Jumat, 02 Desember 2011

Perlindungan Hukum terhadap Seni Tari Tradisional ( folklor )



A. Latar Belakang

      Manusia diberikan oleh Tuhan alat kelengkapan yang sempurna berupa akal dan budi, sehingga dengan akal dan budi tersebut manusia mampu menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Setiap manusia yang lahir membawa hak asasi yang harus dihormati setiap orang. Begitu juga terhadap hasil karya cipta dan kreativitas yang dihasilkan, karena itu semua merupakan ekspresi dari kemampuan budi dan nalar dari si pencipta.
            Dalam perkembangannya karya cipta yang bersumber dari hasil karya kreasi akal budi manusia tersebut telah melahirkan suatu hak yang disebut dengan hak cipta. Hak cipta tersebut melekat pada diri seorang pencipta atau pemegang hak cipta. Seseorang yang telah menciptakan sesuatu hal secara alamiah dengan sendirinya akan mempunyai hak untuk memiliki dan mengontrol apa yang telah diciptakannya. Hal ini wajar karena kreativitas manusia dalam melahirkan suatu karya yang berkualitas dan bermutu seperti karya sastra, serta apresiasi seni yang berkualitas tinggi pantas mendapatkan kontribusi dari karya ciptanya.
            Hukum memberikan sarana perlindungan terhadap sebuah karya cipta yang merupakan produk dari pikiran manusia. Dengan adanya Undang – Undang Hak Cipta, maka terhadap karya cipta yang dihasilkan dapat diberikan perlindungan. Bentuk nyata ciptaan - ciptaan yang dilindungi dapat berupa kesastraan, seni, maupun ilmu pengetahuan. Dalam tataran normatif, perlindungan terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat ini diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2)  Undang – Undang Nomor.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Jadi tujuan perlindungan hukum hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat termasuk seni tari tradisional adalah untuk perlindungan terhadap eksploitasi ekonomis oleh pihak asing dan juga untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.[1]
            Dalam rangka melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lain, pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin negara sebagai pemegang hak cipta. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.
            Melihat kepada arti penting perlindungan hukum ini bagi bangsa Indonesia, jelas memiliki nilai yang sangat strategis. Nilai strategis tersebut dapat dilihat dari segi budaya, ekonomi dan sosial. Dari segi budaya, tampak sekali bahwa dengan adanya perlindungan hukum terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat ini, maka pelestarian terhadap budaya bangsa akan tercapai. Saat ini bangsa Indonesia terkenal dengan keanekaragaman budaya. Kalau diidentifikasi berapa jumlah hasil kebudayaan tradisional yang dimiliki bangsa Indonesia.[2] Jika perlindungan terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat ini dapat direalisasikan, maka diharapkan hal ini dapat memberikan perlindungan terhadap hasil – hasil kebudayaan bangsa, sekaligus dapat memberikan nilai ekonominya, misalnya akan memiliki nilai tambah dalam hal penerimaan devisa negara.
            Baik folklor maupun hasil kebudayaan rakyat telah menjadi masalah hukum yang baru yang berkembang baik ditingkat nasional maupun ditingkat internasional, disebabkan belum ada instrumen hukum yang mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat. Menurut Tim Linsey ketentuan Pasal 10 UU Hak Cipta masih mengalami kendala dalam implemaentasinya, kedudukan pasal ini belum jelas penerapannya jika dikaitkan dengan berlakunya pasal – pasal lain dalam Undang – Undang Hak Cipta. Instansi terkait dalam yang dimaksudkan dalam Pasal 10 ayat (3) untuk memberikan izin kepada orang asing yang akan menggunakan karya – karya tradisional juga belum ditunjuk.[3] Ketentuan mengenai perlindungan bagi folklor penduduk asli dalam Undang –Undang Hak Cipta juga memiliki kekurangan karena standar keaslian suatu ciptaan sulit ditentukan, mengingat kebanyakan karya folklor cenderung terinspirasi dari tradisi yang telah terlebih dahulu ada dan peniruan pola berturut – turut dari waktu kewaktu. Karya – karya folklor penduduk asli umumnya cenderung merupakan hasil upaya kolektif dengan tambahan individu yang ditingkatkan dan tersebar dengan berjalannya waktu. World Intelectual Property Organization (WIPO) telah mengamati bahwa banyak karya folklor merupakan karya berulang – ulang.[4]
            Seni tari adalah satu cabang dari seni pertunjukan yang mendapatkan perlindungan hukum oleh hak cipta. Hal ini dapat dilihat pengaturannya di dalam Pasal 12 ayat (1) huruf e Undang – Undang Hak Cipta Tahun 2002. Seni tari merupakan salah satu cabang seni yang mempunyai latar belakang sejarah dan akar budaya yang sangat kuat dalam perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia. Seni tari merupakan bagian dari folklor dan kebudayaan rakyat. Menurut pendapat Gertrude, folklor merupakan pengetahuan tentang kepercayaan, cerita, ketahayulan, yang secara essensial merupakan hasil komunal yang diturunkan dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda.[5]
            Perlindungan hukum terhadap seni tari tradisional di atur  dalam Pasal 10 Undang – Undang Hak Cipta Tahun 2002. Namun dalam kenyataannya ketentuan Pasal 10 Undang – Undang Hak Cipta Tahun 2002 ini masih mengalami kendala dalam implementasinya. Kedudukan pasal ini belum jelas penerapannya jika dikaitkan dengan berlakunya pasal – pasal lain dalam undang – undang hak cipta. Instansi terkait yang dimaksudkan dalam Pasal 10 ayat (3) untuk memberikan izin kepada orang asing yang akan menggunakan karya – karya tradisional juga belum ditunjuk. Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (4) dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun dalam kenyataannya, Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal ini belum ada.
            Walaupun perlindungan hukum terhadap hak cipta sudah dibuat, namun instrumen hukum nasional tersebut belum mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal terhadap seni tari tradisional. Kalau hukum nasional saja tidak dapat memberikan perlindungan hukum, bagaimana jika terjadi penyalahgunaan kekayaan intelektual bangsa ini diluar negeri. Dan tidak mungkin pemerintah dalam waktu dekat ini akan menangani penyalahgunaan kekayaan intelektual bangsa Indonesia di luar negeri, mengingat krisis politik, sosial dan ekonomi yang masih berkepanjangan sampai sekarang.[6]
            Berdasarkan Pasal 10 UU Hak Cipta 2002 tentang hak cipta, karya seni tradisional dilindungi dan dipegang oleh negara. Namun sayangnya belum adanya peraturan pemerntah yang khusus mengatur tentang seni tradisional tersebut menyebabkan tidak jelasnya perlindungan hukum yang akan diberikan oleh negara dan bagaimana mekanisme negara sebagai pemegang hak cipta atas karya seni tradisional. Hal ini memberikan kesan bahwa negara belum sepenuhnya memberikan perlindungan hukum terhadap karya seni tradisional. Lebih khususnya dalam hal ini seni tari tradisional ini tidak didukung dengan upaya-upaya yang lebih konkret dari pemerintah, sedangkan dilain pihak telah banyak pihak asing yang mendaftarkan hak cipta kekayaan intelektual tradisional yang dianggap produk asli Indonesia di negara mereka.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum terhadap seni tari tradisional?
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap seni tari tradisional.
                  Bila diuraikan menurut istilahnya, arti kata perlindungan menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tempat untuk berlindung atau perbuatan melindungi.[7] Sedangkan maksud dari kata perlindungan disini adalah perlindungan hukum. Arti kata hukum menurut Kamus Hukum adalah peraturan – peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan – badan resmi yang berwajib dan pelanggaran terhadap peraturan tersebut berakibat diambilnya tindakan hukum.[8]
                  Melihat kepada arti penting perlindungan hukum ini bagi bangsa Indonesia, jelas memiliki nilai yang sangat strategis. Nilai strategis tersebut dapat dilihat dari segi budaya, ekonomi dan sosial. Dari segi budaya, tampak sekali bahwa dengan adanya perlindungan hukum terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat ini, maka pelestarian terhadap budaya bangsa akan tercapai.
Saat ini bangsa Indonesia terkenal dengan keanekaragaman budaya. Kalau diidentifikasi berapa jumlah hasil kebudayaan tradisional yang dimiliki bangsa Indonesia. Jika perlindungan terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat ini dapat direalisasikan, maka diharapkan hal ini dapat memberikan nilai ekonominya, misalnya akan memiliki nilai tambah dalam hal penerimaan devisa negara.
Tari – tarian merupakan salah satu folklor yang berbentuk ekspresi. Syarat untuk menentukan bahwa sebuah tarian dianggap sebagai folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang mempengaruhi nilai tradisional antara lain :
a.       Tarian tersebut harus diikuti masyarakat
b.      Harus diakui masyarakat
c.       Berkembang di masyarakat, contoh tari Badui Tempel yang sekarang berkembang di daerah Temple
d.      Menjadi kesepakatan masyarakat
e.       Diajarkan secara turun-temurun
            Mengamati suatu bentuk tari rakyat dalam konteks pemanggungan  yang sebenarnya adalah yang paling ideal  dan menjadi suatu keharusan apabila hendak direkam dengan alat potret.
Hal – hal yang harus kita amati antara lain adalah :
1.      Lingkungan fisik suatu bentuk folklor yang dipertunjukan, misalnya di alam terbuka atau panggung, mengunakan dekor atau tidak, dsb.
2.      Lingkungan sosial suatu bentuk folklor
3.      Interaksi para peserta suatu pertunjukan bentuk folklor
4.      Pertunjukan bentuk folklor itu sendiri
5.      Masa pertunjukan
            Ketentuan Undang – Undang Hak Cipta pada Pasal 10 menyatakan bahwa negara memegang hak cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya. Negara memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi. Dan hasil seni lainnya. Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut, orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh negara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
            Berdasarkan Pasal tersebut seni tari tradisional dilindungi dan hak ciptanya dimiliki oleh negara. Hak cipta atas ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh negara seperti folklor dan hasil kebudayaan rakyat, termasuk tari tradisional yang menjadi milik bersama berlaku tanpa batas. Bentuk hak eksklusif dari negara atas kerya cipta terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat adalah hak untuk mengumumkan atau memperbanyak atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan menurut undang – undang yang berlaku. Dengan kata lain, apabila ada pihak asing yang memanfaatkan ciptaan tersebut untuk kepentingan komersil, maka negara dapat menuntut ganti rugi atas pemanfaatan tersebut.
            Bagi orang yang bukan warga negara Indonesia jika akan mengumumkan, memperbanyak, atau mengambil manfaat untuk kepentingan komersil atau ekonomi atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat termasuk seni tari tradisional harus izin kepada negara. Mekanisme jika ada pihak asing yang akan mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tradisional milik negara Indonesia, maka pihak asing yang bersangkutan tersebut harus mengajukan permohonan  kepada Dirjen HKI. Sebagai konsekuensi nya, warga negara asing yang telah mendapatkan izin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan atau mengambil manfaat untuk kepentingan komersil atau kepentingan ekonomi harus memberikan royalti kepada negara Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh Dirjen HKI. Besarnya royalti yang harus dibayar oleh pihak asing tersebut akan ditentukan oleh kedua belah pihak.
            Menurut Pasal 1 angka 5 Undang – Undang Hak Cipta Tahun 2002, yang dimaksud dengan pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan, dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat orang lain. Sedangkan pengertian perbanyakan dalam hal ini adalah penambahan jumlah suatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan mengunakan bahan – bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.
            Pemanfaatan folklor oleh pihak asing berdasarkan UUHC harus mendapatkan izin dari pemerintah melalui instansi yang berwenang yang sementara ini dilakukan oleh Dirjen HKI. Bentuk – bentuk pemanfaatan yang memerlukan izin antara lain :
a.       Setiap pengumuman, perbanyakan, atau distribusi dibidang folklor ( tari tradisional ) untuk tujuan komersil.
b.      Setiap pengutipan atau pertunjukan yang berkaitan dengan folklor folklor
      ( tari tradisional ) untuk tujuan komersil.
c.       Setiap penyiaran yang berkaitan dengan folklor baik secara langsung atau melalui proses alih media
d.      Bentuk komunikasi lainnya yang berkaitan dengan folklor untuk tujuan mencari keuntungan
            Pengecualian terhadap folklor tersebut tidak berlaku terhadap :
a.       Pemanfaatan untuk tujuan pendidikan dan penelitian di bidang ilmu pengetahuan
b.      Pemanfaatan dalam bidang ilustrasi dari suatu karya asli seorang atau beberapa orang pengarang dengan syarat bahwa pemanfaatan tersebut masih dalam batas praktek yang wajar
c.       Peminjaman dari suatu bentuk folklor untuk menciptakan karya asli dari seseorang atau beberapa pengarang.
            Pemanfaatan folklor juga tidak memerlukan izin atas ekspresi folklor  yang bersifat insidentil, seperti :
a.       Pemanfaatan folklor ( tari tradisional ) yang dapat dilihat dan didengar dari pada suatu keadaan yang sedang terjadi dengan tujuan untuk peliputan atau pelaporan kejadian dengan menggunakan alat fotografi, penyiaran atau perekam suara dengan syarat bahwa peliputan dan perekaman tersebut hanya semata – mata untuk tujuan informasi
b.      Pemanfaatan dari obyek – obyek yang merupakan ekspresi dari folklor yang sudah secara permanen terletak di suatu tempat atau wilayah yang dapat dilihat oleh umum, apabila pemanfaatan tersebut termasuk pencitraannya di dalam bentuk foto, film, atau karya siaran televisi, sejauhmana pemanfaatan tersebut bukan untuk tujuan komersil.
c.       Pemanfaatan folklor ( tari tradisional ) untuk memperkenalkan budaya negara, pertukaran informasi, studi banding dan pertukaran kebudayaan.
            Upaya – upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam melindungi kebudayaan nasional, khususnya seni tari tradisional yang ada, sampai saat ini baru dalam tahap inventarisasi. Inventarisasi ini diperoleh berdasarkan data – data  dari Pemerintah Daerah setempat atau institusi yang berkompeten dalam hal ini. Sedangkan upaya pemerintah dalam rangka perlindungan hukum terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat melalui perangkat peraturan daerah dalam rangka perlindungan hukum terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat selama ini baru berupa gagasan yang tidak ditindaklanjuti. Dan  Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam melindungi hak cipta tentang seni tari tradisional selama ini hanya sebatas pelestarian, pembinaan, dan pengembangan. Hal ini berbeda dengan upaya pemerintah terhadap bidang sejarah dan keperbukalaan, yang  telah meliputi pelestarian, pemeliharaan, dan perlindungan hukum terhadap benda cagar budaya dan kawasan cagar budaya serta pengembangan permuseuman. Bahkan pemerintah telah membentuk tim yang terdiri dari seksi – seksi. Perlindungan hukum ini dituangkan dalam Undang – Undang No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya.

 Penulis : Ashibly


[1] Ansori Sinugaran, Pelestarian Benda Cagar Budaya Ditinjau Dari Perspektif Undang – undang Hak Cipta Sebagai Economic Cominity Right, Disampaikan dalam Rapat Pembahasan Revisi Undang – undang  Bendang Cagar Budaya, Diselenggarakan oleh kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Yogyakarta, 31 Juli 2002
[2] Budi Agus Riswandi, M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual Dan Budaya Hukum, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm 39.
[3] Tim Lindsey, et.al, HAKI Suatu Pengantar, PT.Alummni, Bandung, 2003, hlm 267
[4] Cita C. Priapantja, UU Hak Cipta Belum Akomodasi Folklor, Bisnis Indonesia, Http;www.ccp.associates.com/founder.html
[5]  Soepanto, Folklor Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah, Disampaikan dalam Seminar Tentang Kebudayaan Jawa, diselenggarakan oleh Depdikbud, Yogyakarta, 23-26 Januari 1986, hlm 6
[6] Budi Agus Riswandi, M. Syamsudin, Op.cit, hlm 42
[7] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm 674
[8] Andi Hamzah, Istilah Hukum, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm 410

Kamis, 01 Desember 2011

"Presumption of Innocence" / "legal decision"


"Azas Praduga Tidak Bersalah" "Presumption of Innocence" adalah azas yang harus melatar belakangi sikap hakim dalam mengambil keputusan yang se-mata - mata cuma tergantung dari barang bukti dan saksi - saksi yang dimajukan oleh kedua pihak yaitu pihak tertuduh dan pihak penuntut.  Azas praduga tak bersalah ini merupakan kaitan "legal decision" yang harus ditegakkan oleh hakim bukan oleh penuntut maupun oleh polisi.

Sebaliknya pihak polisi yang menangkapnya hanya bisa menangkap atas dasar adanya tuduhan dengan bukti - bukti yang kuat, namun setelah dibawa ke pengadilan, maka tertuduh ini berhak didampingi pembela untuk menangkis bukti - bukti dan tuduhan ini.

Sejak ditangkap polisi, orang yang bersangkutan sudah menjadi tertuduh, penuntut  juga berfungsi mengumpulkan dan memperkuat bukti - bukti tuduhan yang sudah ada.  Namun pihak pembela bertugas sebaliknya, yaitu mencari celah - celah hukum yang bisa memperlemah tuduhan.

Demikianlah, Hakim pada akhirnya yang harus mengambil keputusan dengan "azas praduga tidak bersalah" untuk membuat keputusan yang tidak salah.  Artinya, hakim harus memutuskan tanpa prejudice terhadap sang tertuduh.

Di Amerika, "azas praduga tak bersalah" ini bukan cuma harus melandasi cara hakim dalam mengambil keputusan karena keputusannya berada ditangan para Jury yang berjumlah 12 orang.  Sehingga jelas, "azas praduga tak bersalah" ini harus juga dengan ketat dipahami oleh para Jury yang dipilih secara random dari setiap warganegara Amerika yang dewasa yang lulus SMA.  Kalo ada Jury yang terkait oleh pengalaman yang sama yang dilakukan tertuduh, maka "azas praduga tak bersalah" ini tidak memenuhi syarat dan Jury ini akan dibatalkan dan diganti dengan Jury lainnya.  Demikianlah, dengan adanya Jury ini sukar hakimnya disogok atau hakimnya melanggar "azas praduga tak bersalah", karena dalam hal ini Jurylah yang memberi keputusan salah atau tidaknya, dan sang hakim hanya menentukan lamanya hukuman atau besarnya denda berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku berdasarkan keputusan para Jury.

Karena Jury itu dipilih secara random, sulit untuk disogok, kalo pembela menemukan hal - hal yang beralasan untuk mengganti Jury, hakim bisa mempertimbangkan apakah permohonan pembela itu dikabulkan atau ditolak.

Demikianlah, caranya memang sangat berbeda dengan di Indonesia yang  systemnya sangat korup sehingga "azas praduga tak bersalah" bisa  digunakan jadi alasan pembela untuk membebaskan tertuduh, padahal azas
itu bukan fungsinya seperti itu.  Namun semuanya itu saya serahkan  penilaian pembaca saja untuk memahaminya karena memang saya tidak berhak menafsirkan cara - cara korup pengadilan maupun hukum di Indonesia, antara lain seperti kasus pemerkosaan masal amoy2 dan pembakaran mesjid Ahmadiah disertai penjarahan harta pribadi umatnya.  Atas dasar apa perbuatan itu tidak ditindak oleh aparat di Indonesia???  Azas praduga tak bersalah tidak bisa digunakan oleh pihak kepolisian ataupun pihak penuntut karena azas itu hanya diberlakukan kepada hakim yang mengambil keputusan!!!!

Demikianlah, setiap pelanggaran itu merupakan pelanggar hak asasi manusia.  Kita menangkap seseorang kriminal seperti pembakar mesjid atas dasar melindungi hak asasi orang lain, sedangkan sang kriminal hanya memilik hak sebagai tertuduh bukan hak asasi karena dia itu justru dituduh merampas hak asasi orang lain !!!

Hak tertuduh adalah kesempatan membela diri, bukan hak asasi untuk menikmati kebebasan seperti kebebasan korban yang dilanggar hak asasinya.

Semoga masyarakat Indonesia lebih peka terhadap cara - cara memutar balik berbagai azas keadilan dalam memanfaatkan kebodohan masyarakat, memerasnya, dan melestarikan korupsi dilingkungan pengadilan.  Kontrol masyarakat sangat dibutuhkan untuk tegaknya keadilan.  Semua kebodohan dan korupsi yang dimanfaatkan para penguasa ini se-mata - mata disebabkan cara - cara pemikiran religious yang mendominasi pemikiran masyarakat dan pejabatnya, karena kalo anda membaca buku - buku suci semua agama, pada dasarnya mendidik umatnya cuma memutar balik fakta untuk berpihak kepada agama kepercayaannya dengan cara - cara yang berlandaskan penipuan.


Selasa, 29 November 2011

Teori Hukum Murni (the Pure Theory of Law) Hans Kelsen



Ide mengenai Teori Hukum Murni (the Pure Theory of Law) diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen lahir di Praha pada 11 Oktober 1881. Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke Vienna. Pada 1906, Kelsen mendapatkan gelar doktornya pada bidang hukum.
Kelsen memulai karirnya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.
Yurisprudensi ini dikarakterisasikan sebagai kajian kepada hukum, sebagai satu objek yang berdiri sendiri, sehingga kemurnian menjadi prinsip-prinsip metodolgikal dasar dari filsafatnya. Perlu dicatat bahwa paham anti-reduksionisme ini bukan hanya merupakan metodoligi melainkan juga substansi. Kelsen meyakini bahwa jika hokum dipertimbangkan sebagai sebuah praktek normatif, maka metodologi yang reduksionis semestinya harus dihilangkan. Akan tetapi, pendekatan ini tidak hanya sebatas permasalahan metodologi saja.\

1.NormaDasar

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah system Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein) dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi alamiah.
Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan dan kejadian yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan sederhana ; kita menilai sebuah aturan “seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu. Saat “seharusnya” tidak bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal intinya merupakan pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada presupposition yang merupakan pengandaian.
Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norm moral lain dengan silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.
Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant. Kedua, Kelsen tidak mengklain bahwa presupposition dari Nrma Dasar adalah sebuah kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif.
Kelsen mengatakan bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus melakukan presuppose Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan sebuah komitmen normatif, dan sifatnya selalu optional.

2. Nilai Normatif Hukum
Nilai normatif Hukum bisa diperbandingkan perbedaannya dengan nilai normatif agama. Norma agama, sebagaimana norma moralitas, tidak tergantung kepada kepatuhan aktual dari para pengikutnya. Tidak ada sanksi yang benar-benar langsung sebagaimana norma hukum. Misalnya saja ketika seorang lupa untuk berdoa di malam hari, maka tidak ada instrumen langsung yang memberikan hukuman atas ketidakpatuhannya tersebut.
Validitas dari sistem hukum bergantung dari paktik-pratik aktualnya. Dikatakannya bahwa “perturan legal dinilai sebagai sesuatu yang valid apabila normanya efektif (yaitu secara aktual dipraktikkan dan ditaati)”. Lebih jauh lagi, kandungan sebenarnya dari Norma Dasar juga bergantung pada keefektifitasannya. Sebagaimana yang telah berkali-kali ditekankan oleh Kelsen, sebuah revolusi yang sukses pastilah revolusi yang mampu merubah kandungan isi Norma Dasar.
Perhatian Kelsen pada aspek-aspek normatifitasan ini dipengaruhi oleh pandangan skeptis David Hume atas objektifitasan moral, hukum, dan skema-skema evaluatif lainnya. Pandangan yang diperoleh seseorang, utamanya dari karya-karya akhir Hans Kelsen, adalah sebuah keyakinan adanya sistem normatif yang tidak terhitung dari melakuan presuppose atas Norma Dasar. Tetapi tanpa adanya rasionalitas maka pilihan atas Norma Dasar tidak akan menjadi sesuatu yang kuat. Agaknya, sulit untuk memahami bagaimana normatifitas bisa benar-benar dijelaskan dalam basis pilihan-pilihan yang tidak berdasar.
Hans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan hampir 400 karya, dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa. Pengaruh Kelsen tidak hanya dalam bidang hukum melalui Pure Theory of Law, tetapi juga dalam positivisme hukum kritis, filsafat hokum, sosiologi, teori politik dan kritik ideology. Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam dunia pemikiran hukum. Dalam hukum internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of International Law. Karya tersebut merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting dari hukum internasional termasuk kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan, retaliasi, spektrum validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional, pembuatan dan aplikasinya.

Minggu, 27 November 2011

“PEMBANGUNAN PERUMAHAN UNTUK KEPENTINGAN BISNIS DI ATAS TANAH WAKAF MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM DI HUBUNGKAN DENGAN UNDANG – UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DAN UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PEMUKIMAN “

A.         Latar Belakang
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu menggali dan mengembangkan potensi yang terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis.[1]
Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.
Wakaf merupakan salah satu lembaga hukum Islam. Hukum Islam adalah suatu sistem hukum yang mendasarkan pada ajaran agama Islam. Agama Islam merupakan ajaran agama yang sempurna. Mengatur seluruh kehidupan alam seisinya, termasuk mengatur kehidupan manusia. Dalam menjalani kehidupannya manusia dapat memiliki harta, tetapi kepemilikan harta itu tidak mutlak. Harta adalah milik Allah SWT dan dititipkan kepada manusia yang dikehendaki-NYA. Harta yang dimiliki oleh umat Islam sebagian adalah hak dari manusia yang lemah. Oleh karena  itu Islam mengajarkan memberikan sedekah, zakat dan wakaf terhadap harta yang dimiliki untuk kepentingan agama.
Di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam, sehingga wakaf sudah dikenal sejak lama. Menurut Ter Haar  wakaf merupakan suatu perbuatan hukum rangkap, maksudnya Perbuatan itu disatu pihak adalah perbuatan mengenai tanah atau benda yang menyebabkan obyek itu mendapat kedudukan hukum yang khusus tetapi di lain pihak seraya itu perbuatan itu menimbulkan suatu badan dalam hukum adat ialah suatu badan hukum yang sanggup ikut serta dalam kehidupan hukum sebagai subyek hukum.[2]
Ajaran Islam memuat dua dimensi jangkauan, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Dalam bidang sosial ekonomi, Islam mendorong pendayagunaan institusi wakaf dalam rangka peningkatan kesejahteraan umat. Muhammad Musthafa Tsalabi telah membuat rumusan wakaf dalam bentuk penahanan harta atas milik orang yang berwakaf dan mendermakan manfaatnya untuk tujuan kebaikan pada masa sekarang dan masa yang akan datang.[3]
Potensi tanah wakaf di Indonesia untuk dikembangkan bagi pembangunan perumahan sangat menjanjikan, karena potensinya sangat besar. Sebagai gambaran, penduduk Indonesia berjumlah 238,45 juta orang[4], dan 87% diantaranya beragama Islam (207,45 juta orang). Dengan kondisi seperti itu, menjadikan Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Selain itu, umat Islam Indonesia sudah semenjak lama akrab dengan wakaf. Namun keakraban tersebut belum menjadikan harta wakaf berguna secara maksimum untuk pembinaan umat Islam, kerana umumnya umat Islam Indonesia memahami wakaf terbatas untuk kepentingan pengguna saja, seperti untuk kuburan, mesjid dan madrasah. Padahal harta wakaf berpeluang dikelola secara baik, sehingga ada penghasilan berkesinambungan yang diperoleh dari pengelolaan harta wakaf, salah satu peluang dari pengelolaan tanah wakaf adalah pembangunan perumahan di tanah wakaf.
Di dalam Undang – Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Peruntukan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum. Sebagaimana diamanatkan Pasal 28 H UUD 1945 bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selanjutnya Pasal 40 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak. Sementara Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 Tentang RPJP 2005-2025 Bab IV.1.5 Butir 19 menyatakan “pemenuhan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya diarahkan pada penyelenggaraan pembangunan perumahan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Kemudian Agenda UN-Habitat di Istambul 1996 Paragraf 39 menyatakan:“….. We commit ourselves to the goal of improving and working conditions on an equitable and sustainable basis, so that everyone will have adequate shelter that is ….. affordable …”. [5]
Dari berbagai landasan tersebut diatas, jelas bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati, menikmati atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. Mengingat bahwa rumah merupakan hak dan kebutuhan dasar manusia, upaya pemenuhan kebutuhan rumah diupayakan dapat menjangkau segenap lapisan masyarakat, termasuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)[6].
Negara juga bertanggung jawab dalam menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman serta keswadayaan masyarakat di atas tanah wakaf. Penyediaan dan kemudahan perolehan rumah tersebut merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara[7].
Pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut berperan. Sejalan dengan peran masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab untuk menjadi fasilitator, memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat, serta melakukan penelitian dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek yang terkait, antara lain, tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia, kearifan lokal, serta peraturan perundang-undangan yang mendukung. Kebijakan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk: 
a.    memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat dan aman yang didukung prasarana, sarana, dan utilitas umum secara berkelanjutan serta yang mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia;
b.    ketersediaan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan, permukiman, serta lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan;
c.    mewujudkan perumahan yang serasi dan seimbang sesuai dengan tata ruang serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna;
d.    memberikan hak pakai dengan tidak mengorbankan kedaulatan negara; dan
e.    mendorong iklim investasi asing.
Sejalan dengan arah kebijakan umum tersebut, penyelenggaraan perumahan dan permukiman, baik di daerah perkotaan yang berpenduduk padat maupun di daerah perdesaan yang ketersediaan lahannya lebih luas perlu diwujudkan adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pengelolaannya. Pemerintah dan pemerintah daerah perlu memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dalam bentuk pemberian kemudahan pembiayaan dan/atau pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum di lingkungan hunian.[8]
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang perumahan dan kawasan permukiman ini juga mencakup pemeliharaan dan perbaikan yang dimaksudkan untuk menjaga fungsi perumahan dan kawasan permukiman agar dapat berfungsi secara baik dan berkelanjutan untuk kepentingan peningkatan kualitas hidup orang perseorangan yang dilakukan terhadap rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum di perumahan, permukiman, lingkungan hunian dan kawasan permukiman. Di samping itu, juga dilakukan pengaturan pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang dilakukan untuk meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Hal ini dilaksanakan berdasarkan prinsip kepastian bermukim yang menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, memiliki, dan/atau menikmati tempat tinggal, yang dilaksanakan sejalan dengan kebijakan penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.
Penyediaan Tanah untuk Perumahan dan Pemukiman tidak hanya dilaksanakan oleh penyedia tanah umum akan tetapi dalam perkembangannya pembangunan perumahan pemukiman ini dilaksanakan melalui penyediaan tanah wakaf , sebagai contoh yang dilakukan oleh Tabung Wakaf Indonesia dengan programnya Wakaf Property[9]
Wakaf  Properti Adalah donasi wakaf berupa fixed asset (asset tetap) yang dimiliki secara sah (bebas sengketa hukum) dan telah memperoleh persetujuan dari ahli waris (jika ada). Jika dipandang berpotensi untuk diproduktifkan, maka aset akan dikembangkan dengan modal pengelola (yang bersumber dari wakaf tunai) ataupun dikerjasamakan dengan pihak ketiga dengan prinsip saling menguntungkan. Namun, jika dirasakan potensinya lemah atau bahkan berat, maka jika dipandang perlu, pengelola diperbolehkan untuk menjual dan menggabungkan dengan aset yang lain (ruislag) agar memberikan manfaat yang lebih besar.
Bentuk-bentuk memproduktifkan aset dapat berupa penyewaan, leasing (bangun-sewa), kerjasama pengelolaan bisnis di atas aset dengan pihak ketiga dan membangun bisnis di atas aset. Surplus yang diperoleh kemudian dialirkan untuk program-program sosial sesuai peruntukannya.
Yang termasuk kepada donasi wakaf properti antara lain:
  1. Tanah
  2. Rumah
  3. Ruko
  4. Apartemen
  5. Bangunan Komersil (Perkantoran, Hotel, Mal, Pasar, Gudang, Pabrik, dll)
  6. Bangunan Sarana Publik (Sekolah, Rumah Sakit, Klinik, dll)
  7. Kendaraan (mobil, motor)
            Berdasarkan latar belakang di atas ,maka peneliti bermaksud mengkaji dan menganalis  Wakaf Property dalam sebuah penelitian yang Berjudul :
PEMBANGUNAN PERUMAHAN UNTUK KEPENTINGAN BISNIS DI ATAS TANAH WAKAF MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM DI HUBUNGKAN DENGAN UNDANG – UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DAN UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PEMUKIMAN
B.        Identifikasi Masalah.
                        Dalam penelitian ini, diidentifikasi dan dirumuskan permasalahannya sebagai berikut :
1.    Bagaimana status dan kedudukan perumahan yang dibangun diatas tanah wakaf untuk kepentingan bisnis menurut undang-undang nomor 41 tahun 2004 dan undang-undang no 1 tahun 2011
2.    Bagaimana pelaksanaan wakaf untuk pembangunan perumahan menurut uu no 41 tahun 2004 undang-undang no 1 tahun 2011


[1]  Penjelasan Umum Undang – undang Nomor 41 tahun 2001 Tentang Wakaf
[2]  Tamaddun, 2002, Bait Al Ashy, Rumah Wakaf Aceh di Tanah Suci Mekkah, www.al islam.or.id
[3] Muhammad Musthafa Tsalabi, al-Ahkam al-Washaya wa al-Awqaf, (Mesir: Dar al-Ta’lif, t.th.), h. 333.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia
[5] Dikutip dari sambutan Menteri Negara Perumahan Rakyat pada Seminar Potensi Wakaf Untuk Perumahan Rakyat, tanggal 24 Juni 2009.
[6]   Masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam konteks ini adalah mereka yang berpenghasilan samapai dengan Rp 2.500.000,-/bulan
[7]  Penjelasan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman
[8] Ibid, Penjelasan Umum Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman
       [9] www. Tabung wakaf Indonesia