Sabtu, 23 Juni 2012

HUKUM ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA



Pemahaman Awal

Dunia usaha merupakan suatu dunia yang boleh dikatakan tidak dapat berdiri sendiri. Banyak aspek dari berbagai macam dunia lainnya turut terlibat langsung maupun tidak langsung dengan dunia usaha ini. Keterkaitan tersebut kadangkala tidak memberikan prioritas atas dunia usaha, yang pada akhirnya membuat dunia usaha harus tunduk dan mengikuti rambu-rambu yang ada dan seringkali bahkan mengutamakan dunia usaha sehingga mengabaikan aturan-aturan yang telah ada.[1]
Pesatnya perkembangan dunia usaha adakalanya tidak diimbangi dengan “penciptaan” rambu-rambu pengawas. Dunia usaha yang berkembang terlalu pesat sehingga meninggalkan rambu-rambu yang ada jelas tidak akan menguntungkan pada akhirnya.[2] Apabila hukum tidak ingin dikatakan tertinggal dari perkembangan bisnis dan dunia usaha, maka hukum dituntut untuk merespon segala seluk beluk kehidupan dunia usaha yang melingkupinya sebagai suatu fenomena atau kenyataan sosial. Itu berarti, peran hukum menjadi semakin penting dalam menghadapi problema-problema dunia usaha yang timbul seperti Monopoli dan Persaiangan Usaha Tidak Sehat.
Monopoli menggambarkan suatu keadaan dimana terdapat seseorang atau sekelompok orang yang menguasai suatu bidang tertentu secara mutlak, tanpa memberikan kesempatan kepada orang lain untuk ikut ambil bagian. Monopoli diartikan sebagai suatu hak istimewa (previlege), yang menghapuskan persaingan bebas, yang tentu pada akhirnya juga akan menciptakan penguasaan pasar. Pengertian monopoli dalam Black’s Law Dictionary: “Monopoly is a previlege or peculiar advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry on a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the wholesupply of a particular commodity.[3]
Persaingan usaha tidak sehat adalah suatu bentuk yang dapat diartikan secara umum terhadap segala tindakan ketidakjujuran atau menghilangkan persaingan dalam setiap bentuk transaksi atau bentuk perdagangan dan komersial. Unfair competition is a term which may be applied generally to all dishonest or fraudulent rivalry in trade and commerce, but is particularly applied to the practice of endeavoring to subtitute one’s own goods or products in the markets for those of another, having and established reputation and extensive sale, by means of imitating or counterfeiting the name, tittle, shape, or distinctive peculiarities of the article, or the shape, color, label, wrapper or general appearance of the package, or other such simulations, the immitation being carried far enough to mislead the general public or deceive an unwary purchaser, and yet not amounting to an absolute counterfeit or to the infringement of a trade mark or trade name. Adanya persaingan tersebut mengakibatkan lahirnya perusahaan-perusahaan yang mempunyai keinginan yang tinggi untuk mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi perusahaan yang besar dan paling kaya.[4]
Pada tanggal 5 Maret 1999 oleh Pemerintah Republik Indonesia dan DPR, akhirnya mengeluarkan suatu peraturan perundang-undangan tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dalam suatu Undang-undang, yaitu Undang-undang No. 5 tahun 1999.[5] Yang Dalam UU tersebut dimaksud dengan Monopoli adalah “penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku atau suatu kelompok pelaku usaha”. Sedangkan yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat adalah “ persaiangan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.”
Perangkat Hukum yang Ada Sebelum Lahirnya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.[6]
No
Aturan Perundang-
Undangan
Pasal
Isi
1
KUH Pidana (W.v.S)
Pasal 382 bis
Larangan dan ancaman pidana bagi pihak yang melakukan perdagangan curang
2
B.W.
Pasal 1365
Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian tersebut untuk memberi ganti rugi.
3
UU PA No.5 Tahun 1960
Pasal 13
Monopoli di bidang pertanahan harus dicegah.
4
UU No. 19 Tahun 1992/ UU No.14 Tahun 1997 tentang Merek
Pasal 81 dan 82
Ancaman pidana bagi perbuatan curang dalam pemakaian merek
5
UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
Pasal 7 (3)
Mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh salah satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat
6
UU No 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
Pasal 104 Ayat 1
Mencegah kemungkinan terjadinya monopoli atau yang merugikan masyarakat akibat penggabungan, peleburan dan pengambil alihan perusahaan
7
UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
Pasal 10
Melarang adanya ketentuan yang menghambat adanya persaingan sehat dalam pasar modal
8
UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
Pasal 8 (b)
Mencegah pembentukan struktur pasar  pasar yang dapat melahirkan persaingan yang tidak wajar dalam bentuk monopoli, oligopoli, dan monopoli yang merugikan usaha kecil.
9
Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas
Pasal 4(1b)
Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan perusahaan, hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan sehat
10
Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum.
Pasal 15 (1)
Merjer dan konsolidasi hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Menkeu.
Akan tetapi, dalam upaya menciptakan iklim persaingan yang sehat, ternyata masih belum ada putusan pengadilan Indonesia mengenai perbuatan curang yang dibuat berdasarkan gugatan perdata atas  dasar Pasal 1365 B.W. atau perkara pidana yang menggunakan Pasal 382 bis KUH Pidana. Yurisprudensi yang ada hanyalah perkara-perkara merek dagang sehingga yurisprudensi di bidang persaingan curang dan monopoli  usaha dalam rangka untuk mengatasi kelemahan aturan prundang-undangan yang berlaku melalui kearifan hakim sejauh ini belum pernah ditemukan.[7] Hal tersebut memperlihatkan bahwa penegak hukum memiliki pemahaman yang terbatas dalam memahami aspek-aspek di luar hukum. Akibat dari kelemahan penagak hukum maka praktek-praktek monopoli sampai saat ini masih serin terjadi dan secara terus menerus merugikan masyarakat.
Secara umum, materi dari Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini mengandung 6 (enam) bagian pengaturan yang terdiri dari :
  1. perjanjian yang dilarang.
  2. kegiatan yang dilarang.
  3. posisi dominan.
  4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha
  5. penegakan hukum
  6. ketentuan lain-lain
Dapat dipahami mengapa dalam pasar bebas harus dicegah penguasaan pasar oleh satu, dua, atau beberapa pelaku usaha saja (monopoli dan oligopoli), karena dalam pasar yang hanya dikuasai oleh sejumlah pelaku usaha maka terbuka peluang untuk menghindari dan mematikan bekerjanya mekanisme pasar (market mechanism) sehingga harga-harga ditetapkan secara sepihak dan merugikan konsumen. Pelaku usaha yang jumlahnya sedikit dapat membuat berbagai kesepakatan untuk membagi wilayah pemasaran, mengatur harga, kualitas dan kuantitas barang dan jasa yang ditawarkan (kartel) guna memperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya dalam waktu yang relatif singkat. Persaingan di antara para pelaku usaha juga dapat tejadi secara curang (unfair competition) sehingga merupakan konsumen, bahkan negara. Oleh karena itu, pengaturan hukum untuk menjamin terselenggaranya pasar bebas secara adil mutlak diperlukan.  Meskipun monopoli harus dicegah tapi sampai saat ini belum ada suatu perangkat hukum maupun bisnis yang mampu untuk mencegah terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Bahkan monopoli yang dilakukan oleh BUMN saat ini yang cenderung merugikan masyarakan ketimbang memberi manfaat sulit untuk di awasi. Keterbukaan informasi yang kurang menyebabkan praktek monopoli semakin merajalela dan masyarkat-pun tidak mampu berbuat apa-apa karena tidak mengetahuinya.
Jika berbicara mengenai monopoli, kita tidak dapat melepas perhatian kita dengan gejala perkembangan konglomerasi yang banyak menimbulkan reaksi dari kalangan masyarakat dan para ahli. Pendapat mereka pun tidak selamanya sama. Suara sumbang mengenai monopoli memang banyak terdengar. Adanya kelompok tertentu yang memonopoli suatu bidang atau produk tertentu mulai menjangkiti dan mewabah di Indonesia. Sebagai bentuk penguasaan pangsa pasar atas produk tertentu, monopoli bukan saja dapat menarik keuntungan sebesar-besarnya tetapi dapat mengganggu sistem dan mekanisme perekonomian yang sedang berjalan sebagai akibat distorsi ekonomi yang ditaburkannya, seiring dengan semakin besarnya penguasaan atas pangsa pasar dan produk tertentu.[8]
Sebuah atau beberapa perusahaan yang memonopoli produk tertentu dapat menentukan harga suatu produk sesuka hatinya, karena mekanisme pasar tidak berjalan lagi. Apalagi produk yang dimonopoli kebutuhan primer. Dapat dipastikan mereka akan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Masyarakat tidak ada pilihan lain kecuali membeli produk monopoli itu.[9]
Monopoli dapat terjadi dalam setiap sistem ekonomi. Dalam sistem ekonomi kapitalisme dan liberalisme, dengan instrumen adanya kebebasan pasar, kebebasan keluar masuk tanpa restriksi, serta informasi dan bentuk pasarnya yang atomistik monopolistik telah melahirkan monopoli sebagai anak kandungnya. Adanya persaingan tersebut mengakibatkan lahirnya perusahaan-perusahaan yang secara naluriah ingin mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi yang paling besar, paling hebat, dan paling kaya.[10]
Dalam sistem ekonomi sosialisme dan komunisme, monopoli juga terjadi dengan bentuk yang khas. Dengan nilai instrumental perencanaan ekonomi yang sentralistik mekanistik dan pemilikan faktor produksi secara kolektif, segalanya dimonopoli negara dan diatur dari pusat.[11]
Sedangkan di Indonesia dengan sistem ekonomi pancasila, kita mencoba menghilangkan ciri-ciri negatif yang terkandung dalam sistem liberalisme dan sosialisme. Ciri-ciri negatif  seperti free figh liberalism, yang membenarkan eksploitasi terhadap manusia, etatisme di mana negara besrta aparatur ekonomi negara bersifat dominan serta mendesak dan meminimumkan potensi dan daya kreasi unit ekonomi di luar sektor negara, dan pemusatan ekonomi pada salah satu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.[12]
Landasan Yuridis Philosofis
Dalam UU No 5 Tahun 1999 disebutkan pula tentang landasan Yuridis Philosofis dalam bidang perekonomian Indonesia yaitu ketentuan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, sebagai landasan pokok yang kuat bagi perekonomian Indonesia. Landasan Yuridis philosofis ini sebelumnya telah dicanangkan dalam landasan kebijakan ekonomi Indonesia dalam era pemerintahan Orde Baru. Kebijakan tersebut telah digariskan dalam Tap MPRS RI No. XXII/MPRS/1966 yang mengatur tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Dalam Pasal 7 (c) Tap MPRS RI No. XXII/MPRS/1966 lebih lanjut disebutkan, bahwa “ dalam demokrasi ekonomi di Indonesia, sudah tidak ada tempat bagi monopoli yang merugikan masyarakat.”[13] Namun sayang Tap MPRS tersebut dilanggar sendiri oleh rezim Orde Baru dengan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme-nya.
Dalam pasal 33 Undang-undang dasar 1945 dapat kita lihat ciri-ciri positif yang hendak kita capai dan mempertahankan dalam sistem perekonomian kita. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan, Cabang produksi yang penting bagi negara dan mengenai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara serta bumi dan air beserta kekayaan alam yang terkandung didalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi secara implisit, UUD 1945 juga mengakui adanya monopoli berupa penguasaan sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak. Ini terealisasi dari penguasaan yang dilakukan oleh badan usaha milik negara atas bidang tertentu. Misalnya PLN menguasai listrik, Pertamina memonopoli minyak dan gas bumi, PT PT Kereta Api menguasai perkretaapian.[14]
Kwik Kian Gie menjelaskan kriteria-kriteria terjadinya monopoli yang diizinkan oleh GBHN :
  1. monopoli diberikan kepeda penemu barang baru, seperti oktroi dan paten, maksudnya untuk memberikan insentif bagi pemikiran yang kreatif dan inofatif;
  2. monopoli yang diberikan oleh pemerintah kepada BUMN, lazimnya karena barang yang diproduksi menguasai hajat hidup orang banyak;
  3. monopoli yang diberikan kepada perusahaan swasta dengan kredit pemerintah;
  4. monopoli dan kedudukan monopolistik yang diperoleh dengan cara natural, karena monopolis menang dalam persaingan yang dilakukan secara sehat. Dalam hal demikian memang tidak apa-apa, namun masuknya siapa saja ke dalam investasi yang sama harus terbuka lebar;
  5. monopoli atau kedudukan yang monopolistik yang diperoleh secara natural karena investasinya terlampau besar, sehingga hanya satu saja yang berani dan bisa merealisasikan investasinya. Meski demikian, Pemerintah harus tetap bersikap persuasif dan kondusif dalam memecahkan monopoli;
  6. monopoli atau kedudukan monopolistik terjadi karena pembentukan kartel ofensif;
  7. monopoli atau kedudukan monopolistik yang terjadi karena pembentukan kartel defensif;
  8. monopoli yang diberikan kepada suatu organisasi dengan maksud membentuk dana bagi yayasan, yang dananya lalu dipakai untuk tujuan tertentu, seperti kegiatan sosial dan sebagainya.[15]
Macam-macam bentuk dan cara terjadinya monopoli
  1. MONOPOLY BY LAW
UUD  1945 pasal 33 juga membenarkan adanya monopoli jenis ini, yaitu dengan memberikan monopoli bagi negara untuk menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.[16]
Dengan demikian menurut UUD 1945, sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti perlistrikan, air minum, kereta api dan sektor-sektor lain yang karena sifatnya yang memberik palayanan untuk masyarakat dilegitimasi untuk dimonopoli dan tidak diharamkan.[17]
Sayangnya masih banyak pihak yang menyalahartikan maksud mulia yang dikandung UUD 1945 kita, seperti asas kekeluargaan ditafsirkan sebagai “keluarga sendiri. Sehingga sering kita lihat pada suatu institusi atau perusahaan hanya kerabat mereka saja yang dilibatkan.[18]
Pemberian hak-hak istimewa dan eksklusif atas penemuan baru, baik yang berasal dari hak cipta, hak paten, merk dagang, dan lain-lain juga merupakan bentuk monopoli yang diakui oleh undang-undang.[19]
  1. MONOPOLY BY NATURE
Yaitu monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh iklim dan lingkungan yang cocok. Kita dapat melihat bentuk monopoli seperti ini yaitu tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang karena memiliki keunggulan dan kekuatan tertentu dapat menjadi raksasa bisnis yang menguasai seluruh pangsa pasar yang ada. Mereka menjadi besar karena memiliki sifat-sifat yang cocok dengan tempat di mana mereka tumbuh. Selain itu karena berasal dan didukung bibit yang unggul serta memiliki faktor-faktor yang dominan.[20]
  1. MONOPOLY BY LICENSE
Monopoli ini diperoleh melalui lisensi dengan menggunakan mekanisme kekuasaan. Monopoli jenis inilah yang sering menimbulkan distorsi ekonomi karena kehadirannya mengganggu keseimbangan (equilibrium) pasar yang sedang berjalan dan bergeser kearah yang diingini oleh pihak yang memiliki monopoli tersebut.[21]
  1. Monopoli karena Terbentuknya Struktur Pasar Akibat Perilaku dan Sifat Manusia
Sifat-sifat dasar manusia yang menginginkan keuntungan besar dalam waktu yang singkat dan dengan pengorbanan dan modal yang sekecil mungkin atau sebaliknya, dengan menggunakan modal (capital) yang sangat besa untuk memperoleh posisi dominan guna menggusur para pesaing yang ada.[22]
Jenis monopoli yang dimaksud pada poin (3) dan (4) dapat mengganggu bekerjanya mekanisme pasar dan harus dilarang. Sementara itu, jenis monopoli pada poin (1) dan (2) tetap perlu diawasi dan diatur agar pada suatu waktu kekuatan ekonomi yang dimilikinya tidak akan disalahgunakan.[23]
Adanya Undang-undang tentang Larangan dan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan rambu-rambu dan batasan dalam mengakses “kue” pembangunan sehingga si besar tidak dengan seenaknya mengambil bagian si kecil. Batas-batas yang jelas akan merupakan pagar agar salah satu pihak melihat pihak lain bukan sebagai saingan tetapi sebagai mitra untuk bekerja sama.[24]
Sebelumnya usaha-usaha kearah itu sudah dilakukan pemerintah. Misalnya menganjurkan sistem Bapak Angkat. Perusahaan-perusahaan yang besar dianjurkan untuk menjadi “bapak” dan mendidiki anak-anaknya agar menjadi besar dan berguna bagi nusa dan bangsa. Konsep ini tampaknya cukup ideal bila semua pihak terpanggil untuk menjadi bapak dan mengasuh seorang anak untuk diasuh. Jika sudah menjadi bapak banyak juga yang belum benar-benar menjadi seorang bapak yang baik karena mereka masih mengharapkan sesuatu dari anak-anaknya.[25]
Selanjutnya pemerintah juga pernah menganjurkan agar perusahaan konglomerat mengalihkan sebagian kecil sahamnya kepada koperasi. Maksudnya juga agar jurang antara yang besar dan yang kecil tidak terlalu jauh dan si kecil tidak terlalu dikucilkan.
Sebagai bahan perbandingan kita dapat menimba pengalaman dari negara-negara lain. Sebagian dari mereka mengantisipasi praktek monopoli ini dengan mengeluarkan Undang-undang yang dapat mencegah monopoli. Amerika Serikat misalnya telah mengeluarkan The Sherman Antitrust Act, 1890, The Clyton Antitrust Act, 1914, Robinson Patman Act, 1936, Celler-Kefauver Act, 1950 dan The Federal Trade Comission Act, 1914. Di Jerman telah ada Undang-undang tentang Unfair Competition sejak tahun 1909. Di Philipina, ada satu chapter khusus tentang Frauds in Commerce & Trade pada Penal Codenya yang direvisi pada tahun 1930, dengan Act Nomor 3815.[26]
Di banyak negara yang sudah melaksanakan dan mempunyai undang-undang persaingan usaha, memilih efisiensi, efektifitas kegiatan usaha, dan kesejahteraan umum/rakyat (konsumen) sebagai tujuan utama dari kebijakanmaupun undang-undang persaingan usahanya.
Sedangkan di Indonesia tujuan undang-undang persaingan usaha ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus ;[27]
  1. Secara umum tujuannya adalah menjaga kelangsungan persaingan antar pelaku usaha itu sendiri agar tetap hidup dan diakui keberadaannya.
  2. Secara yuridis tujuan undang-undang persaingan usaha di Indonesia telah diatur dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999, yaitu:
    1. Menjaga kepentingan umum serta melindungi konsumen
    2. Menumbuhkan iklim usaha yang sehat;
    3. mnjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang;
    4. Mencegah praktik-praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
    5. Menciptakan efekvifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejakteraan rakyat
Kerangka Dasar Pengaturan UU Nomor 5 Tahun 2009
Selanjutnya, jika kita lebih seksama mempelajari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, maka kandungan substansi yang diaturnya meliputi hal-hal sebagai berikut.[28]
  1. Perumusan istilah atau konsep-konsep dasar yang terdapat atau dipergunakan dalam undang-undang maupun aturan pelaksanaan lainnya, agar dapat diketahui pengertiannya, Pasal 1 memuat perumusan dari 19 istilah atau konsep dasar, yaitu pengertian
    1. monopoli,
    2. praktik monopoli
    3. pemusatan kekuatan ekonomi
    4. posisi dominan
    5. pelaku usaha
    6. persaingan usaha tidak sehat
    7. perjanjian
    8. persekongkolan atau konspirasi
    9. pasar
    10. pasar bersangkutan
    11. struktur pasar
    12. perilaku pasar
    13. pangsa pasar
    14. harga pasar
    15. konsumen
    16. barang
    17. jasa
    18. komisi
    19. pengawas persaingan usaha
    20. pengadilan negeri
  2. Perumusan kerangka politik anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, berupa asas dan tujuan pembentukan undang-undang, sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
  3. Perumusan macam perjanjian yang dilarang dilakukan pengusaha. Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 memuat macam perjanjian yang dilarang tersebut yaitu perjanjian :
    1. oligopoli
    2. penetapan harga
    3. pembagian wilayah pemasaran,
    4. pemboikotan
    5. kartel
    6. oligopsoni
    7. integrasi vertikal
    8. perjanjian tertutup
    9. perjanjian dengan pihak luar negeri
  4. Perumusan macam kegiatan yang dilarang dilakukan pengusaha. Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 memuat macam kegiatan yang dilarang tersebut, yaitu monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan;
  5. Perumusan macam posisi dominan yang tidak boleh dilakukan pengusaha. Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 memuat macam posisi dominan yang tidak boleh dilakukan tersebut, yaitu :
    1. jabatan rangkap
    2. pemilikan saham
    3. serta penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
  6. Masalah susunan, tugas dan fungsi Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 memuat perumusan status, keanggotaan, tugas, wewenang, dan pembiayaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
  7. Perumusan tata cara penanganan perkara persaingan usaha oleh KPPU. Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 memuat perumusan
    1. penerimaan laporan,
    2. pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan
    3. pemeriksaan terhadap pelaku usaha dan alat-alat bukti, jangka waktu pemeriksaan
    4. Putusan Komisi
    5. Kekuatan putusan komisi
    6. Upaya hukum terhadap putusan komisi
  8. Ketentuan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelau usaha yang telah melanggar ketentuan dalam undang-undang. Pasal 47 sampai dengan Pasl 49 memuat macam sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha, yaitu :
    1. administratif
    2. pidana pokok
    3. pidana tambahan
  9. Perumusan perbuatan atau perjanjian yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang dan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara dan/atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah. Pasal 50 memuat ketentuan yang dikecualikan dari undang-undang dan Pasal 51 memuat ketentuan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara.
  10. Hal-hal yang menyangkut pelaksanaan undang-undang, yaitu perumusan ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Pasal 52 mengatur bahwa pelaku usaha yang telah membuat dan/atau melakukan kegiatan dan/atau tindakan yang tidak sesuai dengan undang-undang diberi waktu untuk menyesuaikan selama 6 (enam) bulan sejak undang-undang diberlakukan. Sedangkan Pasal 53 mengatur mulai berlakunya undang-undang, yaitu terhitung sejak 1 (satu tahun sesudah undang-undang diundangkan oleh pemerintah, yaitu tepatnya 5 maret 2000.
Dalam pengaturan persaingan ditetapkan norma larangan memiliki dua sifat yang harus dimasukkan dalam pengaturan undang-undang, yaitu larangan yang bersifat per se illegal dan yang bersifat rule of reason.
Berbagai literatur tentang hukum persaingan usaha sering disinggung mengenai rule of reason dan per se tersebut. Dalam literatur tersebut rule of reason dan per se dibahas serba sedikit untuk memberikan pemahaman dan perbandingan hukum persaingan usaha (competition law) yang berlaku di Amerika. Dikemukakan dalam literatur tersebut bahwa kedua prinsip tersebut merupakan pendekatan untuk melakukan penilaian terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Sherman Act, Clayton Act, Federal Trade Commission Act – Antitrust Law (Asril Sitompul, 1999; 9, Elyta Ryas Ginting, 2001; 28).[29]
Pengertian Rule of Reason dan Per Se Rule
Asri Sitompul mendefinisikan rule of reason adalah suatu pendekatan dengan menggunakan pertimbangan akan akibat suatu perbuatan, apakah mengakibatkan praktek monopoli dan akan menimbulkan kerugian dipihak lain. Sedangkan Susanti Adi Nugroho rule of reason adalah pertimbangan yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan dimana penggugat dapat menunjukkan akibat-akibat yang menghambat persaingan, atau kerugian nyata terhadap persaingan. Dari dua definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa rule of reason merupakan (a) suatu pertimbangan hakim untuk menentukan apakah suatu perbuatan tertentu melanggar hukum persaingan atau tidak, (b) prinsip yang akan digunakan untuk menentukan perbuatan tertentu melanggar atau tidak didasarkan pada akibat yang muncul dari perbuatan yaitu menghambat persaingan atau melahirkan kerugian pada pelaku usaha lain.[30]
Per se rule didefinisikan oleh Asril Sitompul suatu pendekatan dimana perbuatan dinyatakan sebagai pelanggaran dan dapat dihukum tanpa perlu melakukan pertimbangan apakah perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian atau menghambat persaingan. Sedangkan Susanti mendefinisikan per se rule sebagai larangan yang jelas dan tegas tanpa mensyaratkan adanya pembuktian mengenai akibat-akibatnya atau kemungkinan akibat adanya persaingan. Dari kedua definisi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan per se rule adalah perbuatan tersebut secara jelas dan tegas akan dianggap pelanggaran oleh hakim tanpa melihat apakah terdapat akibat yang merugikan atau menghambat persaingan.[31]
Syamsul Maarif (2002) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan rule of reason adalah bahwa suatu larangan yang baru berlaku apabila suatu kegiatan usaha dapat menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Larangan bersifat Per se adalah larangan yang memang secara alamiah dilarang tanpa perlu dikaitkan dengan dampak kegiatan tersebut pada persaingan karena pada dasarnya memang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.[32]
Para ahli hukum persaingan usaha Indonesia dalam memberikan definisi rule of reason dan per se rule dapat melakukannya secara tepat namun hanya sebatas memberikan definisi tanpa melihat latar belakang kemuncullannya. Berbeda dengan penulis dari AS yang selalu melihat rule of reason dan per se rule secara kontekstual artinya prinsip tersebut muncul karena putusan hakim dalam mengadili suatu perkara persaingan usaha. J. David Reitzel (2001; 965)  secara lengkap dikutip pemahaman Reitzel mengenai rule of reason adalah sebagai berikut; [33]
In Standard Oil the court rejected its earlier position that al contracts in restraint of trade were prohibited by the Sherman Act and applied what has come to be called the rule of reason. The Court rule that the Congressional intent was to prohibit only those contracts that reasonably restrainted trade. This rule of reason – that is the process of determining if a defendant’s conduct sufficiently anticompetitive to constitute an “unreasonable restraint” – is very much a part of antitrust law today Section 1 cases.
Sedang mengenai definisi per se rule, Reitzel (2001) menegaskan pendapatnya dengan mengutip pendapat Justice Stone yang mengadili kasus United States v. Trenton Potteries Co (1927), [34]
“agreement which create such potential power may well be held to be in themselves [‘per se”] unreasonable or unlawful restraintt, without the necessity of minute inquiry wether a particular price is reasonable as fixed and without placing on the govement in enforcing the Sherman Law the burden of ascertaining from day to day whether it has become unreasonable through the mere variation of economic conditions.
Pendapat lain dikemukakan oleh Henry Cheeseman (2001; 958) mengatakan bahwa di Amerika Serikat penggunaan per se rule oleh Mahkamah Agung apabila pembatasan perdagangan dianggap secara inheren merupakan tindakan anti persaingan (once a restraint is characterize as a per se violation, no defenses or justifications for restraintt will save it, and no further evidence need be considered)[35]
Rule of reason menurut Cheeseman merupakan kebalikan dari kriteria per se illegal yang menentukan meskipun suatu perbuatan telah memenuhi rumusan undang-undang, namun jika ada alasan obyektif (biasanya alasan ekonomi) yang dapat membenarkan (reasonable) perbuatan tersebut, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu pelanggaran. Di AS, pengadilan melakukan pengujian terhadap kasus-kasus yang ditangani dengan menggunakan faktor-faktor yang terdapat rule of reason antara lain:[36]
1. The pro- and anticompetitive effects of the challenged restraintt;
2. The competitive structure of the industry;
3. The firm’s market share and power;
4. The history and duration of the restraintt;
5. Other relevan factors.
Dalam Black’s Law Dictionary (1990;  1332) memberikan definisi rule of reason dan per se rule sebagai berikut; [37]
Under “rule of reason” test for determining whether alleged acts violated §1 the Sherman Anti-Trust act (15 U.S.C.A. §1), which declares conspiracies in restraint of trade to be illegal, fact finder must weigh all circumstances of the case to decide whether practice unreasonably restraints competition, and the test requires that plaintiff show anticompetitive effects, or actual harm to competition, and not whether the practices were unfair or tortious.
Per se violations in anti-trust law, term that implies that certain types of business agreements, such as price fixing, are considered inherently anti-competitive and injurious to the public without any need to determine if the agreement has actually injured market competition.
Selain adanya pengertian per se violations, ada yang disebut sebagai per se doctrine, yaitu if any activity is blatant in its intent and pernicious in its effect, a court need not inquire into reasonableness of the same before determining that it si a violation of the antitrust law.
Thomas Misslin (1998) mendefinisikan rule of reason dan per se rule adalah;[38]
a practice illegal per se infringes antitrust in itself regardless of whether the promoters of the arrangement have market power, and thus in effect able to harm competition, and irrespective of mitigating circumstances of proffered justifications. Rule of reason, in antitrust, the rule of reason weighs the anticompetitive affects of a challenged practice against its procompetitive effects. The rule of reason is a reasoned inquiry which purports to answer questions such as: can this behavior be explained as an attempt to harm competition? Does this restraintt promote rather than injure competition? Would not there be a less deleterious way of furthering the company’s goal?
Definisi rule of reason dan per se rule diberikan atas dasar keputusan hakim yang memutuskan kasus-kasus persaingan usaha di Amerika. Karena dalam Sherman Act mengatur perilaku yang dinyatakan melanggar hukum (illegal) atau berusaha untuk melakukan monopoli usaha perdagangan. Keputusan hakim sangat berpengaruh dalam  perjalanan hukum persaingan usaha di Amerika, putusan sangat berperan dalam pembentukan hukum yang didukung oleh sistem hukum yaitu common law bahwa hakim adalah pembuat hukum (judge made law). Bahwa rule of reason dan per se lahir akibat dari sistem common law, dan hal ini sepenuhnya disadari oleh para penulis hukum persaingan usaha. Bahkan Susanti (2001; 31) dengan tegas mengatakan bahwa;[39]
Dalam hubungannya dengan penerapan peraturan hukum yang berkaitan dengan monopoli, Mahkamah agung Amerika Serikat mempunyai peranan yang sangat penting. Pandangan-pandangan para hakim agung mengenai praktek-praktek bisnis yang mengarah kepada monopoli selalu mengalami perubahan dan perubahan tersebut secara umum merefleksikan perkembangan-perkembangan yang berlangsung dalam bidang ekonomi dan politik.
Kesadaran penulis akan arti penting rule of reason dan per se dalam hukum persaingan di Amerika tidak diwujudkan dalam mencari pengertian kedua prinsip tersebut dalam kerangka perjalanan sejarah hukum persaingan. Rule of reason dan per se bagi para penulis seolah-olah menganggap keberadaannya hanya sekedar untuk menentukan suatu perbuatan atau kegiatan dalam rumusan UU Persaingan Usaha termasuk dalam klasifikasi tertentu. Padahal dalam pembentukan kedua prinsip tersebut muncul dari penafsiran hakim yang termuat dalam suatu putusan pengadilan. Keputusan hakim untuk substansi kasus yang sama dapat didekati dengan prinsip yang berbeda, dengan kata lain apabila di suatu waktu misalnya horizontal price fixing menggunakan analisa dengan per se standar tetapi waktu yang berbeda digunakan rule of reason.[6][40]
Ketiadaan pemahaman yang komprehensif terhadap rule of reason dan per se akhirnya menjerumuskan kepada pemahaman terhadap UU Persaingan Usaha. Oleh banyak pihak bahwa keberadaan rule of reason dan per se terdapat pada ketentuan atau pasal-pasal dalam UU Persaingan Usaha. Sehingga tidak heran apabila penulis seperti Susanti kemudian membuat klasifikasi terhadap ketentuan yang mengatur tentang perjanjian dan kegiatan yang dilarang berdasarkan ‘pendekatan’ rule of reason dan per se. Kurang disadari bahwa prinsip rule of reason dan per se merupakan hasil penafsiran dari pengadilan (hakim) terhadap ketentuan Sherman Act. Mengacu pada Section 1 dan 2 Sherman Act bahwa rule of reason dan per se tidak terdapat pada ketentuan tersebut. Selengkapnya Section 1 dan 2 Sherman Act menyatakan;[41]
Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy, in restraint of trade or commerce among several States, or with foreign nation, is declared to illegal. Every person who shall make any contract or engage in any combination or conspiracy declared to be illegal shall be deemed guilty of a felony, and, on conviction thereof, shall be punished by fine not exceeding one million dollars if a corporation, or, if any other person, one hundred thousand dollars, or by imprisonment not exceeding three years, or by both side punishment, in the discretion of the court.
Every person who shall monopolize, or attempt to monopolize, or combine or conspire with any other person or persons, to monopolize any part of trade or commerce among the several States, or with foreign nations, shall be deemed guilty of a felony, and, on conviction thereof, shall be punished by fine mot exceeding one million dollars if a corporation, or, if any other person, one hundred thousand dollars, or by imprisonment not exceeding three years, or by both said punishments, in the discretion of the courts.
Sherman Act hanya mengatur dua hal, yaitu (a) bahwa kontrak, persekongkolan atau kerjasama yang bertujuan untuk mengadakan pembatasan perdagangan dinyatakan sebagai pelanggaran hukum dan (b) setiap orang yang melakukan praktek monopoli atau melakukan konspirasi untuk melakukan monopoli dinyatakan bersalah. Dari bunyi ketentuan Section 1 Sherman Act tidak mengemuka prinsip rule of reason dan per se. Diantara kedua prinsip tersebut yang pertama kali muncul adalah prinsip rule of reason yang merupakan hasil penafsiran hakim pada saat mengadili kasus Standard Oil Company of New Jersey v. United States (1991). Pada kasus tersebut hakim berpendapat bahwa penafsiran yang kaku terhadap ketentuan dalam Section 1 Sherman Act tidak dapat diberlakukan dalam perjanjian bisnis pada umumnya. Apabila dilakukan demikian (penafsiran yang kaku) maka akibatnya semua perjanjian atau kerjasama adalah melanggar Section 1 Sherman Act, dan hal tersebut bukan yang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang (Kongres). Bahwa yang dimaksud membatasi perdagangan (restraint of trade) adalah perjanjian/kontrak/kerjasama membatasi perdagangan secara tidak masuk akal (unreasonably restraintt of trade) (David Reitzel, 2001; 965).[42]
Suatu ketentuan yang bersifat per se illegal tidak diperlukan lagi pembuktian dampak larangan tersebut sehingga jika ada pelaku usaha yang melakukan sesuatu yang dinyatakan yang secara eksplisit dilarang undang-undang, pelaku usaha tersebut dinyatakan melanggar, tanpa perlu membuktikan hasil atau akibat tindakan yang dilakukan. Sementara itu, ketentuan yang bersifat rule of reason memerlukan bukti suatu tindakan yang dilakukan pelaku usaha, apakah tindakan tersebut tergolong antipersaingan atau merugikan masyarakat.[43]
Tujuan utama (principal objectives Undang-undang Persaingan Usaha adalah untuk mendorong timbulnya persaingan dalam rangja mencapai efisiensi ekonomi (economic efficiency) dan kesejahteraaan konsumen (consumer welfare). Kepentingan publik (public interest), Seperti isu tentang keadilan, pembangunan regional, dan penyediaan lapangan kerja (employment), pemberdayaan perusahaan kecil dan menengah juga merupakan bagian dari sasaran-sasaran yang ingin dicapai melalui undang-undang persaingan.[44]
1. Larangan yang Bersifat Per Se Ilegal
Larangan yang bersifat per se rule adalah bentuk larangan yang tegas dalam rangka memberikan kepastian bagi para pelaku usaha dalam memaknai norma-norma larangan dalam persaingan usaha. Dalam praktik, pengaturan ini berguna agar pelaku usaha sejak awal mengetahui rambu-rambu larangan terhadap perbuatan apa saja yang dilarang dan harus dijauhkan dalam praktik usahanya guna menghindari munculnya potensi resiko bisnis yang besar di kemudian hari sebagai akibat pelanggaran terhadap norma-norma larangan tersebut.[45]
Perbuatan-perbuatan sebagai manifestasi perilaku para pelaku usaha yang secara tegas dilarang (per se illegal) antara lain menetapkan berbagai bentuk perjanjian yang dilarang (Bab III) dan kegiatan yang dilarang (Bab IV), tegasnya aturan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 15, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999. Apabila para pelaku usaha tidak mampu mengandalikan dirinya dan melanggar ketentuan hukum yang mengaturnya (per se illegal), maka KPPU cukup membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran. Dengan demikian pelaku usaha yang bersangkutan sudah dianggap telah melakukan perbuatan yang dilarang tanpa melihat lagi efek yang ditimbulkannya. Pelanggaran terhadap larangan yang bersifat per se, ancaman pidana pokoknya lebih rendah dari pada pelanggaran terhadap larangan yang bersifat rule of reason (vide Pasal 48). Hal ini dapat dipahami karena proses pembuktiannya tidak serumit proses pembuktian terhadap larangan yang bersifat rule of reason.
2.  Larangan yang Bersifat Rule of Reason
Dalam lingkup doktrin rule of reason, jika suatu kegiatan yang dilarang dilakukan oleh seorang pelaku usaha dilihat seberapa jauh efek negatifnya. Jika terbukti secara signifikan adanya unsur yang menghambat persaingan, baru diambil tindakan hukum. Ciri-ciri pembeda terhadap larangan yang bersifat rule of reason, pertama dalah bentuk aturan yang menyebutkan adanya persyaratan tertentu yang harus terpenuhi sehingga memenuhi kualifikasi adanya potensi bagi terjadinya praktik monopoli dan atau praktik persaingan usaha yang tidak sehat seperti yang dapat ditemukan dalam Pasal 4, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 26, dan Pasal 28 UU No. 5 Tahun 1999. Ciri kedua adalah apabila dalam aturan tersebut memuat anak kalimat “patut diduga atau dianggap”. Pengaturan seperti itu dapat ditemukan dalam Pasal 4 angka (2), Pasal 13 angka (2), Pasal 17 angka (2), dan Pasal 18 angka (2).
Perbuatan-perbuatan dan kegiatan yang dilarang dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999 yang bersifat rule of reason antara lain apabila pelaku usaha melakukan beberapa hal berikut.
  1. Perjanjian yang bersifat oligopoli (Pasal 4)
  2. Perjanjian pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar (Pasal 9)
  3. Perjanjian yang bersifat kartel (Pasal 11)
  4. Perjanjian yang bersifat trust (Pasal 12)
  5. Perjanjian yang bersifat oligopsoni (Pasal 13)
  6. Kegiatan usaha yang melakukan praktik Monopoli (Pasal 17)
  7. Kegiatan usaha yang melakukan praktik monopsoni (Pasal 18)
  8. Kegiatan penguasaan pasar (Pasal 19)
  9. Kegiatan menjual di bawah harga pokok (predatory pricing) dalam Pasal 20
  10. Jabatan rangkap dalam perusahaan-perusahaan yang saling bersaing (interlocking directorate) dalam Pasal 26
  11. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perusahaan lain (Pasal 28)
Perbuatan-perbuatan yang dimaksud jika terbukti merupakan perbuatan yang menghalangi persaingan (antikompetitif) selain menghadapi sanksi administratif (vide Pasal 47) juga diancam sanksi pidana, baik pidana poko (vide Pasal 48 ayat 1) maupun pidana tambahan (vide Pasal 49).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia oligopoli diartikan sebagai : “ Keadaan pasar yang produsen penjual barang hanya berjumlah sedikit sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi pasar.” Oleh karena keterlibatan lebih dari satu pelaku usaha maka dalam oligopoli diperlukan adanya kesepakatan antar pelaku usaha tersebut untuk menguasai pasar secara bersama-sama tanpa merugikan sesamanya. Kejadian seperti itu baru akan terjadi apabila beberapa perusahaan menyadari bahwa kebijakan penentuan harga-harga mereka memiliki ketergantungan antarsesamanya.
Kartel umumnya dipraktikkan oleh asosiasi dagang (trade asociations) bersama para anggotanya. Banyak sekali hal yang bermanfaat dengan adanya suatu asosiasi dagang, misalnya upaya menyusun suatu standar teknis atau upaya bersama mengatasi polusi akan menjadi ringan bila diikuti para anggota. Akan tetapi, bahaya yang akan muncul bila kegiatan asosiasi tersebut ditujukan untuk mengatur harga karena akan menghambat serta menghalangi terjadinya suatu persaingan yang sehat.
Penyususn undang-undang juga melihat bahwa salah satu sarana untuk melakukan tindakan persaingan yang tidak sehat adalam membuat perjanjian atau kontrak dengan para pelaku usaha tertentu. Dalam hubungan ini, Pasal 1 ayat (7) memberikan definisi tentang perjanjian sebagai berikut. “ Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis”.[46] Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah peraturan dalam hal perizinan kegiatan yang dibuat oleh pemerintah tidak terlepas dari tujuan monopoli suatu pihak tertentu ?, tentunya hal tersebut pelu dipertanyakan mengingat perizinan usaha merupakan sarana pengusaha untuk membuka suatu usaha menjadi lancar dan sah, tentunya tingkat kesulitan persyaratan tersebut harus menjadi pertimbangan penilaian apakah menguntungkan pihak-pihak tertentu atau tidak.
Tentang Sifat Pelarangan Tindakan Anti Monopoli dan Persaingan Curang[47]
No
Tindakan yang dilarang
Pasal
Rule of Reason / Per Se
1.
Olipoli
4
RR dengan Presumsi
2.
Penetapan Harga
5 s.d. 8
RR dan PS
3.
Pembagian Wilayah
9
RR tidak tegas
4.
Pemboikotan
10
RR
5.
Kartel
11
RR tidak tegas
6.
Trust
12
RR tidak tegas
7.
Oligopsoni
13
RR dengan Presumsi
8.
Integrasi Vertikal
14
RR tidak tegas
9.
Perjanjian Tertutup
15
PS
10.
Perjanjian Luar Negeri
16
RR tidak tegas
11.
Monopoli
17
RR dengan Presumsi
12.
Monopsoni
18
RR dengan Presumsi
13.
Penguasaan Pasar
19 s.d. 21
RR tidak tegas
14.
Persekongkolan
22 s.d .24
RR  dan PS
15.
Posisi Dominan Umum
25
RR dengan Presumsi
16.
Jabatan Rangkap
26
RR tidak tegas
17.
Pemilikan Saham
27
RR
18.
Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi
28 s.d. 29
RR tidak tegas
Keterangan :
- Rule of Reason dilihat dari kata-kata “Mengakibatkan” terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
- Per Se dilihat dari tidak adanya persyaratan yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
- Rule of  Reason Tidak Tegas karena dipergunakan kata-kata “Dapat” mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
Perbandingan  penentuan prinsip rule of reason dan per se
antara KPPU dengan Susanti Adi Nugroho
Rule of  Reason
Per se rule
KPPU
Susanti
KPPU
Susanti
Oligopoli
Oligopoli**
Price fixing
Penetapan harga
Predatory pricing
Penetapan harga
Diskriminasi harga
Perjanjian tertutup
Pembagian  wilayah
Pembagian wilayah*
Perjanjian tertutup
persekongkolan
Kartel
Kartel*
Persekongkolan
Trust
Trust*
Posisi dominan untuk Pasal 25 (1)
Oligopsoni
Oligopsoni**
Posisi dominan untuk Pasal 26 huruf a dan b
Integrasi vertikal
Integrasi vertikal*
Perjanjian dengan pihak luar negeri
Perjanjian dengan pihak luar negeri
Monopoli
Monopoli**
Monopsoni
Monopsoni**
Penguasaan pasar
Penguasaan pasar*
Jabatan rangkap
Posisi dominan**
Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan
Boikot
Persekongkolan
Selanjutnya, untuk mengetahui baik atau buruk dari apa yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, termasuk dalam bidang bisnis. Secara normatif-etis telah berkembang tiga teori dasar sebagai berikut :[48]
(1) Teori Ethical Egoism
(2) Teori Ethical Altruism
(3) Teori Utilitarianism
(Regan, Tom, 1984:20)
Penjelasan dari masing-masing teori adalah sebagai berikut :
(1) Teori Ethical Egoism
Terori ini hanya melihat terhadap si pelaku  sendiri. Dalam hal ini teori tersebut mengajarkan bahwa benar atau salah dari sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang diukur dari apakah hal tersebut mempunyai dampak yang baik atau buruk terhadap orang tersebut itu sendiri. Bagaimana dampak dari perbuatan tersebut bagi orang lain tidak relevan, kecuali jika akibat terhadap orang lain tersebut akan mengubah dampak terhadap si pelaku tersebut.
(2) Teori Ethical Altruism
Teori ini lebih menitikberatkan kepada kepentingan dari pihak lain dari pihak yang melakukan suatu perbuatan. Menurut teori ini, apakah seseorang telah melakukan sesuatu perbuatan yang secara moral terbilang benar atau salah bergantung bagaimana dampak dari perbuatan tersebut terhadap pihak lainnya. Perbuatan tersebut dianggap benar jika berdampak baik bagi pihak lain. Demikian juga sebaliknya. Bagaimana dampak dari perbuatan tersebut bagi si pelakunya tidak relevan untuk dipertimbangkan, kecuali jika bagaimana dampak terhadap pihak lain tersebut mempunyai dampak yang dapat membalikkan dampak terhadap si pelaku tersebut.
(3) Teori Utilitarianism
Teori ini lebih menitikberatkan kepada manfaat dari setiap tindakan terhadap seluruh atau sebagian besar orang. Menurut teori ini, benar atau salah sesuatu perbuatan diukur dari apakah perbuatan tersebut berdampak baik atau buruk kepada setiap orang, baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri.
Tindakan monopoli itu memang harus diatur oleh hukum, karena dengan praktek bisnis yang berdasarkan atas monopoli mempunyai banyak kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah sebagai berikut :[49]
(a) Ketinggian harga
Dengan monopoli akan terjadi suatu ketinggian harga-harga di pasar. Tingginya harga ini diakibatkan oleh tidak adanya kompetisi pasar. Hal ini akan mendorong timbulnya inflasi sehingga dapat merugikan masyarakat secara luas.
(b) Excess profit
Karena tidak ada saingan, maka dengan monopoli, suatu harga dapat ditentukan seenak-enaknya, sehingga monopoli tersebut sangat berpotensial timbulnya keuntungan yang berlebih-lebihan, Karena itu pula, suatu monopoli dianggap sebagai suatu pranata ketidakadilan.
(c) Eksploitasi
Eksploitasi dapat terjadi baik terhadap buruh dalam bentuk upah, tetapi terlebih-lebih terhadap konsumen, karena rendahnya mutu produk dan hilangnya hak pilih dari konsumen, karena tidak ada kompetisi di antara pihak produsen barang.
(d) Pemborosan
Perusahaan monopoli cenderung kepada pemborosan karena tidak beroperasi pada everage cost yang minimum. Hal ini menyebabkan ketidakefisienan perusahaan, dan akhirnya cost tersebut ditanggung konsumen.
(e) Entry barrier
Monopoli akan menguasai pangsa pasar yang besar. Hal ini akan mengakibatkan perusahaan lain terhambat untuk bisa masuk ke bidang-bidang operasi perusahaan monopoli tersebut, dan gilirannya nanti akan mematikan perusahaan kecil dan/atau perusahaan pemula.
(f) Ketidakmerataan pendapatan
Monopoli dapat mengakibatkan timbulnya unsur akumulasi modal dan pendapatan dari usaha monopoli.


  - Dibuat Oleh : Alfa Aprias

PERLINDUNGAN KONSUMEN




Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besamya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi. cara penjualan. Serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangal potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan di atas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahimya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
a)      Pengertian
Di dalam Undang – undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen adalah  segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Konsumen adalah setiap orang pemakai harang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, haik hagi  kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau hadan usaha, haik yang berbentuk hadan hukum maupun hukan hadan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan keglatan dalam wilayah hukum negara  Repuhlik Indonesia, haik sendiri maupun bersama-samamelalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha  dalam berbagai hidang ekonomi.
b)     Hak dan kewajiban konsumen
Hak konsumen adalah :
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/ataujasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban konsumen adalah :
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa. demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

c)      Hak dan kewajiban pelaku usaha
Hak pelaku usaha adalah :
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban pelaku usaha adalah :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar .jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji. dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi. ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan. pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi. ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.