ABSTRACT
Passing off is defined as the act of reputation brand ridership benefits for those who commit such acts. Trademark infringement is done by installing a brand, logo, and exactly to the original material, is now using the same brand with other brands that have been registered and used the same brand or similar to other brands, giving rise to misperceptions in the public's mind. Law No. 15 of 2001 on Marks does not contain a doctrine of passing off. Therefore, this doctrine can not be used in Indonesia, because the user is only protected his brand, if the person has obtained the rights to brand the country by registering the brand, no brand that is guaranteed if not registered.
Keywords: Passing off, Trademark, Infringement
I. PENDAHULUAN
Dahulu secara resmi sebutan Intellectual Property Rights (IPR) diterjemahkan dengan hak milik intelektual atau hak atas kekayaan intelektual dan di negeri Belanda istilah tersebut diintrodusir dengan sebutan Intellectuele Eigendomsrecht (Rachmadi Usman, 2003: 1).
Dalam perkembangannya di Indonesia terdapat beberapa istilah yang telah digunakan, seperti hak milik intelektual atau hak kekayaan industri. Istilah kekayaan industri merupakan terjemahan langsung dari istilah industrial property yang secara resmi dipakai dalam Pasal 1 ayat (2) Paris Convention for the Protection of Industrial Property 1883 yang menyebutkan :
“Perlindungan atas kekayaan industri diberikan kepada paten, utility models (paten sederhana), desain industry, merek, service marks, nama dagang, indikasi geografis termasuk industry agribisnis dan manufaktur di bidang industry lainnya, seperti anggur, tembakau, air mineral, bir, tepung dan bunga” (Elyta Ras Ginting, 2012: 13)
Karena dinilai kurang tepat, penggunaan istilah “kekayaan industri” versi Paris Convention ini mendapatkan kritikan dari beberapa ahli hukum kekayaan intelektual, seperti McKeough, Bowrey, dan Griffith. Menurut mereka ada perbedaan yang tegas antara etimologi kata “kekayaan intelektual” (intellectual property) dan “kekayaan industri” (industrial property), yaitu :
“Istilah industrial property berasal dari bahasa Prancis ‘propriete industrielle’ yang memiliki arti yang sangat luas meliputi setiap kegiatan manusia (human labour). Istilah ‘propriete’ itu sendiri dalam bahasa Prancis tidak sama dengan ‘property’ atau kekayaan (dalam bahasa Inggris) karena istilah propriete digunakan untuk mengantisipasi terjadinya peniruan produk”. (Elyta Ras Ginting, 2012: 13-14)
Istilah “kekayaan intelektual” (intellectual property) untuk pertama kalinya dipakai dalam Pasal 2 (vii) Konvensi pembentukan WIPO (The Convention Establishing the World Intellectual Property Organization) pada tahun 1967. Demikian pula, TRIPs Agreement dalam Pasal 1.2 menggunakan istilah intellectual property yang merujuk pada tujuh kategori hak, yaitu (Elyta Ras Ginting, 2012: 14) :
1. Hak cipta dan hak terkait (copyright and related right)
2. Hak atas merek dagang atau industry (trademarks)
3. Indikasi geografis (geographical indication)
4. Desain industri (industrial design)
5. Hak paten (patents)
6. Hak integrasi terpadu (lay out design of integrated circuits)
7. Rahasia dagang (undisclosed information)
8. Hak varietas baru tanaman (new varieties of plants protection).
Saat ini istilah yang umum dipakai di seluruh dunia adalah “hak kekayaan intelektual” atau intellectual property. Akan tetapi di Indonesia masih ada dua istilah yang masih kerap digunakan, yaitu istilah hak kekayaan intelektual dan hak milik intelektual atau dengan singkatan HKI dan HaKI (Elyta Ras Ginting, 2012: 14).
Pembentuk undang-undang menggunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual sebagai istilah resmi dalam perundang-undangan Indonesia. Sedangkan para penulis hukum ada yang menggunakan istilah Hak Milik Intelektual di samping istilah Hak Kekayaan Intelektual (Abdulkadir Muhammad,2007:1).
Salah satu cabang-cabang utama HKI adalah Merek. Asal usul Merek berpangkal disekitar abad pertengahan di Eropa, pada saat perdagangan dengan dunia luar mulai berkembang. Fungsinya semula untuk menunjukan asal produk yang bersangkutan. Baru setelah dikenal metode produksi massal dan dengan jaringan distribusi dan pasar yang lebih luas dan kian rumit, fungsi Merek berkembang menjadi seperti yang dikenal sekarang ini (Rachmadi Usman, 2003:305).
Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan perdagangan barang dan jasa antarnegara, diperlukan adanya pengaturan yang bersifat internasional yang memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum di bidang Merek. Pada tahun 1883 berhasil disepakati Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Paris Convention), yang di dalamnya mengatur mengenai perlindungan Merek pula (Rachmadi Usman, 2003:306). Konvensi ini disusul dengan Perjanjian Madrid dan konvensi Hague serta perjanjian Lisabon. Dari seluruh konvensi tersebut yang menjadi dasar perlindungan Merek adalah konvensi Paris (Endang Purwaningsih, 2012:51).
Di Indonesia terdapat Undang-undang Merek tahun 1961 yang menggantikan Reglement Industriele Eigendom Kolonien Stb. 1912 Nomor 545 jo. Stb. 1913 Nomor 214. Perkembangan berikutnya tahun 1992 lahir undang-undang merek baru yang kemudian direvisi tahun 1997 dan tahun 2001 dengan menyesuaikan terhadap Trips (Endang Purwaningsih, 2012:49).
Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, pengertian Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Suatu hal penting dalam hukum Merek adalah perlindungan terhadap Merek terkenal. Economic interest atas Merek terkenal diakui dalam perjanjian internasional WIPO treaty, yang juga diatur kemudian oleh negara-negara Amerika, Australia, Inggris dan Indonesia. Ciri spesifik dari Merek terkenal adalah bahwa reputasi dari nama Merek tidak terbatas pada produk tertentu atau jenis tertentu, misalnya Marlboro yang tidak hanya digunakan sebagai produk rokok tetapi juga digunakan pada pakaian; Panther tidak hanya untuk jenis kendaraan tetapi juga produk minuman. Jadi perlindungan diberikan dalam hubungan pemakaian secara umum dan tidak hanya berhubungan dengan jenis barang-barang di mana Merek didaftarkan (Endang Purwaningsih, 2012:50-51).
Reputasi atau itikad baik dalam dunia bisnis dipandang sebagai kunci sukses atau kegagalan dari sebuah perusahaan. Banyak pelaku usaha berjuang untuk mendapatkan dan menjaga reputasi mereka dengan mempertahankan kualitas produk dan memberikan jasa kelas satu kepada para konsumen (Tim Lindsey dkk,2011:152). Pebisnis dengan sengaja memasang iklan untuk membangun reputasi produk maupun untuk mengenalkan produk baru di pasaran dan mempertahankan reputasi produk yang sudah ada sebelumnya (Endang Purwaningsih, 2012:51).
Merek sangat penting dalam dunia periklanan dan pemasaran karena publik sering mengaitkan suatu image, kualitas atau reputasi barang dan jasa dengan Merek tertentu, Sebuah Merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga secara komersial (Tim Lindsey dkk,2005:131). Passing off melindungi pemilik reputasi dari pihak-pihak yang akan membonceng keberhasilan mereka, sehingga para pembonceng tidak dapat lagi menggunakan Merek, kemasan, atau indikasi lain yang bisa mendorong konsumen yakin bahwa produk yang di jual mereka dibuat oleh orang lain (Endang Purwaningsih, 2012:51).
Secara harfiah passing off berasal dari idiom pass off yang berarti menipu, menghilang sehingga passing off berarti penipuan, penghilangan. Berkaitan dengan merek, passing off sebagai pranata yang dikenal dalam Common Law sering diartikan sebagai tindakan pemboncengan reputasi suatu merek untuk mendapatkan keuntungan bagi pihak yang melakukan tindakan tersebut.
Pengertian passing off menurut Black’s Law Dictionary yaitu:
“The act or an instance of falsely representing one’s own product as that of another in an attempt to deceive potential buyers. Passing off is actionable in tort under the law of unfair competition. It may also be actionable as trademark infringement” (Bryan A. Garner, 2004:1115).
Pelanggaran terhadap Merek dilakukan dengan memasang Merek, logo, dan bahan persis dengan yang asli, sekarang penggunaan Merek yang mirip dengan Merek lain yang sudah terdaftar serta penggunaan Merek yang sama dan atau mirip dengan Merek lain sehingga menimbulkan kesalahan persepsi di benak masyarakat sudah mulai marak.
Salah satu contoh kasus passing off di Indonesia adalah kasus Aqua. Pemilik Merek Aqua, yaitu PT. Aqua Golden Mississipi merasa pesaingnya melakukan tindakan mendompleng reputasinya dengan cara memirip-miripkan Merek, berupa pencantuman Merek “Club Aqua” serta “Merek Aquaria”. Juga, warna-warna yang dipakai untuk merek-merek yang bersangkutan, bentuk, ukuran, format, dan kesan selanjutnya dari merek-merek tersebut (Lihat Muhamad Djumhana, R.Djubaedillah, 2014:283).
Apabila kita telaah dari unsur yang diperlukan dalam melakukan aksi gugatan telah adanya “passing off”, yaitu bahwa pemilik telah mempunyai reputasi atas hal yang dibonceng oleh pihak lain dan pemilik usaha tersebut telah lama berjalan. Maka, posisi pemilik Aqua memang baik, yaitu bahwa Aqua sebagai Merek air mineral telah dikenal luas di kalangan masyarakat, bahkan masyarakat telah secara luas menyebut Aqua hanya untuk air minum mineral. Selain itu, pengusaha pemilik Merek Aqua telah begitu lama menjalankan usahanya dalam bidang air mineral, bahkan merupakan pengusaha pionir di Indonesia untuk usaha air mineral (Muhamad Djumhana, R.Djubaedillah, 2014:283).
II. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan dalam tulisan ini adalah apakah Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek mengatur tentang Passing off sebagai upaya perlindungan terhadap pemegang Merek terkenal yang tidak terdaftar di Indonesia?
III. PEMBAHASAN
1. Passing Off dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Merek adalah asset ekonomi bagi pemiliknya, baik perseorangan maupun perusahaan (badan hukum) yang dapat menghasilkan keuntungan besar, tentunya bila didayagunakan dengan memperhatikan aspek bisnis dan proses manajemen yang baik. Demikian pentingnya peranan Merek ini, maka terhadapnya dilekatkan perlindungan hukum, yakni sebagai objek terhadapnya terkait hak-hak perseorangan atau badan hukum. Kebijakan keputusan yang melatarbelakangi perlindungan Merek yang mencakup perlindungan terhadap pembajakan Merek telah menjadi dunia (Adrian Sutedi,2009:92).
Bila dulu pelanggaran terhadap Merek dilakukan dengan memasang Merek, logo, dan bahan persis dengan yang asli, sekarang penggunaan Merek yang mirip dengan Merek lain yang sudah terdaftar serta penggunaan Merek yang sama dan atau mirip dengan Merek lain sehingga menimbulkan kesalahan persepsi di benak masyarakat sudah mulai marak. Pelanggaran Merek ini disebut passing off.
Namun, sampai saat ini belum ada undang-undang yang mengatur passing off, sehingga hal ini belum bisa dikatakan sebagai pelanggaran. Passing off saat ini baru bisa dikatakan sebagai persaingan curang yang dilakukan produsen yang tidak bertanggung jawab.
Merek terkenal merupakan obyek dari passing off khususnya yang tidak terdaftar karena adanya reputasi atau nama baik atau goodwill di dalam suatu Merek terkenal dan reputasi memiliki nilai ekonomis. Merek terkenallah yang harus diberikan perlindungan hukum dari perbuatan produsen pemakai Merek yang tidak jujur, curang dengan membonceng reputasi Merek terkenal, menampilkan seakan-akan barangnya adalah barang Merek terkenal yang diboncengnya.
Menurut salah satu ahli hukum di bidang HKI Indonesia, definisi umum dari doktrin passing off adalah: a common-law tort to enforce unregistered trademark. Menurut definisi tersebut, maka ada dua unsur dari passing off:
1) Passing off merupakan tort (yang sering kali disandingkan dengan perbuatan melawan hukum pada Pasal 1365 BW).
2) Passing off merupakan upaya hukum yang dilakukan pemilik merek yang belum didaftarkan untuk melindungi mereknya dari digunakan oleh pihak lain. (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20887/dapatkah-doktrin-passing-off-diaplikasikan-di-indonesia).
Dalam sistem hukum Anglo Saxon dikenal berbagai macam tort, dan passing off masuk ke dalam kategori tort of misrepresentation yang mengakar dari hukum kontrak. Di Indonesia padanan yang mirip dengan tort of misrepresentation dapat ditafsirkan dari Pasal 1320 jo Pasal 1321 jo Pasal 1322 jo Pasal 1328 jo Pasal 1335 jo Pasal 1337 jo Pasal 1365 BW. (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20887/dapatkah-doktrin-passing-off-diaplikasikan-di-indonesia).
Elemen yang diperlukan agar passing off dapat digunakan adalah:
a. Reputasi: yaitu apabila seorang pelaku usaha selaku penggugat memiliki reputasi bisnis yang sangat baik di mata publik atau sudah dikenal publik.
b. Misrepresentasi: dengan terkenalnya merek yang digunakan oleh pelaku usaha tersebut, maka apabila ada pelaku usaha lain mendompleng merek yang sama, maka publik yang relevan dengan merek tersebut dapat terkecoh dan khilaf atau tertipu.
c. Kerugian: elemen kerugian jelas dapat ditimbulkan oleh merek pendompleng terhadap reputasi yang telah dibangun oleh merek yang didompleng. (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20887/dapatkah-doktrin-passing-off-diaplikasikan-di-indonesia).
Guna melindungi miliknya tersebut dalam sistem “common law” maka pihak yang merasa dirugikan biasanya melakukan apa yang disebut “action of passing off”. Dalam konteks hukum Merek “action of passing off” adalah untuk melindungi nama baik (business goodwill). Jadi, seseorang tidak boleh membonceng atas ketenaran Merek, nama baik, dan reputasi pihak lain sehingga akan terlindungilah masyarakat dari tindakan penipuan. Syarat lain dalam melakukan aksi “passing off” mengenai Merek, yaitu Merek tersebut dipakai dalam satu jenis kelas barang yang sama (Muhamad Djumhana, R.Djubaedillah, 2014:282).
Bagaimana pemberlakuan passing off di Indonesia, apakah Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek mengatur tentang Passing off sebagai upaya perlindungan terhadap pemegang merek terkenal di Indonesia?
Pengaturan mengenai passing off ini sendiri terdapat dalam peraturan-peraturan negara yang menganut sistem hukum Common Law, hukum tentang persaingan curang. Namun pengaturan mengenai pemboncengan reputasi yang berlaku di negara dengan sistem hukum umum (Common Law) tersebut tidak serta merta dapat diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia menganut Civil Law system (disebut juga sistem hukum Eropa Kontinental) yaitu hukum yang berlaku adalah berupa peraturan-peraturan tertulis yang dibuat oleh pembuat undang-undang bukan berdasar pada pendapat hakim (hakim berperan aktif menemukan hukum atas suatu perkara di pengadilan).
Kasus passing off yang terjadi di Indonesia dibilang cukup banyak. Namun karena tidak ada undang-undang yang khusus mengenai persaingan curang, maka Dirjen HKI hanya menangani kasus passing off yang juga terindikasi pelanggaran merek. Istilah passing off atau pemboncengan reputasi sendiri memang tidak dikenal di Indonesia, tetapi bukan berarti perbuatan seperti itu tidak diatur dalam peraturan yang ada di Indonesia hanya saja aturan-aturan mengenai perbuatan tersebut tidak diatur secara jelas dan khusus, ada yang dimasukkan ke dalam persaingan curang, perbuatan melawan hukum dan pelanggaran hak merek. Jenis perbuatan passing off itu ada didalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek tetapi tidak dinamakan passing off, perbuatan itu masuk ke dalam pelanggaran merek.
Passing off tidak pernah dipergunakan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran reputasi di Indonesia. Namun, ada dasar hukum untuk melaksanakan hal itu di Indonesia. Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “ pelaku usaha : (a) harus melakukan usahanya dengan itikad baik..” (Tim Lindsey,2011:152-153)
Oleh karena belum adanya undang-undang mengenai persaingan curang yang diantaranya mengenai pengaturan passing off, maka passing off dapat ditindaklanjuti sebagai pelanggaran Merek, khususnya Merek terkenal dengan dasar hukum Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Namun undang-undang ini tidak mempunyai ketentuan yang memberikan batasan tentang Merek terkenal secara tegas maupun ketentuan mengenai passing off, padahal sebagai anggota dari WIPO maupun WTO, Indonesia sudah seharusnya memasukkan ketentuan yang telah diatur dalam konvensi-konvensi organisasi tersebut ke peraturan perundang-undangan nasionalnya.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek menganut sistem konstitutif, artinya menurut sistem konstitutif (aktif) dengan doktrinnya “prior in filing” bahwa yang berhak atas suatu Merek adalah pihak yang telah mendaftarkan Mereknya dikenal pula dengan asas “presumption of ownership”. Jadi sistem konstitutif mempunyai kelebihan dalam soal kepastian hukumnya (Muhamad Djumhana, R.Djubaedillah, 2014:256).
Doktrin “prior in filing” cukup jelas, bahwa seorang pengguna Merek hanya terlindungi Mereknya, apabila yang bersangkutan telah mendapatkan hak atas Merek tersebut dari negara dengan cara mendaftarkan mereknya ke Dirjen HKI di Indonesia tidak ada Merek yang terlindungi apabila belum terdaftar di Dirjen HKI.
Hal ini terbukti dengan tidak ada satu pun putusan pengadilan di Indonesia yang pernah mengabulkan gugatan dari pengguna Merek yang belum terdaftar. Berbeda halnya dengan Amerika yang memberikan hak atas Merek berdasarkan penggunaan bukan pendaftaran. Sedangkan di Australia dan Inggris, Merek belum terdaftar terlindungi oleh passing off. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek tidak mengandung doktrin passing off. Oleh karenanya, doktrin ini tidak dapat digunakan di Indonesia.
Berbicara mengenai Merek yang merugikan pihak lain, dalam hal ini Merek yang merupakan passing off, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek mempunyai aturan tentang gugatan pembatalan terhadap Merek terdaftar yang didaftarkan dengan itikad tidak baik dan memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan Merek terkenal milik orang lain baik untuk barang/jasa sejenis maupun tidak sejenis sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 68 ayat 1 yang berbunyi “Gugatan pembatalan pendaftaran Merek dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan..”
Gugatan tersebut dapat diajukan baik oleh pemilik Merek terkenal terdaftar maupun tidak terdaftar (setelah mengajukan permohonan kepada Dirjen HKI) kepada Pengadilan Niaga dan terhadap putusan Pengadilan Niaga hanya dapat diajukan kasasi.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek menetapkan ketentuan pidana dalam Pasal 90 bagi pemilik Merek yang melakukan passing off Merek terkenal terdaftar sama keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan bagi pemilik Merek yang melakukan passing off Merek terkenal terdaftar sama pada pokoknya untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 91 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
IV. PENUTUP
Dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai passing off ini sendiri terdapat dalam peraturan-peraturan negara yang menganut sistem hukum Common Law, hukum tentang persaingan curang. Namun pengaturan mengenai pemboncengan reputasi yang berlaku di negara dengan sistem hukum umum (Common Law) tersebut tidak serta merta dapat diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia menganut Civil Law system. Istilah passing off atau pemboncengan reputasi sendiri memang tidak dikenal di Indonesia, tetapi bukan berarti perbuatan seperti itu tidak diatur dalam peraturan yang ada di Indonesia hanya saja aturan-aturan mengenai perbuatan tersebut tidak diatur secara jelas dan khusus, ada yang dimasukkan ke dalam persaingan curang, perbuatan melawan hukum dan pelanggaran hak merek. Jenis perbuatan passing off itu ada didalam Undang-undanng Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek tetapi tidak dinamakan passing off, perbuatan itu masuk ke dalam pelanggaran Merek. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek tidak mengandung doktrin passing off. Oleh karenanya, doktrin ini tidak dapat digunakan di Indonesia karena seorang pengguna Merek hanya terlindungi Mereknya, apabila yang bersangkutan telah mendapatkan hak atas Merek tersebut dari negara dengan cara mendaftarkan mereknya ke Dirjen HKI. Di Indonesia tidak ada Merek yang terlindungi apabila belum terdaftar di Dirjen HKI..
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Adrian Sutedi,2009, Hak Atas Kekayaan Intlektual, Sinar Grafika, Edisi 1, Ctkn 1, Jakarta
Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary,Eighth Edition, (St.Paul,Minn:West Publishing Co
Elyta Ras Ginting, 2012, Hukum Hak Cipta Indonesia (Analisis Teori dan Praktik), Citra Aditya Bakti, Bandung
Endang Purwaningsih, 2012, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi, Mandar Maju, Bandung
Muhamad Djumhana, R.Djubaedillah, 2014, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung
Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual (Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia), Alumni, Bandung
Tim Lindsey dkk,2005, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, Bandung
_____________,2011, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, Bandung
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
C. Internet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar