Kamis, 23 Januari 2014

UPAYA HUKUM OLEH PIHAK YANG DIRUGIKAN DALAM PRAKTEK DUMPING DI INDONESIA


A. Latar Belakang
Perkembangan perekonomian dunia khususnya industri dan perdagangan semakin liberal dan terbuka, jarak dan batas – batas negara hampir tidak tampak lagi. Hal ini mengakibatkan setiap negara berlomba memasuki pasar. Dalam era globalisasi dan liberalisasi perdagangan telah terjadi borderless trade ( perdagangan tanpa batas ), di mana negara – negara anggota WTO akan menghapus semua hambatan perdagangan baik yang berbentuk tarif maupun non tarif. Baik negara maju maupun negara berkembang sama – sama membutuhkan perdagangan internasional. Dengan perdagangan internasional memungkinkan mengalirnya barang dan jasa melalui prosedur ekspor-impor.[1]

Kehadiran World Trade Organization ( WTO ) dan kerjasama perdagangan lainya seperti Asia Pacifik Trade Area ( APTA ) dan Asia Pasific Ekonomic Corporation ( APEC ) semakin mendorong perdagangan lebih bebas dan terbuka. Organisasi dan kerjasama timbul dalam rangka liberalisasi dan perdagangan yang sehat serta bertujuan untuk meniadakan hambatan – hambatan. Perdagangan membawa konsekuensi bagi negara – negara di dunia untuk menyesuaikan aturan tersebut, ini dilakukan agar tidak terjadi adanya perbedaan atau bahkan pertentangan aturan yang mendasar antara ketetapan WTO dengan masing – masing negara. Hal tersebut juga di alami oleh Indonesia, sebagai salah satu anggota dalam organisasi Perdagangan dunia tersebut.[2]

Kesepakatan aturan dan ketentuan dalam forum WTO umumnya merupakan kebijakan tentang perdagangan yang terjadi sekarang ini mengenai hambatan dan praktek perdagangan dunia. Salah satu hasil kesepakatan forum WTO yang sangat vital adalah mengenai bentuk perdagangan dengan sistem dumping sebab sangat berpengaruh terhadap perdangan dunia. Kesepakatan forum ini dikatakan sangat vital karena praktek perdagangan ini membawa dampak yang tidak hanya positif tetapi berdampak negatif juga. Dikatakan positif karena negara yang melakukan praktek dumping ( pengekspor ) dapat menguasai pasaran luar negeri dan dapat menguasai harga sehingga dapat memperoleh keuntungan yang besar ketika dapat menguasai pasar. Dampak negatif nya adalah timbul nya diskriminasi harga di dalam pasar yang berakibat terjadinya hambatan dalam perdagangan yang mengarah pada bentuk persaingan tidak sehat.

Sebagai konsekuensinya liberalisasi perdagangan internasional telah menciptakan persaingan yang ketat. Meskipun organisasi perdagangan dunia mendorong perdagangan bebas melalui perundingan penurunan tarif dan non tarif namun didalamnya masih terdapat persetujuan yang memungkinkan suatu negara mengambil penyelamatan industri dalam negerinya yang mengalami kerugian sebagai akibat perdagangan tidak fair yang berasal dari dumping atau subsidi. Karena itu pula ada kecenderungan di beberapa negara maju menggunakan instrumen tindakan anti dumping dan subsidi sebagai alat proteksi melindungi industrinya. Bagi eksportir Indonesia hal ini tidak menguntungkan sebab sekalipun kecurigaan dan investigasi anti dumping tidak terbukti, namun selama penyelidikan, pasar eksportir menjadi terganggu.

Dumping merupakan suatu praktek perdagangan yang dilakukan oleh suatu negara dengan cara menjual barang dalam jumlah banyak keluar negeri dengan harga lebih rendah ketimbang harga di dalam negeri atau dalam arti kata menjual lebih murah dari harga pasar ( nasional ) di tempat pasar yang berbeda. Menurut Kamus Ekonomi dan Perdagangan, Dumping merupakan penjualan produk yang sama dalam pasar yang berbeda – beda dengan harga – harga yang berbeda pula. [3] Dumping dalam dunia bisnis sering dianggap sebagai “ praktek wajar “ dalam rangka price policy untuk penjualan suatu barang oleh suatu perusahaan atau industri, namun pada kenyataan nya dapat menimbulkan kerugian bagi usaha atau industri barang yang sejenis di negara lain ( pengimpor ).[4] Oleh karena itu, persoalan dumping merupakan bentuk hambatan perdagangan internasional yang sifatnya non tariff.[5] Pada awalnya dumping memang merupakan persoalan yang sederhana, namun dengan berkembangnya teknologi dan meningkatnya jumlah populasi penduduk dunia yang otomatis juga di ikuti dengan meningkatnya kebutuhan manusia itu sendiri, maka dumping tidak dapat mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak dan kalangan usahawan.[6]

Implikasi dari adanya dumping ini dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang memproduksi barang sejenis atas persaingan harga yang tidak wajar. Efek lain juga dapat terjadi pada perekonomian suatu negara. John A Jakson mengemukakan bahwa dampak dumping pada perekonomian nasional hanya bagi negara pengimpor dan negara pengekspor, namun juga pada negara atau pihak ketiga yang mempunyai barang sejenis,[7] sehingga perlu proteksi dari negara untuk melindungi industri dan pasar domestiknya. Padahal kondisi dunia usaha saat ini sedang mengalami permasalahan yang sangat kompleks tidak hanya sebatas dumping tetapi kondisi makro perekonomian yang masih belum menentu akibat policy dari pemerintah yang tidak jelas.

Bentuk proteksi negara atas praktek dumping dikenal dengan istilah anti dumping. Anti dumping merupakan tindakan balasan yang diberikan oleh negara pengimpor terhadap barang dari negara pengekspor yang mengandung dumping. Namun begitu, pada umumnya praktek dumping tidak dilarang dalam sistem perdagangan internasional. Article IV GATT menyebutkan bahwa suatu negara anggota diperkenankan untuk menggunakan tindak anti dumping dan atau subsidi yang menimbulkan kerugian ( injury ) bagi industri domestik yang memproduksi barang sejenis.[8] Pengertian dan pengaturan dasar mengenai anti dumping dapat dilihat dalam Article VI GATT 1994 ( Anti-Dumping and Countervailing Duties).[9]

Dalam mengatasi praktek dumping ini Persetujuan GATT/WTO telah mengatur mengenai anti dumping dan subsidi, yaitu Agreement on Implementation of article VI of the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT ) 1994 dan Agreement on Subsidies and Countervailing Measures. 

Penerapan tindakan anti dumping yang menimbulkan kerugian (injury) bagi industri domestik atas barang sejenis di Indonesia, dapat dilakukan oleh komite khusus yang menangani masalah dumping yang berupa komite anti dumping sebagaimana di amanatkan Article IV GATT. Akhirnya pada tanggal 4 juni 1996 berdasarkan Keputusan Memperindag Nomor 136/MPP/Kep/6/1996 dan Nomor 427/MPP/Kep/10/200 dibentuklah Komite Anti Dumping Indonesia ( KADI ). Komite ini merupakan lembaga yang khusus menangani masalah dumping, pengenaan tarif dan kerugian, jadi merupakan lembaga yang diharapkan dapat mensosialisasikan ketentuan – ketentuan tentang perdagangan internasional yang telah di ratifikasi, dengan tujuan agar masyarakat khususnya dunia usaha Indonesia tidak menjadi korban dari praktek perdagangan yang tidak sehat ( unfair trade practise ) seperti dumping dan subsidi. Pembuktian dumping yang dilakukan oleh komite ini meliputi dumping itu sendiri, kerugian ( injury ) dan kepentingan masyarakat (community interest), produsen barang yang terancam atau dirugikan.[10] 

Dalam menangani kasus dumping ini, sering menjadi persoalan adalah kedudukan dan kepentingan pihak yang dirugikan dari adanya praktek dumping yang dilakukan oleh negara lain yang memproduksi barang sejenis dan beredar dipasaran domestik dan perlu adanya sarana hukum yang dapat memberikan fasilitas bagi pihak yang dirugikan. Sehingga yang menjadi permasalahan dari makalah ini adalah bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh pihak yang merasa di rugikan dalam praktek dumping di Indonesia.

B. Rumusan Masalah 
1. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan dalam praktek dumping di Indonesia? 

PEMBAHASAN
Sebagai negara yang turut ambil dalam perdagangan multilateral, Indonesia telah meratifikasi Agreement Estabilishing The WTO melalui Undang – undang Nomor 7 Tahun 1994 ( Lembaga Negara Tahun 1 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564 ). Dengan meratifikasi Agreement Estabilishing The WTO ini, Indonesia sekaligu meratifikasi Antidumping code ( 1994 ), yang merupakan salah satu dari Multilateral Trade Agreement. Persetujuan WTO tersebut tidak bersifat menghakimi tetapi lebih memfokuskan pada tindakan – tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh negara – negara untuk mengatasi dumping. Hal ini disebut dengan peretujuan anti dumping (Antidumping Agreement atau Agreement on The Implementation of Article VI of GATT 1994 ).[11] 

Sebagai konsekuensinya diratifikasinya Agreemeent Estabilishing The WTO ini, dibuatlah aturan anti dumping Indonesia dengan cara memasukan Ketentuan ini dalam Undang – undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. Ketentuan inilah yang kemudian menjadi dasar pembuatan peraturan pelaksanaan tentang anti dumping, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Beamasuk Imbalan. Sebagaian besar negara – negara maju melakukan proteksi terhadap praktik dumping ini dengan memberlakukan perangkat hukum anti dumping guna melindungi industri domestiknya dari destruksi pasar karena penjualan barang impor di bawah harga semestinya.

Dalam rangka mengimplementasikan ketentuan anti dumping dalam Article VI GATT 1994 yang telah diratifikasi, maka sejak tanggal 4 juni 1996 telah memiliki otoritas anti dumping dengan dibentuknya Komite Anti Dumping Indonesia ( KADI ). Lahirnya lembaga ini, selain merupakan tuntutan global namun juga sebagai upaya perlindungan terhadap industri dalam negeri dari praktek dagang tidak sehat seperti dumping dan subsidi. Oleh karena itu , dalam penanganan anti dumping di Indonesia, lembaga ini dapat mengambil tindakan sebagai reaksi terhadap dumping jika benar terbukti ada kerugian ( material injury ) terhadap industri domestik. Untuk melakukan hal ini, harus dilakukan upaya pembuktian dumping dengan memperhitungkan tingkat dumping ( dengan membandingkan harga ekspor suatu produk dengan harga jual produk tersebut dinegara asalnya ).

Ketentuan Article VI GATT 1994 menentukan bahwa dumping tidak dilarang dengan syarat impor barang dumping tersebut tidak menyebabkan kerugian ( injury ) terhadap industri dalam negeri pengimpor. Namun bagaimana dengan kepentingan pihak produsen barang di Indonesia yang mengalami kerugian dari adanya praktek dumping dari para produsen asing di Indonesia. Karena barang yang dilakukan dumping tersebut diproduksi juga di dalam negeri, namun terkena dampak harga dari barang dumping luar negeri. Banyak berbagai produk yang dilakukan dumping namun belum tersentuh dengan ketetntuan anti dumping di Indonesia, yang pada akhirnya merugikan para pengusaha atau pelaku usaha yang di Indonesia.

Oleh karena selain upaya pencegahan dan perlindungan barang – barang produksi dalam negeri melalui penerapan anti dumping bagi produk dumping dari luar negeri yang dilakukan KADI, juga berperan serta pelaku usaha untuk melakukan upaya - upaya hukum atas praktek dumping ini. Sementara ini upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pelaku usaha adalah melaporkan ke KADI untuk dilakukan penyelidikan. Berdasarkan tugas pokoknya, KADI akan melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya barang dumping dan atau barang yang mengandung subsidi yang menimbulkan kerugian bagi industri dalam negeri atas barang sejenis. Penyelidikan yang dilakukan oleh KADI ini bersifat administratif, sehingga sanksi yang dikenakan pun bersifat administratif.

Sanksi administratif yang di rekomendasikan KADI kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan untuk ditindaklanjuti kepada Menteri Keuangan adalah besarnya Bea Masuk Anti Dumping kepada pelaku dumping, namun tidak pernah mempertimbangkan bahwa menghitung kerugian yang diderita para pelaku usaha ( pengusaha ) Indonesia dari adanya praktek ini. Padahal kerugian yang diderita oleh para pelaku usaha ini sangat besar seperti penurunan penjualan dalam negeri, keuntungan, market share, produktifitas dan kerugian lain yang terkait dengan nilai dan keuntungan yang harus di perolehnya. Oleh karena itu, upaya – upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pelaku usaha sebagai pihak yang dirugikan dari adanya praktek dumping di Indonesia adalah mengajukan permohonan penyelidikan dugaan dumping kepada KADI.

Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 menyebutkan bahwa permohonan penyelidikan atas dugaan dumping dapat dilakukan oleh Industri Dalam Negeri ( IDN ) atau atas prakarsa KADI. Pemohon dalam hal ini dapat terdiri dari satu perusahaan saja, beberapa perusahaan, atau permohonan disampaikan oleh asosiasi atas nama beberapa perusahaan atau atas nama seluruh anggota. Apabila masih ada produsen dalam negeri lainnya yang tidak termasuk pemohon, buat daftar nama berikut alamat lengkap dan kontak person semua produsen dalam negeri dari barang yang diduga dumping.[12]

Bersamaan uraian dan latar belakang pengajuan permohonan penyelidikan tersebut, sebaiknya harus disertai pula dengan permintaan untuk memberikan ganti kerugian yang diderita pemohon atas praktek dumping yang terjadi. Hal ini untuk melindungi kepntingan pemohon dan memberikan efek jera kepada pelaku dumping, karena selama ini sanksi yang diterapkan hanya pengenaan bea masuk anti dumping yang harus dibayarkan kepada pemerintah Indonesia, namun tidak ada biaya ganti rugi atas kerugian yang diderita pelaku pasar atau para pengusaha yang terkena dampak dari praktek dumping tersebut. Adanya ganti kerugian ini harus dihitung berdasarkan margin dumping yang terjadi, produksi barang yang beradar dipasaran atas barang yang sama serta hal – hal lain yang terkait dengan produksi. Namun hal ini diakui sangat sulit dalam penetapan jumlahnya dikarenakan pengaruh subjektifitas penghitungan biaya produksi dan kerugian yang ditimbulkan karena tidak adanya mekanisme dan aturan mengenai penetapan ganti kerugian yang timbul terhadap pelaku pasar tersebut.

Meskipun pengenaan sanksi praktek dumping di Indonesia bersifat administratif, namun dalam prakteknya tidak semua hasil temuan, analisis dan rekomendasi KADI ditindaklanjuti baik oleh Memperindag maupun Menkeu. Hal ini disebabkan karena Undang – undang tidak mengatur, sehingga menimbulkan ketidakpastian juga tidak ada keharusan Memperindag untuk menindaklanjuti temuan dan usul KADI tersebut. Kondisi ini juga tidak terlepas dari kedudukan KADI yang dibawah Memperindag sehingga tidak dapat untuk mendesak dan menentang.

Kesimpulan 
Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan dalam praktek dumping di Indonesia dalam bentuk permohonan penyelidikan dugaan praktek dumping yang diajukan kepada Komite Anti Dumping Indonesia ( KADI ), sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan, namun upaya hukum ini bersifat adminsitratif berupa pengenaan bea masuk anti dumping yang dibayarkan kepada Pemerintah, sehingga tidak memberikan ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan dari adanya praktek dumping tersebut. Oleh karena itu, pihak yang dirugikan dari adanya praktek dumping tidak dapat menerima penggantian atas kerugian dialaminya, disamping itu penetapan besarnya kerugian mengalami kesulitan karena tidak adanya mekanisme dan ketentuan yang mengaturnya.

DAFTAR PUSTAKA

Amir MS, Ekspor, Impor ( Teori dan Penerapannya ), Pustaka Bintama Pressindo, Jakarta, 1996

As’ad Sungguh, Kamus Ekonomi dan Perdagangan, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1992

Huala Adolf & Candrawulan, Masalah – Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994

H. S Kartadjoemen, GATT, WTO, dan Hasil Putaran Uruguay, UI Press, Jakarta, 1997

Johanis Damiri, Perdagangan Internasional dan UU Kepabeanan, Makalah disampaikan pada seminar UU Kepabeanan No.10 Tahun1995, Bea Cukai Masa Depan, Bandar Lampung 28 Maret 1996

KADI, Prosedur Permohonan Penyelidikan Anti Dumping, Jakarta, 2000

_____, Panduan Permohonan Penyelidikan Anti Dumping, Jakarta, 2004

Nandang Sutrisno, Hukum Perdagangan Internasional. Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Angkatan VII

Sudarti, Implementasi Pasal VI GATT 1994 khusunya tentang Proses Penanganan Barang Dumping dalam ketentuan Hukum Nasional Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2003

Sukarmi, Regulasi Anti Dumping, Bayang – bayang Pasar Bebas, Sinar Grafika, Jakarta

FOOTNOTE
[1] Johanis Damiri, Perdagangan Internasional dan UU Kepabeanan, Makalah disampaikan pada seminar UU Kepabeanan No.10 Tahun1995, Bea Cukai Masa Depan, Bandar Lampung 28 Maret 1996, hlm 1

[2] KADI, Prosedur Permohonan Penyelidikan Anti Dumping, Jakarta, 2000. hlm 2

[3] As’ad Sungguh, Kamus Ekonomi dan Perdagangan, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1992, hlm 26

[4] H. S Kartadjoemen, GATT, WTO, dan Hasil Putaran Uruguay, UI Press, Jakarta, 1997, hlm 168

[5] Amir MS, Ekspor, Impor ( Teori dan Penerapannya ), Pustaka Bintama Pressindo, Jakarta, 1996, hlm 38

[6] Sudarti, Implementasi Pasal VI GATT 1994 khusunya tentang Proses Penanganan Barang Dumping dalam ketentuan Hukum Nasional Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2003, hlm 25

[7] Huala Adolf & Candrawulan, Masalah – Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm 13

[8] H.S. Kartadjoemena, Loc.Cit

[9] Nandang Sutrisno, Hukum Perdagangan Internasional. Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Angkatan VII, hlm 8

[10] Sukarmi, Regulasi Anti Dumping, Bayang – bayang Pasar Bebas, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm 39

[11] KADI

[12] KADI, Panduan Permohonan Penyelidikan Anti Dumping, Jakarta, 2004, hlm 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar