Selasa, 24 Februari 2015
HUBUNGAN HUKUM ANTARA PENCIPTA LAGU INDIE DENGAN STASIUN RADIO ATAS PERFORMING RIGHT MUSIK DAN LAGU INDIE DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III (TIGA) KUHPERDATA
Ashibly
Fakultas Hukum Universitas Prof. Dr. Hazairin.SH
Jl. Jend. Ahmad Yani No.1 Bengkulu
Email :ashibly23@gmail.com
Abstract
One of the intellectual
work that goes specifically IPR regimes and copyright regime is the creation of
a song or music. One of Economic Rights of Copyright is Right Performance
(Performance Right). In the legal relationship between the parties songwriter indie radio
station. Creator ought to music or indie songs have economic rights over the
creation of music or song just like the Creator in general. issues to be
discussed in this paper are (1) How is the legal relationship between
songwriter indie radio station on the Performing Right Indie Music and
Songs associated with the Book III (Three) of the Civil Code ?. The approach
used in discussing issues of law relationship with songwriter indie radio
stations right on performing music and indie song is normative juridical
approach. in the legal relationship between the Creator again indie radio
station using the agreement in oral form. If associated with Book III of the
Civil Code Article 1338, all agreements made legally valid as the law for those
who make it. That is the principle of freedom of contract as the legal basis of
the agreement.
Keywords: copyright,
performance right, independent, legal relations
Abstrak
Salah satu karya intelektual yang masuk rezim HKI dan secara khusus rezim
hak cipta adalah ciptaan lagu atau musik. Salah satu Hak Ekonomi dari Hak Cipta
adalah Hak Pertunjukan (Performance Right). Di dalam hubungan hukum
antara pihak Pencipta lagu indie dengan stasiun radio.
Seharusnya Pencipta musik atau lagu indie memiliki hak ekonomi
atas musik atau lagu yang diciptakannya layaknya seperti Pencipta pada
umumnya. permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah (1) Bagaimana
hubungan hukum antara Pencipta lagu indie dengan stasiun radio
atas Performing Right Musik dan Lagu Indie dihubungkan
dengan buku III (Tiga) KUHPerdata?. Pendekatan yang digunakan dalam
membahas masalah hubungan hukum pencipta lagu indie dengan
stasiun radio atas performing right musik dan
lagu indie adalah metode pendekatan yuridis normatif. Di
dalam hubungan hukum antara Pencipta lagi indie dengan stasiun
radio menggunakan perjanjian dalam bentuk lisan. Jika dikaitkan dengan Buku III
KUHPerdata Pasal 1338, maka semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya asas kebebasan
berkontrak menjadi dasar hukum dari perjanjian tersebut.
Kata Kunci : hak cipta, performance right, indie, hubungan
hukum
Pendahuluan
Salah satu cabang-cabang utama HKI adalah
Hak Cipta, yang dimaksud dengan Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta
untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya dalam bidang ilmu pengetahuan,
seni dan sastra yang antara lain dapat terdiri dari buku, program komputer,
ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu, serta hak
terkait dengan pelaku (performer), misalnya seorang penyanyi atau penari
di atas panggung, merupakan hak terkait yang dilindungi hak cipta1.
Pengertian Hak Cipta asal mulanya
menggambarkan hak untuk menggandakan atau memperbanyak suatu karya cipta.
Istilah copyright (hak cipta) tidak jelas siapa yang pertama
kali memakainya, tidak ada 1 (satu) pun perundang-undangan yang secara jelas
menggunakannya pertama kali. Menurut Stanley Rubenstain, sekitar tahun 1740
tercatat pertama kali orang menggunakan istilah “copyright”. Di Inggris
pemakaian istilah hak cipta (copyright) pertama kali berkembang untuk
menggambarkan konsep guna melindungi penerbit dari tindakan penggandaan buku
oleh pihak lain yang tidak mempunyai hak untuk menerbitkannya2.
Secara tradisional, Hak Cipta telah
diterapkan ke dalam buku-buku, tetapi sekarang Hak Cipta telah meluas dan
mencakup perlindungan atas karya sastra, drama, karya musik dan artistik,
termasuk rekaman suara, penyiaran suara film dan televisi dan program komputer3.
Salah satu karya intelektual yang masuk
rezim HKI dan secara khusus rezim hak cipta adalah ciptaan lagu atau musik.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, produk-produk yang
berkaitan dengan ciptaan lagu atau musik pun telah memberikan andil bagi
peningkatan perekenomian masyarakat. Kenyataan ini tidak terlepas dari
keberadaan ciptaan lagu atau musik yang disukai oleh hampir semua orang di muka
bumi ini4.
Undang–undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun
2002 menyebutkan bahwa ciptaan–ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam
bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Kemudian undang–undang ini merinci
lagi secara detail ciptaan yang dilindungi yang mencakup:
a. Buku, program komputer, pamflet, susunan
perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan dan semua hasil karya
tulis lain ;
b. Ceramah, kuliah,pidato dan ciptaan lain yang
sejenis dengan itu ;
c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan
pendidikan dan ilmu pengetahuan ;
d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. Drama, atau drama musikal, tari kereografi,
pewayangan dan pantomim ;
f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni
lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan
seni terapan ;
g. Arsitektur
h. Peta
i. Seni batik
j. Fotografi
k. Sinematografi
l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga
rampai database, dan karya lain dari hasil perwujudan5.
Di dalam UUHC Pasal 12 ayat 1 (d) salah satu
hasil karya yang dilindungi adalah Lagu atau musik. Lagu atau musik dalam UUHC
(penjelasan Pasal 12 huruf d) terdapat rumusan pengertian lagu atau musik
sebagai berikut:
“Lagu atau musik dalam undang-undang ini diartikan sebagai karya yang
bersifat utuh sekalipun terdiri atas unsur lagu atau melodi, syair atau lirik,
dan aransemennya termasuk notasi. Yang dimaksud dengan utuh adalah bahwa lagu
atau musik tersebut merupakan satu kesatuan karya cipta”6.
Karya cipta lagu merupakan hasil kerja
otak (Intelektualitas) manusia. Ketika irama lagu tadi tercipta berdasarkan
hasil kerja otak, ia dirumuskan sebagai Hak Atas Kekayaan Intelektual. Hanya
orang yang mampu mempekerjakan otaknya sajalah yang dapat menghasilkan hak
kebendaan yang disebut sebagai Intelektual Property Right. Itu
pulalah sebabnya hasil kerja otak yang membuahkan Hak Atas Kekayaan Intelektual
itu bersifat eksklusif. Hanya orang tertentu saja yang dapat melahirkan hak
semacam itu.Berkembangnya peradaban manusia, dimulai dari kerja otak itu.7
Pencipta musik atau lagu atau komposer
memiliki hak ekonomi dan hak moral layaknya seperti Pencipta pada umumnya,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 Undang – undang Hak Cipta
No.19 Tahun 2002, namun, hak moral dan hak ekonomi yang dimiliki
oleh Pencipta atau komposer adalah atas musik atau lagu yang diciptakannya.8
Salah satu aspek hak khusus pada Hak
Kekayaan Intelektual adalah Hak Ekonomi (economic right). Hak ekonomi
adalah hak untuk memperoleh keuntungan ekonomi atas kekayaan intelektual.
Dikatakan Hak Ekonomi karena Hak Kekayaan Intelektual adalah benda yang dapat
dinilai dengan uang. Hak ekonomi tersebut berupa keuntungan sejumlah uang yang
diperoleh karena penggunaan sendiri Hak Kekayaan Intelektual atau karena
penggunaan oleh pihak lain berdasarkan lisensi. Hak ekonomi itu diperhitungkan
karena Hak Kekayaan Intelektual dapat digunakan/dimanfaatkan oleh pihak lain
dalam perindustrian atau perdagangan yang mendatangkan keuntungan. Dengan kata
lain, Hak Kekayaan Intelektual adalah objek perdagangan. Jenis Hak Ekonomi pada
setiap klasifikasi Hak Kekayaan Intelektual dapat berbeda-beda. Pada Hak Cipta,
jenis Hak ekonomi lebih banyak jika dibandingkan dengan Paten dan Merek.9
Salah satu Hak Ekonomi dari Hak Cipta
adalah Hak Pertunjukan (Performance Right). Adapun yang dimaksud Hak
Pertunjukan (Performance Right) adalah hak untuk mengungkapkan karya
seni dalam bentuk pertunjukan atau penampilan oleh pemusik, dramawan, seniman,
peragawati. Hak ini diatur dalam Bern Convention, Universal Copyright
Convention, dan Rome Convention.10
Hak pertunjukan (Publik Performance
Right) merupakan hak yang dimiliki oleh para pemusik, dramawan, maupun
seniman lainnya yang karyanya dapat terungkap dalam bentuk pertunjukan. Setiap
orang atau pihak yang ingin menampilkan, atau mempertunjukan suatu karya cipta
harus meminta izin dari si pemilik hak untuk mempertunjukan (performing
rights) tersebut11.
Pertunjukan dimaksudkan juga penyajian kuliah, khotbah, pidato, presentasi
serta penyiaran film, rekaman suara pada TV dan radio. Istilah pertunjukan
kadang disamakan dengan pengumuman artinya mempublikasikan ciptaan agar suatu
ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat oleh orang lain.12
Dengan adanya penegasan tersebut, maka
para Pencipta berhak mendapatkan hak ekonomi pada setiap pemakaian hak yang ada
dalam hak cipta atas musik atau lagu dari karya ciptaannya. Penggunaan atau
pemakaian hak - hak tersebut tentunya mengakibatkan peralihan hak-hak tertentu
dari Pencipta kepada pihak lain, atas hak-hak yang ada pada hak cipta atas
musik atau lagu ciptaannya tadi, khususnya hak ekonomi, namun tidak mencakup
hak moral. Peralihan hak cipta atas lagu ini di atur di dalam Pasal 3 UUHC yang
pada prinsipnya menyatakan bahwa Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik
seluruhnya maupun sebagian dengan cara membuat suatu perjanjian secara
tertulis baik dengan maupun tanpa akta notariil. Hak yang dapat
dipindahkan atau dialihkan itu sekaligus merupakan bukti nyata bahwa hak cipta
itu merupakan hak kebendaan. Dalam terminologi Undang –
undang Hak Cipta Indonesia, pengalihan itu dapat berupa
pemberian izin (lisensi) kepada pihak ketiga.13
Salah satu bentuk penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam bidang komunikasi dan informasi adalah dengan
ditemukannya rancangan khusus untuk penyebaran informasi secara cepat dan
akurat. Berkat perkembangan teknologi komunikasi dan informasi tersebut arus
berita dapat berjalan sangat cepat, sehingga mampu “meniadakan” jarak ruang dan
waktu antara dua tempat di muka bumi dan bahkan antara bumi dengan ruang
angkasa14.
Radio15 merupakan
salah satu media yang digunakan oleh musisi–musisi indie untuk
mengedarkan, mengumumkan atau mempublikasikan hasil karya cipta mereka. Radio
sebagai pilihan utama band indie karena merupakan media
hiburan yang banyak digunakan oleh masyarakat komunitas indie,
sehingga musik indie16 yang disiarkan
oleh radio tersebut dapat tersebar dengan cepat dan dapat menjangkau ratusan
khalayak dalam waktu tertentu.
Kehadiran musik indie dan
seni independen di tengah masyarakat pada umumnya antara lain adalah wujud
penolakan di dikte pasar. Indie muncul dari hati, di luar mainstream musik
pop dan seni pop umumnya yang disebarluaskan industri17.
Komunitas indie memang merekam musik mereka sebagai ujung
tombak, hanya saja cara jualnya berbeda dengan pemasaran konvensional.18
Kelompok musik indie adalah
kelompok musik yang tidak atau belum berafiliasi atau terikat kontrak dengan
perusahaan rekaman major. Kelompok musik yang mengeluarkan kumpulan
lagu atau album dan tidak memiliki kontrak dengan perusahaan rekaman
disebut band indie label19,
sedangkan band yang telah terikat kontrak dengan perusahaan rekaman major akan
disebut band major label.
Dapat dikatakan bahwa band indie atau
kelompok musik indie ini adalah band – band yang
bergerak sendiri untuk membuat, memproduksi, mempromosikan dan mengedarkan
album mereka dengan cara yang berbeda dengan band major label.
Untuk pendaftaran ciptaan, major
label sudah ditangani oleh bagian legal dari perusahaan rekaman
tersebut, sedangkan pada indie label cukup dengan cara
diumumkan karena hak cipta tidak harus di daftarkan, artinya masalah legalitas
hukum dengan cara mendaftarkan lagu atau musik belum terlalu dianggap penting
oleh sebagian band-band indie. Kebebasan artis di dalam major
label sifatnya terbatas, artinya artis yang di bawah
naungan major label harus mengikuti aturan main dari major
label atau produser rekaman, sedangkan pada indie label artisnya
diberi kebebasan untuk melakukan segala kegiatan.
Pada Major label, artis
terikat kontrak dan mengikuti sistem manajemen perusahaan tersebut sebagaimana
artis adalah pekerjanya. Sedangkan pada indie label artis
adalah pengambil keputusan dan pelaksana keputusan.
Di dalam hubungan hukum antara pihak
Pencipta lagu indie dengan stasiun radio.
Seharusnya Pencipta musik atau lagu indie memiliki
hak ekonomi atas musik atau lagu yang diciptakannya layaknya seperti
Pencipta pada umumnya, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4 Undang – undang Hak Cipta No.19 Tahun 2002, namun kenyataan dilapangan
pihak band indie tidak mendapatkan hak ekonomi dari pengumuman
atau pemutaran lagu distasiun radio melainkan band indie hanya
mendapatkan hak moral saja, artinya di dalam pengumuman lagu atau musik di
stasiun radio tersebut band indie hanya “dimanfaatkan” oleh
stasiun radio tersebut untuk menarik iklan yang menghasilkan nilai ekonomi bagi
stasiun radio tapi tidak bagi band indie. Ada aspek bisnis
yang radio tawarkan kepada publik dari program-program acara musik indie dimana
mereka memperoleh pembayaran melalui iklan.
Dengan uraian di atas untuk lebih
mengetahui dan memahami jenis hubungan hukum apa yang terjadi antara Pencipta
lagu indie dengan stasiun radio atas Performing Right Musik dan
Lagu indie dihubungkan dengan buku III (Tiga) KUHPerdata.
Indentifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
yang telah dipaparkan, permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah
(1) Bagaimana hubungan hukum antara Pencipta lagu indie dengan
stasiun radio atas Performing Right Musik dan
Lagu Indie dihubungkan dengan buku III (Tiga) KUHPerdata?
Tujuan Penelitian
Tulisan ini bertujuan untuk
mengetahui dan memahami jenis hubungan hukum apa yang terjadi antara Pencipta
lagu indie dengan stasiun radio atas Performing Right Musik dan
Lagu Indie dihubungkan dengan buku III (Tiga) KUHPerdata.
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam membahas
masalah hubungan hukum pencipta lagu indie dengan stasiun
radio atas performing right musik dan
lagu indie dihubungkan dengan Buku III (Tiga)
KUHPerdata adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan
yang mengkaji kaidah-kaidah hukum normatif atau doktrinal.
Data yang digunakan lebih pada data
sekunder. Sifat penelitian di dalam Penulisan ini menggunakan sifat
penelitian deskriptif.
Penelitian deskriptif adalah penelitian
yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan pada
saat tertentu. Dalam penelitian ini, peneliti sudah mendapatkan/mempunyai
gambaran yang berupa data awal tentang permasalahan yang akan diteliti.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hubungan Hukum Antara Pencipta Lagu Indie Dengan Stasiun
Radio Atas Performing Right Musik Dan Lagu Indie Dihubungkan
Dengan Buku III (Tiga) KUHPerdata.
Untuk memperkuat posisi siaran dan
membangun citra positif sebagai lembaga penyelenggara penyiaran, dan untuk
meningkatkan daya saing maka radio melakukan kegiatan
penyiaran dengan mengemas format siaran yang berbeda - beda,
diantaranya program bagi para musisi lokal untuk mengekspresikan bakat dan
kemampuannya dalam bermusik dengan menghadirkan suatu format siaran yang
bertajuk band indie.
Untuk menarik minat para komunitas indie ini,
pihak radio memberikan kemudahan-kemudahan bagi band indie untuk
mempublikasikan karyanya lewat radio.
Di antara kemudahan itu adalah kesepakatan berupa
perjanjian antara pihak lembaga penyiaran radio dengan pencipta lagu indie yang dilakukan secara lisan saja sehingga birokrasi atau
administrasinya tidak berbelit-belit. Adapun karakteristik perjanjian secara lisan antara Pencipta lagu indie dengan
stasiun radio adalah sebagai berikut:
1) Adanya para pihak (dalam hal ini Pencipta lagu indie dengan
pihak stasiun radio)
2) Adanya objek yang diperjanjikan yaitu demo
lagu berupa CD (compact disk)
3) Timbul kata sepakat antara para pihak
4) Timbulnya hak dan kewajiban masing – masing pihak
5) Pemenuhan prestasi.
Dari hasil penelitian pada beberapa
stasiun radio (RRI Pro 2 Padang, Arbes FM Padang, Susi FM Padang, Favorit FM
Padang), Pihak stasiun radio dalam hubungan hukum dengan pihak Pencipta
lagu indie (band indie) melakukan perjanjian dalam
bentuk perjanjian lisan yang inti dari perjanjian lisan tersebut memuat hak dan
kewajiban bagi masing – masing pihak. Hak dan kewajiban tersebut merupakan
akibat hubungan hukum yaitu hubungan yang diatur oleh hukum.
Sedangkan untuk mewujudkan adanya hubungan
hukum, haruslah dipenuhi syarat – syarat sebagai berikut20:
a) harus ada dasar hukumnya, yaitu peraturan hukum
yang mengatur hubungan hukum itu, dan
b) harus menimbulkan peristiwa hukum.
Dasar hukum dalam hubungan hukum tersebut
adalah Pasal 1338 BW yang menyatakan:
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”.
Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas
membuat perjanjian dengan siapapun, apa pun isinya, apapun bentuknya sejauh
tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Jika dipahami secara seksama maka asas
kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak salah satunya
adalah menentukan bentuk perjanjian, baik itu secara tertulis maupun secara
lisan.
Berikutnya harus menimbulkan peristiwa
hukum, peristiwa hukum adalah suatu perbuatan jika perbuatan itu mempunyai
akibat hukum dan akibat itu dikehendaki oleh yang bertindak yaitu subjek hukum.
Dari perjanjian dalam bentuk lisan tersebut, Pencipta lagu indie menyerahkan
demo lagu mereka kepada pihak stasiun radio yang mempunyai segmen musik indie untuk
diumumkan pada masyarakat. Semua perjanjian yang dibuat berkaitan dengan
pemakaian hak pengumuman sebuah lagu didasarkan pada ketentuan yang diatur di
dalam Pasal 2 Undang–undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 yang
menyebutkan bahwa “salah satu hak khusus dari Pencipta maupun pemegang hak
cipta adalah hak mengumumkan”. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 1 angka 5
Undang – undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa
“pengumuman adalah pembacaan, penyuaraan, penyiaran, pameran, penjualan,
pengedaran, atau penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apapun,
termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu
Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain”.21
Di dalam melakukan perjanjian antara pihak
Pencipta lagu indie dengan pihak stasiun radio timbul
kesepakatan yang dituangkan melalui perjanjian dalam bentuk lisan. Dalam
hubungan perjanjian antara Pencipta lagu indie dengan pihak
stasiun radio ada kesepakatan – kesepakatan yang kemudian dituangkan dalam
suatu surat perjanjian berbentuk perjanjian lisan. Termasuk
perjanjian lisan adalah22 :
a) Perjanjian konsensual, adalah perjanjian dimana
adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya
perjanjian yang bersangkutan.
b) Perjanjian riil, adalah perjanjian yang hanya berlaku
sesudah terjadinya penyerahan barang atau kata sepakat bersamaan dengan
penyerahan barangnya.
Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa
asas, salah satunya adalah asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak
adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh
membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum23.
Asas kebebasan berkontrak itu dituangkan
oleh pembentuk undang-undang dalam Pasal 1338 ayat 1 BW. Bahwa dengan kebebasan
membuat perjanjian tersebut berarti orang dapat menciptakan hak-hak
perseorangan yang tidak diatur dalam Buku III BW, tetapi diatur sendiri dalam
perjanjian, sebab perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun kebebasan berkontrak bukan
berarti boleh membuat kontrak (perjanjian) secara bebas, tetapi kontrak
(perjanjian) harus tetap dibuat dengan mengindahkan syarat-syarat untuk sahnya
perjanjian, baik syarat umum sebagaimana diatur Pasal 1320 BW maupun syarat
khusus untuk perjanjian-perjanjian tertentu.24
Di dalam KUHPerdata syarat-syarat
yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian di atur di dalam Pasal 1320,
untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) Suatu hal tertentu;
4) Suatu sebab yang halal.25
Dari hubungan hukum
antara Pencipta lagu indie dengan pihak stasiun radio jenis perjanjian atau
hubungan apa yang terjadi antara Pencipta lagu indie dengan
pihak stasiun radio jika dikaitkan dengan Buku III KUHPerdata merupakan
kebebasan berkontrak yang dituangkan kedalam bentuk perjanjian secara lisan,
jika dihubungkan dengan Hak Cipta, maka tepat jika dinamakan dengan
perjanjian tersebut dengan nama perjanjian lisensi.
Dari rumusan, definisi maupun pengertian,
baik yang tersirat maupun yang tersurat dalam kata – kata yang ada dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam bidang Hak Kekayaan
Intelektual, dapat di katakan bahwa sesungguhnya lisensi merupakan suatu bentuk
perjanjian antara pihak pemilik atau pemegang Hak atas Kekayaan Intelektual
sebagai pemberi lisensi dengan pihak lain sebagai penerima lisensi.
Di dalam Pasal 1313
KUHPerdata tersebut menyiratkan bahwa sesungguhnya dari suatu perjanjian
lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu
atau lebih orang (pihak) lain nya yang berhak atas prestasi tersebut. Pada
dasarnya perjanjian lisensi hanya bersifat pemberian izin atau hak yang
dituangkan dalam akta perjanjian untuk dalam jangka waktu tertentu dan dengan
syarat tertentu menikmati manfaat ekonomi suatu ciptaan yang dilindungi hak
cipta.
Di dalam perjanjian antara Pencipta lagu indie dengan
pihak stasiun radio, kalau dihubungkan dengan cakupan hak ekonomi Pencipta lagu indie sebagaimana
di atur di dalam UUHC, berdasarkan perjanjian lisan antara Pencipta lagu indie dengan
pihak stasiun radio, Pencipta lagu indie hanya menyerahkan
sebagian dari hak ekonominya (hak mengumumkan). Adapun hak ekonomi menurut
penjelasan UUHC adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta
produk hak terkait. Aplikasi dari hak ini adalah bahwa Pencipta hendaknya
mendapatkan manfaat ekonomi berkaitan dengan kegiatan pengumuman dan penyiaran
dari rekaman suara tersebut.
Di dalam perjanjian lisan antara Pencipta
lagu indie dengan pihak stasiun radio, terjadi penyerahan lagu
dari pihak Pencipta lagu indie dengan pihak stasiun radio dan
itu merupakan pemberian izin atau hak yang dituangkan dalam perjanjian untuk di
umumkan atau di siarkan kepada pendengar radio, kalau dihubungkan dengan
cakupan hak ekonomi Pencipta lagu indie dengan pihak stasiun
radio dalam pengumuman (performing right) lagu tersebut, memang band indie tidak
mendapatkan royalti dari pengumuman lagu di radio tersebut karena secara
eksplisit tidak disebutkan di dalam perjanjian mengenai pemberian royalti,
namun tidak menutup kemungkinan band indie akan mendapatkan
hak ekonomi nya di luar dari segmen musik indie yang di
siarkan oleh pihak stasiun radio, misalnya band indie tersebut
di undang dalam event atau tampil di dalam pertunjukan yang di
selenggarakan pihak radio diluar dari perjanjian pengumuman lagu di radio dan
mendapatkan fee atau bayaran dari pertunjukan di luar siaran
radio tersebut. Sehingga menurut hemat Penulis, perjanjian yang dilakukan oleh
Pencipta lagu indie dengan pihak stasiun radio merupakan
perjanjian lisensi karena adanya pemberian izin atau hak yang dituangkan dalam
akta perjanjian untuk dalam jangka waktu tertentu dan dengan syarat tertentu.
Pemberian lisensi antara Pencipta lagu indie dengan pihak
stasiun radio tidak dibuat secara khusus atau non eksklusif,
artinya pemegang hak cipta tetap dapat melaksanakan hak ciptanya itu atau
memberi lisensi yang sama kepada pihak ketiga yang lainnya.
Simpulan
Dari hasil pembahasan diatas, dapat
ditarik beberapa simpulan dari permasalahan yang diangkat yaitu, di dalam
hubungan hukum antara Pencipta lagi indie dengan stasiun radio
menggunakan perjanjian dalam bentuk lisan. Jika dikaitkan dengan Buku III
KUHPerdata Pasal 1338, maka semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya asas
kebebasan berkontrak menjadi dasar hukum dari perjanjian tersebut. Perjanjian
antara Pencipta lagi indie dengan stasiun radio telah memenuhi
kata sepakat yang menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak.
Daftar Pustaka
Buku :
Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2007
Bernard Nainggolan, Pemberdayaan Hukum Hak
Cipta dan Lembaga Manajemen Kolektif,Alumni, Bandung, 2011
Endang Purwaningsih, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan
Lisensi, Mandar Maju,Bandung, 2012
Ermansyah Djaja, Hukum Hak Kekayaan
Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Putaka Yustisia,
Yogyakarta, 2009
Hendra Tanu Atmadja, Hak Cipta
Musik atau Lagu, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pasca Sarjana, 2003
Iman Sjahputra, Hak atas Kekayaan Intelektual (Suatu
Pengantar), Harvarindo, 2007
Ishaq, Dasar – Dasar Ilmu Hukum,
Sinar Grafika, Jakarta, 2009
Muhamad Djumhana dan R.Djubaedillah, Hak Milik
Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia), PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
Ok Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan
Intelektual (Intellectual Property Right), Rajawali Pers, Jakarta,2013
Otto Hasibuan, Hak Cipta di Indonesia
;Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Right, dan Collecting Society,
PT. Alumni, Bandung 2008
R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Edisi Revisi,Pradnya Paramita, Jakarta, 1995
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata Edisi
Revisi,Alumni, Bandung, 2006
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet VI, Intermasa,
Jakarta, 1979
Theodore KS, Rock’n Roll Industri Musik Indonesia Dari Analog ke
Digital, Buku Kompas, Jakarta, 2013
Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual
Suatu Pengantar, Alumni, Bandung 2011
Peraturan Perundang-undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang–undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
2 Muhamad Djumhana
dan R.Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori
dan Prakteknya di Indonesia), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, Hlm
47-48
4Bernard Nainggolan, Pemberdayaan Hukum Hak
Cipta dan Lembaga Manajemen Kolektif,Alumni, Bandung, 2011, Hlm 9
6 Otto Hasibuan, Hak Cipta di Indonesia ;
Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Right, dan Collecting Society,
PT. Alumni, Bandung 2008, Hlm 140- 141
7 Ok Saidin, Aspek Hukum Hak
Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), Rajawali Pers, Jakarta,2013, Hlm 10-11
8 Hendra Tanu Atmadja, Hak Cipta
Musik atau Lagu, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pasca Sarjana,
2003, Hlm 295
9 Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak
Kekayaan Intelektual, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, Hlm 23
12Endang Purwaningsih, Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi, Mandar
Maju,Bandung, 2012, Hlm 39
15Di dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia pengertian Radio itu sendiri adalah siaran (pengiriman) suara
atau bunyi melalui udara.
16 Kata Indie merupakan kata
informal dari kata independent yang secara terminologi
memiliki arti bebas. Namun secara definisi indie adalah kata
benda informal tunggal (noun) yang berarti sebuah karya seni yang dihasilkan
oleh kelompok atau perusahaan bebas yang tidak terikat oleh satu atau lebih
organisasi komersil.
17 Sekitar awal
1990an pemusik-pemusik remaja bermetal grindcore di Bandung
dengan musik yang ekstrem dan lirik yang kasar mendistribusikan hasil
rekamannya antarkelompok, dari teman ke teman atau door to door,
menggunakan gerakan bawah tanah alias underground
18 Theodore KS, Rock’n
Roll Industri Musik Indonesia Dari Analog ke Digital, Buku Kompas,
Jakarta, 2013, Hlm 292
19 Biasanya di dalam mempromosikan dan mengedarkan hasil
karya cipta musik atau lagu, band indie menitipkan
hasil karya nya di distro-distro dan cafe-cafe komunitas indie ataupun
melalui acara festival indie sehingga hasil karya
mereka bisa terjual dan tersebar bagi penikmat musik indie
21Otto Hasibuan, Hak Cipta di Indonesia ;
Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Right, dan Collecting Society,
PT. Alumni, Bandung 2008, Hlm 332
24 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas
Hukum Perdata Edisi Revisi,Alumni, Bandung, 2006, Hlm 203-204
25 R. Subekti, R.
Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Edisi Revisi,Pradnya
Paramita, Jakarta, 1995, Hlm 339
Rabu, 26 November 2014
PASSING OFF DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP PEMEGANG MEREK TERKENAL YANG TIDAK TERDAFTAR DI INDONESIA
ABSTRACT
Passing off is defined as the act of reputation brand ridership benefits for those who commit such acts. Trademark infringement is done by installing a brand, logo, and exactly to the original material, is now using the same brand with other brands that have been registered and used the same brand or similar to other brands, giving rise to misperceptions in the public's mind. Law No. 15 of 2001 on Marks does not contain a doctrine of passing off. Therefore, this doctrine can not be used in Indonesia, because the user is only protected his brand, if the person has obtained the rights to brand the country by registering the brand, no brand that is guaranteed if not registered.
Keywords: Passing off, Trademark, Infringement
I. PENDAHULUAN
Dahulu secara resmi sebutan Intellectual Property Rights (IPR) diterjemahkan dengan hak milik intelektual atau hak atas kekayaan intelektual dan di negeri Belanda istilah tersebut diintrodusir dengan sebutan Intellectuele Eigendomsrecht (Rachmadi Usman, 2003: 1).
Dalam perkembangannya di Indonesia terdapat beberapa istilah yang telah digunakan, seperti hak milik intelektual atau hak kekayaan industri. Istilah kekayaan industri merupakan terjemahan langsung dari istilah industrial property yang secara resmi dipakai dalam Pasal 1 ayat (2) Paris Convention for the Protection of Industrial Property 1883 yang menyebutkan :
“Perlindungan atas kekayaan industri diberikan kepada paten, utility models (paten sederhana), desain industry, merek, service marks, nama dagang, indikasi geografis termasuk industry agribisnis dan manufaktur di bidang industry lainnya, seperti anggur, tembakau, air mineral, bir, tepung dan bunga” (Elyta Ras Ginting, 2012: 13)
Karena dinilai kurang tepat, penggunaan istilah “kekayaan industri” versi Paris Convention ini mendapatkan kritikan dari beberapa ahli hukum kekayaan intelektual, seperti McKeough, Bowrey, dan Griffith. Menurut mereka ada perbedaan yang tegas antara etimologi kata “kekayaan intelektual” (intellectual property) dan “kekayaan industri” (industrial property), yaitu :
“Istilah industrial property berasal dari bahasa Prancis ‘propriete industrielle’ yang memiliki arti yang sangat luas meliputi setiap kegiatan manusia (human labour). Istilah ‘propriete’ itu sendiri dalam bahasa Prancis tidak sama dengan ‘property’ atau kekayaan (dalam bahasa Inggris) karena istilah propriete digunakan untuk mengantisipasi terjadinya peniruan produk”. (Elyta Ras Ginting, 2012: 13-14)
Istilah “kekayaan intelektual” (intellectual property) untuk pertama kalinya dipakai dalam Pasal 2 (vii) Konvensi pembentukan WIPO (The Convention Establishing the World Intellectual Property Organization) pada tahun 1967. Demikian pula, TRIPs Agreement dalam Pasal 1.2 menggunakan istilah intellectual property yang merujuk pada tujuh kategori hak, yaitu (Elyta Ras Ginting, 2012: 14) :
1. Hak cipta dan hak terkait (copyright and related right)
2. Hak atas merek dagang atau industry (trademarks)
3. Indikasi geografis (geographical indication)
4. Desain industri (industrial design)
5. Hak paten (patents)
6. Hak integrasi terpadu (lay out design of integrated circuits)
7. Rahasia dagang (undisclosed information)
8. Hak varietas baru tanaman (new varieties of plants protection).
Saat ini istilah yang umum dipakai di seluruh dunia adalah “hak kekayaan intelektual” atau intellectual property. Akan tetapi di Indonesia masih ada dua istilah yang masih kerap digunakan, yaitu istilah hak kekayaan intelektual dan hak milik intelektual atau dengan singkatan HKI dan HaKI (Elyta Ras Ginting, 2012: 14).
Pembentuk undang-undang menggunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual sebagai istilah resmi dalam perundang-undangan Indonesia. Sedangkan para penulis hukum ada yang menggunakan istilah Hak Milik Intelektual di samping istilah Hak Kekayaan Intelektual (Abdulkadir Muhammad,2007:1).
Salah satu cabang-cabang utama HKI adalah Merek. Asal usul Merek berpangkal disekitar abad pertengahan di Eropa, pada saat perdagangan dengan dunia luar mulai berkembang. Fungsinya semula untuk menunjukan asal produk yang bersangkutan. Baru setelah dikenal metode produksi massal dan dengan jaringan distribusi dan pasar yang lebih luas dan kian rumit, fungsi Merek berkembang menjadi seperti yang dikenal sekarang ini (Rachmadi Usman, 2003:305).
Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan perdagangan barang dan jasa antarnegara, diperlukan adanya pengaturan yang bersifat internasional yang memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum di bidang Merek. Pada tahun 1883 berhasil disepakati Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Paris Convention), yang di dalamnya mengatur mengenai perlindungan Merek pula (Rachmadi Usman, 2003:306). Konvensi ini disusul dengan Perjanjian Madrid dan konvensi Hague serta perjanjian Lisabon. Dari seluruh konvensi tersebut yang menjadi dasar perlindungan Merek adalah konvensi Paris (Endang Purwaningsih, 2012:51).
Di Indonesia terdapat Undang-undang Merek tahun 1961 yang menggantikan Reglement Industriele Eigendom Kolonien Stb. 1912 Nomor 545 jo. Stb. 1913 Nomor 214. Perkembangan berikutnya tahun 1992 lahir undang-undang merek baru yang kemudian direvisi tahun 1997 dan tahun 2001 dengan menyesuaikan terhadap Trips (Endang Purwaningsih, 2012:49).
Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, pengertian Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Suatu hal penting dalam hukum Merek adalah perlindungan terhadap Merek terkenal. Economic interest atas Merek terkenal diakui dalam perjanjian internasional WIPO treaty, yang juga diatur kemudian oleh negara-negara Amerika, Australia, Inggris dan Indonesia. Ciri spesifik dari Merek terkenal adalah bahwa reputasi dari nama Merek tidak terbatas pada produk tertentu atau jenis tertentu, misalnya Marlboro yang tidak hanya digunakan sebagai produk rokok tetapi juga digunakan pada pakaian; Panther tidak hanya untuk jenis kendaraan tetapi juga produk minuman. Jadi perlindungan diberikan dalam hubungan pemakaian secara umum dan tidak hanya berhubungan dengan jenis barang-barang di mana Merek didaftarkan (Endang Purwaningsih, 2012:50-51).
Reputasi atau itikad baik dalam dunia bisnis dipandang sebagai kunci sukses atau kegagalan dari sebuah perusahaan. Banyak pelaku usaha berjuang untuk mendapatkan dan menjaga reputasi mereka dengan mempertahankan kualitas produk dan memberikan jasa kelas satu kepada para konsumen (Tim Lindsey dkk,2011:152). Pebisnis dengan sengaja memasang iklan untuk membangun reputasi produk maupun untuk mengenalkan produk baru di pasaran dan mempertahankan reputasi produk yang sudah ada sebelumnya (Endang Purwaningsih, 2012:51).
Merek sangat penting dalam dunia periklanan dan pemasaran karena publik sering mengaitkan suatu image, kualitas atau reputasi barang dan jasa dengan Merek tertentu, Sebuah Merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga secara komersial (Tim Lindsey dkk,2005:131). Passing off melindungi pemilik reputasi dari pihak-pihak yang akan membonceng keberhasilan mereka, sehingga para pembonceng tidak dapat lagi menggunakan Merek, kemasan, atau indikasi lain yang bisa mendorong konsumen yakin bahwa produk yang di jual mereka dibuat oleh orang lain (Endang Purwaningsih, 2012:51).
Secara harfiah passing off berasal dari idiom pass off yang berarti menipu, menghilang sehingga passing off berarti penipuan, penghilangan. Berkaitan dengan merek, passing off sebagai pranata yang dikenal dalam Common Law sering diartikan sebagai tindakan pemboncengan reputasi suatu merek untuk mendapatkan keuntungan bagi pihak yang melakukan tindakan tersebut.
Pengertian passing off menurut Black’s Law Dictionary yaitu:
“The act or an instance of falsely representing one’s own product as that of another in an attempt to deceive potential buyers. Passing off is actionable in tort under the law of unfair competition. It may also be actionable as trademark infringement” (Bryan A. Garner, 2004:1115).
Pelanggaran terhadap Merek dilakukan dengan memasang Merek, logo, dan bahan persis dengan yang asli, sekarang penggunaan Merek yang mirip dengan Merek lain yang sudah terdaftar serta penggunaan Merek yang sama dan atau mirip dengan Merek lain sehingga menimbulkan kesalahan persepsi di benak masyarakat sudah mulai marak.
Salah satu contoh kasus passing off di Indonesia adalah kasus Aqua. Pemilik Merek Aqua, yaitu PT. Aqua Golden Mississipi merasa pesaingnya melakukan tindakan mendompleng reputasinya dengan cara memirip-miripkan Merek, berupa pencantuman Merek “Club Aqua” serta “Merek Aquaria”. Juga, warna-warna yang dipakai untuk merek-merek yang bersangkutan, bentuk, ukuran, format, dan kesan selanjutnya dari merek-merek tersebut (Lihat Muhamad Djumhana, R.Djubaedillah, 2014:283).
Apabila kita telaah dari unsur yang diperlukan dalam melakukan aksi gugatan telah adanya “passing off”, yaitu bahwa pemilik telah mempunyai reputasi atas hal yang dibonceng oleh pihak lain dan pemilik usaha tersebut telah lama berjalan. Maka, posisi pemilik Aqua memang baik, yaitu bahwa Aqua sebagai Merek air mineral telah dikenal luas di kalangan masyarakat, bahkan masyarakat telah secara luas menyebut Aqua hanya untuk air minum mineral. Selain itu, pengusaha pemilik Merek Aqua telah begitu lama menjalankan usahanya dalam bidang air mineral, bahkan merupakan pengusaha pionir di Indonesia untuk usaha air mineral (Muhamad Djumhana, R.Djubaedillah, 2014:283).
II. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan dalam tulisan ini adalah apakah Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek mengatur tentang Passing off sebagai upaya perlindungan terhadap pemegang Merek terkenal yang tidak terdaftar di Indonesia?
III. PEMBAHASAN
1. Passing Off dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Merek adalah asset ekonomi bagi pemiliknya, baik perseorangan maupun perusahaan (badan hukum) yang dapat menghasilkan keuntungan besar, tentunya bila didayagunakan dengan memperhatikan aspek bisnis dan proses manajemen yang baik. Demikian pentingnya peranan Merek ini, maka terhadapnya dilekatkan perlindungan hukum, yakni sebagai objek terhadapnya terkait hak-hak perseorangan atau badan hukum. Kebijakan keputusan yang melatarbelakangi perlindungan Merek yang mencakup perlindungan terhadap pembajakan Merek telah menjadi dunia (Adrian Sutedi,2009:92).
Bila dulu pelanggaran terhadap Merek dilakukan dengan memasang Merek, logo, dan bahan persis dengan yang asli, sekarang penggunaan Merek yang mirip dengan Merek lain yang sudah terdaftar serta penggunaan Merek yang sama dan atau mirip dengan Merek lain sehingga menimbulkan kesalahan persepsi di benak masyarakat sudah mulai marak. Pelanggaran Merek ini disebut passing off.
Namun, sampai saat ini belum ada undang-undang yang mengatur passing off, sehingga hal ini belum bisa dikatakan sebagai pelanggaran. Passing off saat ini baru bisa dikatakan sebagai persaingan curang yang dilakukan produsen yang tidak bertanggung jawab.
Merek terkenal merupakan obyek dari passing off khususnya yang tidak terdaftar karena adanya reputasi atau nama baik atau goodwill di dalam suatu Merek terkenal dan reputasi memiliki nilai ekonomis. Merek terkenallah yang harus diberikan perlindungan hukum dari perbuatan produsen pemakai Merek yang tidak jujur, curang dengan membonceng reputasi Merek terkenal, menampilkan seakan-akan barangnya adalah barang Merek terkenal yang diboncengnya.
Menurut salah satu ahli hukum di bidang HKI Indonesia, definisi umum dari doktrin passing off adalah: a common-law tort to enforce unregistered trademark. Menurut definisi tersebut, maka ada dua unsur dari passing off:
1) Passing off merupakan tort (yang sering kali disandingkan dengan perbuatan melawan hukum pada Pasal 1365 BW).
2) Passing off merupakan upaya hukum yang dilakukan pemilik merek yang belum didaftarkan untuk melindungi mereknya dari digunakan oleh pihak lain. (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20887/dapatkah-doktrin-passing-off-diaplikasikan-di-indonesia).
Dalam sistem hukum Anglo Saxon dikenal berbagai macam tort, dan passing off masuk ke dalam kategori tort of misrepresentation yang mengakar dari hukum kontrak. Di Indonesia padanan yang mirip dengan tort of misrepresentation dapat ditafsirkan dari Pasal 1320 jo Pasal 1321 jo Pasal 1322 jo Pasal 1328 jo Pasal 1335 jo Pasal 1337 jo Pasal 1365 BW. (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20887/dapatkah-doktrin-passing-off-diaplikasikan-di-indonesia).
Elemen yang diperlukan agar passing off dapat digunakan adalah:
a. Reputasi: yaitu apabila seorang pelaku usaha selaku penggugat memiliki reputasi bisnis yang sangat baik di mata publik atau sudah dikenal publik.
b. Misrepresentasi: dengan terkenalnya merek yang digunakan oleh pelaku usaha tersebut, maka apabila ada pelaku usaha lain mendompleng merek yang sama, maka publik yang relevan dengan merek tersebut dapat terkecoh dan khilaf atau tertipu.
c. Kerugian: elemen kerugian jelas dapat ditimbulkan oleh merek pendompleng terhadap reputasi yang telah dibangun oleh merek yang didompleng. (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20887/dapatkah-doktrin-passing-off-diaplikasikan-di-indonesia).
Guna melindungi miliknya tersebut dalam sistem “common law” maka pihak yang merasa dirugikan biasanya melakukan apa yang disebut “action of passing off”. Dalam konteks hukum Merek “action of passing off” adalah untuk melindungi nama baik (business goodwill). Jadi, seseorang tidak boleh membonceng atas ketenaran Merek, nama baik, dan reputasi pihak lain sehingga akan terlindungilah masyarakat dari tindakan penipuan. Syarat lain dalam melakukan aksi “passing off” mengenai Merek, yaitu Merek tersebut dipakai dalam satu jenis kelas barang yang sama (Muhamad Djumhana, R.Djubaedillah, 2014:282).
Bagaimana pemberlakuan passing off di Indonesia, apakah Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek mengatur tentang Passing off sebagai upaya perlindungan terhadap pemegang merek terkenal di Indonesia?
Pengaturan mengenai passing off ini sendiri terdapat dalam peraturan-peraturan negara yang menganut sistem hukum Common Law, hukum tentang persaingan curang. Namun pengaturan mengenai pemboncengan reputasi yang berlaku di negara dengan sistem hukum umum (Common Law) tersebut tidak serta merta dapat diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia menganut Civil Law system (disebut juga sistem hukum Eropa Kontinental) yaitu hukum yang berlaku adalah berupa peraturan-peraturan tertulis yang dibuat oleh pembuat undang-undang bukan berdasar pada pendapat hakim (hakim berperan aktif menemukan hukum atas suatu perkara di pengadilan).
Kasus passing off yang terjadi di Indonesia dibilang cukup banyak. Namun karena tidak ada undang-undang yang khusus mengenai persaingan curang, maka Dirjen HKI hanya menangani kasus passing off yang juga terindikasi pelanggaran merek. Istilah passing off atau pemboncengan reputasi sendiri memang tidak dikenal di Indonesia, tetapi bukan berarti perbuatan seperti itu tidak diatur dalam peraturan yang ada di Indonesia hanya saja aturan-aturan mengenai perbuatan tersebut tidak diatur secara jelas dan khusus, ada yang dimasukkan ke dalam persaingan curang, perbuatan melawan hukum dan pelanggaran hak merek. Jenis perbuatan passing off itu ada didalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek tetapi tidak dinamakan passing off, perbuatan itu masuk ke dalam pelanggaran merek.
Passing off tidak pernah dipergunakan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran reputasi di Indonesia. Namun, ada dasar hukum untuk melaksanakan hal itu di Indonesia. Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “ pelaku usaha : (a) harus melakukan usahanya dengan itikad baik..” (Tim Lindsey,2011:152-153)
Oleh karena belum adanya undang-undang mengenai persaingan curang yang diantaranya mengenai pengaturan passing off, maka passing off dapat ditindaklanjuti sebagai pelanggaran Merek, khususnya Merek terkenal dengan dasar hukum Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Namun undang-undang ini tidak mempunyai ketentuan yang memberikan batasan tentang Merek terkenal secara tegas maupun ketentuan mengenai passing off, padahal sebagai anggota dari WIPO maupun WTO, Indonesia sudah seharusnya memasukkan ketentuan yang telah diatur dalam konvensi-konvensi organisasi tersebut ke peraturan perundang-undangan nasionalnya.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek menganut sistem konstitutif, artinya menurut sistem konstitutif (aktif) dengan doktrinnya “prior in filing” bahwa yang berhak atas suatu Merek adalah pihak yang telah mendaftarkan Mereknya dikenal pula dengan asas “presumption of ownership”. Jadi sistem konstitutif mempunyai kelebihan dalam soal kepastian hukumnya (Muhamad Djumhana, R.Djubaedillah, 2014:256).
Doktrin “prior in filing” cukup jelas, bahwa seorang pengguna Merek hanya terlindungi Mereknya, apabila yang bersangkutan telah mendapatkan hak atas Merek tersebut dari negara dengan cara mendaftarkan mereknya ke Dirjen HKI di Indonesia tidak ada Merek yang terlindungi apabila belum terdaftar di Dirjen HKI.
Hal ini terbukti dengan tidak ada satu pun putusan pengadilan di Indonesia yang pernah mengabulkan gugatan dari pengguna Merek yang belum terdaftar. Berbeda halnya dengan Amerika yang memberikan hak atas Merek berdasarkan penggunaan bukan pendaftaran. Sedangkan di Australia dan Inggris, Merek belum terdaftar terlindungi oleh passing off. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek tidak mengandung doktrin passing off. Oleh karenanya, doktrin ini tidak dapat digunakan di Indonesia.
Berbicara mengenai Merek yang merugikan pihak lain, dalam hal ini Merek yang merupakan passing off, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek mempunyai aturan tentang gugatan pembatalan terhadap Merek terdaftar yang didaftarkan dengan itikad tidak baik dan memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan Merek terkenal milik orang lain baik untuk barang/jasa sejenis maupun tidak sejenis sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 68 ayat 1 yang berbunyi “Gugatan pembatalan pendaftaran Merek dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan..”
Gugatan tersebut dapat diajukan baik oleh pemilik Merek terkenal terdaftar maupun tidak terdaftar (setelah mengajukan permohonan kepada Dirjen HKI) kepada Pengadilan Niaga dan terhadap putusan Pengadilan Niaga hanya dapat diajukan kasasi.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek menetapkan ketentuan pidana dalam Pasal 90 bagi pemilik Merek yang melakukan passing off Merek terkenal terdaftar sama keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan bagi pemilik Merek yang melakukan passing off Merek terkenal terdaftar sama pada pokoknya untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 91 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
IV. PENUTUP
Dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai passing off ini sendiri terdapat dalam peraturan-peraturan negara yang menganut sistem hukum Common Law, hukum tentang persaingan curang. Namun pengaturan mengenai pemboncengan reputasi yang berlaku di negara dengan sistem hukum umum (Common Law) tersebut tidak serta merta dapat diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia menganut Civil Law system. Istilah passing off atau pemboncengan reputasi sendiri memang tidak dikenal di Indonesia, tetapi bukan berarti perbuatan seperti itu tidak diatur dalam peraturan yang ada di Indonesia hanya saja aturan-aturan mengenai perbuatan tersebut tidak diatur secara jelas dan khusus, ada yang dimasukkan ke dalam persaingan curang, perbuatan melawan hukum dan pelanggaran hak merek. Jenis perbuatan passing off itu ada didalam Undang-undanng Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek tetapi tidak dinamakan passing off, perbuatan itu masuk ke dalam pelanggaran Merek. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek tidak mengandung doktrin passing off. Oleh karenanya, doktrin ini tidak dapat digunakan di Indonesia karena seorang pengguna Merek hanya terlindungi Mereknya, apabila yang bersangkutan telah mendapatkan hak atas Merek tersebut dari negara dengan cara mendaftarkan mereknya ke Dirjen HKI. Di Indonesia tidak ada Merek yang terlindungi apabila belum terdaftar di Dirjen HKI..
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Adrian Sutedi,2009, Hak Atas Kekayaan Intlektual, Sinar Grafika, Edisi 1, Ctkn 1, Jakarta
Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary,Eighth Edition, (St.Paul,Minn:West Publishing Co
Elyta Ras Ginting, 2012, Hukum Hak Cipta Indonesia (Analisis Teori dan Praktik), Citra Aditya Bakti, Bandung
Endang Purwaningsih, 2012, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi, Mandar Maju, Bandung
Muhamad Djumhana, R.Djubaedillah, 2014, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung
Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual (Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia), Alumni, Bandung
Tim Lindsey dkk,2005, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, Bandung
_____________,2011, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, Bandung
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
C. Internet
Langganan:
Postingan (Atom)