Senin, 24 Maret 2014

Tugas 2 UT PIH



1. Dalam pembentukan hukum positif, banyak dipengaruhi oleh banyak faktor. Antara lain faktor kemasyarakatan dan faktor idiil. Jelaskan apa yang dimaksud dengan faktor kemasyarakatan dan faktor idiil beserta contoh-contoh nya?
2. Jelaskan Mengapa hukum mempunyai mempunyai kekuatan mengikat dan mengapa kita harus mematuhi hukum ?
3. Apa yang dimaksud dengan asas undang-undang tidak berlaku surut? Berikan contohnya
4. Jelaskan perbedaan pokok antara hukum kebiasaan dengan hukum adat?
5. Berikanlah pengertian dan contoh apa yang dimaksud dengan ?
a. Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Legi Poenali?
b. Lex Superior Derogat Legi Inferiori?
c. Lex Specialis Derogat Legi Generale?
d. Lex Posteriori Derogat Legi Priori?

Tugas 2 UT Ilmu Per UUan


1. Peristiwa G 30 S PKI memberi dampak perubahan bagi DPR-GR, perubahan-perubahan apa yang terjadi di DPR-GR tersebut?
2.  Pada masa demokrasi Pancasila  DPR/MPR 1971-1977, apa tugas utama DPR tersebut?
3.  Apa yang menyebabkan interpelasi anggota DPR terkait dengan pembekuan Dewan Mahasiswa gagal dilakukan?
4. Dinamika politik apa yang terjadi pada masa awal reformasi?
5.  Pada masa presiden abdurrahman wahid dan presiden megawati , berapa kali penggunaan hak interpelasi?jelaskan


Senin, 17 Maret 2014

TUGAS 1 Ilmu Per UU-an

1. apa yang menjadi pertimbangan perwakilan politik menjadi hal yang penting dalam sistem politik kekinian?
2.apasajakah fungsi parlemen di dalam parlemen modern ?
3. bagaimana sikap tokoh-tokoh pergerakan terhadap volksraad dalam upaya mencapai kemerdekaan?
4. apa latar belakang munculnya ide konsepsi presiden untuk mengatasi krisis politik dalam negeri pada saat itu?
5. sebutkan kelompok-kelompok yang menjadi kekuatan politik pada masa demokrasi terpimpin?


Tugas 1 PIH UT



Jawablah pertanyaan-pertanyaan soal dibawah ini :

1.      Jelaskan dan beri contoh apa yang mendorong manusia hidup bermasyarakat?
2.      Dalam hubungan sosial, sanksi merupakan mekanisme pengendalian sosial, sebutkan dan beri contoh macam-macam sanksi baik yang terjadi akibat pelanggaran hukum maupun akibat adanya orang yang sangat berjasa  ?
3.      Ada dua aspek hidup manusia, yaitu hidup pribadi dan hidup antar pribadi, setiap aspek hidup tersebut mempunyai kaidah-kaidahnya, dan dalam masing-masing golongan dapat diadakan pembedaan antara dua macam tata kaidah, sebutkan dua macam tata kaidah tersebut menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto?
4.      Sebutkan ciri-ciri hukum ?
5.      Berilah contoh tentang hubungan antara hukum dengan kekuasaan?


Kamis, 23 Januari 2014

UPAYA HUKUM OLEH PIHAK YANG DIRUGIKAN DALAM PRAKTEK DUMPING DI INDONESIA


A. Latar Belakang
Perkembangan perekonomian dunia khususnya industri dan perdagangan semakin liberal dan terbuka, jarak dan batas – batas negara hampir tidak tampak lagi. Hal ini mengakibatkan setiap negara berlomba memasuki pasar. Dalam era globalisasi dan liberalisasi perdagangan telah terjadi borderless trade ( perdagangan tanpa batas ), di mana negara – negara anggota WTO akan menghapus semua hambatan perdagangan baik yang berbentuk tarif maupun non tarif. Baik negara maju maupun negara berkembang sama – sama membutuhkan perdagangan internasional. Dengan perdagangan internasional memungkinkan mengalirnya barang dan jasa melalui prosedur ekspor-impor.[1]

Kehadiran World Trade Organization ( WTO ) dan kerjasama perdagangan lainya seperti Asia Pacifik Trade Area ( APTA ) dan Asia Pasific Ekonomic Corporation ( APEC ) semakin mendorong perdagangan lebih bebas dan terbuka. Organisasi dan kerjasama timbul dalam rangka liberalisasi dan perdagangan yang sehat serta bertujuan untuk meniadakan hambatan – hambatan. Perdagangan membawa konsekuensi bagi negara – negara di dunia untuk menyesuaikan aturan tersebut, ini dilakukan agar tidak terjadi adanya perbedaan atau bahkan pertentangan aturan yang mendasar antara ketetapan WTO dengan masing – masing negara. Hal tersebut juga di alami oleh Indonesia, sebagai salah satu anggota dalam organisasi Perdagangan dunia tersebut.[2]

Kesepakatan aturan dan ketentuan dalam forum WTO umumnya merupakan kebijakan tentang perdagangan yang terjadi sekarang ini mengenai hambatan dan praktek perdagangan dunia. Salah satu hasil kesepakatan forum WTO yang sangat vital adalah mengenai bentuk perdagangan dengan sistem dumping sebab sangat berpengaruh terhadap perdangan dunia. Kesepakatan forum ini dikatakan sangat vital karena praktek perdagangan ini membawa dampak yang tidak hanya positif tetapi berdampak negatif juga. Dikatakan positif karena negara yang melakukan praktek dumping ( pengekspor ) dapat menguasai pasaran luar negeri dan dapat menguasai harga sehingga dapat memperoleh keuntungan yang besar ketika dapat menguasai pasar. Dampak negatif nya adalah timbul nya diskriminasi harga di dalam pasar yang berakibat terjadinya hambatan dalam perdagangan yang mengarah pada bentuk persaingan tidak sehat.

Sebagai konsekuensinya liberalisasi perdagangan internasional telah menciptakan persaingan yang ketat. Meskipun organisasi perdagangan dunia mendorong perdagangan bebas melalui perundingan penurunan tarif dan non tarif namun didalamnya masih terdapat persetujuan yang memungkinkan suatu negara mengambil penyelamatan industri dalam negerinya yang mengalami kerugian sebagai akibat perdagangan tidak fair yang berasal dari dumping atau subsidi. Karena itu pula ada kecenderungan di beberapa negara maju menggunakan instrumen tindakan anti dumping dan subsidi sebagai alat proteksi melindungi industrinya. Bagi eksportir Indonesia hal ini tidak menguntungkan sebab sekalipun kecurigaan dan investigasi anti dumping tidak terbukti, namun selama penyelidikan, pasar eksportir menjadi terganggu.

Dumping merupakan suatu praktek perdagangan yang dilakukan oleh suatu negara dengan cara menjual barang dalam jumlah banyak keluar negeri dengan harga lebih rendah ketimbang harga di dalam negeri atau dalam arti kata menjual lebih murah dari harga pasar ( nasional ) di tempat pasar yang berbeda. Menurut Kamus Ekonomi dan Perdagangan, Dumping merupakan penjualan produk yang sama dalam pasar yang berbeda – beda dengan harga – harga yang berbeda pula. [3] Dumping dalam dunia bisnis sering dianggap sebagai “ praktek wajar “ dalam rangka price policy untuk penjualan suatu barang oleh suatu perusahaan atau industri, namun pada kenyataan nya dapat menimbulkan kerugian bagi usaha atau industri barang yang sejenis di negara lain ( pengimpor ).[4] Oleh karena itu, persoalan dumping merupakan bentuk hambatan perdagangan internasional yang sifatnya non tariff.[5] Pada awalnya dumping memang merupakan persoalan yang sederhana, namun dengan berkembangnya teknologi dan meningkatnya jumlah populasi penduduk dunia yang otomatis juga di ikuti dengan meningkatnya kebutuhan manusia itu sendiri, maka dumping tidak dapat mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak dan kalangan usahawan.[6]

Implikasi dari adanya dumping ini dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang memproduksi barang sejenis atas persaingan harga yang tidak wajar. Efek lain juga dapat terjadi pada perekonomian suatu negara. John A Jakson mengemukakan bahwa dampak dumping pada perekonomian nasional hanya bagi negara pengimpor dan negara pengekspor, namun juga pada negara atau pihak ketiga yang mempunyai barang sejenis,[7] sehingga perlu proteksi dari negara untuk melindungi industri dan pasar domestiknya. Padahal kondisi dunia usaha saat ini sedang mengalami permasalahan yang sangat kompleks tidak hanya sebatas dumping tetapi kondisi makro perekonomian yang masih belum menentu akibat policy dari pemerintah yang tidak jelas.

Bentuk proteksi negara atas praktek dumping dikenal dengan istilah anti dumping. Anti dumping merupakan tindakan balasan yang diberikan oleh negara pengimpor terhadap barang dari negara pengekspor yang mengandung dumping. Namun begitu, pada umumnya praktek dumping tidak dilarang dalam sistem perdagangan internasional. Article IV GATT menyebutkan bahwa suatu negara anggota diperkenankan untuk menggunakan tindak anti dumping dan atau subsidi yang menimbulkan kerugian ( injury ) bagi industri domestik yang memproduksi barang sejenis.[8] Pengertian dan pengaturan dasar mengenai anti dumping dapat dilihat dalam Article VI GATT 1994 ( Anti-Dumping and Countervailing Duties).[9]

Dalam mengatasi praktek dumping ini Persetujuan GATT/WTO telah mengatur mengenai anti dumping dan subsidi, yaitu Agreement on Implementation of article VI of the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT ) 1994 dan Agreement on Subsidies and Countervailing Measures. 

Penerapan tindakan anti dumping yang menimbulkan kerugian (injury) bagi industri domestik atas barang sejenis di Indonesia, dapat dilakukan oleh komite khusus yang menangani masalah dumping yang berupa komite anti dumping sebagaimana di amanatkan Article IV GATT. Akhirnya pada tanggal 4 juni 1996 berdasarkan Keputusan Memperindag Nomor 136/MPP/Kep/6/1996 dan Nomor 427/MPP/Kep/10/200 dibentuklah Komite Anti Dumping Indonesia ( KADI ). Komite ini merupakan lembaga yang khusus menangani masalah dumping, pengenaan tarif dan kerugian, jadi merupakan lembaga yang diharapkan dapat mensosialisasikan ketentuan – ketentuan tentang perdagangan internasional yang telah di ratifikasi, dengan tujuan agar masyarakat khususnya dunia usaha Indonesia tidak menjadi korban dari praktek perdagangan yang tidak sehat ( unfair trade practise ) seperti dumping dan subsidi. Pembuktian dumping yang dilakukan oleh komite ini meliputi dumping itu sendiri, kerugian ( injury ) dan kepentingan masyarakat (community interest), produsen barang yang terancam atau dirugikan.[10] 

Dalam menangani kasus dumping ini, sering menjadi persoalan adalah kedudukan dan kepentingan pihak yang dirugikan dari adanya praktek dumping yang dilakukan oleh negara lain yang memproduksi barang sejenis dan beredar dipasaran domestik dan perlu adanya sarana hukum yang dapat memberikan fasilitas bagi pihak yang dirugikan. Sehingga yang menjadi permasalahan dari makalah ini adalah bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh pihak yang merasa di rugikan dalam praktek dumping di Indonesia.

B. Rumusan Masalah 
1. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan dalam praktek dumping di Indonesia? 

PEMBAHASAN
Sebagai negara yang turut ambil dalam perdagangan multilateral, Indonesia telah meratifikasi Agreement Estabilishing The WTO melalui Undang – undang Nomor 7 Tahun 1994 ( Lembaga Negara Tahun 1 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564 ). Dengan meratifikasi Agreement Estabilishing The WTO ini, Indonesia sekaligu meratifikasi Antidumping code ( 1994 ), yang merupakan salah satu dari Multilateral Trade Agreement. Persetujuan WTO tersebut tidak bersifat menghakimi tetapi lebih memfokuskan pada tindakan – tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh negara – negara untuk mengatasi dumping. Hal ini disebut dengan peretujuan anti dumping (Antidumping Agreement atau Agreement on The Implementation of Article VI of GATT 1994 ).[11] 

Sebagai konsekuensinya diratifikasinya Agreemeent Estabilishing The WTO ini, dibuatlah aturan anti dumping Indonesia dengan cara memasukan Ketentuan ini dalam Undang – undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. Ketentuan inilah yang kemudian menjadi dasar pembuatan peraturan pelaksanaan tentang anti dumping, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Beamasuk Imbalan. Sebagaian besar negara – negara maju melakukan proteksi terhadap praktik dumping ini dengan memberlakukan perangkat hukum anti dumping guna melindungi industri domestiknya dari destruksi pasar karena penjualan barang impor di bawah harga semestinya.

Dalam rangka mengimplementasikan ketentuan anti dumping dalam Article VI GATT 1994 yang telah diratifikasi, maka sejak tanggal 4 juni 1996 telah memiliki otoritas anti dumping dengan dibentuknya Komite Anti Dumping Indonesia ( KADI ). Lahirnya lembaga ini, selain merupakan tuntutan global namun juga sebagai upaya perlindungan terhadap industri dalam negeri dari praktek dagang tidak sehat seperti dumping dan subsidi. Oleh karena itu , dalam penanganan anti dumping di Indonesia, lembaga ini dapat mengambil tindakan sebagai reaksi terhadap dumping jika benar terbukti ada kerugian ( material injury ) terhadap industri domestik. Untuk melakukan hal ini, harus dilakukan upaya pembuktian dumping dengan memperhitungkan tingkat dumping ( dengan membandingkan harga ekspor suatu produk dengan harga jual produk tersebut dinegara asalnya ).

Ketentuan Article VI GATT 1994 menentukan bahwa dumping tidak dilarang dengan syarat impor barang dumping tersebut tidak menyebabkan kerugian ( injury ) terhadap industri dalam negeri pengimpor. Namun bagaimana dengan kepentingan pihak produsen barang di Indonesia yang mengalami kerugian dari adanya praktek dumping dari para produsen asing di Indonesia. Karena barang yang dilakukan dumping tersebut diproduksi juga di dalam negeri, namun terkena dampak harga dari barang dumping luar negeri. Banyak berbagai produk yang dilakukan dumping namun belum tersentuh dengan ketetntuan anti dumping di Indonesia, yang pada akhirnya merugikan para pengusaha atau pelaku usaha yang di Indonesia.

Oleh karena selain upaya pencegahan dan perlindungan barang – barang produksi dalam negeri melalui penerapan anti dumping bagi produk dumping dari luar negeri yang dilakukan KADI, juga berperan serta pelaku usaha untuk melakukan upaya - upaya hukum atas praktek dumping ini. Sementara ini upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pelaku usaha adalah melaporkan ke KADI untuk dilakukan penyelidikan. Berdasarkan tugas pokoknya, KADI akan melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya barang dumping dan atau barang yang mengandung subsidi yang menimbulkan kerugian bagi industri dalam negeri atas barang sejenis. Penyelidikan yang dilakukan oleh KADI ini bersifat administratif, sehingga sanksi yang dikenakan pun bersifat administratif.

Sanksi administratif yang di rekomendasikan KADI kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan untuk ditindaklanjuti kepada Menteri Keuangan adalah besarnya Bea Masuk Anti Dumping kepada pelaku dumping, namun tidak pernah mempertimbangkan bahwa menghitung kerugian yang diderita para pelaku usaha ( pengusaha ) Indonesia dari adanya praktek ini. Padahal kerugian yang diderita oleh para pelaku usaha ini sangat besar seperti penurunan penjualan dalam negeri, keuntungan, market share, produktifitas dan kerugian lain yang terkait dengan nilai dan keuntungan yang harus di perolehnya. Oleh karena itu, upaya – upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pelaku usaha sebagai pihak yang dirugikan dari adanya praktek dumping di Indonesia adalah mengajukan permohonan penyelidikan dugaan dumping kepada KADI.

Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 menyebutkan bahwa permohonan penyelidikan atas dugaan dumping dapat dilakukan oleh Industri Dalam Negeri ( IDN ) atau atas prakarsa KADI. Pemohon dalam hal ini dapat terdiri dari satu perusahaan saja, beberapa perusahaan, atau permohonan disampaikan oleh asosiasi atas nama beberapa perusahaan atau atas nama seluruh anggota. Apabila masih ada produsen dalam negeri lainnya yang tidak termasuk pemohon, buat daftar nama berikut alamat lengkap dan kontak person semua produsen dalam negeri dari barang yang diduga dumping.[12]

Bersamaan uraian dan latar belakang pengajuan permohonan penyelidikan tersebut, sebaiknya harus disertai pula dengan permintaan untuk memberikan ganti kerugian yang diderita pemohon atas praktek dumping yang terjadi. Hal ini untuk melindungi kepntingan pemohon dan memberikan efek jera kepada pelaku dumping, karena selama ini sanksi yang diterapkan hanya pengenaan bea masuk anti dumping yang harus dibayarkan kepada pemerintah Indonesia, namun tidak ada biaya ganti rugi atas kerugian yang diderita pelaku pasar atau para pengusaha yang terkena dampak dari praktek dumping tersebut. Adanya ganti kerugian ini harus dihitung berdasarkan margin dumping yang terjadi, produksi barang yang beradar dipasaran atas barang yang sama serta hal – hal lain yang terkait dengan produksi. Namun hal ini diakui sangat sulit dalam penetapan jumlahnya dikarenakan pengaruh subjektifitas penghitungan biaya produksi dan kerugian yang ditimbulkan karena tidak adanya mekanisme dan aturan mengenai penetapan ganti kerugian yang timbul terhadap pelaku pasar tersebut.

Meskipun pengenaan sanksi praktek dumping di Indonesia bersifat administratif, namun dalam prakteknya tidak semua hasil temuan, analisis dan rekomendasi KADI ditindaklanjuti baik oleh Memperindag maupun Menkeu. Hal ini disebabkan karena Undang – undang tidak mengatur, sehingga menimbulkan ketidakpastian juga tidak ada keharusan Memperindag untuk menindaklanjuti temuan dan usul KADI tersebut. Kondisi ini juga tidak terlepas dari kedudukan KADI yang dibawah Memperindag sehingga tidak dapat untuk mendesak dan menentang.

Kesimpulan 
Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan dalam praktek dumping di Indonesia dalam bentuk permohonan penyelidikan dugaan praktek dumping yang diajukan kepada Komite Anti Dumping Indonesia ( KADI ), sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan, namun upaya hukum ini bersifat adminsitratif berupa pengenaan bea masuk anti dumping yang dibayarkan kepada Pemerintah, sehingga tidak memberikan ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan dari adanya praktek dumping tersebut. Oleh karena itu, pihak yang dirugikan dari adanya praktek dumping tidak dapat menerima penggantian atas kerugian dialaminya, disamping itu penetapan besarnya kerugian mengalami kesulitan karena tidak adanya mekanisme dan ketentuan yang mengaturnya.

DAFTAR PUSTAKA

Amir MS, Ekspor, Impor ( Teori dan Penerapannya ), Pustaka Bintama Pressindo, Jakarta, 1996

As’ad Sungguh, Kamus Ekonomi dan Perdagangan, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1992

Huala Adolf & Candrawulan, Masalah – Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994

H. S Kartadjoemen, GATT, WTO, dan Hasil Putaran Uruguay, UI Press, Jakarta, 1997

Johanis Damiri, Perdagangan Internasional dan UU Kepabeanan, Makalah disampaikan pada seminar UU Kepabeanan No.10 Tahun1995, Bea Cukai Masa Depan, Bandar Lampung 28 Maret 1996

KADI, Prosedur Permohonan Penyelidikan Anti Dumping, Jakarta, 2000

_____, Panduan Permohonan Penyelidikan Anti Dumping, Jakarta, 2004

Nandang Sutrisno, Hukum Perdagangan Internasional. Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Angkatan VII

Sudarti, Implementasi Pasal VI GATT 1994 khusunya tentang Proses Penanganan Barang Dumping dalam ketentuan Hukum Nasional Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2003

Sukarmi, Regulasi Anti Dumping, Bayang – bayang Pasar Bebas, Sinar Grafika, Jakarta

FOOTNOTE
[1] Johanis Damiri, Perdagangan Internasional dan UU Kepabeanan, Makalah disampaikan pada seminar UU Kepabeanan No.10 Tahun1995, Bea Cukai Masa Depan, Bandar Lampung 28 Maret 1996, hlm 1

[2] KADI, Prosedur Permohonan Penyelidikan Anti Dumping, Jakarta, 2000. hlm 2

[3] As’ad Sungguh, Kamus Ekonomi dan Perdagangan, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1992, hlm 26

[4] H. S Kartadjoemen, GATT, WTO, dan Hasil Putaran Uruguay, UI Press, Jakarta, 1997, hlm 168

[5] Amir MS, Ekspor, Impor ( Teori dan Penerapannya ), Pustaka Bintama Pressindo, Jakarta, 1996, hlm 38

[6] Sudarti, Implementasi Pasal VI GATT 1994 khusunya tentang Proses Penanganan Barang Dumping dalam ketentuan Hukum Nasional Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2003, hlm 25

[7] Huala Adolf & Candrawulan, Masalah – Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm 13

[8] H.S. Kartadjoemena, Loc.Cit

[9] Nandang Sutrisno, Hukum Perdagangan Internasional. Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Angkatan VII, hlm 8

[10] Sukarmi, Regulasi Anti Dumping, Bayang – bayang Pasar Bebas, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm 39

[11] KADI

[12] KADI, Panduan Permohonan Penyelidikan Anti Dumping, Jakarta, 2004, hlm 1

Selasa, 17 Desember 2013

PERLINDUNGAN TERHADAP PERMAINAN TRADISIONAL (FOLKLOR) SEBAGAI KARYA INTELEKTUAL WARISAN BANGSA DI ERA GLOBALISASI


Oleh
Ashibly

I.PENDAHULUAN
     Dalam literatur hukum Anglo Saxon dikenal istilah intelektual property right. Istilah hukum tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi dua macam istilah hukum: Hak Milik Intelektual dan Hak Kekayaan Intelektual. Perbedaan terjemahan terletak pada kata property. Kata tersebut memang dapat diartikan sebagai kekayaan, dapat juga sebagai milik. Bila berbicara tentang kekayaan, selalu tidak lepas dari milik dan sebaliknya berbicara tentang milik tidak lepas dari kekayaan. Dengan demikian, kedua terjemahan tersebut sebenarnya tidak berbeda dalam arti, hanya berbeda dalam kata. (Abdulkadir Muhammad,2007:1).
      Menurut Rachmadi Usman (2003:1), kata milik atau kepemilikan lebih tepat digunakan daripada kata kekayaan, karena pengertian hak milik memiliki ruang lingkup yang lebih khusus dibandingkan dengan istilah kekayaan. Menurut sistem hukum perdata kita, hukum harta kekayaan itu meliputi hukum kebendaan dan hukum perikatan. Intellectual Property Rights merupakan kebendaan immaterial yang juga menjadi objek hak milik sebagaimana diatur dalam hukum kebendaan. Karena itu, lebih tepat kalau kita menggunakan istilah Hak atas Kepemilikan Intelektual (HKI) daripada istilah Hak atas Kekayaan Intelektual.
       Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI No. M.03.PR.07.10 tahun 2000 dan Persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Surat No.24/M/PAN/1/2000, istilah “Hak Kekayaan Intelektual” (tanpa “atas”) yang disingkat dengan “HKI” telah resmi dipakai sebagai istilah baku dalam bahasa Indonesia semenjak tahun 2000 yang lalu. (Bernard Nainggolan,2011:1). Di dalam tulisan ini, penulis menyebut “Hak Kekayaan Intelektual” yang disingkat dengan “HKI”. 
      Hak kekayaan intelektual itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar. (OK.Saidin,2013:9), atau juga dapat diartikan sebagai hak atas kepemilikan terhadap karya-karya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektualitas manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Karya-karya yang tersebut merupakan kebendaan tidak terwujud yang merupakan hasil kemampuan intelektualitas seseorang atau manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi melalui daya cipta, rasa, karsa dan karyanya, yang memiliki nilai-nilai moral, praktis dan ekonomis. Pada dasarnya yang termasuk dalam lingkup HKI adalah segala karya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan melalui akal atau daya pikir seseorang atau manusia tadi. Hal inilah yang membedakan HKI dengan hak-hak milik lainnya yang diperoleh dari alam. (Rachmadi Usman,2003:2). 
       Indonesia sebagai Negara kepulauan, memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya. Hal itu sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Kekayaan seni dan budaya tersebut merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang dapat dan perlu dilindungi oleh undang–undang. Kekayaan itu tidak semata–mata untuk seni dan budaya itu sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan di bidang perdagangan dan industri yang melibatkan para penciptanya. Dengan demikian, kekayaan seni dan budaya yang dilindungi dapat meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi para penciptanya saja, tetapi juga bagi bangsa dan negara.(Penjelasan UUHC)
       Indonesia adalah negara dengan kekayaan dan keragaman budaya serta tradisi yang luar biasa. Jika kekayaan keragaman budaya dan tradisi itu dapat dikelola dengan baik dan benar, maka bukan tidak mungkin kebangkitan ekonomi Indonesia justru dipicu bukan karena kecanggihan teknologi, melainkan karena keindahan tradisi dan keragaman warisan budaya itu sendiri. Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan adalah bagian integral dari kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan. (Agus Sardjono,2009:160). Di dalam RUU Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional selanjutnya disingkat PTEBT memberikan definisi pengetahuan tradisional adalah karya intelektual di bidang pengetahuan dan teknologi yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan, dan dipelihara oleh komunitas atau masyarakat tertentu. Pengertian lain dari pengetahuan tradisional ialah sebagai pengetahuan yang dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh suatu komunitas, masyarakat, atau suku bangsa tertentu yang bersifat turun temurun dan terus berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan. Pengertian ini digunakan dalam study of the problem of Discrimination Against Indigenous Populations, yang dipersiapkan oleh United Nation Sub-Commision on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities. Istilah pengetahuan tradisional digunakan untuk menerjemahkan istilah traditional knowledge, yang dalam perspektif WIPO digambarkan mengandung pengertian yang lebih luas mencakup Indigenous Knowledge and folklore.(Afrillyanna Purba,2012:90-91). Sedangkan pengertian ekspresi budaya tradisional dari terminologi WIPO memberikan definisi tentang Traditional Cultural Expresions sebagai berikut “...bentuk apapun, kasat mata maupun tak kasat mata, dimana pengetahuan dan budaya tradisional diekspresikan, tampil atau dimanifestasikan dan mencakup bentuk-bentuk ekspresi atau kombinasi berikut ini....” .(Afrillyanna Purba,2012:95). Hal ini meliputi ekspersi lisan, seperti misalnya kisah, efik, legenda, puisi, teka-teki dan bentuk narasi lainnya; kata, lambang, nama dan simbol; ekspresi dalam bentuk gerak, seperti drama, upacara, ritual. Sebagai tambahan, definisi ini juga mencakup ekspresi yang kasat mata, seperti produksi seni, khususnya gambar, desain, lukisan termasuk lukisan tubuh dan juga dengan berbagai benda-benda kerajinan, instrumen musik, dan berbagai bentuk arsitektural.(Afrillyanna Purba,2012:95). Di dalam RUU PTEBT salah satu yang dilindungi dari ekspresi budaya tradisional adalah permainan. Agar suatu ekspresi memenuhi syarat traditional cultural ekspresion, ekspresi tersebut harus menunjukan adanya kegiatan intelektual individu maupun kolektif yang merupakan ciri dari identitas dan warisan suatu komunitas, dan telah dipelihara, digunakan atau dikembangkan oleh komunitas tersebut, atau oleh orang perorangan yang memiliki hak atau tanggung jawab untuk melakukannya sesuai dengan hukum dan praktik adat/kebiasaan dalam komunitas tersebut.(Afrillyanna Purba,2012:95).
       Hukum memberikan sarana perlindungan terhadap sebuah karya cipta yang merupakan produk dari pikiran manusia. Dengan adanya Undang – undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, maka terhadap karya cipta yang dihasilkan dapat diberikan perlindungan. Bentuk nyata ciptaan - ciptaan yang dilindungi dapat berupa kesastraan, seni, maupun ilmu pengetahuan.
       Sedangkan pengaturan kekayaan intelektual pengetahuan tradisional dan kekayaan intelektual lain sejenis dinamakan ekspresi budaya tradisional merupakan masalah hukum baru yang berkembang baik di tingkat nasional maupun internasional. Pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional sebagai kekayaan intelektual baru dalam waktu satu dekade terakhir muncul menjadi masalah hukum disebabkan belum ada instrumen hukum nasional maupun internasional memberikan perlindungan hukum secara optimal terhadap pengetahuan tradisional yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal ini disebabkan kurangnya perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.(Afrillyanna Purba,2012:4-5).
         Dalam tataran normatif, perlindungan terhadap hasil kebudayaan rakyat ini diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang – undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta menyebutkan “Negara memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang jadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajian tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya”. Selain itu aturan hukum non HKI yang melindungi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisonal (PTEBT) terdapat juga di Undang-undang Cagar Budaya, Hukum Adat dan RUU Kebudayaan.
       Secara umum yang diatur dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta selanjutnya disebut UUHC adalah dua hal yaitu peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional dan folklor (Afrillyanna Purba,2012:87). Folklor dimaksudkan sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun, termasuk:
a. cerita rakyat, puisi rakyat;
b. lagu-lagu rakyat dan musik instrumen tradisional;
c. tari-tarian rakyat, permainan tradisional;
d. hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukiran-ukiran, pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional.

       Folklor dapat dikategorikan ke dalam 3 golongan besar yaitu folklor lisan, folklor sebagian lisan dan folklor bukan lisan, folklor bukan lisan terdiri atas folklor bukan lisan yang materiil dan folklor bukan lisan yang bukan materiil. Salah satu ciptaan tradisional yang termasuk dalam folklor adalah permainan tradisional. Permainan tradisional termasuk kedalam folklor bukan lisan yang materiil terdiri atas bentuk arsitektur rakyat, seni kriya rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh tradisional, alat musik tradisional, alat permainan rakyat, masakan dan minuman tradisional, obat-obat tradisional. (Afrillyanna Purba,2012:121). 
        Banyak permainan tradisional yang terdapat di Indonesia, antara lain: Congklak, Gatrik, Bekel, Gobak Sodor, Permainan Benteng, Perepet Jengkol, Permainan Lompat Tali (Lompat Karet), Panjat Pinang dan lain-lain. Semua permainan ini adalah suatu ciptaan tradisional yang merupakan warisan turun temurun dan dimainkan secara bersama-sama. 
       Permainan tradisional tersebut di atas merupakan contoh dari ribuan permainan tradisional yang ada di Indonesia. Namun permainan-permainan tradisional tersebut kini mulai terkikis keberadaannya sedikit demi sedikit khususnya di kota-kota besar di Indonesia dan mungkin untuk anak-anak sekarang ini banyak yang tidak mengenal permainan tradisional yang ada, padahal permainan tradisional tersebut adalah warisan dari nenek moyang rakyat Indonesia. Semakin tidak populernya permainan tradisional tersebut dikarenakan telah banyak munculnya permainan-permainan modern yang lebih atraktif dan menyenangkan hati anak-anak sekarang ini dan kesemua permainan tersebut adalah murni produk impor dari luar Indonesia. Permainan modern yang lebih inovatif dan canggih seperti playstation, X Box, Nintendo dan sebagainya lebih menarik dan populer dibandingkan dengan permainan tradisional yang dinilai sudah kuno dan ketinggalan zaman. 
       Dengan banyaknya permainan elektronik maupun non elektronik modern yang menyenangkan dan menghibur yang ada dipasaran Indonesia, maka sedikit demi sedikit keberadaan dari permainan tradisional semakin tersisihkan. Akibatnya, permainan tradisional asli Indonesia lambat laun akan ditinggalkan, hilang dan punah, pada saat ini jarang sekali terlihat anak-anak Indonesia memainkan permainan tradisional baik itu di lingkungan masyarakat tempat tinggal maupun di sekolah-sekolah, kecuali dimainkan atau dapat kita temui pada hari-hari besar seperti hari kemerdekaan Indonesia, setelah itu permainan tradisional ini tidak dimainkan lagi. Permasalahan ini akan menjadi ancaman besar bagi bangsa Indonesia karena permainan tradisional merupakan karya intelektual warisan budaya yang wajib dijaga dan dilestarikan.

II. PERMASALAHAN
Bagaimanakah langkah perlindungan terhadap permainan tradisional (Folklor) sebagai karya intelektual warisan bangsa di era globalisasi ?

III. PEMBAHASAN

       Sejalan dengan niat serta usaha untuk melestarikan dan mengembangkan pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dan budayanya maka telah disepakati suatu piagam yang disebut Piagam Pelestarian Pustaka Indonesia 2003 yang di deklarasikan pada bulan Desember 2003 di Ciloto, Jawa Barat. Adapun pengertian pelestarian yang dianut dalam piagam tersebut adalah upaya pengelolaan pustaka melalui kegiatan penelitian, perencanaan, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan dan pengawasan. Penggunaan istilah “perlindungan” memiliki makna yang luas, yang berarti juga upaya pelestarian serta perlindungan HKI yang ada dalam PTEBT Indonesia. Pelestarian bisa juga mencakup pengembangan secara selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian, dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika zaman. (Afrillyanna Purba,2012:137).
          Di dalam RUU Tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional yang biasa disingkat PTEBT menjelaskan bahwa Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional yang dilindungi mencakup unsur budaya yang disusun, dikembangkan, dipelihara, dan ditransmisikan dalam lingkup tradisi dan memiliki karakteristik khusus yang terintegrasi dengan identitas budaya masyarakat tertentu yang melestarikannya. Ekspresi Budaya Tradisional yang dilindungi mencakup salah satu atau kombinasi bentuk salah satunya adalah permainan. 
       Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan yang modern serta pengaruh globalisasi dunia, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan dan rintangan terhadap eksistensinya. Hal ini perlu kita cermati karena warisan budaya dan nilai-nilai tradisional tersebut seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan lebih jauh.
Sebenarnya banyak sisi positif dari permainan tradisional asli Indonesia, antara lain adalah :

1. Pemanfaatan bahan–bahan permainan, selalu tidak terlepas dari alam
Hal ini melahirkan interaksi antara anak dengan lingkungan sedemikian dekatnya. Kebersamaan dengan alam merupakan bagian terpenting dari proses pengenalan manusia muda terhadap lingkungan hidupnya. (www.dolanantradisional.net23.net/artikelPT%20di%20Era%20Globalisasi.html)
2. Hubungan yang sedemikian erat akan melahirkan penghayatan terhadap kenyataan hidup manusia.
Alam menjadi sesuatu yang dihayati keberadaanya, tak terpisahkan dari kenyataan hidup manusia. Penghayatan inilah yang membentuk cara pandang serta penghayatan akan totalitas cara pandang mengenai hidup ini (kosmologi). Cara pandang inilah yang kemudian dikenal sebagai bagian dari sisi kerohanian manusia tradisional.(http://www.dolanantradisional.net23.net/artikelPT%20di%20Era%20Globalisasi.html) 
3. Melalui permainan masyarakat mulai mengenal model pendidikan partisipatoris.
Artinya, anak memperoleh kesempatan berkembang sesuai dengan tahap-tahap pertumbuhan jiwanya. Dalam pengertian inilah, anak dengan orang tua atau guru memiliki kedudukan yang egaliter, sama-sama berposisi sebagai pemilik pengalaman, sekaligus merumuskan secara bersama-sama pula diantara mereka. (http://www.dolanantradisional.net23.net/artikelPT%20di%20Era%20Globalisasi.html)

       Yang menjadi pertanyaan, bagaimana bangsa ini bisa melestarikan dan mengembangkan permainan tradisional sebagai warisan budaya bangsa? Mengutip pendapat dari Koentjaraningrat bahwa pembangunan kebudayaan nasional Indonesia perlu berorientasi ke zaman kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang telah lampau, tetapi juga ke zaman sekarang karena kebudayaan perlu memberi kemampuan kepada bangsa Indonesia untuk menghadapi peradaban dunia masa kini. (M.Munandar Sulaeman,1998:43). 
       Pemerintah tentu tidak dapat bekerja sendiri dalam upaya pelestarian dan pengembangan permainan tradisional sebagai warisan budaya bangsa, agar permainan tradisional dapat dilestarikan dan dikembangkan di era globalisasi pada saat ini, maka langkah awal Pemerintah dan masyarakat yang bisa dilakukan sebagai berikut:
a. Pendidikan
Melalui pendidikan formal maupun non formal, diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat baik itu melalui kurikulum pendidikan, penelitian, pelatihan aparat penegak hukum tentang HKI terutama masalah PTEBT, maupun seminar-seminar mengenai permainan tradisional asli Indonesia yang telah turun temurun diwariskan sebagai karya intelektual nenek moyang bangsa yang harus dilestarikan dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. 
b. Pemberdayaan Masyarakat Adat
Melalui pemberdayaan masyarakat adat diharapkan masyarakat adat dapat mengontrol PTEBT mereka yang dimanfaatkan pihak ketiga. Masyarakat adat-lah yang memainkan peranan penting dalam pengembangan PTEBT di Indonesia. Mereka yang mengembangkan kearifan lokal, upacara, kesenian, kuiliner, obat-obatan, serta folklor, yang khas milik mereka yang disesuaikan dengan lingkungan ekosistem di mana masyarakat itu hidup. Sehingga dari pemberdayaan masyarakat adat ini diharapkan dapat mengembangkan PTEBT khususnya permainan tradisional sebagai kustodian PTEBT. Adapun pengertian kustodian PTEBT di dalam RUU PTEBT adalah komunitas atau masyarakat tradisional yang memelihara dan mengembangkan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional tersebut secara tradisional dan komunal.
c. Dokumentasi dan data-base atas Permainan Tradisional
Pemerintah harus melakukan inventarisasi seluruh permainan tradisional asli yang ada di Indonesia, setelah inventarisasi selesai, dilanjutkan dengan proses verifikasi, dokumentasi dan penyusunan data-base. Dokumentasi dan data base sangat penting di dalam melestarikan PTEBT dan mencegahnya dari kepunahan khususnya permainan tradisional karena dari pendokumentasian dan penyusunan data base kita dapat mengetahui jumlah permainan tradisional di Indonesia yang merupakan warisan asli dari nenek moyang bangsa Indonesia.
d. Partisipasi Masyarakat Lokal dan Insan Seni/Budaya 
Dari partisipasi masyarakat lokal tempat asal permainan tradisional tersebut diciptakan, diharapkan masyarakat lokal untuk bisa berpartisipasi di dalam pelestarian dan pengembangan permainan tradisional dengan menumbuhkan rasa kebanggaan dan kecintaan terhadap permainan tradisional. Pelestarian dan pengembangan budaya bangsa tidak bisa dilepaskan juga dari peran seniman dan budayawan. Seniman dapat memberikan contoh kepada masyarakat melalui karya budaya yang ditampilkan, menyampaikan pesan-pesan moral dan nilai-nilai positif untuk masyarakat. Pemerintah diharapkan dapat memberikan ruang, memfasilitasi kegiatan-kegiatan para seniman untuk terus berkreatifitas serta memberikan pengakuan dan apresiasi terhadap insan seni dan budaya.
e. Pengumuman
Pengumuman disini berupa pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat orang lain. Diharapkan dari pengumuman ini masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional akan tahu bahwa permainan tradisional yang diumumkan adalah karya budaya bangsa Indonesia dan bisa mendapatkan pengakuan dari dunia. 
f. Kerjasama antar Stakeholder
Kerjasama antar instansi terkait di dalam pelestarian dan pengembangan ekspresi budaya tradisional khususnya permainan tradisional seperti Kementerian Hukum dan Perundang-undangan, Kementerian Budaya dan Pariwisata, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas, lembaga penelitian dan pengembangan, sektor-sektor swasta, serta instansi lainnya yang terkait merupakan stakeholder yang mempunyai peran sangat penting di dalam pelestarian dan pengembangan PTEBT khususnya permainan tradisional, yang diharapkan dari kerjasama antar instansi ini dapat menghasilkan regulasi berupa instrumen hukum yang khusus mengenai PTEBT dan inovasi serta solusi mengenai perlindungan dan pengembangan PTEBT menghadapi era globalisasi.

      Tentu saja ke enam langkah itu bukanlah langkah-langkah terbaik yang dapat dilakukan untuk melestarikan dan mengembangkan ekspresi budaya tradisional khususnya permainan tradisional. Berbagai pihak terbuka untuk menawarkan strateginya, namun apapun tujuan nya di dalam tulisan ini, Penulis ingin membangun kesadaran (awareness) bersama, bahwa kita memiliki warisan budaya tradisional yang bernilai tinggi dan wajib dijaga dan dilestarikan. Bersama-sama dengan komunitas mengembangkan warisan budaya melalui berbagai cara serta memberikan pengakuan dan penghargaan hak-hak komunitas terkait dan juga bersama-sama dengan Pemerintah melakukan berbagai upaya di dalam pelestarian dan pengembangan warisan budaya tradisional sebagai warisan budaya bangsa. Kalau bukan kita yang menjaga dan melestarikan, siapa lagi ?

IV.KESIMPULAN
Pemerintah tentu tidak dapat bekerja sendiri dalam upaya pelestarian dan pengembangan permainan tradisional sebagai warisan budaya bangsa, agar permainan tradisional dapat dilestarikan dan dikembangkan di era globalisasi pada saat ini, maka langkah awal Pemerintah dan masyarakat yang bisa dilakukan antara lain melalui Pendidikan, Pemberdayaan Masyarakat Adat, Dokumentasi dan data-base atas Permainan Tradisional, Partisipasi Masyarakat Lokal dan Insan Seni/Budaya, Pengumuman, serta Kerjasama antar Stakeholder.

DAFTAR PUSTAKA


a. Buku
Abdulkadir Muhammad,2007,Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual,Citra Aditya Bakti,   Bandung
Afrillyanna Purba,2012,Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional Sebagai Sarana Pertumbuhan Ekonomi Indonesia,Alumni,Bandung
Agus Sardjono,2009,Membumikan HKI di Indonesia,Nuansa Aulia,Bandung
Bernard Nainggolan,2011,Pemberdayaan Hukum Hak Cipta dan Lembaga Manajemen Kolektif,Alumni,Bandung
M.Munandar Sulaeman,1998,Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar,Refika Aditama,Bandung
Ok.Saidin,2013,Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Rights), RajaGrafindo Persada, Jakarta
Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual (Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia), Alumni,Bandung
b.Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Kepmen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia No.M.03.PR.07.10 tahun 2000 dan Persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Surat No.24/M/PAN/1/2000
RUU Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (PTEBT)
Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia, Indonesia Heritage Year 2003, Ciloto, 13 December 2003
c.Internet






Minggu, 26 Mei 2013

PERSEROAN TERBATAS

Akibat Hukum Pendirian Perseroan Terbatas oleh Suami Istri dalam Suatu Perkawinan Tanpa  Adanya Perjanjian Kawin Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
A. Latar Belakang 

Berbagai bentuk perusahaan yang hidup di Indonesia, seperti firma, persekutuan komanditer, koperasi dan lain sebagainya, bentuk perusahaan PT merupakan bentuk yang paling lazim, bahkan sering dikatakan bahwa PT merupakan bentuk perusahaan yang dominan. Dominasi PT tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Amerika Serikat dan negara-negara lain. 

Terkait dengan hal tersebut, Cheeseman menyatakan corporations are the most dominant form of business organization in the United States, generating over 85 percent of the country’s gross business receipts.[1] PT sangat menarik minat investor atau penanam modal untuk menanamkan modalnya, bahkan PT sudah menarik hampir seluruh perhatian dunia usaha pada tahun-tahun belakangan ini dikarenakan oleh perkembangan haknya dalam hidup perekonomian di banyak negara. Dengan dominasi yang besar di Indonesia, PT telah ikut meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia, baik melalui Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), sehingga PT merupakan salah satu pilar perekonomian nasional. 

Istilah Perseroan terbatas ( PT ) yang digunakan dewasa ini, dulunya dikenal dengan istilah ( Naamloze Vennootschap disingkat NV ). Bagaimana asal muasal digunakannya istilah Perseroan Terbatas dan disingkat dengan PT tidak dapat ditelusuri.[2] Istilah Perseroan Terbatas terdiri dari dua kata, yakni perseroan dan terbatas. Perseroan merujuk kepada modal PT yang terdiri dari sero –sero atau saham – saham. Kata terbatas merujuk kepada tanggung jawab pemegang saham yang luasnya hanya terbatas pada nilai nominal semua saham yang dimiliknya.[3]

Perseroan Terbatas semula diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau wetboek van koophandel (WvK), yang hanya mengatur tentang prosedur pendirian, pengurusan, tanggung jawab, dan pembubaran. Dalam KUHD tidak diatur tentang apa yang dimaksud dengan Perseroan Terbatas, status badan hukum, dan aturan lain yang relevan. 

Kemudian dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas yang diundangkan tanggal 7 maret 1995. Dengan berlakunya Undang-Undang tersebut, ketentuan-ketentuan dalam KUHD yang mengatur tentang Perseroan Terbatas, dinyatakan tidak berlaku, khususnya buku kesatu title ketiga bagian ketiga Pasal 36 sampai dengan 56.[4]

Seiring dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat yang berkembang sedemikian pesat, khususnya pada era globalisasi, di samping itu, dengan meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum serta tuntutan akan perkembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (Good Coorporate Governance), sehingga pada tanggal 16 Agustus 2007 diundangkan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. 

Perseroan Terbatas merupakan badan usaha yang telah memiliki status badan hukum. Dengan status badan hukum tersebut, Perseroan Terbatas mempunyai harta kekayaan dan tanggung jawab sendiri. Ini berarti setiap kewajiban atau utang Perseroan Terbatas hanya dilunasi dari harta kekayaan Perseroan Terbatas itu sendiri. Harta pemegang saham, Direktur, dan atau Dewan Komisaris Perseroan Terbatas tidak dapat dipergunakan untuk melunasi kewajiban Perseroan Terbatas, kecuali terjadi kesalahan, kelalaian, perbuatan melawan hukum, dan atau pertentangan kepentingan yang merugikan pasar dan atau kreditor Perseroan Terbatas.[5]

Perseroan Terbatas (PT) merupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang paling diminati saat ini, disamping karena pertanggung jawabannya yang bersifat terbatas juga memberikan kemudahan bagi pemiliknya (pemegang saham) untuk mengalihkan sahamnya kepada pihak lain dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut. 

Sebagai konsekuensi dari dianutnya pengertian PT adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, maka Pasal 7 ayat ( 1 ) UUPT mensyaratkan bahwa PT harus didirikan oleh dua orang atau lebih. Orang disini adalah dalam arti orang pribadi ( persoon, person ) atau badan hukum. Dengan demikian, PT itu dapat didirikan oleh orang pribadi atau badan hukum.[6] Mendirikan Perseroan Terbatas perlu dipenuhi syarat-syarat dan prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas. 

Syarat-syarat dan prosedur tersebut diuraikan antara lain sebagai berikut ini. Ada tiga syarat utama menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas yang harus dipenuhi oleh pendiri perseroan. Ketiga syarat tersebut adalah : 

a) Didirikan oleh dua orang atau lebih 

Menurut ketantuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas, perseroan didirikan oleh dua orang atau lebih. Yang dimaksud dengan orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. Ketentuan sekurang-kurangnya menegaskan prinsip yang dianut oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas. Bahwa perseroan sebagai badan hukum dibentuk berdasarkan perjanjian, oleh karena itu harus mempunyai lebih dari satu pemegang saham sebagai pendiri. Pengaturan dasar dari badan hukum itu sendiri terdapat di dalam Pasal 1654 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa: Semua perkumpulan yang sah adalah seperti halnya dengan orang-orang preman, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan umum, dalam mana kekuasaan itu telah diubah, dibatasi atau ditundukkan pada acara-acara tertentu.[7]

b) Didirikan dengan akta otentik 

Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas, perjanjian pendirian perseroan harus dibuat dengan akta otentik di hadapan Notaris yang dibuat dengan Bahasa Indonesia, bila tidak dibuat demikian, maka akta tersebut dianggap batal demi hukum. Mengingat perseroan adalah badan hukum. Akta otentik tersebut merupakan akta pendirian yang memuat anggaran dasar perseroan. Jika disimak ketentuan tersebut bukanlah suatu kewajiban hukum, sebab apabila tidak dilakukan dengan akta Notaris tidak menimbulkan akibat hukum bagi perjanjian itu sendiri, seperti perjanjian batal demi hukum. Pendirian Perseroan Terbatas kalaupun dilakukan dibawah tangan tetap sah asalkan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. 

Dalam mendirikan Perseroan Terbatas memerlukan pengesahan Menteri Hukum dan HAM terhadap akta pendiriannya. Jika yang diajukan bukan akta Notaris maka permohonan pengesahan akta pendirian Perseroan Terbatas dapat ditolak oleh Menteri Hukum dan HAM, sehingga akan berakibat Perseroan Terbatas tidak berbadan hukum. 

c) Modal dasar perseroan 

Modal dasar ( maatschappelijk kapitaal atau authorized capital atau nominal capital ) merupakan keseluruhan nilai nominal saham yang ada dalam perseroan. Modal ini ditentukan dalam anggaran dasar perseroan. Modal ini terdiri dari sejumlah modal yang terdiri atas saham yang dapat dikeluarkan atau diterbitkan perseroan beserta dengan nilai nominal setiap saham yang diterbitkan tersebut.[8]

Pasal 32 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ditentukan modal dasar perseroan paling sedikit 50 juta rupiah, tetapi bidang usaha tertentu yaitu perbankan dan perasuransian dapat menentukan jumlah minimum modal dasar perseroan yang melebihi 50 juta. Menurut ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Perseroan Terbatas, pada saat pendirian Perseroan Terbatas paling sedikit 25% dari modal dasar harus ditempatkan, dan disetor penuh. Pemegang saham dan atau pendiri Perseroan Terbatas yang telah berbadan hukum, secara prinsipnya tidak bertanggung jawab secara pribadi atas seluruh perikatan yang dibuat oleh dan atas nama perseroan dengan pihak ketiga, dan oleh karenanya tidak bertanggung jawab atas setiap kerugian yang diderita oleh perseroan. Para pemegang saham hanya bertanggung jawab atas penyetoran penuh dari nilai saham yang telah diambil bagian olehnya. 

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa perjanjian pendirian Perseroan Terbatas yang dilakukan oleh para pendiri tersebut dituangkan dalam suatu Akta Notaris yang disebut dengan Akta Pendirian. Tentu saja Notaris dalam proses pendirian Perseroan Terbatas (PT) ini mempunyai peranan penting dalam membantu proses kelahiran suatu Perseroan Terbatas (PT) yaitu membuat akta pendirian suatu Perseroan Terbatas. 

Setelah akta pendirian Perseroan Terbatas telah dibuat dan ditanda tangani oleh para pihak maka Perseroan Terbatas (PT) telah dapat menjalankan kegiatan usaha, namun dilihat dari segi yuridisnya Perseroan Terbatas (PT) tersebut belum dapat dikategorikan sebagai badan hukum, dengan alasan bahwa Akta Pendirian Perseroan Terbatas tersebut belum mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM, sehingga Akta Pendirian Perseroan Terbatas tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai badan hukum. 

Akta pendirian Perseroan Terbatas yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum Dan HAM, maka Perseroan Terbatas tersebut telah mempunyai kekuatan hukum sebagai badan hukum hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 7 ayat (4), suatu perseroan baru memiliki status badan hukum jika Akta Pendirian Perseroan telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 

Akan tetapi, apabila Perseroan Terbatas yang telah mendapatkan status sebagai badan hukum tapi ternyata Perseroan Terbatas tersebut tidak memenuhi syarat pendirian Perseroan Terbatas menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dimana Perseroan Terbatas tersebut didirikan oleh suami istri tanpa adanya perjanjian kawin. 

Dimana kita ketahui bahwa suami istri dalam suatu rumah tangga tanpa adanya perjanjian kawin berada dalam kesatuan harta, maka suami istri tersebut dianggap sebagai satu orang saja. Sehingga demikian apabila suami istri tersebut mendirikan suatu Perseroan Terbatas maka Perseroan Terbatas tersebut tidak memenuhi syarat pendirian Perseroan Terbatas. Ketentuan ini harus terus berlaku selama perseroan masih berdiri, dan hal ini dipertegas kembali dalam rumusan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yang mewajibkan Perseroan Terbatas harus didirikan minimal berjumlah 2 (dua) orang atau lebih. Ketiga syarat pendirian Perseroan Terbatas tersebut diatas harus dipenuhi. 

Adapun akibat hukum atau konsekuensi yang harus ditanggung oleh Perseroan Terbatas dan atau para pendiri, jika tidak memenuhi salah satu syarat pendirian Perseroan Terbatas yaitu Perseroan Terbatas tersebut didirikan oleh minimal berjumlah 2 (dua) orang atau lebih ( Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas), maka para pemegang saham akan bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan atau kerugian perseroan, dimana keadaan seperti ini sangat mempengaruhi bentuk perseroan sebagai badan hukum yang sudah seperti perusahaan perorangan saja, karena perseroan tidak lagi mempunyai tanggung jawab sebagai badan hukum dan atas permohonan pihak yang berkepentingan. 

B. Rumusan Masalah 

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka pemakalah merumuskan permasalahan sebagai berikut : 
1. Apakah akibat hukum pendirian Perseroan Terbatas oleh suami istri dalam suatu perkawinan tanpa  adanya perjanjian kawin menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas? 


A. Akibat hukum pendirian Perseroan Terbatas oleh suami istri dalam suatu perkawinan tanpa adanya perjanjian kawin menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 

Secara normatif, tidaklah dimungkinkan dijalankan Perseroan Terbatas yang pemegang sahamnya hanya suami dan isteri. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas, dimana Perseroan Terbatas merupakan suatu persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian. Karena suami isteri merupakan suatu persekutuan harta kekayaan (tanpa perjanjian kawin dan/atau tanpa adanya harta bawaan), maka suami isteri yang hanya mereka berdua sebagai pemegang saham (ataupun sebagai pendiri Perseroan Terbatas) secara normatif tetap dikatakan satu pemegang saham, sehingga tidak terpenuhi unsur adanya persekutuan modal (modal yang sengaja diasingkan sebagai kekayaan perusahaan). 

Kemudian, sebagai suatu perjanjian, tidak dibenarkan adanya perjanjian pembagian untung rugi diantara suami isteri karena mereka terikat dalam satu harta bersama, hal mana menjadi format dasar dalam anggaran dasar Perseroan Terbatas. Dengan demikian cukup jelas bahwa secara normatif tidak dibenarkan adanya Perseroan Terbatas yang pemegang sahamnya hanya suami dan isteri. 

Pendirian Perseroan Terbatas didirikan berdasarkan perjanjian dengan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih. Oleh karena itu untuk dapat mendirikan peseroan terbatas paling sedikit harus ada dua orang. Kurang dari jumlah tersebut, adalah tidak mungkin. Apakah suami isteri dalam satu rumah tangga termasuk dalam dua orang yang dimaksud bisa mendirikan suatu Perseroan Terbatas sesuai dengan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas? Secara umum, suami isteri berada dalam kesatuan harta. Namun, apabila pada saat melangsungkan perkawinan, suami isteri tersebut membuat perjanjian kawin, maka dia bukan dalam kesatuan harta. Jadi, suami isteri dalam satu perkawinan tanpa perjanjian kawin tidak dapat dikategorikan sebagai 2 (dua) orang untuk mendirikan suatu Perseroan Terbatas karena suami isteri tersebut dianggap hanya satu orang saja. 

Bagaimana status suatu Perseroan Terbatas (yang pendiriannya sesuai Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ) di mana para pendirinya dan atau pemegang sahamnya sejak awal hingga saat ini adalah sepasang suami istri yang tidak pisah harta, apakah pendirian Perseroan Terbatas tersebut sah dan bagaimana bila dikaitkan dengan persyaratan pendirian Perseroan Terbatas minimal oleh 2 orang? Pada prinsipnya, suami isteri tidak dapat mendirikan Perseroan Terbatas diantara mereka berdua saja, karena mereka dianggap mempunyai "satu kepentingan". Kepentingan tersebut adalah untuk membentuk keluarga dimana suami menjadi kepala keluarga dan isteri menjadi ibu rumah tangga[9]. Selain itu, kepentingan mereka berdua terlihat pula adanya persatuan kekayaan yang dihasilkan selama perkawinan, walaupun harta bawaan dapat dilaksanakan menurut kehendak suami atau isteri masing-masing.[10]

Melihat kepentingan mereka sebagai suami-isteri seperti yang diuraikan sebelum ini, maka pihak ketiga harus menganggap mereka adalah "satu pihak", terutama bila menyangkut persoalan pengaturan harta kekayaan di antara mereka, kecuali ada perjanjian perkawinan sebelumnya.[11]

Atas dasar hal-hal di atas dan mengingat pendirian Perseroan Terbatas mensyaratkan minimal 2 (dua) pendiri, bila suami isteri yang bersangkutan tetap berkeinginan menjadi pemegang saham, maka mereka dapat mencari 1 (satu) investor lain untuk menjadi pendiri lain Perseroan Terbatas tersebut. Perlu dicatat pula bahwa Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) mensyaratkan agar para pemegang saham selalu minimal 2 (dua) orang. Bila tidak, maka pemegang saham tunggal atau satu orang saja akan mengakibatkan dia bertanggung jawab tidak terbatas lagi, alias bertanggung jawab pribadi.[12] Hal ini didasarkan bahwa perseroan didirikan atas dasar perjanjian (Penjelasan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas)[13]

Perseroan Terbatas telah menjadi badan hukum karena telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, akan tetapi ternyata pendiri atau pemegang sahamnya hanya satu orang karena suami isteri, maka dalam waktu paling lama enam bulan sejak saat itu terjadi, pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain. Jika telah lewat dan pemegang saham dan atau pendirinya tetap satu orang, maka konsekuensinya pemegang saham dan atau pendiri bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan atas kerugian perseroan. Di satu sisi suami isteri dalam suatu perkawinan tanpa adanya perjanjian kawin boleh mendirikan perseroan terbatas diantara mereka berdua saja, asalkan harta yang digunakan dalam perseroan adalah harta bawaan dan bukan harta bersama, hal ini mengacu pada Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 

Keadaan seperti ini menimbulkan akibat-akibat hukum terhadap para pemegang saham, dimana kedudukan para pemegang saham dalam Perseroan Terbatas tersebut tidak lagi dipandang sebagai subjek hukum yang mempunyai tanggung jawab terbatas atau tanggung jawab terbatas dari pemegang saham tidak berlaku lagi atau hapus, sehingga pemegang saham tersebut dibebani pertanggung jawaban pribadi jika terjadi masalah terhadap Perseroan Terbatas tersebut, misalnya Perseroan Terbatas tersebut mengalami kepailitan karena dililit utang atau Perseroan Terbatas tersebut mempunyai utang yang sangat besar yang melampaui harta kekayaan Perseroan Terbatas tersebut. Hal tersebut juga berdampak pada akta pendirian Perseroan Terbatas yang dibuat oleh Notaris, yaitu mempengaruhi keotentikan akta pendirian Perseroan Terbatas tersebut. Dimana akta tersebut akan cacat hukum dan bisa saja akan menjadi akta dibawah tangan atau bahkan akta pendirian Perseroan Terbatas tersebut batal demi hukum karena tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu suatu hal tertentu, sebab akta pendirian Perseroan Terbatas didirikan atas dasar perjanjian. 

Dimana dijelaskan bahwa suatu hal tertentu meliputi kejelasan prestasi atas hak dan kewajiban dimana diketahui bahwa yang mendirikan Perseroan Terbatas tersebut adalah suami isteri dalam perkawinan tanpa perjanjian kawin, sehingga hak dan kewajiban yang diatur dalam pendirian Perseroan Terbatas itu sangat bertentangan dengan falsafah Hukum Perkawinan mengenai hak dan kewajiban suami isteri dalam suatu perkawinan. Sehingga suami isteri dalam suatu perkawinan tanpa adanya perjanjian kawin tidak dibolehkan mendirikan Perseroan Terbatas. 

Terlebih lagi dampak atau akibat yang sangat mempengaruhi Perseroan Terbatas yang hanya mempunyai pemegang saham dan atau pendiri hanya satu orang yaitu sangat mempengaruhi status atau bentuk dari Perseroan Terbatas tersebut sebagai badan hukum, dimana Perseroan Terbatas tersebut sudah seperti perusahaan perorangan saja, karena Perseroan Terbatas tersebut tidak mempunyai tanggung jawab lagi sebagai badan hukum. Sehingga Perseroan Terbatas dalam keadaan seperti ini dapat dibubarkan oleh Pengadilan Negeri (Pasal 7 ayat 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas). Ketentuan Pasal 7 ayat 6 tersebut sangat tegas, bahwa Pengadilan Negeri diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk membubarkan perseroan yang telah berstatus Badan hukum tetapi menyalahi prinsip minimal ada dua pemegang saham dan atau pendiri[14]

Sehingga juga akan mempengaruhi status pengesahan yang diberikan oleh menteri Hukum dan HAM yaitu Perseroan Terbatas yang telah terdaftar dan memperoleh pengesahan sebagai badan hukum tidak akan berlaku lagi dan akan dihapus dalam daftar perseroan yang ada dalam sistem administrasi badan hukum. Akan tetapi hal tersebut dapat terjadi apabila ada pemberitahuan secara tertulis kepada kementerian hukum dan HAM sebab kementerian hukum dan HAM hanya akan melakukan perubahan atau bahkan menghapus Perseroan Terbatas tersebut dalam daftar Perseroan Terbatas sebagai suatu Perseroan Terbatas yang berbadan hukum jika ada pemberitahuan secara tertulis baik dari para pemegang saham apabila pemegang saham dalam kondisi pemegang sahamnya adalah suami isteri tanpa adanya perjanjian kawin, maupun pemberitahuan dari pengadilan negeri jika Perseroan Terbatas tersebut di bubarkan. Pembubaran adalah suatu tindakan yang mengakibatkan perseroan berhenti eksitensinya dan tidak lagi menjalankan kegiatan bisnis untuk selama – lamanya. Kemudian diikuti dengan proses administrasinya berupa pemberitahuan, pengumuman, dan pemutusan hubungan kerja dengan karyawannya.[15]


A. Kesimpulan 

Akibat hukum dari pendirian Perseroan Terbatas oleh suami istri dalam suatu pekawinan tanpa adanya perjanjian kawin menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas yaitu, dimana kedudukan para pemegang saham dalam Perseroan Terbatas tersebut tidak lagi dipandang sebagai subjek Hukum yang mempunyai tanggung jawab terbatas, sehingga pemegang saham tersebut dibebani pertanggung jawaban pribadi. Hal ini juga berdampak pada akta pendirian Perseroan Terbatas yang dibuat oleh Notaris, yaitu mempengaruhi keotentikan akta pendirian Perseroan Terbatas tersebut. Dimana akta tersebut akan batal demi hukum. Jika suami isteri tersebut tetap saja mendirikan Perseroan Terbatas maka juga akan mempengaruhi Perseroan Terbatas yang hanya mempunyai pemegang saham hanya satu orang dimana didirikan oleh suami isteri dalam perkawinan tanpa adanya perjanjian kawin, seperti kita ketahui bahwa dalam keadan seperti itu suami isteri tersebut dianggap satu orang saja sehingga hal tersebut sangat mempengaruhi status atau bentuk dari perseroan tersebut sebagai badan hukum, dimana perseroan tersebut sudah seperti perusahaan perorangan saja, karena perseroan tersebut tidak mempunyai tanggung jawab lagi sebagai badan hukum. Sehingga Perseroan Terbatas tersebut dapat dibubarkan oleh Pengadilan Negeri. Sehingga dalam keadan seperti ini Juga akan mempengaruhi status pengesahan yang diberikan oleh menteri Hukum dan HAM yaitu Perseroan Terbatas yang telah terdaftar dan memperoleh pengesahan sebagai badan hukum tidak akan berlaku lagi dan akan dihapus dalam daftar perseroan yang ada dalam system administrasi badan hukum. Akan tetapi hal tersebut dapat terjadi apabila ada pemberitahuan secara tertulis kepada kementerian hukum dan HAM sebab kementerian hukum dan HAM hanya akan melakukan perubahan atau bahkan menghapus Perseroan Terbatas tersebut dalam daftar Perseroan Terbatas sebagai suatu Perseroan Terbatas yang berbadan hukum jika ada pemberitahuan secara tertulis baik dari para pemegang saham maupun dari pengadilan negeri jika Perseroan Terbatas tersebut di bubarkan. 


DAFTAR PUSTAKA 



A. Buku 

David Kelly , et.al, Business Law, Cavendish Publishing Limited, London, 2002. 

Gatot supramono, Hukum Perseroan Terbatas, Djambatan, Jakarta, 2007 

Gunawan Widjaja, 150 Tanya Jawab Tentang Perseroan Terbatas, Forum Sahabat, Jakarta, 2008 

H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 2, Djambatan, Jakarta, 1982 

Kenny Wiston, “Piercing Corporate Veil“, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 15, Tahun 2001 

Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003 

Prasetyo, Rudhi, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai Dengan Ulasan Menurut Undang-Undang nomor 1 Tahun 1995, Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001 

Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas; Doktrin, Peraturan Perundang – Undangan, dan Yurisprudensi, Edisi Revisi, Total Media 

Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 

R. Murjiyanto, Pengantar Hukum Dagang, Aspek-Aspek Hukum Perusahaan Dan Larangan Praktek Monopoli, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2002 

B. Internet 

Dikutip dari http:// Hukumonline.com, “Hukum perusahaan pendirian Perusahaan Terbatas (PT)”. 

Footnote

[1] Kenny Wiston, “Piercing Corporate Veil“, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 15, Tahun 2001 


[2] Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm 2 


[3] H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 2, Djambatan, Jakarta, 1982, hlm 85 


[4] R. Murjiyanto, Pengantar Hukum Dagang, Aspek-Aspek Hukum Perusahaan Dan Larangan 

Praktek Monopoli, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2002, hlm 17 


[5] Gunawan Widjaja, 150 Tanya Jawab Tentang Perseroan Terbatas, Forum Sahabat, Jakarta, 

2008, hlm 2. 


[6] Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas; Doktrin, Peraturan Perundang – Undangan, dan Yurisprudensi, Edisi Revisi, Total Media, hlm 45 


[7] Prasetyo, Rudhi, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai Dengan Ulasan Menurut 

Undang-Undang nomor 1 Tahun 1995, Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 12 


[8] David Kelly , et.al, Business Law, Cavendish Publishing Limited, London, 2002, hlm 333 


[9] lihat Pasal 1 jo. 31 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 


[10] lihat Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 


[11] lihat Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 


[12] lihat Pasal 7 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 


[13] Dikutip dari http:// Hukumonline.com, “Hukum perusahaan pendirian Perusahaan Terbatas 

(PT)” 


[14] Gatot supramono, Hukum Perseroan Terbatas, Djambatan, Jakarta, 2007, hlm. 6-7 


[15] Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 178

PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT


PENGECUALIAN PENERAPAN UNDANG – UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT TERHADAP PERJANJIAN YANG BERKAITAN DENGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

A s h i b l y

Abstract

One of the excluded is concerning agreements relating to intellectual property rights (IPR), as expressed in Article 50 point b that is exempt from the provisions of Law No. 5 of 1999 is: "The agreement relating to intellectual property rights such as licenses , patents, trademarks, copyrights, industrial designs, integrated electronic circuits, and trade secrets, as well as an agreement relating to the franchise ".
Key Word : Antitrust Exemption


I. LATAR BELAKANG 

Pembangunan ekonomi pada pembangunan jangka panjang pertama telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat. Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai selama pembangunan jangka panjang pertama, yang ditunjukan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi masih banyak pula tantangan atau persoalan, khususnya dalam pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan, seiring dengan adanya kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990an ( Destivano Wibiwo dan Harjon Sinaga, 2005 : 146).

Dalam dasawarsa terakhir, seiring dengan perdagangan bebas dan globalisasi informasi dan komunikasi, tak pelak lagi issue keberadaan sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut “HKI”) yang berkaitan erat dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan industri dan kelancaran perdagangan dunia merupakan suatu permasalahan yang teramat penting yang eksistensinya telah diakui secara global (Siti Anisah, 2010 :39).

Pada sisi lain, rezim hukum persaingan usaha berbicara tentang perlindungan terhadap iklim berkompetisi yang fair guna terbukanya peluang ekonomi, inovasi, dan kesempatan berusaha bagi semua pihak.

Rezim hukum HKI adalah landasan hukum yang memberikan hak eksklusif bagi pemegang haknya untuk mengeksploitasi sendiri dan melarang pihak lain untuk mengekploitasi objek HKI yang dimilikinya. Hak eksklusif tersebut sering dimaknai oleh sebagian orang sebagai suatu bentuk hak untuk melakukan monopoli. Dalam hukum persaingan usaha, monopoli harus diartikan sebagai penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.

Pengertian tersebut berbeda dengan “praktek monopoli” yang harus diartikan sebagai pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Hukum persaingan usaha secara jelas mengatur bahwa kegiatan monopoli bukanlah suatu hal yang dilarang dan yang dilarang adalah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.

Gagasan untuk menerapkan Undang – undang Antimonopoli ( UUA) dan mengharamkan kegiatan pengusaha yang curang telah dimulai sejak 50 (lima puluh) tahun sebelum masehi ( Insan Budi Maulana, 2000 : 239 ). 

Bahkan dalam Al-Qur’an prinsip - prinsip perilaku pengusaha yang harus bersikap jujur dan mencegah persaingan curang juga diatur. Umpamanya, Allah berfirman :Tegakkanlah timbangan itu dengan adil, dan janganlah kamu mengurangi timbangan ( Ar-Rahman [55] : 9. Dalam ayat lain, Allah pun berfirman : Hai kaumku ! Cukupkanlah sukatan dan timbangan dengan lurus, dan janganlah kamu kurangi hak – hak manusia dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi dengan membuat bencana (Hud [11]: 85)

Pemikiran untuk memiliki dan menerapkan Undang – undang Antimonopoli (UUA) sebenarnya, telah dimulai ketika Indonesia menerapkan Undang - undang No.5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. Pasal 7 ayat ( 2 ) dan ayat ( 3 ) menyatakan bahwa Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industri untuk menciptakan persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur, mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.

Undang – undang No. 5 Tahun 1999 ini lahir dalam ephoria reformasi yang anti monopoli. Tujuan Undang – undang ini, seperti dimana – mana saja, untuk memelihara proses persaingan. Selain efisiensi ekonomi, tujuan lainnya melindungi usaha kecil, memelihara keadilan dan kejujuran. KPPU bertugas mengawasi jalan nya Undang – undang ini ( Erman Rajagukguk, 2010 : 8 ).

Pemberlakuan Undang - undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat untuk kalangan pelaku usaha ternyata tidak bersifat memaksa. Hal ini dapat terlihat dalam Pasal 50 yang memuat pengecualian - pengecualian pemberlakukan Undang - undang tersebut. Adapun pengecualian (Exemption) dalam ketentuan tersebut adalah berkaitan dengan sejumlah perjanjian atau perbuatan.

Salah satu perjanjian atau perbuatan yang dikecualikan berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang - undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat adalah perjanjian yang berkaitan dengan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual seperti Lisensi, Paten, Merek dagang, Hak cipta, Desain Produk Industri, Rangkaian Elektronika terpadu dan Rahasia Dagang serta Perjanjian yang berkaitan dengan Waralaba.

Secara tersurat Undang - undang memang mengatur pengecualian larangan monopoli berkaitan perjanjian hak kekayaan intelektual tersebut namun detail serta teknis perjanjian Hak atas kekayaan intelektual yang bagaimanakah yang dikecualikan dalam Undang-undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat. Oleh Karena itu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai suatu lembaga independen yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tersebut, mengeluarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia No. 2 Tahun 2009 tentang Pengecualian penerapan Undang -undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap perjanjian yang berkaitan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual yang bertujuan memberikan pedoman yang jelas tentang perjanjian yang berkaitan dengan Hak atas kekayaan intelektual yang bagaimanakah yang di kecualikan oleh Undang-undang No.5 Tahun 1999.

II. PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas maka akan dibahas tentang perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual yang bagaimanakah yang di kecualikan oleh Undang - undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat Terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual?

III. PEMBAHASAN 

Pengecualiaan penerapan Undang - undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual yang dibentuk oleh KPPU sebagai tindak lanjut Pasal 50 butir b Undang - undang No 5 Tahun 1999.

Istilah Monopoli berasal dari kata Yunani yakni Monos dan Polein yang dapat diartikan sebagai Penjual Tunggal ataupun Penjual sendiri. Disamping istilah monopoli, di USA sering digunakan “antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau “dominasi” yang dipakai oleh masyarakat Eropa yang juga sepadan dengan istilah ”monopoli”. (Munir Fuadi : 4 )

Pengertian monopoli menurut Black Law Dictionary adalah Monopoly is a privilege or peculiar advantage vested in one or more persons or companies consisting in the exclusive right ( or power ) to carry on a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the whole supply of a particular commodity. A form of market structure in which one or only a few dominate the total sales of product or service ( Mustafa Kamal Rokan, 2010: 7 ).

Di Indonesia, Monopoli ini diartikan sebagai penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Pengertian monopoli tersebut dibedakan dengan Pengertian praktek monopoli sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 butir 2 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 sebagai pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Hal tersebut menurut Pasal 17 Undang - undang tersebut adalah dilarang sebagaimana disebutkan:

(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. barang atau jasa yang bersangkutan belum ada subsitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Namun ternyata tidak semua monopoli adalah dilarang. Dalam Pasal 50 dan Pasal 51 dicantumkan perjanjian atau perbuatan apa saja yang dikecualikan (exemption) dari ketentuan berlakunya Undang - undang ini. Salah satu yang dikecualikan adalah berkenaan perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual (HKI), sebagaimana diungkapkan dalam Pasal 50 huruf b bahwa yang dikecualikan dari ketentuan Undang-undang No 5 Tahun 1999 adalah: ” Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri,rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba ”.

Pengecualian berkaitan HKI tersebut dalam Undang - undang No.5 Tahun 1999 tidak diatur secara jelas, mengingat dalam penjelasannya diterangkan sudah cukup jelas. Bagaimana ketentuan secara teknisnya pun tidak diuraikan secara detail oleh peraturan-peraturan dibawahnya. Sehingga tampak perjanjian HKI sebagaimana disebutkan adalah dikecualikan oleh Undang-undang No.5 Tahun 1999. Dengan Pemahaman tersebut, maka pengecualian HKI dari aturan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat seperti dalam Undang - undang Nomor 5 Tahun 1999, pada dasarnya hanya tepat sejauh terbatas pada “kodrat” HKI itu sendiri, dan kegiatan tertentu dalam perjanjian pemanfaatan HKI yang tidak menimbulkan hambatan atau gangguan terhadap iklim persaingan ( Bambang Kesowo, 2010 : 11 ).

Oleh Karena kekurang jelasan ketentuan Undang - undang, Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU) sebagai suatu lembaga independen yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang - undang No. 5 Tahun 1999 tersebut, mengeluarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia No. 2 Tahun 2009 tentang Pengecualian penerapan Undang - undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual, yang digunakan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 huruf b.

Adapun Pedoman yang disusun oleh KPPU tersebut dimaksudkan agar terdapat kesamaan penafsiran terhadap masing - masing unsur dalam Pasal 50 huruf b, sehingga terdapat kepastian hukum dan dapat dihindari terjadinya kekeliruan atau sengketa dalam penerapannya. Selain itu dengan adanya pedoman diharapkan pula bahwa Pasal 50 huruf b dapat senantiasa diterapkan secara konsisten, tepat dan adil dalam sengketa yang berkaitan dengan Pasal tersebut. 

Di dalam pedoman yang dibuatnya, KPPU berusaha menjelaskan hal-hal yang memungkinkan adanya perbedaan interpretasi, yakni dalam hal hubungannya dengan penyebutan istilah lisensi yang diikuti istilah paten, merek dagang dan sebagainya, dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah perjanjian yang berkaitan dengan dengan hak kekayaan intelektual yang dimaksud dalam Pasal 50 huruf b adalah perjanjian lisensi yang berada dalam lingkup hak paten, hak merek, hak cipta, hak desain industri, hak desain tata letak sirkuit terpadu, dan hak rahasia dagang. Di dalam pedomannya KPPU juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan merek dagang adalah tidak hanya merek dagang saja tetapi termasuk juga merek jasa. Selain itu dijelaskan pula bahwa istilah rangkaian elektronik terpadu hendaknya dimaknai sebagai desain tata letak sirkuit. Tidak hanya sampai disitu saja, dengan adanya pedoman tersebut dijelaskan juga mengenai hubungan keberadaan rezim hukum HKI dan hukum persaingan usaha yang sering dipandang sebagai hal yang bertolak belakang. KPPU dengan pedomannya menjelaskan bahwa keberadaan keduanya hendaknya dipandang sebagai ketentuan hukum yang bersifat komplementer atau saling mengisi untuk keharmonisan sistem hukum nasional Indonesia. Adapun kedua rezim hukum tersebut mempunyai kesamaan tujuan yaitu untuk memajukan sistem perekonomian nasional di era perdagangan bebas dan globalisasi, mendorong inovasi dan kreatifitas, serta untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pedoman yang dibuat oleh KPPU juga menjelaskan bahwa adanya suatu hak eksklusif tidak berarti secara otomatis telah terjadi praktek monopoli pasar. Adapun pengecualian perjanjian lisensi HKI dari ketentuan hukum persaingan usaha hanya dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan asas dan tujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, kemudian dibagian penjelasan diungkapkan konteks dapat dilakukannya pengecualian yakni : 
Bahwa perjanjian lisensi tidak secara otomatis melahirkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. 
Bahwa praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang timbul akibat pelaksanaan perjanjian lisensi adalah kondisi yang hendak dicegah melalui hukum persaingan usaha. 
Bahwa untuk memberlakukan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan perjanjian lisensi HKI haruslah dibuktikan: (1) perjanjian lisensi HKI tersebut telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam perundang-undangan HKI, dan (2) adanya kondisi yang secara nyata menunjukan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. 
Bahwa pengecualian dari ketentuan hukum persaingan usaha terhadap perjanjian lisensi HKI hanya diberlakukan dalam hal perjanjian lisensi HKI yang bersangkutan tidak menampakan secara jelas sifat anti persaingan usaha. 

Selain itu Pedoman yang dibuat oleh KPPU berusaha menjelaskan secara detail apa yang berkaitan dengan pengecualian atas perjanjian lisensi Hak Kekayaan Intelektual, meskipun hal tersebut menimbulkan pemikiran lain bagi orang awam. Namun bagaimanapun banyak sedikit adanya pedoman tersebut telah berusaha menjelaskan atau membuat makna sebagaimana yang diungkapkan dalam Pasal 50 huruf b menjadi semakin jelas, meskipun pada akhirnya KPPU pula lah yang berkompetensi untuk menilainya. Adapun kejelasan pedoman tersebut ditambah pula dengan diberikan contoh-contoh berkenaan kasus yang berhubungan dengan konteks pengecualian tersebut.


IV. PENUTUP

Dapat disimpulkan bahwa ternyata tidak semua monopoli adalah dilarang. Dalam Pasal 50 dan Pasal 51 dicantumkan perjanjian atau perbuatan apa saja yang dikecualikan (exemption) dari ketentuan berlakunya Undang - undang ini. Salah satu yang dikecualikan adalah berkenaan terhadap perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual (HKI), sebagaimana diungkapkan dalam Pasal 50 huruf b bahwa yang dikecualikan dari ketentuan Undang-undang No 5 Tahun 1999 adalah: ” Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri,rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba”.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku 

Destivano Wibiwo dan Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, Rajawali Pers, Jakarta, 2005
Erman Rajagukguk, Yustisia Negara dan Masyarakat, Jurnal Nasional
Insan Budi Maulana, Pelangi HKI dan Anti Monopoli, PSH FH UII Jogjakarta, 2000
Munir Fuadi, Hukum anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat,: Citra Aditya Bakti, Bandung
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha ( Teori dan Praktiknya di Indonesia ), Rajawali Pers, Jakarta, 2010

B. Bahan ajar, makalah

Siti Anisah, Draft & Pedoman Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Bahan Ajar Hukum Persaingan Usaha, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2010

Bambang Kesowo, “HKI dan Persaingan Usaha di era AFTA 2010”, (Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional tentang HKI dan Persaingan Usaha di Era AFTA 2010 di Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, Februari 2010)

C. Peraturan perundang - undangan 

Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat