Dalam kehidupan masyarakat modern dewasa ini, setiap individu anggota masyarakat dalam interaksi pergaulannya dengan anggota masyarakat lainnya atau dengan lingkungannya, tampaknya cederung semakin bebas, leluasa, dan terbuka. Akan tetapi tidak berarti tidak ada batasan sama sekali, karena sekali saja seseorang melakukan kesalahan dengan menyinggung atau melanggar batasan hak-hak asasi seseorang lainnya, maka seseorang tersebut akan berhadapan dengan sanksi hukum berdasarkan tuntutan dari orang yang merasa dirugikan hak asasinya.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari setiap anggota masyarakat akan berhadapan dengan batasan-batasan nilai normatif, yang berlaku pada setiap situasi tertentu dan cenderung berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat itu sendiri. Batasan-batasan nilai normatif dalam interaksi dengan masyarakat dan lingkungannya itulah yang kemudian dapat kita katakan sebagai nilai-nilai etika. Sedangkan nilai-nilai dalam diri seseorang yang akan mengendalikan dimunculkan atau tidaknya kepatuhan terhadap nilai-nilai etika dapat kita sebut dengn moral atau moralitas.
Menurut WJS. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mengemukakan bahwa pengertian etika adalah Ilmu pengetahuan tentang asas – asas akhlak ( moral ). Sedangkan Menurut Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
Ada perbedaan antara etika dan moral atau moralitas. Setiap orang, tanpa memandang tingkat peradabannya, mempunyai moralitasnya sendiri, yakni seperangkat preskripsi atau pedoman yang membimbingnya ke arah tindakan moral tertentu. Alam menyediakan bagi manusia siapa pun ia kesempatan untuk mengukuhi kode yang ditimba dari konsep dan asas moral yang dapat diterapkan ke dalam praktik hidup sehari-hari, tanpa harus menunggu apa kata dunia pengetahuan.
Moralitas di balik tindakan politik berkaitan dengan tindakan moral politisi, tetapi, tak sebagaimana etika, moral politik sudah memiliki dasar-dasarnya secara adikodrati (supernatural) apalagi jika dikaitkan dengan ikhtiar pencarian yang tak berkesudahan atas kebenaran. Etika dapat dibedakan dari ilmu-ilmu pengetahuan lain yang berurusan dengan moral conduct manusia, sebagai jurisprudence dan pedagogy dalam hal bahwa etika menjadi acuan dan mensubordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan lain.
Dalam dunia politik peranan etika politik sangat penting. Terkait dengannya, moralitas politik berguna untuk menyelidiki apa yang mengkonstitusi baik-buruk, keutamaan, keabsahan hukum, kebenaran suara hati, kewajiban moral politik dan sebagainya. Apa yang disebut sebagai dasar pertimbangan bukanlah berada pada cakupan jurisprudence atau pedagogy dari moral politik saja, tetapi seharusnya berdasarkan pada etika. Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
Di dalam dunia Politik di Indonesia, kepala pemerintahan ( gubernur, walikota, bupati ) dan anggota dewan perwakilan rakyat di pilih oleh rakyat dalam pesta demokrasi yang di sebut dengan pemilu. Pemilu yang demokratis memilih para pemimpin untuk masa kerja atau masa bakti 5 ( lima) tahun dalam pelayanan nya kepada masyarakat. Yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana kalau kepala pemerintahan/daerah dan wakil rakyat mengundurkan diri dari jabatan nya sebelum masa waktu jabatan berakhir?, contoh kasus : Si A jabatan sekarang sebagai anggota dewan dan baru menjabat 2 tahun masa kerja, ketika ada pemilihan bupati, si A mengundurkan diri dari anggota dewan dan ikut pada pemilihan bupati. Di dalam contoh kasus di atas, Kalau kita tinjau dari peraturan per undang – undangan tidak ada yang salah dari si A, karena si A sudah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota dewan dan itu merupakan hak asasi dari si A untuk ikut mencalonkan diri menjadi bupati, namun kalau kita pandang dari sudut etika dan moral, sungguh tidak etis hal tersebut di lakukan oleh si A, mengapa demikian, karena masih ada beban moral yang masih di tanggung oleh si A yaitu harus menyelesaikan tugasnya sebagai anggota dewan yang di beri amanah untuk itu dalam membawa aspirasi masyarakat yang memilihnya menjadi anggota dewan selama 5 tahun dan si A baru menjalankan jabatanya selama 2 tahun, kalau si A mencalonkan diri menjadi Bupati otomatis suara rakyat yang memilih si A dalam pemilu pemilihan anggota dewan akan menjadi sia – sia dan itu merupakan tindakan serta perilaku yang buruk bagi si A yang telah menzalimi pilihan rakyat yang memilih nya menjadi anggota dewan sehingga dapat di sebut bahwa moral dan etika si A buruk.
Memang sekarang belum ada aturan yang jelas mengenai hal ini, dimana seharusnya ada aturan yang mengatur bahwa setiap wakil rakyat, kepala pemerintahan yang di pilih oleh rakyat wajib menjalankan tugasnya sampai selesai. Walaupun ada aturan hukum salah satu nya para kepala pemerintahan dan wakil rakyat boleh mengundurkan diri dengan berbagaimacam alasan karena itu bagian dari hak asasi, namun mengundurkan diri disini menurut penulis bukan untuk mencari jabatan baru tapi memang murni ingin berhenti atau pensiun dari dunia politik bukan untuk mencalonkan diri lagi untuk mendapatkan jabatan yang lain, karena pengunduran diri untuk mendapatkan jabatan lain merupakan sikap dan pola prilaku yang tidak bernilai dan menjadikan preseden buruk bagi sistem pendidikan politik serta merusak kepercayaan masyarakat.
Tulisan ringan ini hanya untuk membuka wacana agar para elit politik menghargai masyarakat nya yang telah memilih dan untuk mengabdi sampai masa bakti berakhir demi kepentingan rakyatnya, bukan untuk gonta ganti jabatan dan kekuasaan dengan mengesampingkan etika dan moral. Memang di perlukan pembelajaran etika dan moral yang komprehnsif bagi para elit politik dalam menghargai arti amanah jabatan politik di Indonesia dan juga sebagai pembelajaran pendidikan politik yang berlandaskan etika moral yang baik dan benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar