Tujuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan
umum. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu menggali dan mengembangkan potensi
yang terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis.[1]
Salah satu langkah
strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf
sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai
sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang
berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu
dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.
Wakaf
merupakan salah satu lembaga hukum Islam. Hukum Islam adalah suatu sistem hukum
yang mendasarkan pada ajaran agama Islam. Agama Islam merupakan ajaran agama
yang sempurna. Mengatur seluruh kehidupan alam seisinya, termasuk mengatur
kehidupan manusia. Dalam menjalani kehidupannya manusia dapat memiliki harta,
tetapi kepemilikan harta itu tidak mutlak. Harta adalah milik Allah SWT dan
dititipkan kepada manusia yang dikehendaki-NYA. Harta yang dimiliki oleh umat
Islam sebagian adalah hak dari manusia yang lemah. Oleh karena itu Islam mengajarkan memberikan sedekah,
zakat dan wakaf terhadap harta yang dimiliki untuk kepentingan agama.
Di
Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam, sehingga wakaf sudah dikenal
sejak lama. Menurut Ter Haar wakaf merupakan suatu perbuatan hukum rangkap, maksudnya
Perbuatan itu disatu pihak adalah perbuatan mengenai tanah atau benda yang
menyebabkan obyek itu mendapat kedudukan hukum yang khusus tetapi di lain pihak
seraya itu perbuatan itu menimbulkan suatu badan dalam hukum adat ialah suatu
badan hukum yang sanggup ikut serta dalam kehidupan hukum sebagai subyek hukum.[2]
Ajaran
Islam memuat dua dimensi jangkauan, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan
di akhirat. Dalam bidang sosial ekonomi, Islam mendorong pendayagunaan
institusi wakaf dalam rangka peningkatan kesejahteraan umat. Muhammad Musthafa
Tsalabi telah membuat rumusan wakaf dalam bentuk penahanan harta atas milik
orang yang berwakaf dan mendermakan manfaatnya untuk tujuan kebaikan pada masa
sekarang dan masa yang akan datang.[3]
Potensi
tanah wakaf di Indonesia untuk dikembangkan bagi pembangunan perumahan sangat
menjanjikan, karena potensinya sangat besar. Sebagai gambaran, penduduk
Indonesia berjumlah 238,45 juta orang[4],
dan 87% diantaranya beragama Islam (207,45 juta orang). Dengan kondisi seperti
itu, menjadikan Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Selain itu, umat Islam Indonesia sudah semenjak lama akrab dengan wakaf. Namun
keakraban tersebut belum menjadikan harta wakaf berguna secara maksimum untuk
pembinaan umat Islam, kerana umumnya umat Islam Indonesia memahami wakaf
terbatas untuk kepentingan pengguna saja, seperti untuk kuburan, mesjid dan
madrasah. Padahal harta wakaf berpeluang dikelola secara baik, sehingga ada
penghasilan berkesinambungan yang diperoleh dari pengelolaan harta wakaf, salah
satu peluang dari pengelolaan tanah wakaf adalah pembangunan perumahan di tanah
wakaf.
Di dalam Undang – Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Peruntukan harta benda wakaf tidak
semata-mata untuk kepentingan sarana ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan
untuk memajukan kesejahteraan umum.
Sebagaimana diamanatkan Pasal 28 H UUD 1945 bahwa setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat. Selanjutnya Pasal 40 Undang-Undang No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat
tinggal serta berkehidupan yang layak. Sementara Undang-Undang No. 17 Tahun
2007 Tentang RPJP 2005-2025 Bab IV.1.5 Butir 19 menyatakan “pemenuhan perumahan
beserta prasarana dan sarana pendukungnya diarahkan pada penyelenggaraan
pembangunan perumahan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Kemudian
Agenda UN-Habitat di Istambul 1996 Paragraf 39 menyatakan:“….. We commit
ourselves to the goal of improving and working conditions on an
equitable and sustainable basis, so that everyone will have adequate shelter
that is ….. affordable …”. [5]
Dari berbagai landasan
tersebut diatas, jelas bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati,
menikmati atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman,
serasi dan teratur. Mengingat bahwa rumah merupakan hak dan kebutuhan dasar
manusia, upaya pemenuhan kebutuhan rumah diupayakan dapat menjangkau segenap
lapisan masyarakat, termasuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)[6].
Negara juga bertanggung
jawab dalam menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah bagi
masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman serta
keswadayaan masyarakat di atas tanah wakaf. Penyediaan dan kemudahan perolehan
rumah tersebut merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang,
kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan
hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara[7].
Pembangunan perumahan dan
kawasan permukiman yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan
seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut berperan. Sejalan dengan peran
masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, Pemerintah
dan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab untuk menjadi fasilitator,
memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat, serta melakukan penelitian
dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek yang terkait, antara lain, tata
ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa
konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia,
kearifan lokal, serta peraturan perundang-undangan yang mendukung. Kebijakan
umum pembangunan perumahan diarahkan untuk:
a. memenuhi kebutuhan
perumahan yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat dan aman yang
didukung prasarana, sarana, dan utilitas umum secara berkelanjutan serta yang
mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia;
b. ketersediaan dana murah
jangka panjang yang berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan,
permukiman, serta lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan;
c. mewujudkan perumahan yang
serasi dan seimbang sesuai dengan tata ruang serta tata guna tanah yang berdaya
guna dan berhasil guna;
d. memberikan hak pakai dengan
tidak mengorbankan kedaulatan negara; dan
e. mendorong iklim investasi
asing.
Sejalan dengan arah
kebijakan umum tersebut, penyelenggaraan perumahan dan permukiman, baik di
daerah perkotaan yang berpenduduk padat maupun di daerah perdesaan yang
ketersediaan lahannya lebih luas perlu diwujudkan adanya ketertiban dan
kepastian hukum dalam pengelolaannya. Pemerintah dan pemerintah daerah perlu
memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah
melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dalam bentuk
pemberian kemudahan pembiayaan dan/atau pembangunan prasarana, sarana, dan
utilitas umum di lingkungan hunian.[8]
Undang-undang Nomor 1 Tahun
2011 Tentang perumahan dan kawasan permukiman ini juga mencakup pemeliharaan
dan perbaikan yang dimaksudkan untuk menjaga fungsi perumahan dan kawasan
permukiman agar dapat berfungsi secara baik dan berkelanjutan untuk kepentingan
peningkatan kualitas hidup orang perseorangan yang dilakukan terhadap rumah
serta prasarana, sarana, dan utilitas umum di perumahan, permukiman, lingkungan
hunian dan kawasan permukiman. Di samping itu, juga dilakukan pengaturan pencegahan
dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang
dilakukan untuk meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni
perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Hal ini dilaksanakan berdasarkan prinsip
kepastian bermukim yang menjamin hak setiap warga negara untuk menempati,
memiliki, dan/atau menikmati tempat tinggal, yang dilaksanakan sejalan dengan
kebijakan penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.
Penyediaan
Tanah untuk Perumahan dan Pemukiman tidak hanya dilaksanakan oleh penyedia
tanah umum akan tetapi dalam perkembangannya pembangunan perumahan pemukiman
ini dilaksanakan melalui penyediaan tanah wakaf , sebagai contoh yang dilakukan
oleh Tabung Wakaf Indonesia dengan programnya Wakaf Property[9]
Wakaf Properti Adalah
donasi wakaf berupa fixed asset (asset tetap) yang dimiliki secara sah (bebas
sengketa hukum) dan telah memperoleh persetujuan dari ahli waris (jika ada).
Jika dipandang berpotensi untuk diproduktifkan, maka aset akan dikembangkan
dengan modal pengelola (yang bersumber dari wakaf tunai) ataupun dikerjasamakan
dengan pihak ketiga dengan prinsip saling menguntungkan. Namun, jika dirasakan
potensinya lemah atau bahkan berat, maka jika dipandang perlu, pengelola
diperbolehkan untuk menjual dan menggabungkan dengan aset yang lain (ruislag) agar memberikan manfaat yang
lebih besar.
Bentuk-bentuk memproduktifkan aset dapat berupa penyewaan, leasing (bangun-sewa), kerjasama pengelolaan bisnis di atas aset dengan pihak ketiga dan membangun bisnis di atas aset. Surplus yang diperoleh kemudian dialirkan untuk program-program sosial sesuai peruntukannya.
Yang termasuk kepada donasi wakaf properti antara lain:
Bentuk-bentuk memproduktifkan aset dapat berupa penyewaan, leasing (bangun-sewa), kerjasama pengelolaan bisnis di atas aset dengan pihak ketiga dan membangun bisnis di atas aset. Surplus yang diperoleh kemudian dialirkan untuk program-program sosial sesuai peruntukannya.
Yang termasuk kepada donasi wakaf properti antara lain:
- Tanah
- Rumah
- Ruko
- Apartemen
- Bangunan Komersil (Perkantoran, Hotel, Mal, Pasar, Gudang, Pabrik, dll)
- Bangunan Sarana Publik (Sekolah, Rumah Sakit, Klinik, dll)
- Kendaraan (mobil, motor)
Berdasarkan latar belakang
di atas ,maka peneliti bermaksud mengkaji dan menganalis Wakaf Property dalam
sebuah penelitian yang Berjudul :
“PEMBANGUNAN PERUMAHAN UNTUK
KEPENTINGAN BISNIS DI ATAS TANAH WAKAF MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM DI
HUBUNGKAN DENGAN UNDANG – UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DAN UNDANG –
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PEMUKIMAN “
B. Identifikasi
Masalah.
Dalam penelitian ini, diidentifikasi dan
dirumuskan permasalahannya sebagai berikut :
1.
Bagaimana status dan kedudukan perumahan yang dibangun
diatas tanah wakaf untuk kepentingan bisnis menurut undang-undang nomor 41
tahun 2004 dan undang-undang no 1 tahun 2011
2.
Bagaimana pelaksanaan wakaf untuk pembangunan perumahan menurut
uu no 41 tahun 2004 undang-undang no 1 tahun 2011
[1] Penjelasan Umum Undang –
undang Nomor 41 tahun 2001 Tentang Wakaf
[3] Muhammad Musthafa Tsalabi, al-Ahkam al-Washaya wa al-Awqaf, (Mesir:
Dar al-Ta’lif, t.th.), h. 333.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia
[5] Dikutip
dari sambutan Menteri Negara Perumahan Rakyat pada Seminar Potensi Wakaf Untuk Perumahan Rakyat, tanggal 24 Juni 2009.
[6] Masyarakat berpenghasilan
rendah (MBR) dalam konteks ini adalah mereka yang berpenghasilan samapai dengan
Rp 2.500.000,-/bulan
[7] Penjelasan Undang – Undang
Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman
[8] Ibid, Penjelasan Umum
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman