Sabtu, 05 November 2011

HUKUM PROGRESIF : UPAYA UNTUK MEWUJUDKAN ILMU HUKUM MENJADI SEBENARNYA ILMU.



Sebagai suatu disiplin ilmu, sejarah hukum tergolong sebagai pengetahuan yang masih muda jika dibanding dengan disiplin – disiplin ilmu yang lainnya yang terlebih dahulu lahir. Bahkan dibanding dengan disiplin ilmu lain, ilmu hukum masih menjadi perdebatan dan perkembangan untuk mengukuhkan diri menjadi ilmu yang sebenarnya ilmu.
Salah satu masalah yang masih dihadapi oleh ilmu hukum terkait dengan hakikat pengetahuan apa yang di kaji( ontologi ), bagaimana cara untuk mengeksplorasi suatu pengetahuan yang benar ( epistemologi ),dan untuk apa ilmu pengetahuan dipergunakan ( aksiologi ).Pada dasarnya semua pengetahuan apakah ilmu, seni, atau pengetahuan apa saja mempunyai ketiga landasan tersebut. Yang berbeda adalah materi perwujudannya serta sejauh mana landasan – landasan dari tiga landasan tersebut dikembangkan dan dilaksanakan. Tidak dapat dihindari bahwa dalam perjalanannya ilmu hukum mengalami pasang surut keberadaan tergantung pada konteks dan waktu dimana ilmu hukum tersebut berkembang. Agar ilmu hukum dapat berkualitas sebagai ilmu, maka tidak dapat dihindari bagi ilmu hukum masuk dalam siklus terbentuknya ilmu yang telah ada. Untuk menjadikan ilmu hukum sebagai sebenar ilmu, pertama-tama barang perlu mengkaji apa dan bagaimana serta manfaat dari ilmu.Ilmu secara umum dapat di definisikan sebagai sesuatu yang melekat pada manusia dimana ia dapat mengetahui sesuatu yang asalnya tidak ia ketahui .
Ditinjau dari sisi filsafat, maka ilmu dan pengetahuan merupakan sesuatu yang berbeda pemahamannya. Ilmu adalah suatu cara untuk mengetahui, dalam artian bahwa ilmu bukanlah satu-satunya cara bagi manusia untuk mengetahui. Di samping ilmu terdapat cara lain untuk mengetahui, yang secara umum disebut dengan pengetahuan. Menurut Liek Wilardjo ilmu itu merupakan bagian dari pengetahuan. Sebagai bagian dari pengetahuan, ilmu tidaklah sekedar akumulasi informasi.
Lebih dari itu, ilmu juga membentuk cara berpikir. Selain itu Koento Wibisono Siswomihardjo menyatakan bahwa hakikat ilmu adalah sebab fundamental dan kebenaran universal yang implisit melekat di dalam dirinya. Dengan pengertian tersebut, maka ilmu itu niscaya berorientasi dan selalu berusaha untuk mengungkapkan kebenaran (searching for the truth) yang universal dan hakiki. Sejalan dengan pemikiran perkembangan kehidupan manusia, Liek Wilardjo menyatakan bahwa kebenaran yang ingin dicapai oleh ilmu itu tidak mutlak dan tidak langgeng, namun bersifat nisbi, sementara, dan hanya merupakan pendekatan saja. Apa yang selama ini dipedomani sebagai kebenaran akan selalu merupakan hasil jerih payah bertahun-tahun mengembangkan dan menyempurnakan kebenaran lama. Demikian pula sesuai dengan siklus kehidupan manusia, maka apa yang sekarang ini menjadi pedoman untuk mencari kebenaran, pada waktu yang datang muncul kebenaran yang lebih jati lagi.
Manusia merupakan makhluk yang selalu ingin tahu. Tidak pernah puas terhadap segala sesuatu yang telah ada. Sebagai konsekuensinya ilmu terus menerus berkembang sejalan dengan pemikiran manusia pada waktu dan tempat yang dijalaninya. Dalam perkembangan dunia yang semakin modern ilmu juga mengalami perubahan-perubahan. Dalam kaitan ini praktik-praktik komunitas ilmuwan dalam kegiatannya bukan saja dipengaruhi oleh Weltanschauung dan perspektif religius serta politik sang ilmuwan, melainkan juga telah dibayangi ilmu itu sendiri dalam hakekatnya sebagai kekuasaan.
Dengan perkembangan yang demikian, maka akan sangat sulit untuk mengatakan bahwa ilmu itu netral. Sejak semula ilmu memang tidak netral, melainkan sarat nilai. Bukan saja nilai-nilai konstitutif yang mempengaruhi ilmuwan dan karenanya juga proses serta produk kegiatan keilmuannya, melainkan juga nilai-nilai kontekstual. Dengan nilai-nilai kontekstual tersebut, ilmuwan sangat rentan terhadap pengaruh kepentingan-kepentingan pihak lain.
Dengan demikian, sistem nilai yang dianut suatu komunitas ilmuwan akan mempengaruhi kesepakatan mengenai anggapan apa yang merupakan ilmu itu.
Ilmu Hukum yang berkembang hingga saat ini pada dasarnya tercipta setelah melalui perdebatan-perdebatan intelektual yang panjang dan melelahkan untuk menemukan “kebenaran hukum” itu. Namun perlu dipahami bahwa meskipun suatu paradigma dalam suatu Ilmu Hukum dianggap telah usang dan tidak mampu untuk menjawab dan memberi solusi atas problem baru yang muncul belakangan, yang kemudian memunculkan paradigma baru Ilmu Hukum, namun paradigma lama tidak dengan sendirinya tergusur. Paradigma lama tersebut masih bertahan secara teguh dalam suatu komunitas ilmuwan yang bersangkutan, tanpa mau menoleh kepada paradigma yang muncul belakangan.
Dalam kaitan ini terdapat dua kubu yang ‘berhadap-hadapan’ yang belum saling sepakat tersebut, yakni antara kubu normatif/dogmatis/doktrinal dengan kubu empirik/non-dogmatis/non-doktrinal. Seringkali, argumentasi yang dibangun antara dua kubu tersebut berseberangan satu dengan lainnya tanpa melihat kelebihan dan kekurangan dari masing-masing. Para ilmuwan hukum dari kedua kubu tersebut sibuk dalam perdebatan-perdebatan yang tidak pernah selesai, karena perbedaan aliran-aliran pemikiran yang diacu, yang tak satu pun memperoleh penerimaan umum oleh para ilmuwan hukum untuk dijadikan fondasi pengembangan Ilmu Hukum. Oleh karena itu, persoalan yang harus segera dipecahkan adalah bagaimana membangun suatu ilmu hukum agar berkualitas sebagai sebenar ilmu. Kebutuhan untuk menempatkan Ilmu Hukum sebagai sebenar ilmu pada akan sangat menentukan terciptanya di samping suatu landasan intelektual bagi komunitas keilmuwan, juga memaparkan masalah-masalah yang perlu dibahas, dan langkah-langkah yang perlu ditempuh oleh para pakar ilmu untuk
memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi oleh Ilmu Hukum.
Ilmu dan Pengetahuan
Untuk membedakan dengan identitas lainnya, maka ilmu sebagai bagian dari pengetahuan niscaya memiliki ciri-ciri khas. Ciri khas atau karakteristik pengetahuan keilmuan ini mencerminkan landasan yang akan digunakan untuk menjelaskan apakah pengetahuan itu dapat dikatagorikan sebagai ilmu ataukah hanya berhenti pada pengetahuan saja. Jujun S. Suriasumantri menyatakan bahwa ilmu itu memilki tiga landasan, yaitu: (1)ontologi, (2)epistemologi, dan (3)aksiologi/ teleologi.Landasan ontologis membahas tentang apa yang ingin diketahui, atau dengan kata lain ontologi merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologi dari ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi objek penelaahan ilmu. Berdasarkan objek yang ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris hal ini dikarenakan objeknya adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Berlainan dengan agama atau bentuk-bentuk pengetahuan yang lain, ilmu membatasi diri hanya pada kejadian-kejadian yang bersifat empiris, dan karenanya selalu terhadap dunia empiris.
Landasan epistemologis membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha manusia untuk memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu teori pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apa pun selama hal itu terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode keilmuan, sah disebut keilmuan. Kata-kata sifat keilmuan lebih mencerminkan hakikat ilmu daripada istilah ilmu sebagai kata benda.
Hakikat keilmuan ditentukan oleh cara berpikir yang dilakukan menurut syarat keilmuan, yaitu bersifat terbuka dan menjunjung kebenaran di atas segalagalanya.
Oleh karena itu, ilmu barangkali boleh salah, tetapi yang tidak boleh (haram) adalah bohong (menutupi/menghilangkan kebenaran) dalam ilmu. Epistemologi hukum (ajaran pengetahuan,kennisleer) menurut Jan Gijssels dan Marks van Hoecke yang diterjemahkan oleh B.Arif Sidharta; adalah penelitian tentang pertanyaan sejauh mana pengetahuan tentang “hakikat” dari hukum atau masalah-masalah filsafat hukum fundamental lainnya mungkin.Jadi ini adalah suatu bentuk dari meta-filsafat.
Dasar aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Aksiologi Hukum (ajaran nilai,waardenleer) menurut Jan Gijssels dan Marks van Hoecke yang diterjemahkan oleh B.Arif Sidharta adalah penentuan isi dan nilai-nilai seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran,penyalahgunaan hak.
Perjalanan Keberadaan Ilmu Hukum untuk mewujudkan ilmu hukum menjadi sebenar ilmu
Sejak abad 19, muncul pandangan yang meragukan posisi keilmiahan dari Ilmu Hukum. J.H. von Kirchmann pada tahun 1848 dalam sebuah pidatonya yang diberi judul Die Wertlosigkeit der Jurisprudenz als Wissenschaft (Ketakberhargaan Ilmu Hukum sebagai Ilmu) menyatakan bahwa Ilmu Hukum itu adalah bukan ilmu. Pada abad 20, juga muncul pandangan yang menolak keilmiahan dari Ilmu Hukum. Hal ini tercermin dari karya A.V. Lundstedt yang berjudul Die Inwissenschaftlichkeit der Rechtswissenshaft (Ketakilmiahan Ilmu Hukum) yang terbit pada tahun 1932. Berdasarkan metodenya, A.V. Lundstedt dengan tegas menolak keilmiahan dari Ilmu Hukum.Dalam kaitan ini J.H. von Kirchmann berpendapat bahwa obyek studi dari apa yang dinamakan Ilmu Hukum itu adalah hukum positif yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat.
Begitu Ilmu Hukum selesai memaparkan sistem hukum positif yang berlaku dalam masyarakat, maka hasil pemaparann yaitu akan tertinggal oleh dinamika hukum positif itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena hakikat dari sistem hukum positif itu yang selalu bergerak dinamis dan berubah-ubah mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat. Dengan latar yang demikian ini, maka Kirchmann sampai pada kesimpulan bahwa objek dari Ilmu Hukum itu - tidak seperti ilmu lainnya yang memiliki sifat universal – bersifat lokal. Objek Ilmu Hukum tidak dapat dipegang oleh Ilmu Hukum karena selalu berubah-ubah dan berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Jadi, Ilmu Hukum tidak memiliki landasan keilmuan sebagaimana yang dimiliki oleh ilmu lain, demikian inti pandangan yang menolak keilmuan dari Ilmu Hukum. Atas pandangan yang minor terhadap Ilmu Hukum tersebut, Paul Scholten melalui karyanya berjudul De Structuur der Rechtswetenschap yang terbit pada tahun 1942 mencoba menjernihkan tentang status ilmu hukum sebagai ilmu yang sesungguhnya.
Dalam karyanya ini, Scholten secara ringkas, jernih dan dan jelas memaparkan pandangan nya tentang hukum,keadilan dan Ilmu Hukum.Di Indonesia sendiri, perdebatan tentang ontologi dan epistemologi dari ilmu Hukum mulai marak pada tahun 1970-an. Munculnya pemikiran-pemikiran sosiologis dalam kajian Ilmu Hukum menimbulkan reaksi yang cukup signifikan dari Ilmu Hukum dogmatis. Sebagaimana diketahui, Ilmu Hukum yang dibangun dan dikembangkan di Indonesia, sebagai bekas jajahan Belanda, hingga menjelang tahun 1970 adalah berlandaskan pada pemikiran positivisme hukum. Di dalam pengaruh paradigma positivisme,para pelaku hukum menempatkan diri dengan cara berpikir dan pemahaman hukum secara legalistik positivis dan berbasis peraturan (rule bound) sehingga tidak mampu menangkap kebenaran, karena memang tidak mau melihat atau mengakui hal itu. Dalam ilmu hukum yang legalitis positivistis, hukum hanya dianggap sebagai institusi pengaturan yang kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, dan deterministik, terutama untuk kepentingan profesi.
Dalam konteks hukum Indonesia, doktrin dan ajaran hukum demikian yang masih dominan, termasuk kategori “legisme”nya Schuyt. Hal ini dikarenakan “legisme” melihat dunia hukum dari teleskop perundang-undangan belaka untuk kemudian menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dalam Negara modern, penerapan positivisme dimaksudkan untuk mencapai kepastian hukum walaupun dalam kenyataannya kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan lebih banyak dihadapi.Salah satu kritikan terhadap positivisme adalah sebagaimana dikatakan oleh Anwarul Yaqin,pertama, bahwa tidak semua hukum lahir dari keinginan pihak yang berdaulat.Kebiasaan-kebiasaan yang diperkenalkan oleh pengadilan,sama sekali tidak merupakan ungkapan keinginan pihak yang berdaulat. Kedua,deskripsi Austin tentang hukum lebih mendekati hukum pidana yang membebankan kewajiban-kewajiban.Ketiga,rasa takut bukan satu-satunya motif sehingga orang menaati hukum,Terdapat banyak motif lain sehingga orang menaati hukum, seperti rasa respek terhadap hukum,simpati terhadap pemeliharaan tertib hukum, atau alasan yang sifatnya manusiawi. Rasa takut hanya motif tambahan. Keempat, definisi hukum dari kaum positivis tidak dapat diterapkan terhadap hukum tata negara, karena hukum tata negara tidak dapat digolongkan dalam perintah dari yang berdaulat. Hukum tata negara dari suatu negara didefinisikan sebagai kekuasaan dari berbagai organ dari suatu negara, termasuk kekuasaan dari kedaulatan politik.
Dari sisi kritik praktis, Achmad Gunaryo menjelaskan bahwa ilmu hukum konvensional (positivistis),juga logika hukum, gagal menjelaskan secara meyakinkan sejumlah peristiwa social kemanusian. Munculnya sosiologi dalam Ilmu Hukum dikarenakan ingin melihat hakikat hukum yang tidak terbatas pada teks normatif yang abstrak. Tetapi lebih jauh dari itu, hukum ingin dilihat dalam segenap kompleksitasnya dalam interaksinya dengan alam realitas empirik sebagai medan tumbuh-kembangnya hukum tersebut. Apakah bunyi aturan hukum benar-benar berfungsi atau tidak berfungsi dalam realitas empirik. Hal tersebut tidak akan diketahui jika hanya melakukan pengamatan terhadap ajaran-ajaran atau rumusan-rumusan yang resmi dan formal. Untuk itu dibutuhkan penggunaan sosiologi dalam Ilmu Hukum. Terdapat beberapa faktor yang mendorong perkembangan minat terhadap sosiologi hukum, yaitu: perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hubungan-hubungan sosial (termasuk sudah perubahan fisik dan teknologis)’ ketidaksesuaian antara ideal dan kenyataan; dan sehubungan dengan kedua hal tersebut adalah terjadinya konflik-konflik nilai-nilai,konflik kepentingan dan sebagainya didalam masyarakat.
Memang tidak dapat dipungkiri ada pandangan, baik dari sosiolog mau pun sarjana hukum sendiri, bahwa Ilmu Hukum termasuk kelompok Ilmu-ilmu Sosial. Tetapi dalam penerapannya penggunaan metode penelitian ilmu social kurang dapat diandalkan untuk dapat menciptakan suatu analisis hukum, doktrin hukum, atau suatu produk hukum (rancangan undang-undang, misalnya) yang dibutuhkan untuk pembangunan hukum. Bernard Arief Sidharta berusaha membuktikan sifat keilmuan dari Ilmu Hukum dengan pokok-pokok pemikirannya menjelang akhir abad 20. Menurut beliau Ilmu Hukum itu juga seperti halnya ilmu lain, memiliki landasan keilmuan yang dibutuhkan oleh setiap ilmu. Ilmu Hukum membangun konsep dan obyeknya yang dapat dieksplorasi oleh siapa
pun.
Obyek-telaah Ilmu Hukum adalah tata hukum positif, yakni sistem aturan hukum yang ada pada suatu waktu tertentu dan berlaku dalam suatu wilayah tertentu
Lebih lanjut diuraikan bahwa Ilmu Hukum termasuk ke dalam jajaran Kelompok Ilmu Praktis-Normologis. Ilmu Praktis merupakan medan tempat berbagai ilmu bertemu dan berinteraksi, yang produk akhirnya berupa penyelesaian yang secara ilmiah (rasional) dapat dipertanggungjawabkan. Meski obyek telaahnya adalah tata hukum positif, dalam perkembangannya, Ilmu Hukum harus terbuka dan mampu mengolah produk berbagai ilmu lain tanpa berubah menjadi ilmu lain tersebut dengan kehilangan karakter khasnya sebagai ilmu normatif. Memasuki abad 21, muncul karya yang berbeda dengan pendapat Sidharta tersebut dalam mengkonstatasi keberadaan Ilmu Hukum.
Bernard L. Tanya seorang pemikir hukum menyatakan bahwa Ilmu Hukum tidaklah memadai jika hanya berkubang dalam paradigma normatif-dogmatis saja. Sebab, jika hanya berkisar pada aspek normatif saja, maka tidaklah akan dapat menangkap hakikat hukum sebagai upaya manusia untuk menertibkan diri dan masyarakat berikut kemungkinan berfungsi atau tidaknya hukum tersebut dalam masyarakat.
Untuk melihat hakikat hukum dengan segala kompleksitasnya tersebut, kemudian Bernard mengatakan bahwa Ilmu Hukum merupakan bagian dari Ilmu Humaniora. Sebagai bagian dari Ilmu Humaniora, maka Ilmu Hukum mempelajari hukum dengan titik tolak dari manusia sebagai subyeknya. Meletakkan Ilmu Hukum sebagai bagian dari Ilmu Humaniora tersebut jelas sangat berbeda dengan pendapat Sidharta di atas yang menyatakan bahwa Ilmu Hukum berada dalam tataran Ilmu Praktikal-Normologik.
Dengan objek telaah (ontologi) yang berbeda tersebut, Ilmu Hukum Dogmatik objek telaah nya adalah semata-mata pada teks-teksotoritatif.Sedangkan Ilmu Hukum Non-dogmatis objek telaahnya adalah hukum dengan sekalian keterkaitannya dengan realitas-empirik. Hal ini berakibat kepada model penelaahan (epistemologi) yang berbeda pula. Metode penelitian dalam Ilmu Hukum Dogmatik menggunakan metode penelitian hukum beserta perangkat-perangkat penafsirannya yang ‘murni’ hukum dogmatik. Sedangkan Ilmu Hukum Non-dogmatik (empiris) menggunakan perangkat metode penelitian ‘baru’, yaitu ‘tidak alergi meminjam’ metode yang dikembangkan ilmu lain.Ilmu Hukum Dogmatik hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Jadi, kegunaan dari Ilmu Hukum Dogmatis ini tidak lebih hanya menelaah bangunan logis-rasional dari deretan pasal-pasal peraturan. Oleh karenanya, Ilmu Hukum Dogmatik seperti ini juga lazim disebut dengan analytical jurisprudence, yang dalam praktiknya sangat bertumpu pada dimensi bentuk Bernard L. Tanya “Beban Budaya Lokal Menghadapi Hukum Negara: Analisis Budaya atas Kesulitan Sosio-Kultural Orang Sabu Menghadapi Regulasi Negara”. formal dan prosedural dalam berolah hukum untuk mencapai (aksiologi) kepastian. Yang benar dan adil adalah peraturan hukum itu sendiri.Kebalikan dari itu, Ilmu Hukum Non-dogmatik tidak berhenti kepada menyibukkan diri dengan bangunan logis-rasional dari sebuah peraturan. Tujuan (aksiologi) yang ingin dicapai oleh Ilmu Hukum Non-Dogmatik adalah untuk mencari dan mencapai kebenaran hukum sebagai institusi kemanusian dan kemasyarakatan. Kebenaran hukum yang demikian itu jelas tidak dapat diperoleh jika hanya bertumpu pada peraturan hukum semata-mata. Bukankah hukum dihadirkan untuk manusia?
Mewujudkan Landasan Keilmuan Ilmu Hukum
Dalam kaitan dengan upaya untuk mewujudkan suatu landasan keilmuan ilmu hukum yang holistik, maka langkah yang dilakukan tidak hanya menetapkan unsur-unsur teoritis tentang apa dan bagaimana suatu objek, tetapi juga menentukan sebagai apa orang dapat memandang dan menjelaskan suatu fenomena. Dalam kapasitasnya sebagai sistem pemikiran yang mendasari suatu disiplin ilmu, maka landasan keilmuan itu sekaligus menentukan sikap dasar terhadap pengetahuan dan hubungan pengetahuan tersebut dengan sasaran yang ingin diketahui, yaitu realitas.
Upaya untuk mewujudkan keilmuan dari ilmu hukum mau tidak mau perlu melihat pada dua aliran yang sampai dengan saat ini masih mempunyai pandangan yang berbeda namun sebenarnya dapat saling melengkapi. Yaitu pandangan dogmatik dan pandangan non-dogmatik, dapat dipandang sebagai suatu rahmat dan kekayaan dalam khazanah Ilmu Hukum. Sebagai bagian dari dinamika ilmu, hal ini sah-sah saja. Yang memprihantinkan ialah jika tolak tarik perbedaan tersebut menghasilkan sesuatu yang kontra produktif bagi perkembangan hukum. Dikatakan kontra produktif, karena para komunitas dari kedua kubu tersebut hanya sibuk berdebat dan bersilang sengketa mengenai kebenaran argumentasi dan aliran pemikiran yang dijadikan acuannya. Yang kemudian terjadi adalah mereka berkutat untuk saling mencari-cari kelemahan masing-masing tanpa mau melihat dan berusaha memahami secara jernih tentang kelemahan dan keunggulan yang ada dari kedua pandangan tersebut
Sebagai implikasinya, kegiatan-kegiatan ilmiah, khususnya kegiatan penelitian masih berlangsung dengan cara yang hampir dapat dikatakan tanpa mengacu pada perencanaan atau pun kerangka konseptual dan teoretikalnya yang diterima secara umum oleh komunitas ilmuwan hukum. Itulah sebabnya, tidak heran hingga kini dalam Ilmu Hukum belum memiliki kesepakatan menyangkut dalil-dalil, konsep-konsep dan instrumentasi sebagai model untuk mengembangkan tradisi riset ilmiah yang terpadu. Menurut Bernard L. Tanya, ini semua disebabkan oleh ketiadaan kesepakatan menyangkut segi ontologis dan epistemologis Ilmu Hukum di kalangan ilmuwan hukum sendiri. Di samping itu, adanya kecurigaan dari kalangan ilmuwan hukum bahwa masuknya sosiologi dalam kajian Ilmu Hukum barangkali dianggap sebagai suatu intervensi orang luar dalam masalah-masalah dalam negeri.Ketiadaan kesepakatan tentang dua landasan keilmuan juga belum mendapat solusi bagaimana menjembataninya. Sampai pada tahap ini tampaknya belum juga ada suatu kesepakatan untuk mengakhiri fenomena kegandaan dari Ilmu Hukum. Ketidaksepakatan tersebut jika dibiarkan terus niscaya kurang baik bagi perkembangan dan pembangunan Ilmu Hukum. Andai ada pernyataan bahwa Ilmu Hukum adalah ilmu yang membingungkan, barangkali hal itu tidak dapat disalahkan.
Oleh karenanya harus diupayakan untuk mengakhiri ketidaksepakatan landasan keilmuan dari Ilmu Hukum.H. Ph. Visser ‘t Hooft dalam hal ini mengatakan bahwa Ilmu-ilmu Hukum (Rechtswetenschappen) mencakup semua kegiatan ilmiah yang mempunyai hukum sebagai objek-telaahnya. Kegiatan ilmiah ini sangat banyak jenisnya, yang tidak melulu kegiatan yang mengkaji aspek normatif dari hukum. Untuk mendapatkan kejelasan tentang hukum, niscaya dilakukan dengan cara menempatkan hukum dalam konteks dari keseluruhan dunia-kehidupan (lebenswelt) manusiawi kita. Atas dasar pemikiran yang demikian itu, Soekanto dengan tegas mengatakan bahwa pemisahan secara ketat antara segi normatif dengan segi perilaku dari gejala kemasyarakatan akan menyesatkan, sebab akan terjadi dikotomi antara pendekatan yuridis dengan pendekatan sosiologis terhadap hukum. Hal ini tidak perlu terjadi apabila disadari bahwa kedua segi tersebut merupakan bagian dari kesatuan. Jadi, persoalan pokoknya bukanlah kembali pada segi normatifnya, namun bagaimana menyerasikan kedua segi tersebut sekaligus dengan sekalian pendekatan-pendekatannya.
Lebih lanjut Soekanto mengatakan bahwa selama kalangan hukum sudah mempunyai kerangka pemikiran yang mantap, maka ‘bahaya’ dari sosiologi tidaklah perlu dikhawatirkan. Bahkan suatu keuntungan akan diperoleh darinya,
yakni metode penelitian yang lazim digunakan dalam penelitian sosiologi akan dapat dimanfaatkan di dalam pengembangan Ilmu Hukum. Dengan demikian, kalangan ilmuwan hukum tidak perlu kembali ke penelitian hukum normatif. Yang perlu adalah suatu kesadaran bahwa penelitian hukum normatif dengan objek telaahnya teks-teks otoritatif dan penelitian hukum empiris atau sosiologis dengan objek telaahnya hukum sebagai gejala kemasyarakatan, adalah saling melengkapi. Keduanya merupakan segi- segi dari satu masalah.Di samping itu diperlukan juga suatu kesadaran bahwa jika hanya ada satu jenis penelitian, maka itu baru dilakukan kegiatan ilmiah yang belum lengkap. Melihat hukum hanya dari sisi normatifnya saja tentu tidak bisa menggambarkan fakta empiriknya. Demikian juga melihat hukum dari sisi gejala kemasyarakatan tidak bisa menggambarkan hukum sebagai sistem atau tata norma yang positif, sebab ia hanya berhenti kepada deskripsi gejala-gejala saja.



Rabu, 26 Oktober 2011

PENGERTIAN, MEMAHAMI KEBUDAYAAN




1.Pengertian Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari kata budh dalam bahasa sanskerta yang berarti akal, kemudian menjadi kata budhi ( tunggal ) atau budhaya ( majemuk ), sehingga kebudayaan di artikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kebudayaan berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan, sedangkan daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur jasmani, sehingga kebudayaan di artikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia.
Dalam bahasa Inggris kebudayaan adalah culture, berasal dari kata culure (bahasa yunani) yang berarti mengerjakan tanah. Kata cultuur dalam bahasa Belanda masih mengandung pengertian pengerjaan tanah.
Pemilihan definisi kebudayaan yang tepat sangat sukar karena begitu banyak orang yang mendefinisikannya. Adapun definisi kebudayaan menurut ;
a.Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman ( kodrat dan masyarakat ) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
b.Sutan Takdir Alisyahbana
Kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir, sehingga menurutnya pola kebudayaan itu sangat luas sebab semua laku dan perbuatan tercakup di dalamnya dan dapat diungkapkan pada basis dan cara berpikir termasuk di dalam nya perasaan karena perasaan juga merupakan maksud dari pikiran.
c.Koentjaraningrat
Kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus di biasakan dengan belajar serta keseluruhan dari hasil budi pekertinya.

d.A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn
Dalam bukunya culture, a critical review of concepts and definations ( 1952 ) mengatakan bahwa kebudayaan adalah manifestasi atau penjelmaan kerja jiwa manusia dalam arti seluas – luasnya.
e.Malinowski
Kebudayaan pada prinsipnya berdasarkan atas berbagai sistem kebutuhan manusia. Tiap tingkat kebutuhan itu menghadirkan corak budaya yang khas.
f.C.A. Van Peursen
Kebudayaan di artikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan kehidupan setiap kelompok orang.
Menurut Dr.H.Th. Fischer dalam bukunya Pengantar Antropologi, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kebudayaan dan secara garis besar adalah sebagai berikut :
1.Faktor Kitaran Geografis ( lingkungan hidup, Geografisch millieu )
Faktor lingkungan fisik lokasi geografis merupakan sesuatu corak budaya sekelompok masyarakat. Dengan kata lain, faktor kitaran geografis merupakan determinisme yang berperan besar dalam pembentukan suatu kebudayaan.
2.Faktor Induk Bangsa
Ada dua pandangan mengenai faktor induk bangsa ini, yaitu pandangan barat dan pandangan timur. Pandangan barat berpendapat bahwa perbedaan induk bangsa dari beberapa kelompok masyarakat mempunyai pengaruh terhadap suatu corak kebudayaan. Berdasarkan pandangan barat, umumnya tingkat peradaban di dasarkan atas ras. Oleh karena itu, bangsa – bangsa yang berasal dari ras Caucasoid di anggap lebih tinggi dari pada ras lain, yaitu Mongoloid dan Negroid yang lebih rendah dari ras Mongoloid yang memiliki ras khusus seperti Bushman ( Afsel ), Vedoid ( Sri lanka ), dan Austroloid ( Australia ).
Pandangan timur berpendapat bahwa peranan induk bangsa bukanlah sebagai faktor yang mempengaruhi kebudayaan. Kenyataannya dalam sejarah, budaya timur sudah lebih dulu lahir dan cukup tinggi justru pada saat bangsa barat masih ’tidur dalam kegelapan’. Hal tersebut semakin jelas ketika dalam abad XX, bangsa Jepang yang termasuk ras Mongoloid mampu membuktikan bahwa mereka bangsa timur tidak dapat dikatakan lebih rendah dari pada bangsa barat.
3.Faktor Saling Kontak Antarbangsa
Hubungan antar bangsa yang makin mudah akibat sarana perhubungan yang makin sempurna menyebabkan satu bangsa mudah berhubungan dengan bangsa lain. Akibat adanya hubungan antar bangsa ini, dapat atau tidak nya suatu bangsa mempertahankan kebudayaannya tergantung dari pengaruh kebudayaan asing, jika lebih kuat maka kebudayaan asli dapat bertahan. Sebaliknya apabila kebudayaan asli lebih lemah, maka lenyaplah kebudayaan asli dan terjadilah budaya jajahan yang sifatnya tiruan ( colonial and imitative culture ). Namun dalam kontak antar bangsa ini yang banyak sekali terjadi adalah adanya keseimbangan yang melahirkan budaya campuran ( acculturation ).

2.Memahami Kebudayaan
Untuk lebih mendalami kebudayaan perlu di kenal beberapa masalah lain yang menyangkut kebudayaan, yaitu ;
a.Unsur Kebudayaan
Unsur kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bagian suatu kebudayaan yang dapat digunakan sebagai satuan analisis tertentu. Dengan adanya unsur tersebut, kebudayaan di sini lebih mengandung makna totalitas daripada sekedar penjumlahan unsur – unsur yang terdapat di dalamnya.
Oleh karena itu, dikenal adanya unsur – unsur yang universal yang melahirkan kebudayaan universal ( cultural universal ), yang di kemukakan C. Kluckhohn dalam karyanya Universal Catogories of Culture, ada tujuh unsur dalam kebudayaan universal, yaitu sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, serta kesenian.
1.Sistem religi dan upacara keagamaan merupakan produk manusia sebagai homo religius. Manusia yang memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur. Tanggap bahwa di atas kekuatan dirinya terdapat kekuatan lain yang Maha besar ( supranatural ). Oleh karena itu manusia takut sehingga menyembah Nya dan lahirlah kepercayaan yang sekarang menjadi agama. Untuk membujuk kekuatan besar tersebut agar mau menuruti kemauan manusia, dilakukan usaha yang diwujudkan dalam sistem religi dan upacara keagamaan.
2.Sistem organisasi kemasyarakatan merupakan produk dari manusia sebagai homo socius. Manusia sadar bahwa tubuhnya lemah. Namun dengan akalnya manusia membentuk kekuatan dengan cara menyusun organisasi kemasyarakatan yang merupakan tempat bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, yaitu meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
3.Sistem pengetahuan merupakan produk dari manusia sebagai homo sapiens. Pengetahuan dapat diperoleh dari pemikiran sendiri, disamping itu dapat juga dari pemikiran orang lain.
4.Sistem mata pencaharian hidup yang merupakan produk dari manusia sebagai homo economicus menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus meningkat.
5.Sistem teknologi dan peralatan merupakan produksi dari manusia sebagai homo faber. Bersumber dari pemikirannya yang cerdas serta dibantu dengan tangannya yang dapat memegang sesuatu dengan erat, manusia dapat menciptakan sekaligus mempergunakan suatu alat.
6.Bahasa merupakan produk manusia sebagai homo longuens. Bahasa Indonesia pada mulanya diwujudkan dalam bentuk tanda ( kode ), yang kemudian disempurnakan dalam bentuk bahasa lisan, dan akhirnya menjadi bahasa tulisan. Sehingga Ernest Casirier menyebut manusia sebagai animal symbolic.
7.Kesenian merupakan hasil dari manusia sebagai homo esteticus. Setelah manusia dapat mencukupi kebutuhan fisiknya, maka manusia perlu dan selalu mencari pemuas untuk memenuhi kebutuhan psikisnya. Semua dapat di penuhi melalui kesenian. Kesenian di tempatkan sebagai unsur terakhir karena enam kebutuhan sebelumnya, pada umumnya harus di penuhi terlebih dahulu.

Selain pendapat C. Kluckhohn, ahli lain seperti Melville J. Herskovits berpendapat tentang unsur dalam kebudayaan, yaitu alat – alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga, dan kekuasaan politik. Bronislaw Malinowski mengemukakan adanya empat unsur kebudayaan, yaitu sistem norma, organisasi ekonomi,alat – alat atau lembaga ataupun petugas pendidikan, dan organisasi kekuatan. Dari ketiga pendapat tersebut, yang paling terkenal adalah pendapat dari C. Kluckhohn.

b.Wujud Kebudayaan
Selain unsur kebudayaan, masalah penting dari kebudayaan adalah wujudnya. Ada dua wujud kebudayaan, pertama kebudayaan bendaniah (material) yang memiliki ciri dapat dilihat, diraba, dan dirasa sehingga lebih konkret atau mudah di pahami. Kedua adalah kebudayaan rohaniah ( spiritual ) yang memiliki ciri dapat di rasa saja. Oleh karena itu kebudayaan rohaniah bersifat lebih abstrak dan lebih sulit di pahami.
Koentjaraningrat dalam karyanya Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan menyebutkan paling sedikit ada 3 wujud kebudayaan, yaitu :
1.Sebagai suatu kompleks dari ide – ide, gagasan, nilai – nilai, norma – norma, peraturan, dan sebagainya;
2.Sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat;
3.Sebagai benda – benda hasil kerja manusia.
Wujud ide adalah kebudayaan rohaniah,yaitu yang memiliki ciri hanya dapat dirasakan, tetapi tidak dapat di lihat dan di raba. Ada juga yang merumuskan kebudayaan sudah mengarah pada kesenian, dengan istilah rasa, karsa dan karya.
Kebudayaan sebagai karya manusia memiliki sistem nilai, menurut C. Kluckhohn dalam karyanya Variations is Value Orientation ( 1961 ), sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan yang ada di dunia sebenarnya berkisar pada lima masalah pokok dalam kehidupan manusia, yaitu ;
1)Hakikat dari hidup manusia ( manusia dan hidup, disingkat MH )
2)Hakikat dari karya manusia ( manusia dan karya, di singkat MK )
3)Hakikat kedudukan manusia dalam ruang waktu ( manusia dan waktu, disingkat MW )
4)Hakikat pandangan manusia terhadap alam ( manusia dan alam, di singkat MA )
5)Hakikat hubungan manusia dengan sesamanya ( manusia dan manusia, disingkat MM).

c.Sifat – sifat Kebudayaan
Secara umum, akan di kemukakan tujuh sifat kebudayaan,yaitu ;
1.Kebudayaan beraneka ragam
Disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain karena manusia tidak memiliki struktur anatomi secara khusus pada tubuhnya sehingga harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Oleh karena itu kebudayaan yang di ciptakan pun disesuaikan dengan kebutuhan hidupnya.
2.Kebudayaan dapat di teruskan secara sosial dengan pelajaran
Penerusan kebudayaan dapat dilakukan secara horizontal dan vertikal. Penerusan secara horizontal dilakukan terhadap satu generasi dan biasanya secara lisan, sedangkan penerusan vertikal dilakukan antar generasi dengan jalan melalui tulisan ( literer ).
3.Kebudayaan di jabarkan dalam komponen – komponen biologi, psikologi, dan sosiologi.
Biologi, psikologi, dan sosiologi merupakan tiga komponen yang membentuk pribadi manusia. Secara biologis manusia memiliki sifat – sifat yang di turunkan oleh orang tuanya ( hereditas ) yang di peroleh sewaktu dalam kandungan sebagai kodrat pertama ( primary nature ). Bersamaan dengan itu, manusia juga memiliki sifat – sifat psikologis yang sebagian di perolehnya dari orang tuanya sebagai dasar atau pembawaan. Manusia sebagai unsur masyarakat dalam lingkungan ikut serta dalam pembentukan kebudayaan.
4.Kebudayaan mempunyai struktur
Cultural universal yang telah di kemukakan, unsur – unsurnya dapat di bagi dalam bagian – bagian kecil yang di sebut traits complex, lalu terbagi dalam traits,dan terbagi lagi dalam items.
5.Kebudayaan mempunyai nilai
Nilai kebudayaan ( cultural value ) adalah relatif, bergantung pada siapa yang memberikan nilai, dan alat pengukur apa yang di pergunakan.



6.Kebudayaan mempunyai sifat statis dan dinamis
Kebudayaan dikatakan statis apabila suatu kebudayaan sangat sedikit perubahannya dalam tempo yang lama. Sebaliknya apabila kebudayaan cepat berubah dalam tempo singkat dikatakan kebudayaan itu dinamis.
7.Kebudayaan dapat di bagi dalam bermacam – macam bidang atau aspek
Ada kebudayaan yang sifatnya rohani dan ada yang sifatnya kebendaan ( spiritual and material culture ). Ada kebudayaan darat dan ada kebudayaan maritim (terra and aqua culture ) dan ada kebudayaan menurut daerah ( kebudayaan suatu suku bangsa atau subsuku bangsa, areal cuture).

Rabu, 19 Oktober 2011

Pare, kediri, Belajar Bahasa Inggris di kampung Pare..


Jalan-jalan menuju Goa Surowono, Pare, kediri, Jatim
Goa surowono

team sepeda,
















Ini nama - nama tempat Kursus di Pare...
1. Desa Pelem, Kecamatan Pare, Kab. Kediri Jati
Kursus yang ada :
BEC
Program : 6 bulan
Sasaran : Grammar, Speaking
Biaya : Masuk : Rp 150 rb + Spp : Rp 50rb / bln
Suasana : Agak resmi, pake sepatu, meja kelas kaya SMA, seragam hitam putih hari jumat dan ujian, wanita muslim pake jilbab, dilarang masuk kelas pake sarung bagi yg cowo

HEC 1 & 2
Program : 3 bulan
Suasana : Mirip BEC (cabangnya BEC sih)

Harvard
Program : 1 bulan
Suasana : Bebas
Biaya : kalo ngga salah Rp 75 rb / bln / program

2. Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kab. Kediri Jatim
Kursus yang ada :
ELFAST
Program : 2 Minggu & 1 Bulanan
Biaya : Rp 40rb - 85rb / bln (tergantung program apa yang dipilih
Suasana : Bebas
Sasaran : Grammar, Translation, Writing & TOEFL

Daffodiles
Program : 2 Minggu & 1 Bulanan
Biaya : Rp 70-an / bulan
Sasaran : Speaking & Pronounciation
Suasana : Bebas

Mahesa Institute
Program : 2 minggu, 1 bulanan dan program D2 plus
Biaya : tergantung ambil program yang mana
Sasaran : Grammar, Speaking
Suasana : agak resmi hampir sama dengan BEC

Smart ILC
Program : 1 bulanan
Biaya : Rp 70-80rb an/bln
Suasana : Bebas
Sasaran : Grammar
Smart ILC juga punya homestay english area yang disebut S’TORY (Smart Dermitory)

Access
Program : 1 bulanan
Biaya : Rp 70-80an/bln
Suasana : Bebas
Sasaran : Pronounciation, Speaking dan Grammar
Access punya homestay english area yang disebut Access girl /boy
Marvelous
Program : 1 bulanan
Biaya : Rp 70-80-an
Suasana : Bebas
Sasaran : Speaking, Pronounciation dan Grammar
Marvelous punya homestay english area juga yang namanya Marvelous 1, 2, 3, dst

Krishna
Program : 2 mingguan, 1,5 bulan dan 1 bulanan
Biaya : Rp 20 rb - Rp 150rb
Sasaran : Grammar & Speaking

dll (banyak banget)

Transport :

1. Naik KA
=> Dari Jakarta Ps. Senin naik KA jurusan Malang turun stasiun Kediri
Dari St.Kediri naik becak ke Halte bis Toyota (bayar max. 7rb)
Dari Halte tunggu bis besar Jurusan Surabaya yang lewat Pare (hati2 jangan sampe keliru bis yang lewat Kertosono) / naik bis 3/4 warna biru (puspa indah) jurusan Malang turun di BEC Pare ( bayar max. 4 rb)
Dari situ kamu segera cari kost dan kursusan sesuai dengan waktu yang kamu punya

=> Dari Jakarta Gambir / Senin naik KA Jurusan Surabaya / Jombang turun St. Jombang
Dari stasiun Jombang keluar melalui pintu utama kemudian jalan ke arah kanan sampai menemukan perempatan besar, nyebrang rel dan jalan raya kemudian naik bis ke arah Kediri/Trenggalek yang lewat Pare. Turun di lampu merah perempatan Tulungrejo (bayar 4rb)
Dari perempatan Tulungrejo naik becak ke Mahesa Institute bayar max (10rb)
Dari Mahesa segera cari kost dan kursus.

2. Naik Bis
Cari bis jurusan Kediri turun terminal kediri. Dari terminal naik bis besar jurusan Surabaya yang lewat Pare (hati2 jangan keliru yg lewat Kertosono) atau minibus warna biru jurusan Malang lewat Pare turun di BEC Pare. (bayar 4rb). Langkah selanjutnya sama dengan naik KA bagian pertama

Biaya Makan :

Nasi Ayam : Rp 3500-4rb
Nasi Goreng : Rp 2500-4rb
Bakso : Rp 2rb - 4 rb
Mi ayam : Rp 2500
Nasi Sayur : Rp 1500-2rb
Pecel Lele di dkt Garuda Park, lumayan enak buat lidah sumatera, cuma agak mahal.he

Biaya Kost :

english area : Rp 90-220rb (include program)
non english area = Rp 40-80rb
Biaya Sewa sepeda : 50 rb selama satu bulan, tapi jangan lupa jaminan nya, KTP boleh sbg jaminan.

Tempat Nongkrong :

Garuda Park (Banyak makanan)
Gua Surowono (adventuring susur gua) masuknya bayar Rp. 5OO, NAH untuk byar guide nyusur gua, tinggal nego aj brp..
Masjid An Nur (Masjid Agung Kab. Kediri)
Alun-alun Pare (Banyak makanan)
Bagi yang suka main Futsal, ada 2 tempat lapangan futsal di pare

Jumat, 14 Oktober 2011

TUGAS KELOMPOK MAKALAH IBD EKSTENSI

TUGAS MAKALAH KELOMPOK
ILMU BUDAYA DASAR
KELAS EKSTENSI

KELOMPOK 1
INDAH AYU KOMALA SARI / AZWAR KURNIADI
TRI HERMAWATI / RIDWAN EFENDI
MAYANG SARI / HERI ROSANO
LARASSATI PUSPITA / ELLA ERWITA DIRGANTARI
ELIYA MAYANG SARI / ROBERT
JECKY.J SIHOMBING / CHRISTA WANDA LESTARI

KELOMPOK 2
JEMMY FERMINDO / BEN BELA SYAPUTRA
RIKO DILIYUS / MULYONO
AGUSTAN / GUSTAF LEONARD
ROBBY PRATAMA / DEVI ADRIANTO
RISMAN ZULKARNAIN / ANGGA RAHMADI
NOVIYANDI / ROBI FEBRIANSYAH

KELOMPOK 3
HELDENAT NAINGGOLAN / RICHI WANDY
SUGIANTO / AGUNG NUGROHO
FACHRUDDIN SOEKARNO / GERY PRATAMA MIRZAH
RIA ANANDA / ARIEL JUHASTRA
SEPTI NARTIANA / SANDHI W
SUPIYAN / DAVID PARLINDUNGAN

KELOMPOK 4
FITRI YANA / RAHMAT HIDAYAT
FAHRIZI SAPUTRA / HARRY SUBYANTO
VIRONA NOFRI TILOVA / SAKIDUL MUKSAN
PAIZOL / HENDRIAWAN
BUDI SUHENDRA / YOGI FERDIANSYAH
AGUNG WICAKSONO / ANDRI HERAWAN

KELOMPOK 5
YUDI SAPUTRA / ELZEN HARISKI
JULIS SUAN / RAHMAT ADE W
AGRI ANDI / RAHMAN RYAN SYAPUTRA
NIKI PRABOWO / DEDY PEBRIANTO
SUKRAN HADI / EKO SUYATNO
HOKA SUPRIADI

KELOMPOK 6
AGUS IRAWAN / ANGGA SETIAWAN
DAVID AGUNG KURNIADI / M. ATRI BOLIVAIR
ANDIKA FEBRIADI / DELVI INDRIADI
NOVRIADI TRIO PUTRA / FERYANTO SLAMET
VHENI HARYATI / EVA MARDALENA

KELOMPOK 7
ROMI DISNY / J. MAANURUNG
FAISAL REDO / YOSSUDARSO
FAIZAL YUSUF / PONAL HADI PUTRA
PUTRI WIDHA PAMUNGKAS / BAYU S. WICAKSONO
DESI MEGA SALVIANTI / M. SURYA

KELOMPOK 8
FERRY AQUA RIDO / HESTI YUNITA
RAY HARDIAN PUTRA / RENI OKTARIA
ARY CHSANDY / ROKKY SUMANTRI
ISWAHYUDI / KARSA NIOVA
HARLINAN SAPUTRA / ANDRI


NB: Bagi Mahasiswa yang nama nya tidak terdaftar, harap hubungi 0838 460 944 09

Senin, 10 Oktober 2011

DAYA MANUSIA DAN TIPOLOGI MANUSIA ( ILMU BUDAYA DASAR )


3. DAYA MANUSIA
a. Akal dan Inteligensi
                Inteligensi merupakan kemampuan manusia yang bersifat potensial. Oleh karena itu, pemikiran yang aktif merupakan kekuatan yang bersifat fungsional. Kemampuan manusia berpikir mempunyai fungsi untuk mengingat kembali apa yang telah di ketahui sebagai tugas dasarnya, kemudian membentuk konsep – konsep untuk memecahkan masalah – masalah sebagai tugas pokok dan akhirnya membentuk tingkah laku yang nyata dalam usaha mencapai tujuan nya.
                Inteligensi seseorang berbeda dengan orang lain. Ada 3 faktor yang menyebabkan perbedaan itu. Pertama faktor keturunan ( hereditas ), yaitu pembawaan seseorang dari lahir yang kekuatannya  di pengaruhi oleh kedua orang tuanya. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa seorang anak yang orang tuanya cerdas pada umumnya juga cerdas walaupun tidak tertutup kemungkinan adanya suatu penyimpangan. Faktor kematangan, yaitu saat kemampuan seseorang menerima masalah – masalah yang di pikirkan. Ketiga, faktor motivasi atau dorongan , yaitu yang banyak di jumpai dalam kehidupan.
                Inteligensi dapat di bedakan atas dua macam, yaitu inteligensi yang praktis dan inteligensi teoritis. Inteligensi praktis erat hubungan nya dengan pekerjaan sehingga merupakan kegiatan keterampilan atau yang bersifat teknis. Sedangan inteligensi teoritis lebih banyak di kaitkan dengan masalah – masalah yang menggunakan pola berpikir atau hal – hal yang sifatnya abstrak dan menurut logika yang cermat dan tepat.
                Masalah yang berkaitan dengan berpikir adalah intuisi, yaitu pandangan batiniah yang serta merta menembus suatu peristiwa atau kebenaran tanpa penalaran pikiran sehingga mirip dengan ilham.
b. Perasaan dan Emosi
                Perasaan dan emosi merupakan dua bagian integral dari keseluruhan aspek psikis seseorang. Perasaan merupakan warna atau suasana psikis seseorang yang mengiringi atau menyertai suatu kegiatan dalam situasi khusus, serta berhubungan dengan adanya kesan setelah kegiatan berlangsung. Dari suatu kegiatan lahirlah macam – macam perasaan, seperti gembira, sedih, benci, dan sebagainya.
                Pada umumnya, perasaan dibedakan atas dua tingkatan, yaitu rendah dan luhur, Perasaan rendah sangat erat kaitannya dengan hal – hal yang sifatnya fisik dan biologis yang dapat di bedakan atas empat jenis: perasaan naluri, penginderaan, tanggapan, dan vital. Perasaan naluri berhubungan dengan dorongan dasar individu, seperti lapar sehingga ingin makan dsb. Perasaan penginderaan tibul, antara lain karena adanya suara keras sehingga menutup telinga  dan adanya sinar yang silau sekali sehingga menutup mata. Perasaan tanggapan timbul atas suatu peristiwa, sedangkan perasaan vital timbul karena keadaan.
                Sedangkan perasaan luhur sangat erat kaitannya dengan hal – hal yang sifatnya kerohanian yang memberi ciri – ciri manusiawi. Perasaan luhur dapat dibedakan atas enam jenis ;
1.       Perasaan estetis ( keindahan ) dimiliki oleh manusia sebagai homo esteticus, seperti manusia mampu membedakan keindahan warna, bukan hanya hitam dan putih saja.
2.       Perasaan intelek dimiliki oleh manusia sebagai homo sapiens sehingga melahirkan ilmu pengetahuan yang dapat meningkatkan taraf hidup nya, manusia merasa kurang puas apabila yang di ingini belum di perolehnya
3.       Perasaan diri yang pada umumnya diukur dengan diri orang lain sehingga timbul perasaan kuraang percaya diri ( minderwaardigheids complex atau inferieur ) dan perasaan lebih percaya diri ( meerwaardigheids complex  atau superieur, “gede rasa” ).
4.       Perasaan sosial yang dimiliki oleh manusia sebagai homo socius timbul karena seseorang dapat merasakan apa yang di rasakan oleh orang lain sehingga ia memperoleh simpati.
5.       Perasaan etis atau susila yang berkaitan dengan nilai baik dan buruk dalam masyarakat telah di tentukan norma – normanya.
6.       Perasaan ketuhanan merupakan hasil penghayatan manusia sebagai homo religius karena manusia sadar bahwa dirinya kecil sebagai mikro-kosmos dibandingkan dengan kekuatan alam atau Tuhan sebagai makro-kosmos.
Yang erat kaitannya dengan perasaan adalah emosi sebagai wujud perasaan yang kuat. Perasaan hanya menyangkut kerohanian, sedangkan emosi mempengaruhi rohani dan jasmani.
c. Kemauan ( Konasi )
                Menurut Dra.Kartini Kartono dalam buku nya Psikologi Umum kemauan adalah dorongan kehendak yang terarah pada tujuan – tujuan hidup  tertentu yang di kendalikan oleh pertimbangan akal budi.
                Proses terjadinya kemauan dapat dibedakan menjadi tiga fase. Pertama, momen dorongan merupakan fase yang mengandung motif pendorongan bagi seseorang untuk melakukan sesuatu. Kedua momen pilihan merupakan fase seseorang sebagai homo sapiens atau homo economicus dalam berpikir untuk memilih mana yang akan dilakukannya dengan mempertimbangkan untung dan ruginya. Ketiga, momen keputusan merupakan fase yang dijadikan arah yang akan di tempuh oleh seseorang.
Kemauan dalam kaitannya dengan Ilmu Budaya Dasar akan melahirkan Keindahan.
d. Fantasi
                Menurut Drs. Agus Sujanto, yang di maksud dengan fantasi adalah suatu daya jiwa untuk menciptakan sesuatu yag baru.
Dalam fantasi ini terpadu unsur pemikiran dan perasaan yang ada pada manusia yang memungkinkan manusia menciptakan kreasi baru yang dapat di nikmati.
                Ada dua pendapat berbeda yang menggarisbawahi fantasi ini, yaitu pendapat lama dan pendapat baru. Pendapat lama mengatakan bahwa fantasi mempunyai sifat yang pasif merupakan fantasi yang tidak di pimpin oleh akal atau kemauan manusia. Sedangkan pendapat baru mengatakan bahwa fantasi mempunyai sifat aktif, di sadari dan di pimpin oleh akal atau kemauan manusia sehingga bersifat positif.
                Menurut jenisnya, fantasi ada tiga macam, yaitu ;
1.       Fantasi mencipta
Ialah fantasi yang benar – benar dapat menghasilkan sesuatu yang baru.
2.       Fantasi terpimpin
Ialah fantasi yang timbul karena adanya perangsang dari luar, misalnya seorang penulis novel jika ingin di katakan berhasil harus dapat membawa pembacanya ke fantasi yang di inginkannya.
3.       Fantasi melaksanakan
Ialah merupakan perpaduan antara fantasi mencipta dan fantasi terpimpin.
                Berdasarkan pernyataan – pernyataan di atas, dapat di simpulkan bahwa fantasi ini penting dan memiliki kegunaan dalam kehidupan manusia, antara lain dengan kemampuan berfantasi manusia dapat menciptakan sesuatu yang baru.


e. Perilaku
                Ke empat daya yang dimiliki oleh manusia yaitu, akal, perasaan dan emosi, kemauan da fantasi merupakan hal – hal yang menentukan perilaku seseorang. Secara umum perbedaan antara manusia yang satu dan yang lain di tentukan oleh dua faktor, yaitu pembawaan dan lingkungan.
Faktor pertama adalah pembawaan atau keturunan ( hereditas ) yang terbentuk pada waktu terjadi pembuahan ( fertilization). Pembawaan yang terjadi mempunyai sifat yang abadi dan menentukan pribadi anak keturunannya. Faktor kedua adalah lingkungan ( environment ) yang merupakan alam kedua ( secondary nature ) dalam masa setelah kelahiran ( post-natal ) yang ikut membentuk karakter seseorang, bahkan memodifikasi temperamennya sehingga membentuk suatu pribadi tertentu.
                Berdasarkan pendapat para ahli, perilaku manusia dapat di bedakan secara lebih khusus, di antara nya sebagai berikut :
1). Struktur Jiwa
                Menurut Sigmund Freud, struktur jiwa terdiri atas ( 1 ) lapisan kesadaran yang mengandung hasil – hasil pengamatan seseorang pada dunia sekitarnya, ( 2 ) lapisan bawah sadar yang berisi hal – hal yang di lupakan dan ( 3 ) lapisan ketidaksadaran yang berisi kompleks – kompleks terdesak.
2) Kepribadian
                Menurut William Stern, perilaku manusia memiliki dua sifat. Pertama reaksi – reaksi karena adanya faktor luar yang menjadi perangsang. Kedua aksi spontan sebagai faktor dari dalam dan faktor itulah yang bekerja terhadap perangsang.
3) Eksistensialisme
                Menurut Rollo May, setiap individu mempunyai kesadaran sebagai pusat diri yang subjektif, artinya mempertahankan atau memperkuat dirinya sebagai pusat ( center ). Sifat subjektif demikian akan cenderung mendorong pemilik sifat menjadi orang yang mau benar sendiri atau berkuasa.

4.TIPOLOGI MANUSIA
                Tipologi ( typology ) adalah pengetahuan yang mencoba menggolong – golongkan manusia atas dasar kepribadian.
Seorang pemikir yunani kuno dan murid Hypocrates ( ahli kedokteran ) yang bernama Claudius Galenus ( 129-200 ) mengadakan tipologi berdasarkan temperemen, yaitu atas dasar cairan – cairan yang terdapat dalam tubuh. Claudius menyebut ada empat tipe manusia,yaitu ;
1.       Tipe Sanguinikus
Orang – orang yang bertipe ini merupakan oarang – orang yang memiliki darah ( sangai ) yang banyak dalam tubuhnya. Perasaan dasar ( stemming dasar ) orang demikian adalah riang dan optimis. Hal -  hal positif pada mereka antara lain adalah percaya kepada  diri sendiri, tidak takut menghadapi masa depan,mudah menyesuaikan diri, gerak dan bicaranya banyak, dan mudah mengambil prakarsa.
Sedangkan yang negatif, antara lain sifatnya mendatar, perasaannya tidak stabil, kurang konsekuen, hidupnya kurang teratur, dan reaksinya tidak dipikirkan dalam – dalam. Yang cocok sebagai pertnernya adalah tipe flegmatis.
2.       Tipe Melankholikus
Orang yang mempunyai tipe ini memiliki banyak empedu hitam ( melankhole ) dalam tubuhnya. Perasaan dasarnya adalah sedih sehingga keadaanya kebalikan dari tipe sanguinikus. Segi negatifnya adalah mereka selalu ketakutan, perasaannya selalu mudah tersentuh, sulit menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan sikapnya kurang bergairah. Segi positifnya adalah berhati – hati dalam tindakannya, konsekuen, mudah menepati janji, dan stabil jiwanya.
3.       Tipe Kholerikus
Orang yang bertipe ini dalam tubuhnya banyak terdapat empedu kuning ( kholert ), dengan perasaan dasarnya selalu merasa kurang puas. Segi  negatifnya jauh lebih banyak di bandingkan dengan positifnya, antara lain selalu gelisah, lekas eksplosif, mudah emosional, mau menang sendiri, objektivitasnya kurang, kurang punya reserve atas perasaan sendiri, kurang rasional, dan mudah tersinggung. Segi positifnya perasaannya hebat dan kuat, kesukaran diatasi dengan energi yang berlebihan dan banyak prakarsa dalam usahanya.


4.       Tipe Flegmatikus
Orang yang mempunyai tipe ini dalam tubuhnya terdapat banyak lendir ( flegma ) dengan perasaan dasarnya tenang, netral, dan tidak ada warna perasaanya yang jelas. Segi positifnya, antara lain tidak banyak ketegangan perasaan, mudah merasa memiliki harapan – harapan yang hebat, tidak emosional, tidak mudah terharu, tidak mudah panik, bersikap tertib dan teratur, dan mudah mengampuni. Segi negatifnya, perasaannya tidak begitu kuat (peka), dingin hati, penyesuaian terhadap lingkungan selalu terlambat, peranannya reaktif atau pasif, menjemukan, dan bersikap agak konservatif.
Dalam praktiknya, susah mencari tipe yang seratus persen tepat untuk seseorang karena pada umumnya manusia memiliki tipe campuran. Namun dari tipenya yang dominan, seseorang dapat di bedakan dari orang lain.
Pembagian tipe yang sudah lebih mengarah kepada kejiwaan di kemukakan oleh Heymans dari Belanda dan Spranger dari Jerman. Gerardus Heymans ( 1857-1930 ) seorang ahli psikologi bangsa Belanda mengadakan tipologi berdasarkan aspek kejiwaan. Ia menemukan adanya tiga macam tipe, yaitu emosional, sekunder, dan aktif. Orang yang emosional  mempunyai sifat lekas memihak, fantasinya kuat, tulisan dan bicaranya agak aneh, kurang mencintai kebenaran, mudah marah, mudah mencintai, dan senang sensasional. Orang yang berfungsi sekunder memiliki sifat betah di rumah, taat pada adat dan agama, setia dalam persahabatan, besar rasa terima kasihnya, sukar menyesuaikan diri, mudah terkacau, tetapi selalu konsekuen. Sedangkan orang yang aktif mempunyai sifat suka bekerja, mudah bertindak, memiliki hobi banyak, dan mudah mengatasi kesulitan.
Heymans membagi manusia atas delapan tipe ( berdasarkan skema dalam kubus ), yaitu ;
1.       Tipe Nerveus
Tipe nerveus ( selalu gugup ) merupakan  lawan dari tipe flegmatikus. Ia dikuasai keadaan sesaat yang meluap – luap, perasaannya mudah tersinggung, suka bicara keras – keras, haus akan emosi, kurang peka terhadap objektivitas, kurang setia, kurang dapat menguasai dirinya, dan perasaan harga dirinya tinggi. Tokohnya antara lain Edward Douwes Dekker, Choppin, Edgar Allan Poe.
2.       Tipe Sentimental
Terlalu perasa, rapuh hati, merupakan lawan dari tipe sanguinikus. Ia sangat perasa, pemalu, tertutup, berat dalam memandang persoalan ( zuvarwichtig ), mudah berduka hati, lama berhati rusuh, suka menyendiri, selalu ragu – ragu, sangat terpengauh oleh pengalaman – pengalaman yang lalu, mudah menyerah, serius, gemar akan soal – soal agama, dan secara istimewa dapat di percaya mengenai keuangan. Tokohnya Penyair Amir Hamzah.

3.       Tipe Kholerikus
Kholeris artinya mudah marah, merupakan lawan dari apathikus. Sifat tipe ini terdapat dalam uraian pendapat Galenus. Tokohnya Goethe dan George Sand.
4.       Tipe sanguinikus
Merupakan lawan tipe amorf, flegmatikus, ataupun gepassioneerd. Lihat tentang tipe ini dalam uraian menurut Galenus. Tokoh nya Voltaire.
5.       Tipe Flegmatikus
Merupakan lawan dari tipe nerveus. Lihat uraian yang di kemukakan oleh Galenus. Tokoh tipe ini adalah Drs. Moh. Hatta
6.       Tipe Apathikus
a artinya tidak atau tanpa, pathos  atau  pathe artinya perasaan. Merupakan lawan dari tipe kholerikus. Ciri – cirinya adalah, aktivitasnya lamban, menyukai cara yang mudah, suka berpikir panjang, cenderung tidak suka berbuat sesuatu, sosiobilitasnya lemah, sukar berdamai, suka menarik diri, acuh tak acuh terhadap pendapat orang lain, tidak filantropis, kaku, berpegang mati – matian kepada suatu kesenangannya, bersikap tertutup, suka menyendiri, dan menjemukan. Tokohnya, Raja Louis XIV dari prancis dan Tsar Nicholaas II dari Rusia.
7.       Tipe Amorf
Tipe amorf ( a artinya tidak, morphe artinya bentuk ) merupakan lawan dari tipe gepassioneerd. Ciri – cirinya antara lain aktivitasnya rendah, suka menunda – nunda, sifatnya datar, ceroboh, tidak idealis, perasaan terikatnya lemah, rasa kebersamaan nya terhadap orang lain kurang ( kurang feeling atau belonging ), sosiobilitasnya rendah, kurang belas kasihan, tidak jujur, egoistis, selalu berubah menurut situasi, mudah terpengaruh, suka sombong, ingatannya kurang baik, dan tidak teliti. Tokohnya Raja Louis XV dari Prancis.
8.       Tipe Gepassioneerd
Tipe gepassioneerd ( passie atau passio artinya derita atau hawa nafsu ) merupakan lawan tipe amorf. Ciri – cirinya adalah selalu sibuk dan rajin, jangkauannya jauh ke depan, hidup sangat teratur, penuh cita – cita besar, perasaan keterikatannya sangat kuat, lama terpengaruh oleh ransangan dari luar, terikat pada pengalaman lama, amat religius, sosibilitasnya tinggi, suka bicara yang mengasyikan, penuh belas kasihan dan harmonis, idenya besar, akurat, jujur, dan baik hati. Tokoh nya antara lain Ir. Sukarno dari Indonesia, Napoleoan Bonaparte dari Perancis, Michel Angelo dari Italia.
Jika Heymans membagi manusia berdasarkan aspek kejiwaan, lain hal nya dengan Eduard Spranger yang membagi manusia atas dasar nilai – nilai hidup. Ia membedakan manusia atas enam buah tipe, yaitu manusia ekonomi, politik, sosial, pengetahuan, seni dan agama. Manusia ekonomi adalah orang yang suka bekerja, selalu memperhitungkan untung rugi, suka mengumpulkan harta, dan bersifat kikir. Manusia politik adalah orang yang memiliki sifat – sifat suka berkuasa, tdak ingin kaya, suka mengatur, malahan menguasai orang lain, dan gemar memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Manusia sosial adalah orang yang memiliki sifat suka berkorban, tanggap terhadap apa – apa yang terjadi dalam masyarakat, suka bergaul dan menolong sesama manusia, dan tidak kikir atau egoistis. Manusia pengetahuan adalah orang yang memiliki sifat suka membaca, belajar, berpikir, serba ingin tahu segala sesuatu, dan bersedia menerima pengetahuan dari orang lain walaupun melalui kritik. Manusia seni adalah bersifat suka menikmati dan menciptakan sesuatu yang indah, hidupnya sederhana, suka bergaul, kadang – kadang nyentrik. Sedangkan Manusia agama adalah orang yang memiliki sifat kurang mementingkan masalah dunia, tidak ingin kaya, dan dapat memberikan banyak waktunya untuk pemujaan maupun pengabdian kepada Tuhan.