A. Pendahuluan
Hukum adalah sebuah tatanan (Hukum ada dalam sebuah
tatanan yang paling tidak dapat dibagi kedalam tiga yaitu : tatanan
transedental, tatanan sosial dan tatanan politik.) yang utuh (holistik) selalu
bergerak, baik secara evolutif maupun revolusioner. Sifat pergerakan itu
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai
sesuatu yang eksis dan prinsipil. Keping pemikiran demikian itu akan dijumpai
dalam banyak gagasan tentang hukum yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo.
Esensi utama pemikirannya, berangkat dari konsep bahwa
hukum bukan sebagai sebuah produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum
tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi
melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan menampilkan
jati dirinya yaitu sebagai sebuah “ilmu”. Proses pemaknaan itu digambarkannya
sebagai sebuah proses pendewasaan sekaligus pematangan, sebagaimana sejarah
melalui periodesasi ilmu memperlihatkan runtuh dan bagunannya sebuah teori, yang
dalam terminologi Kuhn disebut sebagai “lompatan paradigmatika”.
Hukum progresif
merupakan salah satu gagasan yang paling menarik dalam literatur hukum
Indonesia pada saat ini. Hukum progresif menyingkap tabir dan menggeledah
berbagai kegagalan hukum modern yang didasari oleh Filsafat positivistik,
legalistik, dan linear tersebut untuk menjawab persoalan hukum sebagai masalah
manusia dan kemanusiaan,mengandung semangat pembebasan yaitu pembebasan dari
tradisi berhukum konvensional yang legalistik dan linear tersebut.
Sejak tumbang nya
orde baru pada tahun 1998, bangsa Indonesia belum berhasil mengangkat hukum
sampai kepada taraf mendekati keadaan ideal, tetapi malah menimbulkan
kekecewaan, khususnya berhubungan dengan pemberantasan korupsi..
Hukum progresif
hadir ditengah-tengah ambruknya dunia hukum dinegeri ini dan memberitahukan
kepada kita tentang kesalahan-kesalahan mendasar pada cara berhukum kita selama
ini.Menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata hitam dan putih dari
peraturan ( according to the letter ),melainkan menurut semangat dan
makna lebih dalam ( to the very meaning ) dari undang-undang atau
hukum.Hukum tidak hanya dijalankan dengan kecerdesan intelektual,melainkan
dengan kecerdasan spiritual.Menjalankan hukum haruslah dengan determinasi,
empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa
untuk berani mencari jalan lain guna mensejahterakan rakyat.Dari uraian singkat di
atas maka pemakalah mengambil judul makalah dengan judul Hukum Progresif : membangun
hukum ideal ( hukum progresif) di masa depan.
B.Permasalahan
- Apa yang menjadi alasan lahirnya hukum progresif dan Penolakan Terhadap Mazhab Positivisme?
- Bagaimana membangun hukum ideal ( hukum progresif ) di masa depan?
PEMBAHASAN
1.Lahirnya Hukum Progresif
Gagasan hukum progresif muncul karena keprihatinan
terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat, termasuk pengamat
internasional,sudah mengutarakannya dalam berbagai ungkapan yang negatif,
seperti sistem hukum di Indonesia termasuk yang terburuk didunia.Tidak hanya
para pengamat , tetapi pada umumnya rakyat juga berpendapat demikian,
kendatipun mereka tidak mengutarakannya sebagai tuturan yang jelas,melainkan
melalui pengalaman konkret mereka dengan hukum sehari-hari, seperti kelemahan
mereka saat berhadapan dengan hukum dan keunggulan orang kuat yang cenderung
lolos dari hukum.Dengan demikian,maka rakyat mengalami dan menjalaninya
sehari-hari,sedangkan pengamat menuangkannya secara kontemplatif dan analitis.
Hukum progresif lahir karena selama
ini ajaran ilmu hukum positif(analytical jurisprudence) yang di
praktikan pada realitas empirik di indonesia tidak memuaskan.Gagasan hukum
progresif muncul karena prihatin terhadap kualitas penegakan hukum di indonesia
terutama sejak terjadinya reformasi pertengahan tahun 1997.Jika fungsi hukum
dimaksudkan untuk turut serta memecahkan persoalan kemasyarakatan secara ideal,
maka yang dialami di indonesia sekarang ini adalah sangat bertolak belakang
dengan cita-cita ideal tersebut[1]
Asumsi
dasar yang ingin diajukan adalah mengenai pandangan tentang hubungan antara
hukum dan manusia.Ingin ditegaskan prinsip,” hukum adalah untuk manusia”,bukan
sebaliknya.Berkaitan dengan hal tersebut ,maka hukum tidak ada untuk dirinya
sendiri,melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka setiap
kali ada masalah dalam dan dengan hukum,hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki
serta bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukan kedalam skema hukum.
Hukum
bukan merupakan sesuatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat
bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusia lah yang
merupakan penentu.Memang menghadapkan manusia kepada hukum mendorong kita
melakukan pilihan-pilihan yang rumit.Tetapi pada hakekatnya teori-teori hukum
yang ada berakar pada kedua faktor tersebut.Semakin landasan suatu teori
bergeser kefaktor hukum, semakin suatu teori menganggap hukum sesuatu yang
mutlak-otonom dan final. Semakin bergeser kemanusia,semakin teori tersebut
ingin memberikan ruang kepada faktor manusia.[2]
Hukum
progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta
final,melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada
manusia. Dalam konteks pemikiran tersebut,hukum selalu berada dalam proses
untuk terus menjadi.Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun
dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih
baik.Kualitas kesempurnaannya dapat diverifikasikan kedalam faktor-faktor
keadilan, kesejahteraan, kepeduliaan kepada rakyat dan lain-lain.Inilah hakekat
“hukum yang selalu dalam proses menjadi” (law as a proces,law in the making)
Hukum tidak ada untuk hukum itu sendiri,tetapi untuk manusia.[3]
Penolakan Mazhab Positivisme Hukum
Penolakan terhadap mazhab positivisme hukum pertama kali dilakukan
oleh Friederich Carl Von Savigny ahli hukum berkebangsaan Jerman seorang
penganut Aliran sejarah hukum dan dilanjutkan oleh murid nya Pucta.Sedangkan di
Inggris Aliran sejarah hukum dikembangkan oleh Henry summer Mine.Kritik yang
dilancarkan oleh Aliran sejarah hukum terhadap mazhab positivisme hukum adalah
bahwa, hukum bukan hanya dikeluarkan oleh penguasa publik dalam bentuk
undang-undang,namun hukum adalah jiwa bangsa ( Volkgeist ), yang isi nya berupa
aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat.”Hukum tidak hanya berbentuk
undang-undang,melainkan juga adat istiadat dan doktrin hukum”.Sedangkan
kekuatan membentuk hukum terletak pada rakyat yang notabene terdiri dari kompleksitas
unsur individu dan kelompok – kelompok masyarakat.
Sebagai mana ilmu
pada umumnya yang pada dasarnya merupakan proses dialektik antara thesa dan
antithesa yang akan memunculkan suatu synthesa yang juga akan berkedudukan
sebagai thesa lagi, dan seterusnya, maka pertentangan pandangan antara mazhab
positivisme hukum dengan mazhab sejarah hukum dicoba untuk di akomodir oleh
aliran mazhab Sosiological Jurisprudence,dengan tokoh utamanya Eugen
Ehrlich dan Roscoe Found. Mazhab ini menyatakan bahwa, hukum yang baik adalah
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.Rumusan demikian di
introdusir dalam rangka menemukan hubungan antara hukum dan masyarakat,antara
hukum tertulis dengan hukum tidak tertulis yang bertujuan demi menghadirkan kepastian
hukum dan living law sebagai penghargaan pentingnya peranan masyarakat dalam
pembentukan hukum dan orientasi hukum.[4]
Perkembangan lebih
lanjut di amerika serikat,Roscoe Pound mengemukakan konsep “hukum sebagai alat
merekayasa masyarakat”(law as a tool of social enginering)[5].Mochtar
Kusuma Atmaja menyatakan bahwa “Pendayagunaan hukum sebagai sarana untuk
merekayasa masyarakat menuju skenario kebijakan pemerintah (eksekutif) amatlah terasa diperlukan oleh negara-negara
berkembang,jauh melebihi kebutuhan negara-negara industri maju yang telah
mapan,karena negara-negara maju memiliki mekanisme hukum yang telah “jalan”
untuk mengakomodasi perubahan nilai-nilai hukum yang ada dimasyarakat,sedangkan
negara-negara berkembang tidaklah demikian.”[6]
Selain aliran Sociological Jurisprudence,
penolakan asumsi-asumsi yang dikembangkan oleh positivisme hukum juga
dilontarkan oleh mazhab realisme hukum( Legal Realism ) dengan
menyatakan bahwa,hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dipraktikan dalam kenyataan.Hukum bukanlah apa yang
tertulis dengan indah dalam undang-undang,melainkan apa yang dipraktikan oleh
para pejabat penyelenggara hukum,polisi,jaksa,hakim atau siapa saja yang
melaksanakan fungsi pelaksanaan hukum.Oliver Wendel Holmes menyatakan bahwa,yang menentukan nasib pelaku
kejahatan bukanlah rumusan sanksi dalam undang-undang ,melainkan pertanyaan dan
keputusan hakim.Disini dapat dilihat bahwa mazhab realisme hukum
merupakan lanjutan dari mazhab Sociological Jurisprudence yang
mengatakan sumber hukum satu-satunya bukan pemegang kekuasaan negara,namun para
pelaksana hukum juga dinyatakan bahwa,terutama para hakim.
Setelah
ajaran hukum bebas,kemudian muncul Critical Legal Studies / CLS yang juga
mengkritisi dan menentang habis-habisan pandangan dasar positivisme hukum yang
merupakan pemikiran hukum liberal ( Liberal Legal Thought) tentang
netralitas,kemurnian dan otonomi hukum, dengan mengembankan teori-teori kiri
sebagai bahan inspirasi dan mengembankan metode berpikir ekletik.CLS mengecam
doktrin netralitas, kemurnian dan otonomi hukum dengan menyatakan bahwa
istilah-istilah tersebut tak lebih sebagai mitos belaka.CLS menawarkan solusi
agar pengkajian hukum dapat dilakukan tanpa harus terjebak oleh pikiran
positivisme hukum,yaitu dengan menghilangkan pemisahan antara doktrin hukum
dengan teori sosial empiris.CLS percaya bahwa doktrin-doktrin hukum yang terus
mengharapkan pemisahan antara pemikiran hukum dengan ideologi dan falsafah
politik hanya akan berakhir menjadi himpunan apologi yang karut marut.[7]
Hal
ini memberikan kita gambaran bahwa mazhab hukum atau aliran pemikiran hukum / Legal
Thought sangat berpengaruh terhadap pemaknaan apa hukum itu,dari dan dimana
hukum itu tumbuh/basis sosial hukum,bagaimana hukum tersebut
ditemukan,diciptakan, atau dirumuskan,bagaimana hubungan hukum dengan
moral,etika,serta sistem sosial lainnya,serta bagaimana agar hukum dapat
didayagunakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Saat
ini ada dua arus besar pemikiran tentang hukum.Kelompok pertama berada pada
paham positivistik yaitu yang selalu percaya dan menyakini bahwa hukum yang
adalah apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.Sementara kelompok
kedua adalah mereka yang ingin keluar dari perspektif tunggal tentang hukum
yang di identikkan dengan apa yang tertulis.Kelompok kedua percaya bahwa ada
faktor diluar hukum yang sangat berpengaruh terhadap penegakan hukum itu
sendiri jadi tidak hanya hukum tertulis
saja.Kelompok ini dikenal dengan aliran hukum sosiologis,kritis atau progresif.
Perbedaan
antara aliran positifisme dengan sosilogisme adalah :
- Positivisme memandang hukum tidak lain kaidah-kaidah yang tercantum didalam perundang-undangan,sedangkan sosiologisme memandang hukum adalah kenyataan sosial.Ia mempelajari, bagaimana dan mengapanya dari tingkah laku sosial yang berhubungan dengan hukum dan pranata-pranata hukum sebagaimana kita lihat.Sikap dasar kaum sosiologis hukum itu adalah kecurigaan.Apakah hukum itu seperti yang ditulis? Seperti yang dikatakan?Dengan kata lain, kaum positiifisme melihat “law in book “,sedangkan kaum sosiologis memandang “ law in action”.
- Positivisme memandang hukum sebagai sesuatu yang otonom atau mandiri,sedangkan sosiologisme memandang hukum bukan sesuatu yang otonom, melainkan sangat dipengaruhi oleh fakto-faktor non hukum yang ada dalam masyarakatnya seperti faktor ekonomi,politik,budaya,dan sosial lainnya.
- Positivisme hanya mempersoalkan sebagai “ das sollen”(apa yang seharusnya,ought) sedangkan sosiologime hukum memandang hukum sebagai “ das sein”( dalam kenyataan,is).Dunia “is”(realms of “is”) adalah : refers to a complez of actual determinants of actual human conduct.
- Positivisme cenderung berpandangan yuridis dogmatik, sedangkan sosiologisme hukum berpandangan empiris.Mereka ingin melakukan pemahaman secara sosiologis terhadap fenomena hukum, jadi, interpretative understanding of social conduct.( suatu usaha untuk memahami objeknya dari tingkah laku sosial), meliputi : cause,its course dan its effect.Fenomena hukum dari sudut pandangan aliran sosiologis ini adalah gejala-gejala yang mengandung streotip baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
- Metode yang digunakan kaum positivistis adalah preskriptif, yaitu menerima hukum positif dan penerapannya.Sedangkan metode yang digunakan oleh penganut sosilogisme hukum adalah deskriptif. Dalam metode deskriptifnya,kaum sosiologis mengkaji hukum dengan menggunakan teknik-teknik ; survey lapangan ( fiel surves),observasi perbandingan ( comparative observation),analisis statistic (statistical analysis),eksprimen( exprimentation)[8]
Perspektif atau cara pandang yang
berbeda yang digunakan oleh kedua kelompok aliran ini telah menyebabkan
perseteruan yang tiada henti,setidaknya sampai saat ini. Terjadinya dualitas
yang bersebab dari gerak ofensif kekuasaan pusat dengan hukum nasionalnya
disatu pihak dan pada posisi defensif yang “tahan uji” dari locale
rechtsgemeenscahppen dengan hukum informalnya dilain pihak telah
menyebabkan terjadinya fenomena yang di istilahkan dengan sebutan Legal Gap.Ada silang selisih apa yang
dihukumkan secara resmi oleh kekuasaan nasional dan apa yang dijalani
dalam kehidupan sehari-hari sebagai
hukum oleh warga masyarakat setempat.[9]
Sehubungan dengan kesenjangan
tersebut,Dror membedakan antara Tension
( ketegangan) dan Lag ( ketertinggalan).Terdapat
nya tension ( ketegangan antara hukum dan peristiwa konkrit yang diaturnya
adalah masih dalam batas wajar, namun jika ketegangan telah mencapai taraf
ketertinggalan ( lag ) barulah
dibutuhkan segera perubahan hukum untuk
menyesuaikan diri.[10]
Beberapa
langkah berikut mungkin perlu dilakukan oleh pemerintah untuk menjebatani
adanya legal gap tersebut,langkah kebijakan yang pertama ialah langkah
yang dikerjakan untuk banyak-banyak
menndayagunakan wibawa sanksi guna menggiring
secara paksa para warga dari kesetiaannya sebagai partisipan popular
order kek kesetiaannya yang baru sebagai partisipan national legal order. Yang
kedua ialah langkah kebijakan yang dilakukan dengan cara yang lebih
edukatif,lewat penyuluhan dan pembangkitan kesadaran baru,untuk maksud itu,yang
ketiga ialah langkah kebijakan legal reform, suatu langkah yang dikerjakan
dengan cara melakukan revisi atau pembaharuan atas bagaian-bagian tertentu
dalam kandungan hukum undang-undang yang telah ada,demikian rupa agar hukum
negara itu dapat berfungsi secara lebih adaptif pada situasi-situasi riil yang
terdapat dalam kehidupan warga masyarakat.[11]
2. Etika/Moral
dalam Pembangunan Hukum Progresif di Masa Depan
Dari
penjelasan diatas menunjukan betapa buruknya kondisi penegakan hukum di
Indonesia,banyaknya kekecewaan dari sebagian besar masyarakat,sehingga
menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap kewibawaan hukum dan sekaligus kepada
para penegak hukum,apa yang diharapkan tidak terwujud,hal ini sama halnya
peristiwa di Amerika Serikat sebagaimana dijelaskan oleh Philppe Nonet dan
Phili Selznick dalam bukunya yang berjudul “ Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi” dimana
dijelaskan bahwa suasana berkurangnya kepercayaan pada hukum tampak jelas dalam
karya-karya tulis belakangan ini.Kritik atas hukum selalu ditujukan kepada
tidak memadainya hukum sebagai alat perubahan dan sebagai allat mencapai
keadilan substanstive.
Saat
ini kegelisahan tersebut masih ada,tanda bahaya yang konservatif tentang terkikisnya
otoritas,penyalahgunaan aktivitas hukum, dan macetnya hukum dan ketertiban ( law
and order ) digunakan dalam gerakan baru yang radikal yang berfokus
kemandulan dan terkorupsinya tertib
hukum.Keadilan adalah sebuah impian,terutama bagi negara yang tingkat
korupsinya tertinggi didunia atau sebuah negeri yang birokrasinya kedap dengan
bau KKN.Keadilan negeri ini mirip seperti orang buta, yang sering terantuk pada
bebalnya sistem kekuasaan dan dan bobroknya mental aparat, artinya sistem dan
perangkat pendukungnya telah lapuk untuk mau peduli pada nurani apalagi membela
kepentingan rakyat banyak.Benarlah jika Nietszche sempat berkata bahwa negara
adalah monster yang paling dingin dari yang terdingin ,karena beroperasi dengan
mencuri harta kekayaan penduduk dengan bermacam alasan.Secara sinis Nietszche
mengibaratkan mereka yang berebut kekuasaan persis seperti kera yang saling
injak-menginjak untuk mendapatkan kotoran busuk, yaitu kekuasaan yang penuh
dengan kebohongan[12].
Hukum
progresif lebih memilih konsep perubahan dan pengubah Karl Renner yang
mengikuti modus” gradually working out dari pada changing tge role”.
Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada dasarnya
adalah baik,memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama
sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam
masyarakat.Progresivisme tidak ingin menjadi hukum sebagai teknologi yang tidak
bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan. Oleh karena itu
asumsi yang mendasari progresivisme hukum adalah bahwa :
- hukum ada adalah untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri :
- hukum itu selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat final;
- hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan, dan bukan teknologi yang tidak berhati nurani.[13]
Mengapa perlu etika atau moral dalam
membangun hukum, khususnya hukum progresif. Seperti dijelaskan diatas, etika
atau moral akan berbicara benar dan salah atau baik dan buruk yang melekat
langsung pada diri manusia.Jika seseoarang tidak memiliki etika atau moral,maka
manusia itu sama saja dengan makhluk lain yaitu binatang yang dicipta demikian.
Rasionalnya bahwa hukum progresif adalah institusi yang bermoral kemanusiaan,
ini jelas penekanan yang tidak dapat ditawar-tawar.Hal ini sangat erat dengan
pembangunan mental,pembangunan fisik bagus, tetapi mental buruk tidak ada
artinya. Oleh karena hukum progresif sasarannya adalah manusia yang isinya dan
sifatnya bermacam-macam antara lain :
- pembaharuan, penyegaran atau perombakan cara berpikir manusia ;
- peningkatan,pembinaan ataupun pengarahan dalam cara kerja manusia ;
- penataran,pemantapan ataupun adanya penyajian dan penemuan prakarsa-prakarsa baru dan sebagainya.[14]
Antara masyarakat dengan etika terdapat hubungan
yang saling mengisi,tetapi tidak dalam arti adanya hubungan yang bersifat
determinasi.R.Descartes ( 1596-1650) pernah mengajarkan,bahwa yang menentukan
corak dari kehidupan itu termasuk norma-norma dan aturan-aturan/tata hidup
didalamnya adalah masyarakat.Individu tidak berarti apa-apa tanpa masyarakat.
Masyarakatlah yang pokok yang memberiukan penilaian terhadap sesuatu.Jadi
bilamana masyarakat itu menilai baik,
maka baiklah ia, sebaliknya bilamana masyarakat menilai buruk,jahat, maka buruk
dan jahatlah piula ia.Sebenarnya tidak demikian karena tata pergaulan hidup
dalam masyarakat dapat merupakan sumber untuk menyusun norma-norma etika,
tetapi etika sendiri sebagai ilmu berfungsi pada dua bidang yaitu :
- memberi pola: ajaran-ajaran nya disusun dalam etika teori;
- meyeleksi pola : menyaring pola-pola kelakuan dari anggota masyarakat,mana yang susila dan mana yang dianggap tidak susila.[15]
Oleh karena itu, boleh dikatakan bahwa
etika membangun martabat manusia, karena yang menentukan nilai baik dan
buruk,susila atau tidak susila sesuatu perbuatan adalah etika yang berkedudukan
sebagai suatu ilmu.
Membangun masyarakat dengan sendirinya
berarti menata dan menyusun supaya lebih baik,membentuk (mental) supaya lebih
sadar, lebih maju dan mengisi jiwa dari masyarakat yang serba tergantung menjadi masyarakat yang
telah sanggup berdiri sendiri. Pondasi dari kesadaran mental menurut ajaran
filsafat atau ilmu jiwa adalah perbaikan akhlak,pembinaan moral,tegasnya pembinaan
karakter dari masyarakat itu supaya menjadi masyarakat susila yang bermoral
tinggi adalah modal utama untuk mendirikan bangunan berikutnya,sehingga dapat
dibangun masyarakat yang damai sejahtera,masyarakat adil dan makmur[16].
Dalam hal ini hukum progresif akan
tetap hidup karena hukum itu selalu berada pada status “ law in the making
“ dan tidak pernah bersifat final, sebagai akibat dari adanya pelekatan etika
dari manusia,sepanjang manusia itu ada,maka hukum progresif akan terus hidup
dalam menata kehidupan masyarakat.Untuk itu perlu adanya pola atau model
pengkuatan etika atau moral bangsa dimasa depan, mengingat begitu pesat
perkembangan dunia saat ini.Bangsa ini harus menjadi jati diri sendiri yang
dapat diterima bangsa lain atau yang dianggap bangsa yang beretika atau
bermoral.
[1] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Hukum yang Membebaskan, Dalam
“ Jurnal Hukum Progresif”,Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP,Vol 1/ No.1/Aprol
2005,Hlm 3-5
[2] Satjipto Rahardjo, Hukum progresif: Sebuah Sintesa Hukum
Indonesia, Genta Publishing, Jogjakarta,2009, Hlm 5
[3] Ibid,Hlm 5-6
[4] Lili Rasyidi dan I.B. Wyasa, Hukum Sebagai Suatu Sistem,
Bandung,Remaja Rosdakarya, Hlm 83
[5] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional,
Dinamika Sosial Politik dan Perkembangan Hukum di Indonesia”, Rajawali Press,
1994, Hlm 231
[6] Mochtar Kusuma Atmaja,dalam Soetandyo Wignjosoebroto, Ibid
[7] Ifdal Kasim dalam Roberto M.Unger, Gerakan Studi Hukum
Kritis,Jakarta,ELSAM,1999,Hlm xi
[8] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis,1996,Candra Pratama, Jakarta, Hlm 291-292
[9] Soetandyo Wignjosoebroto,Hukum dalam Masyarakat Perkembangan dan
Masalah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga,Surabaya,2007,
Hlm 127
[10] Achmad Ali, op,cit, Hlm 204
[11] Soetandyo Wignjosoebroto, op.cit,Hlm 124
[12] Artidjo alkostar, Negara tanpa Hukum Catatan Pengacara Jalanan,
Pustaka Pelajar,Yogyakarta,2000, Hlm vii-viii
[13] Satjipto Rahardjo, Membedah
hukum progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008, Hlm 228-229
[14] Ibid,Hlm 229
[15] Ibid,Hlm 231
[16] Pembangunan atau perubahan etika atau moral tidak semudah memindahkan
telapak tangan,tetapi akan penuh dengan tantangan,karena ini akan berkaitan
dengan pandangan dan cara menilai. Hal ini akan terkait juga dengan membuat
keputusan. Membuat keputusan apapun untuk melakukan sesuatu harus melewati
sebuah proses rumit yang terdiri atas berbagai tahapan, yaitu :
1.
pemahaman dan penilaian
2.
motivasi
3.
berbagai bentuk hasrat dan
kesenangan
4.
berbagai faktor yang
mempengaruhi terhadap keputusan moral
Dalam
membuat keputusan haruslah memahami pokok permasalahannya melalui melakukan
penilaian apakah akibat ,manfaat, atau mudaratnya.Evaluasi ini membantu kita
memutuskan untuk berbuat atau tidak. Namun demikian semua itu ada latar
belakang motivasi yang mendorong untuk melakukan perbuatan tersebut. Demikian
juga dengan motivasi yang mendorong untuk melakukan perbuatan tersebut.Demikian
juga dengan motivasi ( Shomali, Muhammad A, Relativisme Etika, Analisis
Prinsip-prinsip Moralitas,terj. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta,2001