"Azas Praduga Tidak Bersalah"
"Presumption of Innocence" adalah azas yang harus melatar belakangi sikap hakim dalam mengambil keputusan yang se-mata - mata cuma tergantung dari barang bukti dan saksi - saksi yang dimajukan oleh kedua pihak yaitu pihak tertuduh dan pihak penuntut. Azas praduga tak bersalah ini merupakan kaitan "legal decision" yang harus ditegakkan oleh hakim bukan oleh penuntut maupun oleh polisi.
Sebaliknya pihak polisi yang menangkapnya hanya bisa menangkap atas dasar adanya tuduhan dengan bukti - bukti yang kuat, namun setelah dibawa ke pengadilan, maka tertuduh ini berhak didampingi pembela untuk menangkis bukti - bukti dan tuduhan ini.
Sejak ditangkap polisi, orang yang bersangkutan sudah menjadi tertuduh, penuntut juga berfungsi mengumpulkan dan memperkuat bukti - bukti tuduhan yang sudah ada. Namun pihak pembela bertugas sebaliknya, yaitu mencari celah - celah hukum yang bisa memperlemah tuduhan.
Demikianlah, Hakim pada akhirnya yang harus mengambil keputusan dengan "azas praduga tidak bersalah" untuk membuat keputusan yang tidak salah. Artinya, hakim harus memutuskan tanpa prejudice terhadap sang tertuduh.
Di Amerika, "azas praduga tak bersalah" ini bukan cuma harus melandasi cara hakim dalam mengambil keputusan karena keputusannya berada ditangan para Jury yang berjumlah 12 orang. Sehingga jelas, "azas praduga tak bersalah" ini harus juga dengan ketat dipahami oleh para Jury yang dipilih secara random dari setiap warganegara Amerika yang dewasa yang lulus SMA. Kalo ada Jury yang terkait oleh pengalaman yang sama yang dilakukan tertuduh, maka "azas praduga tak bersalah" ini tidak memenuhi syarat dan Jury ini akan dibatalkan dan diganti dengan Jury lainnya. Demikianlah, dengan adanya Jury ini sukar hakimnya disogok atau hakimnya melanggar "azas praduga tak bersalah", karena dalam hal ini Jurylah yang memberi keputusan salah atau tidaknya, dan sang hakim hanya menentukan lamanya hukuman atau besarnya denda berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku berdasarkan keputusan para Jury.
Karena Jury itu dipilih secara random, sulit untuk disogok, kalo pembela menemukan hal - hal yang beralasan untuk mengganti Jury, hakim bisa mempertimbangkan apakah permohonan pembela itu dikabulkan atau ditolak.
Demikianlah, caranya memang sangat berbeda dengan di Indonesia yang systemnya sangat korup sehingga "azas praduga tak bersalah" bisa digunakan jadi alasan pembela untuk membebaskan tertuduh, padahal azas
itu bukan fungsinya seperti itu. Namun semuanya itu saya serahkan penilaian pembaca saja untuk memahaminya karena memang saya tidak berhak menafsirkan cara - cara korup pengadilan maupun hukum di Indonesia, antara lain seperti kasus pemerkosaan masal amoy2 dan pembakaran mesjid Ahmadiah disertai penjarahan harta pribadi umatnya. Atas dasar apa perbuatan itu tidak ditindak oleh aparat di Indonesia??? Azas praduga tak bersalah tidak bisa digunakan oleh pihak kepolisian ataupun pihak penuntut karena azas itu hanya diberlakukan kepada hakim yang mengambil keputusan!!!!
Demikianlah, setiap pelanggaran itu merupakan pelanggar hak asasi manusia. Kita menangkap seseorang kriminal seperti pembakar mesjid atas dasar melindungi hak asasi orang lain, sedangkan sang kriminal hanya memilik hak sebagai tertuduh bukan hak asasi karena dia itu justru dituduh merampas hak asasi orang lain !!!
Hak tertuduh adalah kesempatan membela diri, bukan hak asasi untuk menikmati kebebasan seperti kebebasan korban yang dilanggar hak asasinya.
Semoga masyarakat Indonesia lebih peka terhadap cara - cara memutar balik berbagai azas keadilan dalam memanfaatkan kebodohan masyarakat, memerasnya, dan melestarikan korupsi dilingkungan pengadilan. Kontrol masyarakat sangat dibutuhkan untuk tegaknya keadilan. Semua kebodohan dan korupsi yang dimanfaatkan para penguasa ini se-mata - mata disebabkan cara - cara pemikiran religious yang mendominasi pemikiran masyarakat dan pejabatnya, karena kalo anda membaca buku - buku suci semua agama, pada dasarnya mendidik umatnya cuma memutar balik fakta untuk berpihak kepada agama kepercayaannya dengan cara - cara yang berlandaskan penipuan.
Sebaliknya pihak polisi yang menangkapnya hanya bisa menangkap atas dasar adanya tuduhan dengan bukti - bukti yang kuat, namun setelah dibawa ke pengadilan, maka tertuduh ini berhak didampingi pembela untuk menangkis bukti - bukti dan tuduhan ini.
Sejak ditangkap polisi, orang yang bersangkutan sudah menjadi tertuduh, penuntut juga berfungsi mengumpulkan dan memperkuat bukti - bukti tuduhan yang sudah ada. Namun pihak pembela bertugas sebaliknya, yaitu mencari celah - celah hukum yang bisa memperlemah tuduhan.
Demikianlah, Hakim pada akhirnya yang harus mengambil keputusan dengan "azas praduga tidak bersalah" untuk membuat keputusan yang tidak salah. Artinya, hakim harus memutuskan tanpa prejudice terhadap sang tertuduh.
Di Amerika, "azas praduga tak bersalah" ini bukan cuma harus melandasi cara hakim dalam mengambil keputusan karena keputusannya berada ditangan para Jury yang berjumlah 12 orang. Sehingga jelas, "azas praduga tak bersalah" ini harus juga dengan ketat dipahami oleh para Jury yang dipilih secara random dari setiap warganegara Amerika yang dewasa yang lulus SMA. Kalo ada Jury yang terkait oleh pengalaman yang sama yang dilakukan tertuduh, maka "azas praduga tak bersalah" ini tidak memenuhi syarat dan Jury ini akan dibatalkan dan diganti dengan Jury lainnya. Demikianlah, dengan adanya Jury ini sukar hakimnya disogok atau hakimnya melanggar "azas praduga tak bersalah", karena dalam hal ini Jurylah yang memberi keputusan salah atau tidaknya, dan sang hakim hanya menentukan lamanya hukuman atau besarnya denda berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku berdasarkan keputusan para Jury.
Karena Jury itu dipilih secara random, sulit untuk disogok, kalo pembela menemukan hal - hal yang beralasan untuk mengganti Jury, hakim bisa mempertimbangkan apakah permohonan pembela itu dikabulkan atau ditolak.
Demikianlah, caranya memang sangat berbeda dengan di Indonesia yang systemnya sangat korup sehingga "azas praduga tak bersalah" bisa digunakan jadi alasan pembela untuk membebaskan tertuduh, padahal azas
itu bukan fungsinya seperti itu. Namun semuanya itu saya serahkan penilaian pembaca saja untuk memahaminya karena memang saya tidak berhak menafsirkan cara - cara korup pengadilan maupun hukum di Indonesia, antara lain seperti kasus pemerkosaan masal amoy2 dan pembakaran mesjid Ahmadiah disertai penjarahan harta pribadi umatnya. Atas dasar apa perbuatan itu tidak ditindak oleh aparat di Indonesia??? Azas praduga tak bersalah tidak bisa digunakan oleh pihak kepolisian ataupun pihak penuntut karena azas itu hanya diberlakukan kepada hakim yang mengambil keputusan!!!!
Demikianlah, setiap pelanggaran itu merupakan pelanggar hak asasi manusia. Kita menangkap seseorang kriminal seperti pembakar mesjid atas dasar melindungi hak asasi orang lain, sedangkan sang kriminal hanya memilik hak sebagai tertuduh bukan hak asasi karena dia itu justru dituduh merampas hak asasi orang lain !!!
Hak tertuduh adalah kesempatan membela diri, bukan hak asasi untuk menikmati kebebasan seperti kebebasan korban yang dilanggar hak asasinya.
Semoga masyarakat Indonesia lebih peka terhadap cara - cara memutar balik berbagai azas keadilan dalam memanfaatkan kebodohan masyarakat, memerasnya, dan melestarikan korupsi dilingkungan pengadilan. Kontrol masyarakat sangat dibutuhkan untuk tegaknya keadilan. Semua kebodohan dan korupsi yang dimanfaatkan para penguasa ini se-mata - mata disebabkan cara - cara pemikiran religious yang mendominasi pemikiran masyarakat dan pejabatnya, karena kalo anda membaca buku - buku suci semua agama, pada dasarnya mendidik umatnya cuma memutar balik fakta untuk berpihak kepada agama kepercayaannya dengan cara - cara yang berlandaskan penipuan.