Kamis, 22 Desember 2011

Hukum Progresif : Membangun Hukum Ideal di Masa Depan

A. Pendahuluan
Hukum adalah sebuah tatanan (Hukum ada dalam sebuah tatanan yang paling tidak dapat dibagi kedalam tiga yaitu : tatanan transedental, tatanan sosial dan tatanan politik.) yang utuh (holistik) selalu bergerak, baik secara evolutif maupun revolusioner. Sifat pergerakan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai sesuatu yang eksis dan prinsipil. Keping pemikiran demikian itu akan dijumpai dalam banyak gagasan tentang hukum yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo.
Esensi utama pemikirannya, berangkat dari konsep bahwa hukum bukan sebagai sebuah produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah “ilmu”. Proses pemaknaan itu digambarkannya sebagai sebuah proses pendewasaan sekaligus pematangan, sebagaimana sejarah melalui periodesasi ilmu memperlihatkan runtuh dan bagunannya sebuah teori, yang dalam terminologi Kuhn disebut sebagai “lompatan paradigmatika”.
Hukum progresif merupakan salah satu gagasan yang paling menarik dalam literatur hukum Indonesia pada saat ini. Hukum progresif menyingkap tabir dan menggeledah berbagai kegagalan hukum modern yang didasari oleh Filsafat positivistik, legalistik, dan linear tersebut untuk menjawab persoalan hukum sebagai masalah manusia dan kemanusiaan,mengandung semangat pembebasan yaitu pembebasan dari tradisi berhukum konvensional yang legalistik dan linear tersebut.
Sejak tumbang nya orde baru pada tahun 1998, bangsa Indonesia belum berhasil mengangkat hukum sampai kepada taraf mendekati keadaan ideal, tetapi malah menimbulkan kekecewaan, khususnya berhubungan dengan pemberantasan korupsi..
Hukum progresif hadir ditengah-tengah ambruknya dunia hukum dinegeri ini dan memberitahukan kepada kita tentang kesalahan-kesalahan mendasar pada cara berhukum kita selama ini.Menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata hitam dan putih dari peraturan ( according to the letter ),melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam ( to the very meaning ) dari undang-undang atau hukum.Hukum tidak hanya dijalankan dengan kecerdesan intelektual,melainkan dengan kecerdasan spiritual.Menjalankan hukum haruslah dengan determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa untuk berani mencari jalan lain guna mensejahterakan rakyat.Dari uraian singkat di atas maka pemakalah mengambil judul makalah dengan judul Hukum Progresif : membangun hukum ideal ( hukum progresif) di masa depan.

B.Permasalahan
  1. Apa yang menjadi alasan lahirnya hukum progresif dan Penolakan Terhadap Mazhab Positivisme?
  2. Bagaimana membangun hukum ideal ( hukum progresif ) di masa depan?
PEMBAHASAN

1.Lahirnya Hukum Progresif
            Gagasan hukum progresif muncul karena keprihatinan terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat, termasuk pengamat internasional,sudah mengutarakannya dalam berbagai ungkapan yang negatif, seperti sistem hukum di Indonesia  termasuk yang terburuk didunia.Tidak hanya para pengamat , tetapi pada umumnya rakyat juga berpendapat demikian, kendatipun mereka tidak mengutarakannya sebagai tuturan yang jelas,melainkan melalui pengalaman konkret mereka dengan hukum sehari-hari, seperti kelemahan mereka saat berhadapan dengan hukum dan keunggulan orang kuat yang cenderung lolos dari hukum.Dengan demikian,maka rakyat mengalami dan menjalaninya sehari-hari,sedangkan pengamat menuangkannya secara kontemplatif dan analitis.
Hukum progresif lahir karena selama ini ajaran ilmu hukum positif(analytical jurisprudence) yang di praktikan pada realitas empirik di indonesia tidak memuaskan.Gagasan hukum progresif muncul karena prihatin terhadap kualitas penegakan hukum di indonesia terutama sejak terjadinya reformasi pertengahan tahun 1997.Jika fungsi hukum dimaksudkan untuk turut serta memecahkan persoalan kemasyarakatan secara ideal, maka yang dialami di indonesia sekarang ini adalah sangat bertolak belakang dengan cita-cita ideal tersebut[1]
            Asumsi dasar yang ingin diajukan adalah mengenai pandangan tentang hubungan antara hukum dan manusia.Ingin ditegaskan prinsip,” hukum adalah untuk manusia”,bukan sebaliknya.Berkaitan dengan hal tersebut ,maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri,melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum,hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki serta bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukan kedalam skema hukum.
            Hukum bukan merupakan sesuatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusia lah yang merupakan penentu.Memang menghadapkan manusia kepada hukum mendorong kita melakukan pilihan-pilihan yang rumit.Tetapi pada hakekatnya teori-teori hukum yang ada berakar pada kedua faktor tersebut.Semakin landasan suatu teori bergeser kefaktor hukum, semakin suatu teori menganggap hukum sesuatu yang mutlak-otonom dan final. Semakin bergeser kemanusia,semakin teori tersebut ingin memberikan ruang kepada faktor manusia.[2]
            Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final,melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran tersebut,hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi.Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik.Kualitas kesempurnaannya dapat diverifikasikan kedalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepeduliaan kepada rakyat dan lain-lain.Inilah hakekat “hukum yang selalu dalam proses menjadi” (law as a proces,law in the making) Hukum tidak ada untuk hukum itu sendiri,tetapi untuk manusia.[3]
 
Penolakan Mazhab Positivisme Hukum

            Penolakan terhadap mazhab positivisme hukum pertama kali dilakukan oleh Friederich Carl Von Savigny ahli hukum berkebangsaan Jerman seorang penganut Aliran sejarah hukum dan dilanjutkan oleh murid nya Pucta.Sedangkan di Inggris Aliran sejarah hukum dikembangkan oleh Henry summer Mine.Kritik yang dilancarkan oleh Aliran sejarah hukum terhadap mazhab positivisme hukum adalah bahwa, hukum bukan hanya dikeluarkan oleh penguasa publik dalam bentuk undang-undang,namun hukum adalah jiwa bangsa ( Volkgeist ), yang isi nya berupa aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat.”Hukum tidak hanya berbentuk undang-undang,melainkan juga adat istiadat dan doktrin hukum”.Sedangkan kekuatan membentuk hukum terletak pada rakyat yang notabene terdiri dari kompleksitas unsur individu dan kelompok – kelompok masyarakat.
            Sebagai mana ilmu pada umumnya yang pada dasarnya merupakan proses dialektik antara thesa dan antithesa yang akan memunculkan suatu synthesa yang juga akan berkedudukan sebagai thesa lagi, dan seterusnya, maka pertentangan pandangan antara mazhab positivisme hukum dengan mazhab sejarah hukum dicoba untuk di akomodir oleh aliran mazhab Sosiological Jurisprudence,dengan tokoh utamanya Eugen Ehrlich dan Roscoe Found. Mazhab ini menyatakan bahwa, hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.Rumusan demikian di introdusir dalam rangka menemukan hubungan antara hukum dan masyarakat,antara hukum tertulis dengan hukum tidak tertulis yang bertujuan demi menghadirkan kepastian hukum dan living law sebagai penghargaan pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum.[4]
            Perkembangan lebih lanjut di amerika serikat,Roscoe Pound mengemukakan konsep “hukum sebagai alat merekayasa masyarakat”(law as a tool of social enginering)[5].Mochtar Kusuma Atmaja menyatakan bahwa “Pendayagunaan hukum sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat menuju skenario kebijakan pemerintah (eksekutif) amatlah terasa diperlukan oleh negara-negara berkembang,jauh melebihi kebutuhan negara-negara industri maju yang telah mapan,karena negara-negara maju memiliki mekanisme hukum yang telah “jalan” untuk mengakomodasi perubahan nilai-nilai hukum yang ada dimasyarakat,sedangkan negara-negara berkembang tidaklah demikian.”[6]
            Selain aliran Sociological Jurisprudence, penolakan asumsi-asumsi yang dikembangkan oleh positivisme hukum juga dilontarkan oleh mazhab realisme hukum( Legal Realism ) dengan menyatakan bahwa,hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dipraktikan  dalam kenyataan.Hukum bukanlah apa yang tertulis dengan indah dalam undang-undang,melainkan apa yang dipraktikan oleh para pejabat penyelenggara hukum,polisi,jaksa,hakim atau siapa saja yang melaksanakan fungsi pelaksanaan hukum.Oliver Wendel Holmes  menyatakan bahwa,yang menentukan nasib pelaku kejahatan bukanlah rumusan sanksi dalam undang-undang ,melainkan pertanyaan dan keputusan hakim.Disini dapat dilihat bahwa mazhab realisme hukum merupakan lanjutan dari mazhab Sociological Jurisprudence yang mengatakan sumber hukum satu-satunya bukan pemegang kekuasaan negara,namun para pelaksana hukum juga dinyatakan bahwa,terutama para hakim.
            Setelah ajaran hukum bebas,kemudian muncul Critical Legal Studies / CLS yang juga mengkritisi dan menentang habis-habisan pandangan dasar positivisme hukum yang merupakan pemikiran hukum liberal ( Liberal Legal Thought) tentang netralitas,kemurnian dan otonomi hukum, dengan mengembankan teori-teori kiri sebagai bahan inspirasi dan mengembankan metode berpikir ekletik.CLS mengecam doktrin netralitas, kemurnian dan otonomi hukum dengan menyatakan bahwa istilah-istilah tersebut tak lebih sebagai mitos belaka.CLS menawarkan solusi agar pengkajian hukum dapat dilakukan tanpa harus terjebak oleh pikiran positivisme hukum,yaitu dengan menghilangkan pemisahan antara doktrin hukum dengan teori sosial empiris.CLS percaya bahwa doktrin-doktrin hukum yang terus mengharapkan pemisahan antara pemikiran hukum dengan ideologi dan falsafah politik hanya akan berakhir menjadi himpunan apologi yang karut marut.[7]
            Hal ini memberikan kita gambaran bahwa mazhab hukum atau aliran pemikiran hukum / Legal Thought sangat berpengaruh terhadap pemaknaan apa hukum itu,dari dan dimana hukum itu tumbuh/basis sosial hukum,bagaimana hukum tersebut ditemukan,diciptakan, atau dirumuskan,bagaimana hubungan hukum dengan moral,etika,serta sistem sosial lainnya,serta bagaimana agar hukum dapat didayagunakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
            Saat ini ada dua arus besar pemikiran tentang hukum.Kelompok pertama berada pada paham positivistik yaitu yang selalu percaya dan menyakini bahwa hukum yang adalah apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.Sementara kelompok kedua adalah mereka yang ingin keluar dari perspektif tunggal tentang hukum yang di identikkan dengan apa yang tertulis.Kelompok kedua percaya bahwa ada faktor diluar hukum yang sangat berpengaruh terhadap penegakan hukum itu sendiri jadi  tidak hanya hukum tertulis saja.Kelompok ini dikenal dengan aliran hukum sosiologis,kritis atau progresif.
            Perbedaan antara aliran positifisme dengan sosilogisme adalah :
  1. Positivisme memandang hukum tidak lain kaidah-kaidah yang tercantum didalam perundang-undangan,sedangkan sosiologisme memandang hukum adalah kenyataan sosial.Ia mempelajari, bagaimana dan mengapanya dari tingkah laku sosial yang berhubungan dengan hukum dan pranata-pranata hukum sebagaimana kita lihat.Sikap dasar kaum sosiologis hukum itu adalah kecurigaan.Apakah hukum itu seperti yang ditulis? Seperti yang dikatakan?Dengan kata lain, kaum positiifisme melihat “law in book “,sedangkan kaum sosiologis memandang “ law in action”.
  2. Positivisme memandang hukum sebagai sesuatu yang otonom atau mandiri,sedangkan sosiologisme memandang hukum bukan sesuatu yang otonom, melainkan sangat dipengaruhi oleh fakto-faktor non hukum yang ada dalam masyarakatnya seperti faktor ekonomi,politik,budaya,dan sosial lainnya.
  3. Positivisme hanya mempersoalkan sebagai “ das sollen”(apa yang seharusnya,ought) sedangkan sosiologime hukum memandang hukum sebagai “ das sein”( dalam kenyataan,is).Dunia “is”(realms of “is”) adalah : refers to a complez of actual determinants of actual human conduct.
  4. Positivisme cenderung berpandangan yuridis dogmatik, sedangkan sosiologisme hukum berpandangan empiris.Mereka ingin melakukan pemahaman secara sosiologis terhadap fenomena hukum, jadi, interpretative understanding of social conduct.( suatu usaha untuk memahami objeknya dari tingkah laku sosial), meliputi : cause,its course dan its effect.Fenomena hukum dari sudut pandangan aliran sosiologis ini adalah gejala-gejala yang mengandung streotip baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
  5. Metode yang digunakan kaum positivistis adalah preskriptif, yaitu menerima hukum  positif dan penerapannya.Sedangkan metode yang digunakan oleh penganut sosilogisme hukum adalah deskriptif. Dalam metode deskriptifnya,kaum sosiologis mengkaji hukum dengan menggunakan teknik-teknik ; survey lapangan ( fiel surves),observasi perbandingan ( comparative observation),analisis statistic (statistical analysis),eksprimen( exprimentation)[8]

Perspektif atau cara pandang yang berbeda yang digunakan oleh kedua kelompok aliran ini telah menyebabkan perseteruan yang tiada henti,setidaknya sampai saat ini. Terjadinya dualitas yang bersebab dari gerak ofensif kekuasaan pusat dengan hukum nasionalnya disatu pihak dan pada posisi defensif yang “tahan uji” dari locale rechtsgemeenscahppen dengan hukum informalnya dilain pihak telah menyebabkan terjadinya fenomena yang di istilahkan dengan sebutan Legal  Gap.Ada silang selisih apa yang dihukumkan secara resmi oleh kekuasaan nasional dan apa yang dijalani dalam  kehidupan sehari-hari sebagai hukum oleh warga masyarakat setempat.[9]
Sehubungan dengan kesenjangan tersebut,Dror membedakan antara Tension
( ketegangan) dan Lag ( ketertinggalan).Terdapat nya tension ( ketegangan antara hukum dan peristiwa konkrit yang diaturnya adalah masih dalam batas wajar, namun jika ketegangan telah mencapai taraf ketertinggalan ( lag )  barulah dibutuhkan segera perubahan  hukum untuk menyesuaikan diri.[10]
            Beberapa langkah berikut mungkin perlu dilakukan oleh pemerintah untuk menjebatani adanya legal gap tersebut,langkah kebijakan yang pertama ialah langkah yang  dikerjakan untuk banyak-banyak menndayagunakan wibawa sanksi guna menggiring  secara paksa para warga dari kesetiaannya sebagai partisipan popular order kek kesetiaannya yang baru sebagai partisipan national legal order. Yang kedua ialah langkah kebijakan yang dilakukan dengan cara yang lebih edukatif,lewat penyuluhan dan pembangkitan kesadaran baru,untuk maksud itu,yang ketiga ialah langkah kebijakan legal reform, suatu langkah yang dikerjakan dengan cara melakukan revisi atau pembaharuan atas bagaian-bagian tertentu dalam kandungan hukum undang-undang yang telah ada,demikian rupa agar hukum negara itu dapat berfungsi secara lebih adaptif pada situasi-situasi riil yang terdapat dalam kehidupan warga masyarakat.[11]
           
2. Etika/Moral dalam Pembangunan Hukum Progresif di Masa Depan
            Dari penjelasan diatas menunjukan betapa buruknya kondisi penegakan hukum di Indonesia,banyaknya kekecewaan dari sebagian besar masyarakat,sehingga menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap kewibawaan hukum dan sekaligus kepada para penegak hukum,apa yang diharapkan tidak terwujud,hal ini sama halnya peristiwa di Amerika Serikat sebagaimana dijelaskan oleh Philppe Nonet dan Phili Selznick dalam bukunya yang berjudul “ Hukum Responsif  Pilihan di Masa Transisi” dimana dijelaskan bahwa suasana berkurangnya kepercayaan pada hukum tampak jelas dalam karya-karya tulis belakangan ini.Kritik atas hukum selalu ditujukan kepada tidak memadainya hukum sebagai alat perubahan dan sebagai allat mencapai keadilan substanstive.
            Saat ini kegelisahan tersebut masih ada,tanda bahaya yang konservatif tentang terkikisnya otoritas,penyalahgunaan aktivitas hukum, dan macetnya hukum dan ketertiban ( law and order ) digunakan dalam gerakan baru yang radikal yang berfokus kemandulan dan  terkorupsinya tertib hukum.Keadilan adalah sebuah impian,terutama bagi negara yang tingkat korupsinya tertinggi didunia atau sebuah negeri yang birokrasinya kedap dengan bau KKN.Keadilan negeri ini mirip seperti orang buta, yang sering terantuk pada bebalnya sistem kekuasaan dan dan bobroknya mental aparat, artinya sistem dan perangkat pendukungnya telah lapuk untuk mau peduli pada nurani apalagi membela kepentingan rakyat banyak.Benarlah jika Nietszche sempat berkata bahwa negara adalah monster yang paling dingin dari yang terdingin ,karena beroperasi dengan mencuri harta kekayaan penduduk dengan bermacam alasan.Secara sinis Nietszche mengibaratkan mereka yang berebut kekuasaan persis seperti kera yang saling injak-menginjak untuk mendapatkan kotoran busuk, yaitu kekuasaan yang penuh dengan kebohongan[12].
            Hukum progresif lebih memilih konsep perubahan dan pengubah Karl Renner yang mengikuti modus” gradually working out dari pada changing tge role”. Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik,memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat.Progresivisme tidak ingin menjadi hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan. Oleh karena itu asumsi yang mendasari progresivisme hukum adalah bahwa :
  1. hukum ada adalah untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri :
  2. hukum itu selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat final;
  3. hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan, dan bukan teknologi yang tidak berhati nurani.[13]
Mengapa perlu etika atau moral dalam membangun hukum, khususnya hukum progresif. Seperti dijelaskan diatas, etika atau moral akan berbicara benar dan salah atau baik dan buruk yang melekat langsung pada diri manusia.Jika seseoarang tidak memiliki etika atau moral,maka manusia itu sama saja dengan makhluk lain yaitu binatang yang dicipta demikian. Rasionalnya bahwa hukum progresif adalah institusi yang bermoral kemanusiaan, ini jelas penekanan yang tidak dapat ditawar-tawar.Hal ini sangat erat dengan pembangunan mental,pembangunan fisik bagus, tetapi mental buruk tidak ada artinya. Oleh karena hukum progresif sasarannya adalah manusia yang isinya dan sifatnya bermacam-macam antara lain :
  1. pembaharuan, penyegaran atau perombakan cara berpikir manusia ;
  2. peningkatan,pembinaan ataupun pengarahan dalam cara kerja manusia ;
  3. penataran,pemantapan ataupun adanya penyajian dan penemuan prakarsa-prakarsa baru dan sebagainya.[14]
Antara masyarakat dengan etika terdapat hubungan yang saling mengisi,tetapi tidak dalam arti adanya hubungan yang bersifat determinasi.R.Descartes ( 1596-1650) pernah mengajarkan,bahwa yang menentukan corak dari kehidupan itu termasuk norma-norma dan aturan-aturan/tata hidup didalamnya adalah masyarakat.Individu tidak berarti apa-apa tanpa masyarakat. Masyarakatlah yang pokok yang memberiukan penilaian terhadap sesuatu.Jadi bilamana masyarakat  itu menilai baik, maka baiklah ia, sebaliknya bilamana masyarakat menilai buruk,jahat, maka buruk dan jahatlah piula ia.Sebenarnya tidak demikian karena tata pergaulan hidup dalam masyarakat dapat merupakan sumber untuk menyusun norma-norma etika, tetapi etika sendiri sebagai ilmu berfungsi pada dua bidang yaitu :
  1. memberi pola: ajaran-ajaran nya disusun dalam etika teori;
  2. meyeleksi pola : menyaring pola-pola kelakuan dari anggota masyarakat,mana yang susila dan mana yang dianggap tidak susila.[15]
Oleh karena itu, boleh dikatakan bahwa etika membangun martabat manusia, karena yang menentukan nilai baik dan buruk,susila atau tidak susila sesuatu perbuatan adalah etika yang berkedudukan sebagai suatu ilmu.
Membangun masyarakat dengan sendirinya berarti menata dan menyusun supaya lebih baik,membentuk (mental) supaya lebih sadar, lebih maju dan mengisi jiwa dari masyarakat  yang serba tergantung menjadi masyarakat yang telah sanggup berdiri sendiri. Pondasi dari kesadaran mental menurut ajaran filsafat atau ilmu jiwa adalah perbaikan akhlak,pembinaan moral,tegasnya pembinaan karakter dari masyarakat itu supaya menjadi masyarakat susila yang bermoral tinggi adalah modal utama untuk mendirikan bangunan berikutnya,sehingga dapat dibangun masyarakat yang damai sejahtera,masyarakat adil dan makmur[16].
Dalam hal ini hukum progresif akan tetap hidup karena hukum itu selalu berada pada status “ law in the making “ dan tidak pernah bersifat final, sebagai akibat dari adanya pelekatan etika dari manusia,sepanjang manusia itu ada,maka hukum progresif akan terus hidup dalam menata kehidupan masyarakat.Untuk itu perlu adanya pola atau model pengkuatan etika atau moral bangsa dimasa depan, mengingat begitu pesat perkembangan dunia saat ini.Bangsa ini harus menjadi jati diri sendiri yang dapat diterima bangsa lain atau yang dianggap bangsa yang beretika atau bermoral.




[1] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Hukum yang Membebaskan, Dalam “ Jurnal Hukum Progresif”,Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP,Vol 1/ No.1/Aprol 2005,Hlm 3-5
[2] Satjipto Rahardjo, Hukum progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Jogjakarta,2009, Hlm 5
[3] Ibid,Hlm 5-6
[4] Lili Rasyidi dan I.B. Wyasa, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung,Remaja Rosdakarya, Hlm 83
[5] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial Politik dan Perkembangan Hukum di Indonesia”, Rajawali Press, 1994, Hlm 231
[6] Mochtar Kusuma Atmaja,dalam Soetandyo Wignjosoebroto, Ibid
[7] Ifdal Kasim dalam Roberto M.Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis,Jakarta,ELSAM,1999,Hlm xi
[8] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,1996,Candra Pratama, Jakarta, Hlm 291-292
[9] Soetandyo Wignjosoebroto,Hukum dalam Masyarakat Perkembangan dan Masalah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga,Surabaya,2007, Hlm 127
[10] Achmad Ali, op,cit, Hlm 204
[11] Soetandyo Wignjosoebroto, op.cit,Hlm 124
[12] Artidjo alkostar, Negara tanpa Hukum Catatan Pengacara Jalanan, Pustaka Pelajar,Yogyakarta,2000, Hlm vii-viii
[13] Satjipto  Rahardjo, Membedah hukum progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008, Hlm 228-229
[14] Ibid,Hlm 229
[15] Ibid,Hlm 231
[16] Pembangunan atau perubahan etika atau moral tidak semudah memindahkan telapak tangan,tetapi akan penuh dengan tantangan,karena ini akan berkaitan dengan pandangan dan cara menilai. Hal ini akan terkait juga dengan membuat keputusan. Membuat keputusan apapun untuk melakukan sesuatu harus melewati sebuah proses rumit yang terdiri atas berbagai tahapan, yaitu :
1.       pemahaman dan penilaian
2.       motivasi
3.       berbagai bentuk hasrat dan kesenangan
4.       berbagai faktor yang mempengaruhi terhadap keputusan moral
Dalam membuat keputusan haruslah memahami pokok permasalahannya melalui melakukan penilaian apakah akibat ,manfaat, atau mudaratnya.Evaluasi ini membantu kita memutuskan untuk berbuat atau tidak. Namun demikian semua itu ada latar belakang motivasi yang mendorong untuk melakukan perbuatan tersebut. Demikian juga dengan motivasi yang mendorong untuk melakukan perbuatan tersebut.Demikian juga dengan motivasi ( Shomali, Muhammad A, Relativisme Etika, Analisis Prinsip-prinsip Moralitas,terj. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta,2001

Jumat, 02 Desember 2011

Perlindungan Hukum terhadap Seni Tari Tradisional ( folklor )



A. Latar Belakang

      Manusia diberikan oleh Tuhan alat kelengkapan yang sempurna berupa akal dan budi, sehingga dengan akal dan budi tersebut manusia mampu menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Setiap manusia yang lahir membawa hak asasi yang harus dihormati setiap orang. Begitu juga terhadap hasil karya cipta dan kreativitas yang dihasilkan, karena itu semua merupakan ekspresi dari kemampuan budi dan nalar dari si pencipta.
            Dalam perkembangannya karya cipta yang bersumber dari hasil karya kreasi akal budi manusia tersebut telah melahirkan suatu hak yang disebut dengan hak cipta. Hak cipta tersebut melekat pada diri seorang pencipta atau pemegang hak cipta. Seseorang yang telah menciptakan sesuatu hal secara alamiah dengan sendirinya akan mempunyai hak untuk memiliki dan mengontrol apa yang telah diciptakannya. Hal ini wajar karena kreativitas manusia dalam melahirkan suatu karya yang berkualitas dan bermutu seperti karya sastra, serta apresiasi seni yang berkualitas tinggi pantas mendapatkan kontribusi dari karya ciptanya.
            Hukum memberikan sarana perlindungan terhadap sebuah karya cipta yang merupakan produk dari pikiran manusia. Dengan adanya Undang – Undang Hak Cipta, maka terhadap karya cipta yang dihasilkan dapat diberikan perlindungan. Bentuk nyata ciptaan - ciptaan yang dilindungi dapat berupa kesastraan, seni, maupun ilmu pengetahuan. Dalam tataran normatif, perlindungan terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat ini diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2)  Undang – Undang Nomor.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Jadi tujuan perlindungan hukum hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat termasuk seni tari tradisional adalah untuk perlindungan terhadap eksploitasi ekonomis oleh pihak asing dan juga untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.[1]
            Dalam rangka melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lain, pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin negara sebagai pemegang hak cipta. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.
            Melihat kepada arti penting perlindungan hukum ini bagi bangsa Indonesia, jelas memiliki nilai yang sangat strategis. Nilai strategis tersebut dapat dilihat dari segi budaya, ekonomi dan sosial. Dari segi budaya, tampak sekali bahwa dengan adanya perlindungan hukum terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat ini, maka pelestarian terhadap budaya bangsa akan tercapai. Saat ini bangsa Indonesia terkenal dengan keanekaragaman budaya. Kalau diidentifikasi berapa jumlah hasil kebudayaan tradisional yang dimiliki bangsa Indonesia.[2] Jika perlindungan terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat ini dapat direalisasikan, maka diharapkan hal ini dapat memberikan perlindungan terhadap hasil – hasil kebudayaan bangsa, sekaligus dapat memberikan nilai ekonominya, misalnya akan memiliki nilai tambah dalam hal penerimaan devisa negara.
            Baik folklor maupun hasil kebudayaan rakyat telah menjadi masalah hukum yang baru yang berkembang baik ditingkat nasional maupun ditingkat internasional, disebabkan belum ada instrumen hukum yang mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat. Menurut Tim Linsey ketentuan Pasal 10 UU Hak Cipta masih mengalami kendala dalam implemaentasinya, kedudukan pasal ini belum jelas penerapannya jika dikaitkan dengan berlakunya pasal – pasal lain dalam Undang – Undang Hak Cipta. Instansi terkait dalam yang dimaksudkan dalam Pasal 10 ayat (3) untuk memberikan izin kepada orang asing yang akan menggunakan karya – karya tradisional juga belum ditunjuk.[3] Ketentuan mengenai perlindungan bagi folklor penduduk asli dalam Undang –Undang Hak Cipta juga memiliki kekurangan karena standar keaslian suatu ciptaan sulit ditentukan, mengingat kebanyakan karya folklor cenderung terinspirasi dari tradisi yang telah terlebih dahulu ada dan peniruan pola berturut – turut dari waktu kewaktu. Karya – karya folklor penduduk asli umumnya cenderung merupakan hasil upaya kolektif dengan tambahan individu yang ditingkatkan dan tersebar dengan berjalannya waktu. World Intelectual Property Organization (WIPO) telah mengamati bahwa banyak karya folklor merupakan karya berulang – ulang.[4]
            Seni tari adalah satu cabang dari seni pertunjukan yang mendapatkan perlindungan hukum oleh hak cipta. Hal ini dapat dilihat pengaturannya di dalam Pasal 12 ayat (1) huruf e Undang – Undang Hak Cipta Tahun 2002. Seni tari merupakan salah satu cabang seni yang mempunyai latar belakang sejarah dan akar budaya yang sangat kuat dalam perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia. Seni tari merupakan bagian dari folklor dan kebudayaan rakyat. Menurut pendapat Gertrude, folklor merupakan pengetahuan tentang kepercayaan, cerita, ketahayulan, yang secara essensial merupakan hasil komunal yang diturunkan dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda.[5]
            Perlindungan hukum terhadap seni tari tradisional di atur  dalam Pasal 10 Undang – Undang Hak Cipta Tahun 2002. Namun dalam kenyataannya ketentuan Pasal 10 Undang – Undang Hak Cipta Tahun 2002 ini masih mengalami kendala dalam implementasinya. Kedudukan pasal ini belum jelas penerapannya jika dikaitkan dengan berlakunya pasal – pasal lain dalam undang – undang hak cipta. Instansi terkait yang dimaksudkan dalam Pasal 10 ayat (3) untuk memberikan izin kepada orang asing yang akan menggunakan karya – karya tradisional juga belum ditunjuk. Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (4) dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun dalam kenyataannya, Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal ini belum ada.
            Walaupun perlindungan hukum terhadap hak cipta sudah dibuat, namun instrumen hukum nasional tersebut belum mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal terhadap seni tari tradisional. Kalau hukum nasional saja tidak dapat memberikan perlindungan hukum, bagaimana jika terjadi penyalahgunaan kekayaan intelektual bangsa ini diluar negeri. Dan tidak mungkin pemerintah dalam waktu dekat ini akan menangani penyalahgunaan kekayaan intelektual bangsa Indonesia di luar negeri, mengingat krisis politik, sosial dan ekonomi yang masih berkepanjangan sampai sekarang.[6]
            Berdasarkan Pasal 10 UU Hak Cipta 2002 tentang hak cipta, karya seni tradisional dilindungi dan dipegang oleh negara. Namun sayangnya belum adanya peraturan pemerntah yang khusus mengatur tentang seni tradisional tersebut menyebabkan tidak jelasnya perlindungan hukum yang akan diberikan oleh negara dan bagaimana mekanisme negara sebagai pemegang hak cipta atas karya seni tradisional. Hal ini memberikan kesan bahwa negara belum sepenuhnya memberikan perlindungan hukum terhadap karya seni tradisional. Lebih khususnya dalam hal ini seni tari tradisional ini tidak didukung dengan upaya-upaya yang lebih konkret dari pemerintah, sedangkan dilain pihak telah banyak pihak asing yang mendaftarkan hak cipta kekayaan intelektual tradisional yang dianggap produk asli Indonesia di negara mereka.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum terhadap seni tari tradisional?
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap seni tari tradisional.
                  Bila diuraikan menurut istilahnya, arti kata perlindungan menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tempat untuk berlindung atau perbuatan melindungi.[7] Sedangkan maksud dari kata perlindungan disini adalah perlindungan hukum. Arti kata hukum menurut Kamus Hukum adalah peraturan – peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan – badan resmi yang berwajib dan pelanggaran terhadap peraturan tersebut berakibat diambilnya tindakan hukum.[8]
                  Melihat kepada arti penting perlindungan hukum ini bagi bangsa Indonesia, jelas memiliki nilai yang sangat strategis. Nilai strategis tersebut dapat dilihat dari segi budaya, ekonomi dan sosial. Dari segi budaya, tampak sekali bahwa dengan adanya perlindungan hukum terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat ini, maka pelestarian terhadap budaya bangsa akan tercapai.
Saat ini bangsa Indonesia terkenal dengan keanekaragaman budaya. Kalau diidentifikasi berapa jumlah hasil kebudayaan tradisional yang dimiliki bangsa Indonesia. Jika perlindungan terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat ini dapat direalisasikan, maka diharapkan hal ini dapat memberikan nilai ekonominya, misalnya akan memiliki nilai tambah dalam hal penerimaan devisa negara.
Tari – tarian merupakan salah satu folklor yang berbentuk ekspresi. Syarat untuk menentukan bahwa sebuah tarian dianggap sebagai folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang mempengaruhi nilai tradisional antara lain :
a.       Tarian tersebut harus diikuti masyarakat
b.      Harus diakui masyarakat
c.       Berkembang di masyarakat, contoh tari Badui Tempel yang sekarang berkembang di daerah Temple
d.      Menjadi kesepakatan masyarakat
e.       Diajarkan secara turun-temurun
            Mengamati suatu bentuk tari rakyat dalam konteks pemanggungan  yang sebenarnya adalah yang paling ideal  dan menjadi suatu keharusan apabila hendak direkam dengan alat potret.
Hal – hal yang harus kita amati antara lain adalah :
1.      Lingkungan fisik suatu bentuk folklor yang dipertunjukan, misalnya di alam terbuka atau panggung, mengunakan dekor atau tidak, dsb.
2.      Lingkungan sosial suatu bentuk folklor
3.      Interaksi para peserta suatu pertunjukan bentuk folklor
4.      Pertunjukan bentuk folklor itu sendiri
5.      Masa pertunjukan
            Ketentuan Undang – Undang Hak Cipta pada Pasal 10 menyatakan bahwa negara memegang hak cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya. Negara memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi. Dan hasil seni lainnya. Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut, orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh negara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
            Berdasarkan Pasal tersebut seni tari tradisional dilindungi dan hak ciptanya dimiliki oleh negara. Hak cipta atas ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh negara seperti folklor dan hasil kebudayaan rakyat, termasuk tari tradisional yang menjadi milik bersama berlaku tanpa batas. Bentuk hak eksklusif dari negara atas kerya cipta terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat adalah hak untuk mengumumkan atau memperbanyak atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan menurut undang – undang yang berlaku. Dengan kata lain, apabila ada pihak asing yang memanfaatkan ciptaan tersebut untuk kepentingan komersil, maka negara dapat menuntut ganti rugi atas pemanfaatan tersebut.
            Bagi orang yang bukan warga negara Indonesia jika akan mengumumkan, memperbanyak, atau mengambil manfaat untuk kepentingan komersil atau ekonomi atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat termasuk seni tari tradisional harus izin kepada negara. Mekanisme jika ada pihak asing yang akan mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tradisional milik negara Indonesia, maka pihak asing yang bersangkutan tersebut harus mengajukan permohonan  kepada Dirjen HKI. Sebagai konsekuensi nya, warga negara asing yang telah mendapatkan izin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan atau mengambil manfaat untuk kepentingan komersil atau kepentingan ekonomi harus memberikan royalti kepada negara Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh Dirjen HKI. Besarnya royalti yang harus dibayar oleh pihak asing tersebut akan ditentukan oleh kedua belah pihak.
            Menurut Pasal 1 angka 5 Undang – Undang Hak Cipta Tahun 2002, yang dimaksud dengan pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan, dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat orang lain. Sedangkan pengertian perbanyakan dalam hal ini adalah penambahan jumlah suatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan mengunakan bahan – bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.
            Pemanfaatan folklor oleh pihak asing berdasarkan UUHC harus mendapatkan izin dari pemerintah melalui instansi yang berwenang yang sementara ini dilakukan oleh Dirjen HKI. Bentuk – bentuk pemanfaatan yang memerlukan izin antara lain :
a.       Setiap pengumuman, perbanyakan, atau distribusi dibidang folklor ( tari tradisional ) untuk tujuan komersil.
b.      Setiap pengutipan atau pertunjukan yang berkaitan dengan folklor folklor
      ( tari tradisional ) untuk tujuan komersil.
c.       Setiap penyiaran yang berkaitan dengan folklor baik secara langsung atau melalui proses alih media
d.      Bentuk komunikasi lainnya yang berkaitan dengan folklor untuk tujuan mencari keuntungan
            Pengecualian terhadap folklor tersebut tidak berlaku terhadap :
a.       Pemanfaatan untuk tujuan pendidikan dan penelitian di bidang ilmu pengetahuan
b.      Pemanfaatan dalam bidang ilustrasi dari suatu karya asli seorang atau beberapa orang pengarang dengan syarat bahwa pemanfaatan tersebut masih dalam batas praktek yang wajar
c.       Peminjaman dari suatu bentuk folklor untuk menciptakan karya asli dari seseorang atau beberapa pengarang.
            Pemanfaatan folklor juga tidak memerlukan izin atas ekspresi folklor  yang bersifat insidentil, seperti :
a.       Pemanfaatan folklor ( tari tradisional ) yang dapat dilihat dan didengar dari pada suatu keadaan yang sedang terjadi dengan tujuan untuk peliputan atau pelaporan kejadian dengan menggunakan alat fotografi, penyiaran atau perekam suara dengan syarat bahwa peliputan dan perekaman tersebut hanya semata – mata untuk tujuan informasi
b.      Pemanfaatan dari obyek – obyek yang merupakan ekspresi dari folklor yang sudah secara permanen terletak di suatu tempat atau wilayah yang dapat dilihat oleh umum, apabila pemanfaatan tersebut termasuk pencitraannya di dalam bentuk foto, film, atau karya siaran televisi, sejauhmana pemanfaatan tersebut bukan untuk tujuan komersil.
c.       Pemanfaatan folklor ( tari tradisional ) untuk memperkenalkan budaya negara, pertukaran informasi, studi banding dan pertukaran kebudayaan.
            Upaya – upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam melindungi kebudayaan nasional, khususnya seni tari tradisional yang ada, sampai saat ini baru dalam tahap inventarisasi. Inventarisasi ini diperoleh berdasarkan data – data  dari Pemerintah Daerah setempat atau institusi yang berkompeten dalam hal ini. Sedangkan upaya pemerintah dalam rangka perlindungan hukum terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat melalui perangkat peraturan daerah dalam rangka perlindungan hukum terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat selama ini baru berupa gagasan yang tidak ditindaklanjuti. Dan  Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam melindungi hak cipta tentang seni tari tradisional selama ini hanya sebatas pelestarian, pembinaan, dan pengembangan. Hal ini berbeda dengan upaya pemerintah terhadap bidang sejarah dan keperbukalaan, yang  telah meliputi pelestarian, pemeliharaan, dan perlindungan hukum terhadap benda cagar budaya dan kawasan cagar budaya serta pengembangan permuseuman. Bahkan pemerintah telah membentuk tim yang terdiri dari seksi – seksi. Perlindungan hukum ini dituangkan dalam Undang – Undang No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya.

 Penulis : Ashibly


[1] Ansori Sinugaran, Pelestarian Benda Cagar Budaya Ditinjau Dari Perspektif Undang – undang Hak Cipta Sebagai Economic Cominity Right, Disampaikan dalam Rapat Pembahasan Revisi Undang – undang  Bendang Cagar Budaya, Diselenggarakan oleh kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Yogyakarta, 31 Juli 2002
[2] Budi Agus Riswandi, M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual Dan Budaya Hukum, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm 39.
[3] Tim Lindsey, et.al, HAKI Suatu Pengantar, PT.Alummni, Bandung, 2003, hlm 267
[4] Cita C. Priapantja, UU Hak Cipta Belum Akomodasi Folklor, Bisnis Indonesia, Http;www.ccp.associates.com/founder.html
[5]  Soepanto, Folklor Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah, Disampaikan dalam Seminar Tentang Kebudayaan Jawa, diselenggarakan oleh Depdikbud, Yogyakarta, 23-26 Januari 1986, hlm 6
[6] Budi Agus Riswandi, M. Syamsudin, Op.cit, hlm 42
[7] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm 674
[8] Andi Hamzah, Istilah Hukum, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm 410

Kamis, 01 Desember 2011

"Presumption of Innocence" / "legal decision"


"Azas Praduga Tidak Bersalah" "Presumption of Innocence" adalah azas yang harus melatar belakangi sikap hakim dalam mengambil keputusan yang se-mata - mata cuma tergantung dari barang bukti dan saksi - saksi yang dimajukan oleh kedua pihak yaitu pihak tertuduh dan pihak penuntut.  Azas praduga tak bersalah ini merupakan kaitan "legal decision" yang harus ditegakkan oleh hakim bukan oleh penuntut maupun oleh polisi.

Sebaliknya pihak polisi yang menangkapnya hanya bisa menangkap atas dasar adanya tuduhan dengan bukti - bukti yang kuat, namun setelah dibawa ke pengadilan, maka tertuduh ini berhak didampingi pembela untuk menangkis bukti - bukti dan tuduhan ini.

Sejak ditangkap polisi, orang yang bersangkutan sudah menjadi tertuduh, penuntut  juga berfungsi mengumpulkan dan memperkuat bukti - bukti tuduhan yang sudah ada.  Namun pihak pembela bertugas sebaliknya, yaitu mencari celah - celah hukum yang bisa memperlemah tuduhan.

Demikianlah, Hakim pada akhirnya yang harus mengambil keputusan dengan "azas praduga tidak bersalah" untuk membuat keputusan yang tidak salah.  Artinya, hakim harus memutuskan tanpa prejudice terhadap sang tertuduh.

Di Amerika, "azas praduga tak bersalah" ini bukan cuma harus melandasi cara hakim dalam mengambil keputusan karena keputusannya berada ditangan para Jury yang berjumlah 12 orang.  Sehingga jelas, "azas praduga tak bersalah" ini harus juga dengan ketat dipahami oleh para Jury yang dipilih secara random dari setiap warganegara Amerika yang dewasa yang lulus SMA.  Kalo ada Jury yang terkait oleh pengalaman yang sama yang dilakukan tertuduh, maka "azas praduga tak bersalah" ini tidak memenuhi syarat dan Jury ini akan dibatalkan dan diganti dengan Jury lainnya.  Demikianlah, dengan adanya Jury ini sukar hakimnya disogok atau hakimnya melanggar "azas praduga tak bersalah", karena dalam hal ini Jurylah yang memberi keputusan salah atau tidaknya, dan sang hakim hanya menentukan lamanya hukuman atau besarnya denda berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku berdasarkan keputusan para Jury.

Karena Jury itu dipilih secara random, sulit untuk disogok, kalo pembela menemukan hal - hal yang beralasan untuk mengganti Jury, hakim bisa mempertimbangkan apakah permohonan pembela itu dikabulkan atau ditolak.

Demikianlah, caranya memang sangat berbeda dengan di Indonesia yang  systemnya sangat korup sehingga "azas praduga tak bersalah" bisa  digunakan jadi alasan pembela untuk membebaskan tertuduh, padahal azas
itu bukan fungsinya seperti itu.  Namun semuanya itu saya serahkan  penilaian pembaca saja untuk memahaminya karena memang saya tidak berhak menafsirkan cara - cara korup pengadilan maupun hukum di Indonesia, antara lain seperti kasus pemerkosaan masal amoy2 dan pembakaran mesjid Ahmadiah disertai penjarahan harta pribadi umatnya.  Atas dasar apa perbuatan itu tidak ditindak oleh aparat di Indonesia???  Azas praduga tak bersalah tidak bisa digunakan oleh pihak kepolisian ataupun pihak penuntut karena azas itu hanya diberlakukan kepada hakim yang mengambil keputusan!!!!

Demikianlah, setiap pelanggaran itu merupakan pelanggar hak asasi manusia.  Kita menangkap seseorang kriminal seperti pembakar mesjid atas dasar melindungi hak asasi orang lain, sedangkan sang kriminal hanya memilik hak sebagai tertuduh bukan hak asasi karena dia itu justru dituduh merampas hak asasi orang lain !!!

Hak tertuduh adalah kesempatan membela diri, bukan hak asasi untuk menikmati kebebasan seperti kebebasan korban yang dilanggar hak asasinya.

Semoga masyarakat Indonesia lebih peka terhadap cara - cara memutar balik berbagai azas keadilan dalam memanfaatkan kebodohan masyarakat, memerasnya, dan melestarikan korupsi dilingkungan pengadilan.  Kontrol masyarakat sangat dibutuhkan untuk tegaknya keadilan.  Semua kebodohan dan korupsi yang dimanfaatkan para penguasa ini se-mata - mata disebabkan cara - cara pemikiran religious yang mendominasi pemikiran masyarakat dan pejabatnya, karena kalo anda membaca buku - buku suci semua agama, pada dasarnya mendidik umatnya cuma memutar balik fakta untuk berpihak kepada agama kepercayaannya dengan cara - cara yang berlandaskan penipuan.


Selasa, 29 November 2011

Teori Hukum Murni (the Pure Theory of Law) Hans Kelsen



Ide mengenai Teori Hukum Murni (the Pure Theory of Law) diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen lahir di Praha pada 11 Oktober 1881. Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke Vienna. Pada 1906, Kelsen mendapatkan gelar doktornya pada bidang hukum.
Kelsen memulai karirnya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.
Yurisprudensi ini dikarakterisasikan sebagai kajian kepada hukum, sebagai satu objek yang berdiri sendiri, sehingga kemurnian menjadi prinsip-prinsip metodolgikal dasar dari filsafatnya. Perlu dicatat bahwa paham anti-reduksionisme ini bukan hanya merupakan metodoligi melainkan juga substansi. Kelsen meyakini bahwa jika hokum dipertimbangkan sebagai sebuah praktek normatif, maka metodologi yang reduksionis semestinya harus dihilangkan. Akan tetapi, pendekatan ini tidak hanya sebatas permasalahan metodologi saja.\

1.NormaDasar

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah system Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein) dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi alamiah.
Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan dan kejadian yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan sederhana ; kita menilai sebuah aturan “seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu. Saat “seharusnya” tidak bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal intinya merupakan pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada presupposition yang merupakan pengandaian.
Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norm moral lain dengan silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.
Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant. Kedua, Kelsen tidak mengklain bahwa presupposition dari Nrma Dasar adalah sebuah kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif.
Kelsen mengatakan bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus melakukan presuppose Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan sebuah komitmen normatif, dan sifatnya selalu optional.

2. Nilai Normatif Hukum
Nilai normatif Hukum bisa diperbandingkan perbedaannya dengan nilai normatif agama. Norma agama, sebagaimana norma moralitas, tidak tergantung kepada kepatuhan aktual dari para pengikutnya. Tidak ada sanksi yang benar-benar langsung sebagaimana norma hukum. Misalnya saja ketika seorang lupa untuk berdoa di malam hari, maka tidak ada instrumen langsung yang memberikan hukuman atas ketidakpatuhannya tersebut.
Validitas dari sistem hukum bergantung dari paktik-pratik aktualnya. Dikatakannya bahwa “perturan legal dinilai sebagai sesuatu yang valid apabila normanya efektif (yaitu secara aktual dipraktikkan dan ditaati)”. Lebih jauh lagi, kandungan sebenarnya dari Norma Dasar juga bergantung pada keefektifitasannya. Sebagaimana yang telah berkali-kali ditekankan oleh Kelsen, sebuah revolusi yang sukses pastilah revolusi yang mampu merubah kandungan isi Norma Dasar.
Perhatian Kelsen pada aspek-aspek normatifitasan ini dipengaruhi oleh pandangan skeptis David Hume atas objektifitasan moral, hukum, dan skema-skema evaluatif lainnya. Pandangan yang diperoleh seseorang, utamanya dari karya-karya akhir Hans Kelsen, adalah sebuah keyakinan adanya sistem normatif yang tidak terhitung dari melakuan presuppose atas Norma Dasar. Tetapi tanpa adanya rasionalitas maka pilihan atas Norma Dasar tidak akan menjadi sesuatu yang kuat. Agaknya, sulit untuk memahami bagaimana normatifitas bisa benar-benar dijelaskan dalam basis pilihan-pilihan yang tidak berdasar.
Hans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan hampir 400 karya, dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa. Pengaruh Kelsen tidak hanya dalam bidang hukum melalui Pure Theory of Law, tetapi juga dalam positivisme hukum kritis, filsafat hokum, sosiologi, teori politik dan kritik ideology. Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam dunia pemikiran hukum. Dalam hukum internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of International Law. Karya tersebut merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting dari hukum internasional termasuk kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan, retaliasi, spektrum validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional, pembuatan dan aplikasinya.