Konsep Civil Society yang secara implisit sudah terkandung dalam pancasila dan UUD 1945 pada dasarnya adalah tatanan social berbangsa berdasarkan atas prinsip demokrasi, yang menjadi pertanyaan apakah negara Demokrasi baik untuk kita? dalam teori demokrasi memang baik dibandingkan dengan teori-teori ketatanegaraan yang lain untuk saat ini. Demokrasi bertujuan untuk memberikan kepada masyarakat perhatian yang lebih luas disetiap kehidupan dalam mengambil sebuah kebijakan, baik itu individu maupun untuk kepentingan publik. Namun das sein dan das sollen demokrasi ini sangat jauh berbeda. Pada era sekarang, demokrasi hanya motor penggerak jalan nya kekuasaan segelintir orang ataupun demokrasi sebagai kata-kata yang tidak memiliki norma yang terkandung dalam arti “demokrasi” itu sendiri.
Dalam bidang hukum, hukum sebagai panglima untuk menegakan keadilan, kemanfaatan dan ketertiban. Namun hukum sekarang bagi penulis seperti Panglima yang tidak mempunyai pasukan-pasukan yang mampu memberikan suatu yang bisa membela kepentingan masyarakat. Hukum sekarang dicap sebagai salah satu penyebab keterpurukan dari negara ini, hukum hanya sekedar tulisan di UUD 1945 pasal 1 ayat 3 dan tidak di Implementasikan secara implisit kedalam kehidupan bermasyarakat. Hukum bukan lagi sebagai Panglima melainkan sebagai “kuda” dari Panglima tersebut.
Seperti diutarakan oleh Prof. Erman Rajagukguk,SH.LLM.Ph,D dalam materi kuliah nya pernah berbicara mengenai penegakan hukum di Indonesia, waktu zaman beliau kuliah, beliau bercita-cita ingin menegakan hukum sebagai tonggak keadilan, Namun ketika beliau masuk ke ranah hukum tersebut, beliau baru tahu bagaimana penegakan hukum itu sangat sulit ditegakan, namun pesan beliau, apabila hukum itu roboh, maka kita bersama-sama yang menegakan nya.
Sebenarnya apa yang salah dengan hukum kita? Mengutip teori dari L.M Friedman, sistem hukum itu ada 3, yaitu substansi hukum( UU), Struktur Hukum (para penegak hukum), dan Budaya Hukum ( Masyarakat). Dari ketiga sistem hukum ini, kebanyakan yang dibahas hanya substansi dan strukturnya saja, sedangkan budaya hukum nya jarang sekali dibahas. Kita sering menyalahkan substansi hukum nya, dimana semua Undang-undang dibuat oleh para elit senayan yaitu para perwakilan parpol dan bukan lagi perwakilan rakyat, yang didalam setiap pembuatan Undang-undang tersebut bukan kepentingan rakyat yang dibela, melainkan kepentingan kaum tertentu sehingga Undang-undang yang dibuat bagaikan sampah bagi masyarakat. Sedangkan teori kedua L.M Friedman ini menitikberatkan kepada para penegak hukum, seperti Polisi, Jaksa, Hakim, KPK, disini ketidak percayaan masyarakat kepada para penegak hukum sangat kental terasa, dimana kita sering melihat para oknum penegak hukum melakukan keputusan-keputusan hukum yang melanggar hukum dan tindak kejahatan lain nya, bagaimana masyarakat bisa percaya kalau para penegak hukum nya seperti itu. Sedangkan bagian ketiga adalah budaya hukum,dimana menurut E.B Taylor dalam Effendhie kebudayaan adalah kompleks keseluruhan yang mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan, serta kebiasaan - kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa hukum tidaklah berdiri sendiri, atau absolut, hukum dilingkupi oleh nilai-nilai masyarakatnya.
Kegelisahan penulis sebagai sarjana hukum dan sebagai bagian dari anggota masyarakat inilah yang membuat penulis bertanya, bagaimana kami selaku calon penegak hukum yang baru bisa berjibaku untuk bisa menjadikan hukum itu sebagai panglima tertinggi untuk menegakan keadilan, kemanfaatan dan ketertiban didalam kehidupan bermasyarakat?
Dengan kata lain, marilah kita bersama-sama menegakan hukum itu diatas segala kepentingan dan utamakan memperbaharui etika moral dari para penegak hukum itu sendiri karena pusat hukum itu adalah manusia sehingga menjadikan hukum itu kembali ketujuan dan fungsi nya yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar