Pertanyaan :
Apakah sumpah pocong yang kerap kali dilakukan di dalam masyarakat kita diakui juga dalam sistem peradilan di Indonesia?
Jawaban :
Sumpah pocong, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III adalah:
“sumpah yang disertai tidur membujur ke utara menghadap kiblat (barat) di dalam masjid dan berpakaian kain kafan (dipocong spt mayat)”
Di Indonesia, sumpah memang diakui sebagai alat bukti dalam peradilan perdata. Alat bukti sumpah ini diatur dalam pasal 177 jo pasal 155 dan 156 Het Herzienne Indonesische Reglement (“HIR”). Sumpah merupakan alat bukti paling akhir selain alat-alat bukti lainnya yaitu alat bukti surat/tulisan, saksi, persangkaan-persangkaan, dan pengakuan (pasal 164 HIR).
Perlu diketahui, yang dimaksud sumpah dalam HIR berbeda dengan sumpah yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Arti sumpah dalam konteks peradilan perdata yaitu di mana sebelumnya ada suatu keterangan yang diucapkan oleh salah satu pihak, dan keterangan tersebut kemudian diperkuat dengan sumpah. Sumpah ini diucapkan di depan hakim yang mengadili perkara.
Sumpah pocong sendiri, tidak dikenal dalam peradilan perdata. Jenis-jenis sumpah yang diterima sebagai alat bukti dalam peradilan perdata sendiri adalah:
1. Sumpah suppletoir (pasal 155 HIR) atau sumpah tambahan yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak yang berperkara. Tujuannya untuk melengkapi bukti yang telah ada di tangan salah satu pihak.
2. Sumpah decisioir (pasal 156 HIR) atau sumpah pemutus atau sumpah mimbar atau sumpah penentu yaitu sumpah yang dimohonkan oleh pihak lawan. Sumpah ini dilakukan pada saat salah satu pihak yang berperkara mohon kepada hakim agar pihak lawan diperintahkan untuk melakukan sumpah meskipun tidak ada pembuktian sama sekali.
Jika menyangkut perjanjian timbal-balik, sumpah pemutus dapat dikembalikan (pasal 156 ayat [2] HIR). Artinya, pihak yang diminta untuk bersumpah dapat meminta agar pihak lawannya juga bersumpah. Sumpah ini harus bersifat Litis Decissoir, yaitu benar-benar mengenai suatu hal yang menjadi pokok perselisihan. Sumpah pemutus ini dapat digunakan sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata dengan syarat diucapkan di depan hakim dalam proses pemeriksaan perkara, dan tidak ada bukti lain yang dapat diajukan para pihak alias pembuktian dalam keadaan buntu.
Sumpah sebagai alat bukti terakhir dalam hukum acara perdata diperkuat dengan sejumlah yurisprudensi salah satunya yaitu Putusan Mahkamah Agung RI No. 575.K/Sip/1978, tanggal 4 Mei 1976:
“Permohonan sumpah decisior (sumpah penentu, sumpah mimbar, sumpah pemutus) hanya dapat dikabulkan kalau dalam suatu perkara sama sekali tidak terdapat bukti-bukti;”
Jadi, sumpah pocong tidak dikenal dalam sistem hukum kita. Hal ini dibenarkan oleh Fauzie Yusuf Hasibuan, dosen Hukum Acara Perdata di Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Menurut Fauzie, sumpah pocong tidak dikenal di peradilan perdata. Akan tetapi, apabila ternyata hakim yakin dan menerima sumpah pocong sebagai sumpah pemutus, maka hal ini dapat dilakukan. Hal ini karena dalam sistem pembuktian hukum acara perdata kita mengakui keyakinan hakim sebagai unsur yang menentukan dalam pembuktian.
Meski demikian, sumpah pocong sebagai sumpah pemutus pernah dilakukan dalam perkara perdata sengketa tanah yang disidangkan di pengadilan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, pada 1996. Dalam artikel berjudul “Sumpah Pocong, Menghindari Sumpah Bohong” yang ditulis Shinta Teviningrum pada Majalah Intisari No. 401, Edisi 1996, disebutkan antara lain sumpah pocong dilakukan oleh Kunan Sutan Sinaro di Masjid Agung Al-Ikhlas, Ketapang, pada Juni 1996. Sumpah tersebut dipimpin oleh hakim M. Yusuf Naif, S.H. Pengambilan sumpah tersebut terkait dengan sengketa tanah antara Kunan (penggugat) dan H. Labek Hadi (selaku tergugat). Jadi, dalam perkara ini sumpah pocong dilakukan sebagai sumpah pemutus.
Dasar hukum:
HIR (Het Herziene Indonesisch Reglemen, Staatblad Tahun 1941 No. 44)
Sumber : www.Hukumonline.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar