensif terhadap rule of reason dan per
se akhirnya menjerumuskan kepada pemahaman terhadap UU Persaingan Usaha.
Oleh banyak pihak bahwa keberadaan rule of reason dan per se terdapat
pada ketentuan atau pasal-pasal dalam UU Persaingan Usaha. Sehingga tidak heran
apabila penulis seperti Susanti kemudian membuat klasifikasi terhadap ketentuan
yang mengatur tentang perjanjian dan kegiatan yang dilarang berdasarkan
‘pendekatan’ rule of reason dan per se. Kurang disadari bahwa
prinsip rule of reason dan per se merupakan hasil penafsiran dari
pengadilan (hakim) terhadap ketentuan Sherman Act. Mengacu pada Section 1 dan 2
Sherman Act bahwa rule of reason dan per se tidak terdapat pada
ketentuan tersebut. Selengkapnya Section 1 dan 2 Sherman Act menyatakan;[41]
Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or
conspiracy, in restraint of trade or commerce among several States, or with
foreign nation, is declared to illegal. Every person who shall make any
contract or engage in any combination or conspiracy declared to be illegal
shall be deemed guilty of a felony, and, on conviction thereof, shall be
punished by fine not exceeding one million dollars if a corporation, or, if any
other person, one hundred thousand dollars, or by imprisonment not exceeding
three years, or by both side punishment, in the discretion of the court.
Every person who shall monopolize, or attempt to monopolize, or combine or
conspire with any other person or persons, to monopolize any part of trade or
commerce among the several States, or with foreign nations, shall be deemed
guilty of a felony, and, on conviction thereof, shall be punished by fine mot
exceeding one million dollars if a corporation, or, if any other person, one
hundred thousand dollars, or by imprisonment not exceeding three years, or by
both said punishments, in the discretion of the courts.
Sherman Act hanya mengatur dua hal, yaitu (a) bahwa kontrak, persekongkolan
atau kerjasama yang bertujuan untuk mengadakan pembatasan perdagangan
dinyatakan sebagai pelanggaran hukum dan (b) setiap orang yang melakukan
praktek monopoli atau melakukan konspirasi untuk melakukan monopoli dinyatakan
bersalah. Dari bunyi ketentuan Section 1 Sherman Act tidak mengemuka prinsip rule
of reason dan per se. Diantara kedua prinsip tersebut yang pertama
kali muncul adalah prinsip rule of reason yang merupakan hasil
penafsiran hakim pada saat mengadili kasus Standard Oil Company of New
Jersey v. United States (1991). Pada kasus tersebut hakim berpendapat bahwa
penafsiran yang kaku terhadap ketentuan dalam Section 1 Sherman Act tidak dapat
diberlakukan dalam perjanjian bisnis pada umumnya. Apabila dilakukan demikian
(penafsiran yang kaku) maka akibatnya semua perjanjian atau kerjasama adalah
melanggar Section 1 Sherman Act, dan hal tersebut bukan yang dimaksudkan oleh
pembuat undang-undang (Kongres). Bahwa yang dimaksud membatasi perdagangan (restraint
of trade) adalah perjanjian/kontrak/kerjasama membatasi perdagangan secara
tidak masuk akal (unreasonably restraintt of trade) (David Reitzel,
2001; 965).[42]
Suatu ketentuan yang bersifat per se illegal tidak diperlukan lagi
pembuktian dampak larangan tersebut sehingga jika ada pelaku usaha yang
melakukan sesuatu yang dinyatakan yang secara eksplisit dilarang undang-undang,
pelaku usaha tersebut dinyatakan melanggar, tanpa perlu membuktikan hasil atau
akibat tindakan yang dilakukan. Sementara itu, ketentuan yang bersifat rule of
reason memerlukan bukti suatu tindakan yang dilakukan pelaku usaha, apakah
tindakan tersebut tergolong antipersaingan atau merugikan masyarakat.[43]
Tujuan utama (principal objectives Undang-undang Persaingan Usaha adalah
untuk mendorong timbulnya persaingan dalam rangja mencapai efisiensi ekonomi
(economic efficiency) dan kesejahteraaan konsumen (consumer welfare).
Kepentingan publik (public interest), Seperti isu tentang keadilan, pembangunan
regional, dan penyediaan lapangan kerja (employment), pemberdayaan perusahaan
kecil dan menengah juga merupakan bagian dari sasaran-sasaran yang ingin
dicapai melalui undang-undang persaingan.[44]
1. Larangan yang Bersifat
Per Se Ilegal
Larangan yang bersifat per se rule adalah bentuk larangan yang tegas dalam
rangka memberikan kepastian bagi para pelaku usaha dalam memaknai norma-norma
larangan dalam persaingan usaha. Dalam praktik, pengaturan ini berguna agar
pelaku usaha sejak awal mengetahui rambu-rambu larangan terhadap perbuatan apa
saja yang dilarang dan harus dijauhkan dalam praktik usahanya guna menghindari
munculnya potensi resiko bisnis yang besar di kemudian hari sebagai akibat
pelanggaran terhadap norma-norma larangan tersebut.[45]
Perbuatan-perbuatan sebagai manifestasi perilaku para pelaku usaha yang
secara tegas dilarang (per se illegal) antara lain menetapkan berbagai bentuk
perjanjian yang dilarang (Bab III) dan kegiatan yang dilarang (Bab IV),
tegasnya aturan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal
15, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999. Apabila para pelaku
usaha tidak mampu mengandalikan dirinya dan melanggar ketentuan hukum yang
mengaturnya (per se illegal), maka KPPU cukup membuktikan bahwa telah terjadi
pelanggaran. Dengan demikian pelaku usaha yang bersangkutan sudah dianggap
telah melakukan perbuatan yang dilarang tanpa melihat lagi efek yang
ditimbulkannya. Pelanggaran terhadap larangan yang bersifat per se, ancaman
pidana pokoknya lebih rendah dari pada pelanggaran terhadap larangan yang
bersifat rule of reason (vide Pasal 48). Hal ini dapat dipahami karena proses
pembuktiannya tidak serumit proses pembuktian terhadap larangan yang bersifat
rule of reason.
2. Larangan yang Bersifat Rule of Reason
Dalam lingkup doktrin rule of reason, jika suatu kegiatan yang dilarang
dilakukan oleh seorang pelaku usaha dilihat seberapa jauh efek negatifnya. Jika
terbukti secara signifikan adanya unsur yang menghambat persaingan, baru
diambil tindakan hukum. Ciri-ciri pembeda terhadap larangan yang bersifat rule
of reason, pertama dalah bentuk aturan yang menyebutkan adanya persyaratan
tertentu yang harus terpenuhi sehingga memenuhi kualifikasi adanya potensi bagi
terjadinya praktik monopoli dan atau praktik persaingan usaha yang tidak sehat
seperti yang dapat ditemukan dalam Pasal 4, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal
13, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 26, dan Pasal 28 UU No. 5
Tahun 1999. Ciri kedua adalah apabila dalam aturan tersebut memuat anak kalimat
“patut diduga atau dianggap”. Pengaturan seperti itu dapat ditemukan dalam
Pasal 4 angka (2), Pasal 13 angka (2), Pasal 17 angka (2), dan Pasal 18 angka
(2).
Perbuatan-perbuatan dan kegiatan yang dilarang dalam Undang-undang No. 5
Tahun 1999 yang bersifat rule of reason antara lain apabila pelaku usaha
melakukan beberapa hal berikut.
- Perjanjian
yang bersifat oligopoli (Pasal 4)
- Perjanjian
pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar (Pasal 9)
- Perjanjian
yang bersifat kartel (Pasal 11)
- Perjanjian
yang bersifat trust (Pasal 12)
- Perjanjian
yang bersifat oligopsoni (Pasal 13)
- Kegiatan
usaha yang melakukan praktik Monopoli (Pasal 17)
- Kegiatan
usaha yang melakukan praktik monopsoni (Pasal 18)
- Kegiatan
penguasaan pasar (Pasal 19)
- Kegiatan
menjual di bawah harga pokok (predatory pricing) dalam Pasal 20
- Jabatan
rangkap dalam perusahaan-perusahaan yang saling bersaing (interlocking
directorate) dalam Pasal 26
- Penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan perusahaan lain (Pasal 28)
Perbuatan-perbuatan yang dimaksud jika terbukti merupakan perbuatan yang
menghalangi persaingan (antikompetitif) selain menghadapi sanksi administratif
(vide Pasal 47) juga diancam sanksi pidana, baik pidana poko (vide Pasal 48
ayat 1) maupun pidana tambahan (vide Pasal 49).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia oligopoli diartikan sebagai : “ Keadaan
pasar yang produsen penjual barang hanya berjumlah sedikit sehingga mereka atau
seorang dari mereka dapat mempengaruhi pasar.” Oleh karena keterlibatan lebih
dari satu pelaku usaha maka dalam oligopoli diperlukan adanya kesepakatan antar
pelaku usaha tersebut untuk menguasai pasar secara bersama-sama tanpa merugikan
sesamanya. Kejadian seperti itu baru akan terjadi apabila beberapa perusahaan
menyadari bahwa kebijakan penentuan harga-harga mereka memiliki ketergantungan
antarsesamanya.
Kartel umumnya dipraktikkan oleh asosiasi dagang (trade asociations)
bersama para anggotanya. Banyak sekali hal yang bermanfaat dengan adanya suatu
asosiasi dagang, misalnya upaya menyusun suatu standar teknis atau upaya
bersama mengatasi polusi akan menjadi ringan bila diikuti para anggota. Akan
tetapi, bahaya yang akan muncul bila kegiatan asosiasi tersebut ditujukan untuk
mengatur harga karena akan menghambat serta menghalangi terjadinya suatu
persaingan yang sehat.
Penyususn undang-undang juga melihat bahwa salah satu sarana untuk
melakukan tindakan persaingan yang tidak sehat adalam membuat perjanjian atau
kontrak dengan para pelaku usaha tertentu. Dalam hubungan ini, Pasal 1 ayat (7)
memberikan definisi tentang perjanjian sebagai berikut. “ Perjanjian
adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri
terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis
maupun tidak tertulis”.[46]
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah peraturan dalam hal perizinan
kegiatan yang dibuat oleh pemerintah tidak terlepas dari tujuan monopoli suatu
pihak tertentu ?, tentunya hal tersebut pelu dipertanyakan mengingat perizinan
usaha merupakan sarana pengusaha untuk membuka suatu usaha menjadi lancar dan
sah, tentunya tingkat kesulitan persyaratan tersebut harus menjadi pertimbangan
penilaian apakah menguntungkan pihak-pihak tertentu atau tidak.
Tentang Sifat Pelarangan Tindakan Anti Monopoli dan Persaingan Curang[47]
No
|
Tindakan yang dilarang
|
Pasal
|
Rule of Reason / Per Se
|
1.
|
Olipoli
|
4
|
RR dengan
Presumsi
|
2.
|
Penetapan
Harga
|
5 s.d. 8
|
RR dan PS
|
3.
|
Pembagian
Wilayah
|
9
|
RR tidak tegas
|
4.
|
Pemboikotan
|
10
|
RR
|
5.
|
Kartel
|
11
|
RR tidak tegas
|
6.
|
Trust
|
12
|
RR tidak tegas
|
7.
|
Oligopsoni
|
13
|
RR dengan
Presumsi
|
8.
|
Integrasi
Vertikal
|
14
|
RR tidak tegas
|
9.
|
Perjanjian
Tertutup
|
15
|
PS
|
10.
|
Perjanjian
Luar Negeri
|
16
|
RR tidak tegas
|
11.
|
Monopoli
|
17
|
RR dengan
Presumsi
|
12.
|
Monopsoni
|
18
|
RR dengan
Presumsi
|
13.
|
Penguasaan
Pasar
|
19 s.d. 21
|
RR tidak tegas
|
14.
|
Persekongkolan
|
22 s.d .24
|
RR dan
PS
|
15.
|
Posisi Dominan
Umum
|
25
|
RR dengan
Presumsi
|
16.
|
Jabatan
Rangkap
|
26
|
RR tidak tegas
|
17.
|
Pemilikan
Saham
|
27
|
RR
|
18.
|
Merger,
Akuisisi, dan Konsolidasi
|
28 s.d. 29
|
RR tidak tegas
|
Keterangan :
- Rule of Reason dilihat dari kata-kata “Mengakibatkan” terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
- Per Se dilihat dari tidak adanya persyaratan yang mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
- Rule of Reason Tidak Tegas karena dipergunakan kata-kata “Dapat”
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
Perbandingan penentuan prinsip rule of reason dan per se
antara KPPU dengan Susanti Adi Nugroho
Rule of Reason
|
Per se rule
|
KPPU
|
Susanti
|
KPPU
|
Susanti
|
Oligopoli
|
Oligopoli**
|
Price fixing
|
Penetapan harga
|
Predatory pricing
|
Penetapan harga
|
Diskriminasi harga
|
Perjanjian tertutup
|
Pembagian wilayah
|
Pembagian wilayah*
|
Perjanjian tertutup
|
persekongkolan
|
Kartel
|
Kartel*
|
Persekongkolan
|
|
Trust
|
Trust*
|
Posisi dominan untuk Pasal 25 (1)
|
|
Oligopsoni
|
Oligopsoni**
|
Posisi dominan untuk Pasal 26 huruf a dan b
|
|
Integrasi vertikal
|
Integrasi vertikal*
|
|
|
Perjanjian dengan pihak luar negeri
|
Perjanjian dengan pihak luar negeri
|
|
|
Monopoli
|
Monopoli**
|
|
|
Monopsoni
|
Monopsoni**
|
|
|
Penguasaan pasar
|
Penguasaan pasar*
|
|
|
Jabatan rangkap
|
Posisi dominan**
|
|
|
Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan
|
Boikot
|
|
|
|
Persekongkolan
|
|
|
Selanjutnya,
untuk mengetahui baik atau buruk dari apa yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang, termasuk dalam bidang bisnis. Secara normatif-etis telah
berkembang tiga teori dasar sebagai berikut :[48]
(1) Teori Ethical Egoism
(2) Teori Ethical Altruism
(3) Teori Utilitarianism
(Regan, Tom, 1984:20)
Penjelasan dari
masing-masing teori adalah sebagai berikut :
(1) Teori Ethical Egoism
Terori ini hanya melihat terhadap si pelaku sendiri. Dalam hal ini
teori tersebut mengajarkan bahwa benar atau salah dari sesuatu perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang diukur dari apakah hal tersebut mempunyai dampak yang
baik atau buruk terhadap orang tersebut itu sendiri. Bagaimana dampak dari
perbuatan tersebut bagi orang lain tidak relevan, kecuali jika akibat terhadap
orang lain tersebut akan mengubah dampak terhadap si pelaku tersebut.
(2) Teori Ethical Altruism
Teori ini lebih menitikberatkan kepada kepentingan dari pihak lain dari
pihak yang melakukan suatu perbuatan. Menurut teori ini, apakah seseorang telah
melakukan sesuatu perbuatan yang secara moral terbilang benar atau salah
bergantung bagaimana dampak dari perbuatan tersebut terhadap pihak lainnya.
Perbuatan tersebut dianggap benar jika berdampak baik bagi pihak lain. Demikian
juga sebaliknya. Bagaimana dampak dari perbuatan tersebut bagi si pelakunya tidak
relevan untuk dipertimbangkan, kecuali jika bagaimana dampak terhadap pihak
lain tersebut mempunyai dampak yang dapat membalikkan dampak terhadap si pelaku
tersebut.
(3) Teori Utilitarianism
Teori ini lebih menitikberatkan kepada manfaat dari setiap tindakan
terhadap seluruh atau sebagian besar orang. Menurut teori ini, benar atau salah
sesuatu perbuatan diukur dari apakah perbuatan tersebut berdampak baik atau
buruk kepada setiap orang, baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya
sendiri.
Tindakan monopoli
itu memang harus diatur oleh hukum, karena dengan praktek bisnis yang
berdasarkan atas monopoli mempunyai banyak kelemahan. Kelemahan-kelemahan
tersebut adalah sebagai berikut :[49]
(a) Ketinggian harga
Dengan monopoli akan terjadi suatu ketinggian harga-harga di pasar.
Tingginya harga ini diakibatkan oleh tidak adanya kompetisi pasar. Hal ini akan
mendorong timbulnya inflasi sehingga dapat merugikan masyarakat secara luas.
(b) Excess profit
Karena tidak ada saingan, maka dengan monopoli, suatu harga dapat
ditentukan seenak-enaknya, sehingga monopoli tersebut sangat berpotensial
timbulnya keuntungan yang berlebih-lebihan, Karena itu pula, suatu monopoli
dianggap sebagai suatu pranata ketidakadilan.
(c) Eksploitasi
Eksploitasi dapat terjadi baik terhadap buruh dalam bentuk upah, tetapi
terlebih-lebih terhadap konsumen, karena rendahnya mutu produk dan hilangnya
hak pilih dari konsumen, karena tidak ada kompetisi di antara pihak produsen
barang.
(d) Pemborosan
Perusahaan monopoli cenderung kepada pemborosan karena tidak beroperasi
pada everage cost yang minimum. Hal ini menyebabkan ketidakefisienan
perusahaan, dan akhirnya cost tersebut ditanggung konsumen.
(e) Entry barrier
Monopoli akan menguasai pangsa pasar yang besar. Hal ini akan mengakibatkan
perusahaan lain terhambat untuk bisa masuk ke bidang-bidang operasi perusahaan
monopoli tersebut, dan gilirannya nanti akan mematikan perusahaan kecil
dan/atau perusahaan pemula.
(f) Ketidakmerataan pendapatan
Monopoli dapat mengakibatkan timbulnya unsur akumulasi modal dan pendapatan
dari usaha monopoli.
- Dibuat Oleh : Alfa Aprias