Kebanyakan para penguasa di Indonesia tidak pernah merasakan miskin, karena itulah mereka seenaknya menindas rakyat kecil. Sila ke 5 PANCASILA yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanya untuk segelintir orang, Rakyat Indonesia yang mana?Terusir dan terjajah bangsa sendiri itulah Indonesia saat ini.Kalau Penguasa ingin merasakan penderitaan rakyat miskin, cobalah menjadi miskin, baru bertindak bukan menindas...
Minggu, 28 Agustus 2011
Sabtu, 06 Agustus 2011
Sumpah Pocong dalam sistem peradilan di Indonesia
Pertanyaan :
Apakah sumpah pocong yang kerap kali dilakukan di dalam masyarakat kita diakui juga dalam sistem peradilan di Indonesia?
Jawaban :
Sumpah pocong, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III adalah:
“sumpah yang disertai tidur membujur ke utara menghadap kiblat (barat) di dalam masjid dan berpakaian kain kafan (dipocong spt mayat)”
Di Indonesia, sumpah memang diakui sebagai alat bukti dalam peradilan perdata. Alat bukti sumpah ini diatur dalam pasal 177 jo pasal 155 dan 156 Het Herzienne Indonesische Reglement (“HIR”). Sumpah merupakan alat bukti paling akhir selain alat-alat bukti lainnya yaitu alat bukti surat/tulisan, saksi, persangkaan-persangkaan, dan pengakuan (pasal 164 HIR).
Perlu diketahui, yang dimaksud sumpah dalam HIR berbeda dengan sumpah yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Arti sumpah dalam konteks peradilan perdata yaitu di mana sebelumnya ada suatu keterangan yang diucapkan oleh salah satu pihak, dan keterangan tersebut kemudian diperkuat dengan sumpah. Sumpah ini diucapkan di depan hakim yang mengadili perkara.
Sumpah pocong sendiri, tidak dikenal dalam peradilan perdata. Jenis-jenis sumpah yang diterima sebagai alat bukti dalam peradilan perdata sendiri adalah:
1. Sumpah suppletoir (pasal 155 HIR) atau sumpah tambahan yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak yang berperkara. Tujuannya untuk melengkapi bukti yang telah ada di tangan salah satu pihak.
2. Sumpah decisioir (pasal 156 HIR) atau sumpah pemutus atau sumpah mimbar atau sumpah penentu yaitu sumpah yang dimohonkan oleh pihak lawan. Sumpah ini dilakukan pada saat salah satu pihak yang berperkara mohon kepada hakim agar pihak lawan diperintahkan untuk melakukan sumpah meskipun tidak ada pembuktian sama sekali.
Jika menyangkut perjanjian timbal-balik, sumpah pemutus dapat dikembalikan (pasal 156 ayat [2] HIR). Artinya, pihak yang diminta untuk bersumpah dapat meminta agar pihak lawannya juga bersumpah. Sumpah ini harus bersifat Litis Decissoir, yaitu benar-benar mengenai suatu hal yang menjadi pokok perselisihan. Sumpah pemutus ini dapat digunakan sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata dengan syarat diucapkan di depan hakim dalam proses pemeriksaan perkara, dan tidak ada bukti lain yang dapat diajukan para pihak alias pembuktian dalam keadaan buntu.
Sumpah sebagai alat bukti terakhir dalam hukum acara perdata diperkuat dengan sejumlah yurisprudensi salah satunya yaitu Putusan Mahkamah Agung RI No. 575.K/Sip/1978, tanggal 4 Mei 1976:
“Permohonan sumpah decisior (sumpah penentu, sumpah mimbar, sumpah pemutus) hanya dapat dikabulkan kalau dalam suatu perkara sama sekali tidak terdapat bukti-bukti;”
Jadi, sumpah pocong tidak dikenal dalam sistem hukum kita. Hal ini dibenarkan oleh Fauzie Yusuf Hasibuan, dosen Hukum Acara Perdata di Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Menurut Fauzie, sumpah pocong tidak dikenal di peradilan perdata. Akan tetapi, apabila ternyata hakim yakin dan menerima sumpah pocong sebagai sumpah pemutus, maka hal ini dapat dilakukan. Hal ini karena dalam sistem pembuktian hukum acara perdata kita mengakui keyakinan hakim sebagai unsur yang menentukan dalam pembuktian.
Meski demikian, sumpah pocong sebagai sumpah pemutus pernah dilakukan dalam perkara perdata sengketa tanah yang disidangkan di pengadilan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, pada 1996. Dalam artikel berjudul “Sumpah Pocong, Menghindari Sumpah Bohong” yang ditulis Shinta Teviningrum pada Majalah Intisari No. 401, Edisi 1996, disebutkan antara lain sumpah pocong dilakukan oleh Kunan Sutan Sinaro di Masjid Agung Al-Ikhlas, Ketapang, pada Juni 1996. Sumpah tersebut dipimpin oleh hakim M. Yusuf Naif, S.H. Pengambilan sumpah tersebut terkait dengan sengketa tanah antara Kunan (penggugat) dan H. Labek Hadi (selaku tergugat). Jadi, dalam perkara ini sumpah pocong dilakukan sebagai sumpah pemutus.
Dasar hukum:
HIR (Het Herziene Indonesisch Reglemen, Staatblad Tahun 1941 No. 44)
Sumber : www.Hukumonline.com
Senin, 01 Agustus 2011
Kredit Dengan Penggadaian BPKB, Legal kah ???
Pertanyaan :
Apakah penggadaian BPKB legal?
Jawaban :
Untuk menjawab permasalahan ini, ada baiknya terlebih dulu kita melihat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Gadai. Gadai diatur dalam Buku Kedua Bab XX tentang Gadai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/Burgerlijk Wetboek (“BW”). Pengertian gadai dirumuskan dalam Pasal 1150 BW yakni,
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang-barang itu digadaikan , biaya-biaya mana harus didahulukan.”
Dengan demikian dapat dilihat unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian ini adalah:
1. Gadai adalah hak dari kreditor terhadap benda bergerak yang dijaminkan debitor;
2. Benda bergerak tersebut harus diserahkan dari debitor kepada kreditor, artinya benda tersebut berada dalam kekuasaan kreditor;
3. Dengan memberikan gadai, kreditor memiliki hak untuk didahulukan atas pelunasan piutangnya atas debitor.
Selain itu ketentuan Pasal 1152 BW mengatur bahwa,
“hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya di bawah kekuasaan kreditor atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Tak sah adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan debitor atau pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan kreditor.
Hak gadai hapus, apabila barangya gadai keluar dari kekuasaan penerima gadai, apabila, namun barang tersebut hilang dari tangan penerima gadai ini atau dicuri daripadanya, maka berhaklah ia menuntutnya kembalim sebagaimana disebutkan dalam pasal 1977 ayat kedua, sedangkan apabila barang gadai didapatnya kembali, hak gadai dianggap tidak pernah hilang...”
Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa dalam hal melakukan gadai, benda bergerak yang dimiliki oleh debitor (contohnya sepeda motor ), harus diserahkan dalam penguasaan pihak kreditor. Dalam praktik sehari-hari banyak terdapat kesalahpahaman mengenai penggunaan istilah “Gadai BPKB” ini, karena menurut hukum istilah yang seharusnya dipakai adalah Fidusia. Fidusia diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Jaminan Fidusia”).
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Fidusia dijelaskan bahwa “fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.”
Pembebanan benda dengan jaminan fidusia ini harus dilakukan dengan akta Notaris dalam Bahasa Indonesia, serta wajib didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Kemudian, Kantor Pendaftaran Fidusia akan menerbitkan sertifikat Jaminan Fidusia yang memiliki kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Artinya, apabila debitor ingkar janji dan tidak melunasi hutangnya maka pemegang sertifikat jaminan fidusia (kreditor) dapat langsung melaksanakan eksekusi atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia (lihat Pasal 5 ayat [1], Pasal 11 ayat [1], Pasal 12 ayat [1], Pasal 14 ayat [1], Pasal 15 ayat [2] dan ayat [3] UU Jaminan Fidusia).
Dalam konteks ini, objek yang akan dijaminkan sebagai jaminan fidusia adalah Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) sebagai tanda hak kepemilikan yang dialihkan, sedangkan sepeda motor tersebut tetap berada pada kekuasaan pihak debitor dan masih tetap dapat dipakai.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
2. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Sumber : Hukum Online.com
Langganan:
Postingan (Atom)