A. Latar Belakang
Manusia
diberikan oleh Tuhan alat kelengkapan yang sempurna berupa akal dan budi,
sehingga dengan akal dan budi tersebut manusia mampu menciptakan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni. Setiap manusia yang lahir membawa hak asasi
yang harus dihormati setiap orang. Begitu juga terhadap hasil karya cipta dan
kreativitas yang dihasilkan, karena itu semua merupakan ekspresi dari kemampuan
budi dan nalar dari si pencipta.
Dalam
perkembangannya karya cipta yang bersumber dari hasil karya kreasi akal budi
manusia tersebut telah melahirkan suatu hak yang disebut dengan hak cipta. Hak
cipta tersebut melekat pada diri seorang pencipta atau pemegang hak cipta.
Seseorang yang telah menciptakan sesuatu hal secara alamiah dengan sendirinya
akan mempunyai hak untuk memiliki dan mengontrol apa yang telah diciptakannya.
Hal ini wajar karena kreativitas manusia dalam melahirkan suatu karya yang
berkualitas dan bermutu seperti karya sastra, serta apresiasi seni yang
berkualitas tinggi pantas mendapatkan kontribusi dari karya ciptanya.
Hukum
memberikan sarana perlindungan terhadap sebuah karya cipta yang merupakan
produk dari pikiran manusia. Dengan adanya Undang – Undang Hak Cipta, maka
terhadap karya cipta yang dihasilkan dapat diberikan perlindungan. Bentuk nyata
ciptaan - ciptaan yang dilindungi dapat berupa kesastraan, seni, maupun ilmu
pengetahuan. Dalam tataran normatif, perlindungan terhadap folklor dan hasil
kebudayaan rakyat ini diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang – Undang Nomor.19 Tahun 2002 Tentang
Hak Cipta. Jadi tujuan perlindungan hukum hak cipta atas folklor dan hasil
kebudayaan rakyat termasuk seni tari tradisional adalah untuk perlindungan
terhadap eksploitasi ekonomis oleh pihak asing dan juga untuk menghindari tindakan
pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.[1]
Dalam
rangka melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lain, pemerintah dapat
mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau
pemanfaatan komersial tanpa seizin negara sebagai pemegang hak cipta. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai
kebudayaan tersebut.
Melihat
kepada arti penting perlindungan hukum ini bagi bangsa Indonesia, jelas
memiliki nilai yang sangat strategis. Nilai strategis tersebut dapat dilihat
dari segi budaya, ekonomi dan sosial. Dari segi budaya, tampak sekali bahwa
dengan adanya perlindungan hukum terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat
ini, maka pelestarian terhadap budaya bangsa akan tercapai. Saat ini bangsa
Indonesia terkenal dengan keanekaragaman budaya. Kalau diidentifikasi berapa
jumlah hasil kebudayaan tradisional yang dimiliki bangsa Indonesia.[2] Jika
perlindungan terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat ini dapat
direalisasikan, maka diharapkan hal ini dapat memberikan perlindungan terhadap
hasil – hasil kebudayaan bangsa, sekaligus dapat memberikan nilai ekonominya,
misalnya akan memiliki nilai tambah dalam hal penerimaan devisa negara.
Baik
folklor maupun hasil kebudayaan rakyat telah menjadi masalah hukum yang baru
yang berkembang baik ditingkat nasional maupun ditingkat internasional,
disebabkan belum ada instrumen hukum yang mampu memberikan perlindungan hukum
secara optimal terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat. Menurut Tim Linsey
ketentuan Pasal 10 UU Hak Cipta masih mengalami kendala dalam implemaentasinya,
kedudukan pasal ini belum jelas penerapannya jika dikaitkan dengan berlakunya
pasal – pasal lain dalam Undang – Undang Hak Cipta. Instansi terkait dalam yang
dimaksudkan dalam Pasal 10 ayat (3) untuk memberikan izin kepada orang asing
yang akan menggunakan karya – karya tradisional juga belum ditunjuk.[3] Ketentuan
mengenai perlindungan bagi folklor penduduk asli dalam Undang –Undang Hak Cipta
juga memiliki kekurangan karena standar keaslian suatu ciptaan sulit
ditentukan, mengingat kebanyakan karya folklor cenderung terinspirasi dari
tradisi yang telah terlebih dahulu ada dan peniruan pola berturut – turut dari
waktu kewaktu. Karya – karya folklor penduduk asli umumnya cenderung merupakan
hasil upaya kolektif dengan tambahan individu yang ditingkatkan dan tersebar
dengan berjalannya waktu. World
Intelectual Property Organization (WIPO) telah mengamati bahwa banyak karya
folklor merupakan karya berulang – ulang.[4]
Seni
tari adalah satu cabang dari seni pertunjukan yang mendapatkan perlindungan
hukum oleh hak cipta. Hal ini dapat dilihat pengaturannya di dalam Pasal 12
ayat (1) huruf e Undang – Undang Hak Cipta Tahun 2002. Seni tari merupakan
salah satu cabang seni yang mempunyai latar belakang sejarah dan akar budaya
yang sangat kuat dalam perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia. Seni tari
merupakan bagian dari folklor dan kebudayaan rakyat. Menurut pendapat Gertrude,
folklor merupakan pengetahuan tentang kepercayaan, cerita, ketahayulan, yang
secara essensial merupakan hasil komunal yang diturunkan dari generasi yang
lebih tua kepada generasi yang lebih muda.[5]
Perlindungan
hukum terhadap seni tari tradisional di atur
dalam Pasal 10 Undang – Undang Hak Cipta Tahun 2002. Namun dalam
kenyataannya ketentuan Pasal 10 Undang – Undang Hak Cipta Tahun 2002 ini masih
mengalami kendala dalam implementasinya. Kedudukan pasal ini belum jelas
penerapannya jika dikaitkan dengan berlakunya pasal – pasal lain dalam undang –
undang hak cipta. Instansi terkait yang dimaksudkan dalam Pasal 10 ayat (3)
untuk memberikan izin kepada orang asing yang akan menggunakan karya – karya
tradisional juga belum ditunjuk. Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (4) dinyatakan
bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh negara
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Namun dalam kenyataannya, Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal ini
belum ada.
Walaupun
perlindungan hukum terhadap hak cipta sudah dibuat, namun instrumen hukum
nasional tersebut belum mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal
terhadap seni tari tradisional. Kalau hukum nasional saja tidak dapat
memberikan perlindungan hukum, bagaimana jika terjadi penyalahgunaan kekayaan
intelektual bangsa ini diluar negeri. Dan tidak mungkin pemerintah dalam waktu
dekat ini akan menangani penyalahgunaan kekayaan intelektual bangsa Indonesia
di luar negeri, mengingat krisis politik, sosial dan ekonomi yang masih
berkepanjangan sampai sekarang.[6]
Berdasarkan
Pasal 10 UU Hak Cipta 2002 tentang hak cipta, karya seni tradisional dilindungi
dan dipegang oleh negara. Namun sayangnya belum adanya peraturan pemerntah yang
khusus mengatur tentang seni tradisional tersebut menyebabkan tidak jelasnya
perlindungan hukum yang akan diberikan oleh negara dan bagaimana mekanisme
negara sebagai pemegang hak cipta atas karya seni tradisional. Hal ini
memberikan kesan bahwa negara belum sepenuhnya memberikan perlindungan hukum
terhadap karya seni tradisional. Lebih khususnya dalam hal ini seni tari
tradisional ini tidak didukung dengan upaya-upaya yang lebih konkret dari
pemerintah, sedangkan dilain pihak telah banyak pihak asing yang mendaftarkan
hak cipta kekayaan intelektual tradisional yang dianggap produk asli Indonesia
di negara mereka.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum
terhadap seni tari tradisional?
PEMBAHASAN
A.
Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap
seni tari tradisional.
Bila diuraikan menurut istilahnya, arti kata
perlindungan menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tempat untuk
berlindung atau perbuatan melindungi.[7] Sedangkan
maksud dari kata perlindungan disini adalah perlindungan hukum. Arti kata hukum
menurut Kamus Hukum adalah peraturan – peraturan yang bersifat memaksa yang
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh
badan – badan resmi yang berwajib dan pelanggaran terhadap peraturan tersebut
berakibat diambilnya tindakan hukum.[8]
Melihat kepada arti penting perlindungan hukum ini
bagi bangsa Indonesia, jelas memiliki nilai yang sangat strategis. Nilai
strategis tersebut dapat dilihat dari segi budaya, ekonomi dan sosial. Dari
segi budaya, tampak sekali bahwa dengan adanya perlindungan hukum terhadap
folklor dan hasil kebudayaan rakyat ini, maka pelestarian terhadap budaya
bangsa akan tercapai.
Saat ini bangsa Indonesia
terkenal dengan keanekaragaman budaya. Kalau diidentifikasi berapa jumlah hasil
kebudayaan tradisional yang dimiliki bangsa Indonesia. Jika perlindungan
terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat ini dapat direalisasikan, maka
diharapkan hal ini dapat memberikan nilai ekonominya, misalnya akan memiliki
nilai tambah dalam hal penerimaan devisa negara.
Tari – tarian merupakan salah
satu folklor yang berbentuk ekspresi. Syarat untuk menentukan bahwa sebuah
tarian dianggap sebagai folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang mempengaruhi
nilai tradisional antara lain :
a.
Tarian tersebut harus diikuti masyarakat
b.
Harus diakui masyarakat
c.
Berkembang di masyarakat, contoh tari Badui Tempel yang
sekarang berkembang di daerah Temple
d.
Menjadi kesepakatan masyarakat
e.
Diajarkan secara turun-temurun
Mengamati
suatu bentuk tari rakyat dalam konteks pemanggungan yang sebenarnya adalah yang paling ideal dan menjadi suatu keharusan apabila hendak
direkam dengan alat potret.
Hal – hal yang harus kita amati antara lain
adalah :
1.
Lingkungan fisik suatu bentuk folklor yang dipertunjukan,
misalnya di alam terbuka atau panggung, mengunakan dekor atau tidak, dsb.
2.
Lingkungan sosial suatu bentuk folklor
3.
Interaksi para peserta suatu pertunjukan bentuk folklor
4.
Pertunjukan bentuk folklor itu sendiri
5.
Masa pertunjukan
Ketentuan
Undang – Undang Hak Cipta pada Pasal 10 menyatakan bahwa negara memegang hak
cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional
lainnya. Negara memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat
yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad,
lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi. Dan hasil seni lainnya.
Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut, orang yang bukan warga negara
Indonesia harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari instansi yang terkait
dalam masalah tersebut. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang
oleh negara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal ini diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Berdasarkan
Pasal tersebut seni tari tradisional dilindungi dan hak ciptanya dimiliki oleh
negara. Hak cipta atas ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh negara
seperti folklor dan hasil kebudayaan rakyat, termasuk tari tradisional yang
menjadi milik bersama berlaku tanpa batas. Bentuk hak eksklusif dari negara
atas kerya cipta terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat adalah hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak atau memberi izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan menurut undang – undang yang berlaku. Dengan kata lain,
apabila ada pihak asing yang memanfaatkan ciptaan tersebut untuk kepentingan
komersil, maka negara dapat menuntut ganti rugi atas pemanfaatan tersebut.
Bagi
orang yang bukan warga negara Indonesia jika akan mengumumkan, memperbanyak,
atau mengambil manfaat untuk kepentingan komersil atau ekonomi atas folklor dan
hasil kebudayaan rakyat termasuk seni tari tradisional harus izin kepada
negara. Mekanisme jika ada pihak asing yang akan mengumumkan atau memperbanyak
ciptaan tradisional milik negara Indonesia, maka pihak asing yang bersangkutan
tersebut harus mengajukan permohonan
kepada Dirjen HKI. Sebagai konsekuensi nya, warga negara asing yang
telah mendapatkan izin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan atau
mengambil manfaat untuk kepentingan komersil atau kepentingan ekonomi harus
memberikan royalti kepada negara Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh
Dirjen HKI. Besarnya royalti yang harus dibayar oleh pihak asing tersebut akan
ditentukan oleh kedua belah pihak.
Menurut
Pasal 1 angka 5 Undang – Undang Hak Cipta Tahun 2002, yang dimaksud dengan
pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau
penyebaran suatu ciptaan, dengan menggunakan alat apapun, termasuk media
internet, atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat
dibaca, didengar atau dilihat orang lain. Sedangkan pengertian perbanyakan
dalam hal ini adalah penambahan jumlah suatu ciptaan, baik secara keseluruhan
maupun bagian yang sangat substansial dengan mengunakan bahan – bahan yang sama
ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.
Pemanfaatan
folklor oleh pihak asing berdasarkan UUHC harus mendapatkan izin dari
pemerintah melalui instansi yang berwenang yang sementara ini dilakukan oleh
Dirjen HKI. Bentuk – bentuk pemanfaatan yang memerlukan izin antara lain :
a.
Setiap pengumuman, perbanyakan, atau distribusi
dibidang folklor ( tari tradisional ) untuk tujuan komersil.
b.
Setiap pengutipan atau pertunjukan yang berkaitan dengan
folklor folklor
(
tari tradisional ) untuk tujuan komersil.
c.
Setiap penyiaran yang berkaitan dengan folklor baik
secara langsung atau melalui proses alih media
d.
Bentuk komunikasi lainnya yang berkaitan dengan folklor
untuk tujuan mencari keuntungan
Pengecualian
terhadap folklor tersebut tidak berlaku terhadap :
a.
Pemanfaatan untuk tujuan pendidikan dan penelitian di
bidang ilmu pengetahuan
b.
Pemanfaatan dalam bidang ilustrasi dari suatu karya
asli seorang atau beberapa orang pengarang dengan syarat bahwa pemanfaatan
tersebut masih dalam batas praktek yang wajar
c.
Peminjaman dari suatu bentuk folklor untuk menciptakan
karya asli dari seseorang atau beberapa pengarang.
Pemanfaatan
folklor juga tidak memerlukan izin atas ekspresi folklor yang bersifat insidentil, seperti :
a.
Pemanfaatan folklor ( tari tradisional ) yang dapat
dilihat dan didengar dari pada suatu keadaan yang sedang terjadi dengan tujuan
untuk peliputan atau pelaporan kejadian dengan menggunakan alat fotografi,
penyiaran atau perekam suara dengan syarat bahwa peliputan dan perekaman
tersebut hanya semata – mata untuk tujuan informasi
b.
Pemanfaatan dari obyek – obyek yang merupakan ekspresi
dari folklor yang sudah secara permanen terletak di suatu tempat atau wilayah
yang dapat dilihat oleh umum, apabila pemanfaatan tersebut termasuk
pencitraannya di dalam bentuk foto, film, atau karya siaran televisi,
sejauhmana pemanfaatan tersebut bukan untuk tujuan komersil.
c.
Pemanfaatan folklor ( tari tradisional ) untuk
memperkenalkan budaya negara, pertukaran informasi, studi banding dan
pertukaran kebudayaan.
Upaya
– upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam melindungi kebudayaan
nasional, khususnya seni tari tradisional yang ada, sampai saat ini baru dalam
tahap inventarisasi. Inventarisasi ini diperoleh berdasarkan data – data dari Pemerintah Daerah setempat atau
institusi yang berkompeten dalam hal ini. Sedangkan upaya pemerintah dalam
rangka perlindungan hukum terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat melalui
perangkat peraturan daerah dalam rangka perlindungan hukum terhadap folklor dan
hasil kebudayaan rakyat selama ini baru berupa gagasan yang tidak
ditindaklanjuti. Dan Upaya yang
dilakukan oleh pemerintah dalam melindungi hak cipta tentang seni tari
tradisional selama ini hanya sebatas pelestarian, pembinaan, dan pengembangan.
Hal ini berbeda dengan upaya pemerintah terhadap bidang sejarah dan
keperbukalaan, yang telah meliputi
pelestarian, pemeliharaan, dan perlindungan hukum terhadap benda cagar budaya
dan kawasan cagar budaya serta pengembangan permuseuman. Bahkan pemerintah
telah membentuk tim yang terdiri dari seksi – seksi. Perlindungan hukum ini
dituangkan dalam Undang – Undang No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya.
Penulis : Ashibly
[1]
Ansori Sinugaran, Pelestarian
Benda Cagar Budaya Ditinjau Dari Perspektif Undang – undang Hak Cipta Sebagai
Economic Cominity Right, Disampaikan dalam Rapat Pembahasan Revisi Undang –
undang Bendang Cagar Budaya,
Diselenggarakan oleh kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Yogyakarta, 31 Juli
2002
[2]
Budi Agus Riswandi, M.
Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual Dan
Budaya Hukum, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm 39.
[3]
Tim Lindsey, et.al, HAKI Suatu Pengantar, PT.Alummni, Bandung, 2003, hlm 267
[4]
Cita C. Priapantja, UU Hak Cipta Belum Akomodasi Folklor,
Bisnis Indonesia,
Http;www.ccp.associates.com/founder.html
[5] Soepanto, Folklor Sebagai Sumber Informasi
Kebudayaan Daerah, Disampaikan dalam Seminar Tentang Kebudayaan Jawa,
diselenggarakan oleh Depdikbud, Yogyakarta, 23-26 Januari 1986, hlm 6
[6]
Budi Agus Riswandi, M.
Syamsudin, Op.cit, hlm 42
[7]
Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud,
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
hlm 674
[8]
Andi Hamzah, Istilah Hukum, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1986, hlm 410