Minggu, 13 Januari 2013

BEA MATERAI



Bea materai adalah pajak atas dokumen. Sedangkan dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan, atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak – pihak yang berkepentingan.

A. DASAR HUKUM

Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Materai.

B. PRINSIP UMUM PEMUNGUTAN ATAU PENGENAAN BEA MATERAI

1. Bea materai dikenakan atas dokumen ( merupakan pajak atas dokumen )

2. Satu dokumen hanya terutang satu Bea materai

3. Rangkap/tindasan ( yang ikut ditandatangani ) terutang Bea materai sama dengan aslinya.

C. TARIF BEA MATERAI Rp.6000.00 DIKENAKAN ATAS DOKUMEN

1. a. Surat perjanjian dan surat – surat lainnya ( antara lain : surat kuasa, surat hibah, dan surat pernyataan ) yang dibuat dengan tujuan digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.

a. Akta – akta Notaris termasuk salinannya

b. Akta – akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ) termasuk rangkap – rangkapnya.

c. Surat yang memuat jumlah yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp.1000.000.00 :

§ Yang menyebutkan penerimaan uang

§ Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank

§ Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank

§ Yang berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi atau diperhitungkan.

d. Surat – surat berharga seperti : wesel, promes, dan askep yang harga nominalnya lebih dari Rp. 1000.000.00

e. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp.1000.000.00

2. Dokumen – dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian dimuka pengadilan :

a. Surat – surat biasa dan surat – surat kerumahtanggaan

b. Surat – surat yang semula tidak dikenakan Bea materai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan untuk orang lain, lain dari maksud semula.

D. TARIF BEA MATERAI Rp.3000.00 DIKENAKAN ATAS DOKUMEN

1. Surat yang memuat jumlah uang yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp.250.000.00 tetapi tidak lebih dari Rp.1000.000.00

Ø Yang menyebutkan penerimaan uang

Ø Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank

Ø Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank

Ø Yang berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi atau diperhitungkan.

2. Surat – surat berharga seperti : wesel, promes dan askep yang harga nominalnya lebih dari Rp.250.000.00 tetapi tidak lebih dari Rp.1000.000.00

3. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp.250.000.00 tetapi tidak lebih dari Rp.1000.000.00

4. Cek dan bilyet giro dengan harga nominal berapapun.

E. YANG TIDAK DIKENAKAN BEA MATERAI

1. Dokumen yang berupa :

a. Surat penyimpanan barang

b. Konosemen

c. Surat angkutan penumpang dan barang

d. Keterangan pemindahanyang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c

e. Pembuktian pengiriman dan penerimaan barang

f. Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim

g. Surat – surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat – surat tersebut di atas.

2. Segala bentuk ijasah. Yang termasuk dalam pengertian ini adalah Surat Tanda Tamat Belajar ( STTB ), tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti suatu pendidikan, latihan, kursus, dan penataran.

3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat – surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.

4. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, dan bank

5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari kas negara, kas pemerintah daerah, dan bank

6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi

7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan – badan lainnya yang bergerak dibidang tersebut

8. Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian

9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.















PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA SERTA PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH



Apabila dilihat dari sejarahnya, Pajak Pertambahan Nilai merupakan pengganti dari Pajak Penjualan. Alasan pengganti ini karena Pajak Penjualan dirasa sudah tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak.

A. DASAR HUKUM

Diatur dengan Undang – undang Nomor 42 tahun 2009.

B. OBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

PPn dikenakan atas :

1. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. Syarat – syarat nya adalah :

§ Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP;

§ Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak berwujud;

§ Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean;

§ Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

2. Impor BKP;

3. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. Syarat – syaratnya adalah :

§ Jasa yang diserahkan merupakan JKP;

§ Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean;

§ Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

6. Ekspor BKP Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

7. Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

8. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain;

9. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang pajak masukannya tidak dapat dikreditkan.

C. PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ( PPn BM )

Dengan pertimbangan bahwa :

1) Perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi,

2) Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah,

3) Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional,

4) Perlu untuk mengamankan penerimaan negara.

Batasan suatu barang termasuk BKP yang tergolong Mewah adalah :

1) Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok;

2) Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;

3) Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; dan/atau ;

4) Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukan status.

1. DASAR PENGENAAN PAJAK

Untuk menghitung besarnya pajak ( PPn dan PPn BM ) yang terutang perlu adanya Dasar Pengenaan Pajak ( DPP ). Yang menjadi DPP Adalah :

a. Harga jual

b. Penggantian

c. Nilai impor

d. Nilai ekspor

e. Nilai lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

2. TARIF

a. Tarif Pajak Pertambahan Nilai

Tarif PPn yang berlaku saat ini adalah 10%. Sedangkan tarif PPn sebesar 0% diterapkan atas :

1). Ekspor BKP Berwujud;

2). Ekspor BKP Tidak Berwujud;

3). Ekspor JKP.

b. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

Paling rendah 10% dan paling tinggi 200%.

3. CARA MENGHITUNG PPN

PPN = Dasar Pengenaan Pajak X Tarif Pajak


Contoh :

Pengusaha kena pajak “A” menjual Tunai BKP kepada Pengusaha Kena Pajak “B” dengan harga jual Rp. 25.000.000.00-.PPN Terutang:

10% x Rp.25.000.000.00 = Rp. 2.500.000.00

PPN sebesar Rp.2.500.000.00- tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “A”. Sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak “B” PPN tersebut merupakan Pajak Masukan.

4. CARA MENGHITUNG PPn BM

PPN BM = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak

Contoh :

PKP “ABC” sebagai pabrikan menyerahkan barang hasil produksinya dengan harga jual Rp. 10.000.000.00-. Barang tersebut merupakan BKP yang tergolong mewah dengan tarif PPn BM sebesar 40%. Penghitungan pajak yang harus dipungut adalah sebagai berikut :

PPN = 10% X Rp. 10.000.000.00-       = Rp. 1000.000.00-

PPn BM = 40% X Rp. 10.000.000.00- = Rp. 4.000.000.00-

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21


PPh Pasal 21

Adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi. Subjek pajak dalam Negeri.

Rumus PPh Pasal 21
Penghasilan bruto – Biaya Jabatan – Iuran Pensiun dan Iuran THT/JHT yang dibayar sendiri – PTKP ) x tarif Pasal 17 UU PPh.

Contoh Soal :
Ahmad Zakaria pada tahun 2009 bekerja pada perusahaan PT.Zamrud Abadi dengan memperoleh gaji sebulan Rp.2.500.000 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp.100.000. Ahmad menikah tetapi belum mempunyai anak. Bagaimana Penghitungan PPh Pasal 21 nya ?
Gaji sebulan
Pengurangan
1.Biaya Jabatan

5% x Rp.2.500.000              Rp.125.000

2. Iuran Pensiun                     Rp. 100.000

Penghasilan Neto sebulan       Rp.225.000

    Jumlah                                Rp. 2.275.000

Penghasilan Neto Setahun ;

12 x Rp.2.275.000                                   Rp.27.300.000

PTKP setahun

-untuk WP Pribadi                      Rp.15.840.000 ( Pasal 7)

-tambahan WP Kawin                 Rp.  1.320.000 ( Pasal 7 )

                                                                 Rp. 17.160.000

Penghasilan kena pajak                              Rp. 10.140.000

setahun
PPH Pasal 21 terutang

5% x Rp.10.140.000 = Rp. 507.000

PPh Pasal 21 sebulan

Rp.507.000 : 12 = Rp. 42.250.00
Contoh diatas apabila pegawai yang bersang kutan sudah memiliki NPWP. Dalam hal pegawai yang bersangkutan belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar :
120% x Rp. 42.250 = Rp.50.700.00



PAJAK PENGHASILAN



A. PAJAK PENGHASILAN UMUM

Undang – undang No 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan ( PPh ) mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Dalam Undang – undang PPh disebut Wajib Pajak.

Undang – undang PPh menganut asas materiil, artinya penentuan mengenai pajak yang terutang tidak tergantung kepada surat ketetapan pajak.

B. SUBJEK PAJAK DAN WAJIB PAJAK

Yang menjadi Subjek pajak adalah :

1. a. orang pribadi ;

b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak ;

2. Badan, terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun,firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif.

3. Bentuk Usaha Tetap ( BUT )


Subjek pajak dapat dibedakan menjadi :

1. Subjek Pajak Dalam Negeri yang terdiri dari :

a. Subjek Pajak Orang Pribadi, yaitu :

1.orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari ( tidak harus berturut – turut ) dalam jangka waktu 12 bulan, atau

2.orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.

b. Subjek Pajak Badan, yaitu :

Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan Pemerintah yang memenuhi kriteria :

1) pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan;

2) pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ;

3) penerimaannya dimasukan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah ;

4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara ;.

c. Subjek pajak warisan, yaitu :

Warisan yang belum dibagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak.
2. Subjek Pajak Luar Negeri yang terdiri dari :

a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia ; dan

b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Perbedaan wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak luar negeri, antara lain adalah :
Wajib Pajak dalam negeri
Wajib Pajak luar negeri
Dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia
Dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia
Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan netto
Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto
Tarif pajak yang digunakan adalah tarif umum ( Tarif UU PPh Pasal 17 )
Tarif pajak yang digunakan adalah tarif sepadan ( Tarif UU PPh Pasal 26 )
Wajib menyampaikan SPT
Tidak wajib menyampaikan SPT



Yang tidak termasuk subjek pajak adalah :

1. kantor perwakilan negara asing ;

2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang – orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama – sama mereka, dengan syarat :

a. bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatnnya di Indonesia.

b. negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.

3. Organisasi internasional, dengan syarat :

a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut ;

b.Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada Pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.

4. Pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat :

· Bukan warga negara Indonesia

· Tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.


C. OBJEK PAJAK

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk :

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang – undang ini;

2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;

3. Laba usaha ;

4. Keuntungan karena penjualan atau karena pangalihan harta termasuk :

a. keuntungan karena penghasilan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;

c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekeran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun;

d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak – pihak yang bersangkutan; dan

e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.

5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;

13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

14. Premi asuransi;

15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;

17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;

18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang – undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan

19. Surplus Bank Indonesia.

Yang dikecualikan dari objek pajak adalah :

1) a. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga – lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan

b. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak – pihak yang bersangkutan;

2) Warisan;

3) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;

4) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari wajib pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final atau wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit);

5) pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;

6) dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :

a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;

b. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yangmenerima dividen, kepemilikan saham badan badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor;

7) iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;

8) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada nagka 7, dalam bidang – bidang tertentu yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan;

9) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham – saham, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;

10) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :

a. Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor – sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;

11) Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

12) Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan

13) Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggaraan Jaminan sosial kepada wajib pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

D. CARA MENGHITUNG PENGHASILAN KENA PAJAK

Besarnya penghasilan kena pajak untuk wajib pajak badan dihitng sebesar penghasilan netto. Sedangkan untuk wajib pajak orang pribadi dihitung sebesar penghasilan netto dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak

( PTKP ). Penghitungan besarnya penghasilan Netto bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

a. Menggunakan pembukuan;

b. Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto.

1. Menggunakan pembukuan

Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir. Wajib pajak badan dan wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.

Untuk wajib pajak badan besarnya penghasilan kena pajak sama dengan penghasilan netto, yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan biaya – biaya yang diperkenankan oleh Undang – undang PPh. Sedangkan untuk wajib pajak orang pribadi besarnya Penghasilan Kena Pajak sama dengan penghasilan netto dikurangi dengan PTKP.

Rumus :

Penghasilan Kena Pajak ( WP Orang Pribadi )

= Penghasilan netto – PTKP

= ( Penghasilan bruto – Biaya yang diperkenankan UU PPh ) – PTKP.





Penghasilan Kena Pajak ( WP Badan )

= Penghasilan Netto

= Penghasilan Bruto – Biaya yang diperkenankan UU PPh


2. Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto

Wajib pajak yang boleh Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto adalah wajib pajak orang pribadi yang memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Peredaran bruto kurang dari Rp. 4.800.000.000.00 per tahun;

b. Mengajukan permohonan dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun buku;

c. Menyelenggarakan pencatatan.

Berikut contoh Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto.

Wajib pajak Anton kawin ( istri tidak bekerja ) dan mempunyai 3 orang anak. Ia seorang dokter bertempat tinggal di Jakarta yang juga memiliki industri rotan di Cirebon. Misalnya besarnya persentase norma untuk industri rotan di Cirebon 12,5% dan dokter di Jakarta 45%.

Peredaran usaha dari industri rotan di Cirebon setahun Rp. 400.000.000

Penerimaan bruto seorang dokter di Jakarta setahun Rp. 100.000.000

Penghasilan netto dihitung sbb :

Dari industri rotan : 12,5% x Rp.400.000.000. Rp. 50.000.000

Sebagai seorang dokter : 45% x Rp.100.000.000 Rp. 45.000.000

Jumlah penghasilan netto Rp. 95.000.000

Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp. 21.120.000

Penghasilan Kena Pajak Rp. 73.880.000